Kedipan Dikalah Senja.
Sebuah kontrakan bedengan sederhana, berdinding papan dan berlantai semen. Ada empat pintu bedengan, semuanya disewa keluarga sederhana. Di bagian belakang bangunan bedengan berupa rawa-rawa dangkal, selain berlumpur juga ditumbuhi semak-semak. Kalau hujan deras, sering banjir dan air kadang membanjiri ke dalam kontrakan.
Di seberang rawa-rawa tampak kompleks perumahan baru. Sedangkan dibarisan depan bedengan ada tembok batu bata yg memisahkan dengan kompleks perumahan bagian depan. Rumah pemilik kontrakan bedengan juga dibarisan itu. Ada lorong jalan dari depan kontrakan melewati sisi samping rumah pemilik kontrakan yang cukup mewah menuju jalan perumahan.
Kondisi di depan kontrakan bedengan itu banyak tumpukan barang bekas dan rongsokan. Memang, tiga keluarga penyewa kontrakan sederhana itu berprofesi sebagai pemulung, dan satu keluarga lagi kuli bangunan. Halaman sempit, bertambah sempit, dan becek becek setelah hujan.
...*****...
Seorang wanita berumur tiga puluh limaan tahun terbaring lemah. Beralas tikar plastik yang lapuk, kain dan bajunya lusu. Wajah pucat, tubuh kurus dan kulit berwarna kekuningan tanda sakit. Di sebelah kirinya, duduk dua anaknya. Yang sulung laki-laki, adiknya perempuan. Yang laki-laki berumur dua belas tahun, anak perempuan berumur sepuluh tahun. Duduk di sebelah kanannya dua anak laki-laki, satu berumur delapan tahun, satunya berumur enam tahun.
"Aram, jaga adik-adikmu ya. Maafkan Umak, tak dapat menjaga kalian. Umak sayang dengan kalian berempat. Peluk Umak, tubuh Umak dingin." Kata ibu Aram lemah, butir air mata mengalir dari kelopak matanya. Tangannya yang lemak dia gerakkan sekuat tenaga agar dapat menyentuh anak-anaknya. Lalu menarik mereka dan membenamkan wajah mereka ditubuhnya. Aram dan ketiga adiknya sedih dan takut. Air matanya tak terbendung saat ibunya berkata-kata demikian.
"Makkkk." Aram dan tiga adiknya menangis pilu, air mata mereka bercucuran mengalir dan jatuh dipangkuan ibunya.
"Bak kalian belum pulang." Tanya Ibu mereka lemah.
"Belum, Mak." Jawab Aram.
"Areha, cucikan baju adik-adik kau, ya." Kata sang ibu lagi. Areha hanya mengangguk disertai tangisan.
"Luran, Figan jangan nakal, ya. Umak sangat sayang kalian." Ujar ibunya, dan keduanya hanya mengangguk pelan.
"Aram, tolong jaga adik-adik kau. Umak mohon, berjanjilah. Cepatlah dewasa. Saling berkasih sayanglah dan saling menguatkan. Adik beradik harta yang paling berharga di dunia ini. Berbagilah dalam kesusahan dan berbagilah dalam kesenangan. Kalian akan menjadi anak-anak yang hebat, membanggakan ibu. Tetaplah baik dan tetaplah jujur dalam kondisi apapun." Kata ibu Aram mengulangi permohonannya tadi, dan memberi nasihat. Seakan-akan pesan terakhir yang keramat. Dari tatapan mata ibunya seolah-olah dia memohon pada Aram anak sulungnya. Aram yang baru berumur dua belas tahun dapat mengerti. Pandangan mata ibunya itulah yang kelak tidak akan pernah dia lupakan. Sehingga dia sangat tangguh dalam perjalanan hidup menjaga adik-adiknya.
"Kalau Bak kalian pulang, bilang jangan terlalu capek Kerja." Kata ibu lagi.
Kemudian tangan ibu kembali memeluk erat anak-anaknya. Dia menarik nafas yang sangat sesak dan berat. Beberapa saat kemudian pelukannya perlahan melonggar, dan kedua tangan sang ibu perlahan bergeser jatu ke lantai.
Berkali-kali mereka memanggil dan mengguncang tubuh ibu mereka. Teriakan dan panggilan mereka memenuhi seisi ruangan kontrakan mereka. Namun tak ada gerakan sang ibu. Dia terbujur dan tetap membisu, matanya pun tertutup rapat. Aram dan tiga adiknya ketakutan. Mereka tidak dapat menerima kenyataan itu. Mereka terpukul dan sangat sedi tidak menyangka Ibu mereka pergi secepat itu.
"Umakkkkk." Jeritan mereka keras melengking.
"Bakkkk." Teriak mereka memanggil sang ayah, lalu menjerit memanggil ibu mereka, bergantian.
...*****...
Seorang laki-laki berumur empat puluhan tahun berjalan pelan mendorong gerobak yang berisi banyak barang bekas. Bajunya kotor, bau dan lusu basah oleh keringat. Berkali-kali mobil mengklakson agar dia menepi. Begitulah suasana jalan di Kota Palembang di siang hari. Walau jalanan di pinggiran kota tatap ramai.
