Indira terperanjat mendengar ucapan sang ayah. Bagaimana mungkin orang tuanya mengambil keputusan sepihak tanpa persetujuannya.
" Maksud ayah apa ? Perjodohan apa ? " Indira bertanya penuh rasa ingin tahu.
" Dira, sayang... Maaf kami tidak membicarakan ini sebelumnya, kami... "
" Kenapa ayah sama bunda lakuin ini sama Dira ? Dira bisa cari pasangan Dira sendiri... " Indira memotong ucapan sang ibu.
" Dira... Ayah dan bunda hanya ingin memastikan kamu mendapat pasangan yang baik, Nak. Karena kami belum tentu bisa menemanimu... " ucap Zaid menatap sang anak yang nampak masih belum bisa menerima.
" Apa ayah bunda pikir pasangan yang kalian siapkan itu adalah pasangan terbaik untuk Dira ? Dira yang akan menjalani hidup Dira bukan ayah atau bunda " Indira menyampaikan apa yang ada di hatinya dengan suara tertahan.
" Dira... Maafkan ayah ! Ayah hanya takut waktu ayah tak akan lama lagi. Ayah hanya ingin memastikan... "
" Memastikan apa yah ? Memastikan ada laki-laki yang bertanggung jawab atas diri Dira, begitu ? " potong Indira, kali ini air mata mulai menggenangi pelupuk matanya.
" BAIK... Kalau ayah dan bunda tetap pada keinginan kalian, Dira akan terima perjodohan ini. Hanya jika ayah memang sudah meninggalkan Dira selamanya ! " tegas Indira lalu meninggalkan kedua orang tuanya.
" Astaghfirulloh... Dira " gumam Adinda sambil mengusap dadanya.
Zaid hanya melihat kepergian sang anak yang meninggalkan mereka tanpa berniat menyusulnya.
" Mas... Gimana ini ? " tanya Adinda bingung menghadapi sikap Indira.
" Ya udahlah sayang ! Biarin aja Indira sendiri dulu. Indira hanya perlu menenangkan diri, lagipula Mas yakin nantinya Dira akan mengerti apa yang kita lakukan untuk kebaikannya juga " jawab Zaid sambil merangkul sang istri.
" Kamu dulu gitu juga kan ? Awalnya nolak tapi akhirnya mau nerima. Bahkan kita bisa hidup bahagia sampai saat ini " Zaid menenangkan Adinda.
" Tapi, kasusnya berbeda Mas ! Lagian belum tentu kisah mereka sama dengan kita... "
" Ck... Kalau sama gak akan ada cerita Indira dong sayang.. " kekeh Zaid sambil mencubit hidung sang istri dengan gemas.
" Mas Zaid... Dinda serius nih ! " Adinda mencebikkan bibirnya.
" Jangan overthinking sayang... Penilaian Mas tak pernah salah, setidaknya selama ini begitu. Kita berdoa saja supaya Indira mau menerimanya. Mas yakin kalau Galang akan membuat putri kita bahagia " ucap Zaid sambil mengecup pucuk kepala Adinda.
Karena malam sudah semakin larut, mereka pun akhirnya masuk ke dalam vila. Zaid kini sudah duduk di atas tempat tidur dengan kepala bersandar pada headboard ranjang. Sesekali ia meringis, memegangi dadanya sambil menghela nafas.
" Mas kenapa ? Sakit ? " tanya Adinda khawatir melihat Zaid yang nampak pucat dengan keringat membasahi keningnya.
" Kayaknya masuk angin nih, sayang " jawab Zaid sambil memijat tengkuknya.
" Makanya, kalau keluar tuh pakai jaket. Udah tahu udaranya dingin begini ! Jangan suka cari penyakit deh, Mas. Inget sama umur ... " sembur Adinda lalu duduk di samping Zaid.
Adinda membaluri tubuh Zaid dengan minyak angin, lalu meminta sang suami untuk berbaring. Adinda memijat badan Zaid.
" Dinda... Mas sadar usia Mas tak lagi muda, sedangkan Mas masih belum bisa tenang jika Indira belum menemukan pendamping yang tepat... "
" Memangnya kalau Indira udah punya pendamping Mas bisa tenang ? " tanya Adinda kini beralih memijat lengan sang suami.
" Bukan begitu maksud Mas... Kalau sesuatu terjadi pada Mas, sudah ada yang menjaga dan bertanggung jawab pada Indira. Dengan begitu Mas bisa lebih tenang " jawab Zaid.
Adinda menghentikan gerakannya.
" Memangnya apa yang akan terjadi sama Mas Zaid ? Jangan bikin Dinda takut, Mas ! " sahut Adinda lirih menatap sang suami.
Melihat raut wajah sang istri yang berubah melow, membuat Zaid segera merangkul Adinda.
" Kok sedih gitu sih, istrinya Mas yang cantik ini " hibur Zaid sambil mengecupi wajah sang istri yang masih terlihat cantik kendati sudah memasuki usia setengah abad lebih itu.
Adinda masih dalam mode diam meskipun sang suami berusaha menarik perhatiannya dan akhirnya Zaid pun menghela nafasnya.
" Sayang... Kita tidak pernah tahu kapan kematian menjemput. Setidaknya, saat kematian itu datang... Mas sudah siap dengan bekal Mas nanti. Mas tenang meninggalkan dunia ini karena anak-anak kita sudah hidup bahagia bersama dengan pasangannya masing-masing " jelas Zaid kemudian.
" Mas juga siap ninggalin Dinda sendiri ? " tanya Adinda menatap wajah sang suami yang kini menatapinya dengan tatapan tak bisa diartikan.
" Siap tidak siap, saat kematian itu datang kita harus menerimanya. Kalau Mas pergi lebih dulu, Mas akan dengan setia menunggumu sampai kita nanti dipertemukan kembali di dalam surga Nya " jawab Zaid dengan senyuman di wajahnya.
Adinda menggeleng pelan kemudian memeluk tubuh sang suami. Memeluk raganya dengan erat.
" Jangan pernah mengatakan perpisahan, Mas... Meskipun itu pasti terjadi, setidaknya saat ini Dinda cuma mau bersama Mas Zaid. Kita berdua melihat anak-anak kita menikah, melihat cucu-cucu kita lahir dan tumbuh... Kita akan selalu menjadi keluarga yang bahagia " ucap Adinda.
" Tapi... "
" Sstt... Cukup Mas ! Dinda gak mau lagi denger omongan Mas tentang perpisahan. Sebaiknya, kita tidur ! " potong Adinda menyudahi pembicaraan yang hanya akan membuat dirinya merasa seolah-olah akan ada hal buruk yang terjadi.
Adinda menjatuhkan kepalanya di atas bantal lalu memeluk raga sang suami yang telah menemaninya menjalani biduk rumah tangga selama ini. Zaid pun membalas pelukan sang istri setelah sebelumnya mengecup kening Adinda.
" Terima kasih sudah bersedia menemani Mas selama ini. Mas bahagia... " ucap Zaid lalu memejamkan matanya.
Pagi menyapa, Adinda sudah menyiapkan sarapan untuk Zaid juga Indira. Tak lama Indira datang menuju meja makan.
" Pagi sayang... Sarapan dulu ! " seru Adinda saat Indira menghampirinya.
" Dira sarapan di kampus aja, Bunda. Hari ini ada jadwal ngajar pagi " kilah Indira sambil mencium pipi Adinda.
Adinda mengamati wajah sang anak yang terlihat kusut. Belum lagi matanya masih terlihat sedikit sembab.
" Dira gak pamitan sama ayah ? " tanya Adinda.
Indira menggeleng pelan.
" Tolong Bunda bilang sama ayah kalau Dira pulang duluan " jawab Indira pelan.
Adinda memahami jika sang anak sedang merajuk. Adinda lalu memeluk Indira dan mengelus punggungnya dengan lembut.
" Dira sayang... ! Bunda paham kalau Dira kesal, kecewa bahkan mungkin marah. Tapi Dira harus percaya, Ayah melakukan itu hanya ingin yang terbaik untuk Dira. Jadi coba Dira mengerti... Bunda tahu jodoh sudah ada yang mengatur. Sama halnya seperti Bang Evan, Bang Bagas dan Kak Lesha dulu " Adinda menjeda ucapannya.
" Bunda cuma minta Dira sedikit memahami kekhawatiran Ayah. Percayalah, tidak ada orang tua yang ingin anaknya terluka. Ayah hanya berusaha menyiapkan yang terbaik untuk Dira karena baik Ayah maupun Bunda sangat menyayangi Dira " tambah Adinda berharap sang anak mengerti.
Indira mengangguk lalu mencium tangan dan pipi sang ibu.
" Dira pamit Bunda ! " ucap Indira lalu bergegas keluar dari vila.
Sebelum memasuki mobilnya, Indira sempat melihat sang ayah yang menatapnya dari atas balkon. Namun, Indira mengabaikannya. Ia segera masuk dan menjalankan mobilnya.
Melihat sang anak yang seolah tak ingin bicara dengannya membuat Zaid merasa sangat sedih. Ia segera masuk ke dalam. Namun baru saja Zaid masuk ke dalam kamarnya, ia merasakan nyeri yang begitu hebat di dadanya dan akhirnya ia terjatuh di lantai dan tak sadarkan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Jumadin Adin
kapten zaid kenapa....
2023-05-22
1
StAr 1086
pak tentara sakit apa tuh....
2023-02-26
1
Debbie Teguh
zaid ud feeling ya bakal pergi, hiks hiks
2023-01-27
2