Sekarang dia berjalan memasuki pemukiman, dimana kendaraan tidak begitu ramai. Hanya sesekali mobil atau sepeda motor warga yang berlalu. Jualan mangga manis di sisi jalan tertumpuk rapi. Beberapa buah di iris terbuka, kuning manis sepertinya. Tertulis pada sobekan kardus: dua kilo, lima belas ribu. Bapak pemulung itu berhenti dan memarkirkan gerobak di sisi jalan, lalu membeli.
"Kalau sekilo berapa, Dik." Tanyanya.
"Delapan ribu, Pak." Jawab pedagang itu.
"Minta satu kilo saja." Katanya, si pedagang yang bertubuh gempal dan perut buncit tampak kesusahan berdiri. Kemudian dia memberikan kantong plastik dan si bapak memilih, lalu ditimbang. Ternyata satu kilo hanya empat biji. Terlihat senyuman dari bibir si bapak. Dia kemudian menggantung plastik buah di sisi dinding gerobak. Setelah membayar dia berjalan sambil mendorong gerobak.
"Aram dan adik-adiknya pasti suka sekali Aku belikan buah mangga. Sudah berkali-kali meminta buah mangga, baru kali ini terbeli. Kalau dapat uang dari penjualan besok. Untuk ibu mereka berobat ke bidan. Semoga istriku cepat sembuh, Ya Allah." Kata hati si bapak. Sekarang dia memasuki jalan setapak menuju kontrakannya. Di jalan banyak yang melihat ke arahnya, tapi semua diam.
Dia merasa aneh, merasakan ada sesuatu yang terjadi, entah apa. Dari ujung jalan setapak dia melihat banyak warga, Pak RT juga ada. Imam masjid, ibu-ibu pengajian teman istrinya juga berkumpul. Setiap warga datang membawa beras dan macam-macam bantuan. Hati si bapak bergetar, dia langsung berlari masuk kontrakan. Tampak terbujur kaku sesosok manusia diselimuti kain hijau bertuliskan inalilahi wainailaihi rojiun yang di pinjam dari masjid. Hati si bapak seketika menjadi hancur dan tubuh lemah. Dia kuatkan untuk berjalan dan dudukby by CT di sisi jenazah istrinya.
"Sabar, Marang. Sabar, jalan hidup sudah ditentukan oleh Allah." Ujar salah satu ibu-ibu, dia Ibu RT.
"Allah lebih sayang pada istrimu, sehingga dia dijemput lebih cepat." Kata ibu-ibu yang agak gendut.
"Iya Bu RT." Jawab Pak Marang sambil menahan air matanya. Dia kemudian menutup kembali wajah istrinya dengan kain hijau. Dua anaknya tampak menangis sampai mata merah, dua anak kecilnya tampak bingung. Lalu Pak Marang memeluk erat keempat anaknya tampak kata-kata.
"Bak, Umak kenapa." Tanya anaknya berumur enam tahun.
"Tidak apa-apa, Figan. Ibumu sedang sakit." Jawab Pak Marang sambil membelai rambut anak bungsunya itu. Wajah lugu dan polos itu begitu menyentuh hati Pak Marang.
...*****...
Keesokan paginya jenazah istri Pak Marang di kebumikan di pemakaman umum. Biayah pemakaman dan kain kafan di tanggung keuangan masjid. Karena ada uang amal kematian, sehingga tidak membebani kuluarga yang mendapat musibah. Apalagi keluarga kurang mampu tentu sangat membantu.
Sedangkan pelaksanaan tahlilan dilakukan setelah shalat Isya selama tiga malam berturut-turut di masjid. Uang yang di simpan pak Marang untuk pengobatan istrinya kini dia gunakan untuk biayah tahlilan. Walau pun hanya sekedar makanan ringan.
...*****...
ENAM BULAN KEMUDIAN.
*
Pak Marang mulai terbiasa tanpa kehadiran sang istri tercinta. Begitu juga dengan anak-anaknya mulai terbiasa tanpa sang ibu. Setelah kepergian istrinya Pak Marang menjadi sering sakit-sakitan. Hujan sedikit saja dia akan demam dan batuk. Tapi dia tidak pernah istirahat. Terus bekerja mencari barang bekas, di sekitar Kota Palembang. Aram, Areha, Luran, dan Figan, setiap hari sekolah seperti biasa. Aram sudah kelas sembilan SMP. Areha kelas lima SD, Luran kelas tiga, dan Figan baru kelas satu.
...*****...
Pak Marang bangun waktu pajar. Dia memasak dan mencucikan pakaian anak-anaknya. Kemudian dia memasak apa yang ada untuk anak-anaknya. Nasi, sayur dengan ikan asin. Kadang hanya sambal saja. Tapi anak-anak selalu lahap makan. Bagi mereka terasa lezat masakan ayah walau itu hanya sambal terasi dan rebus sayur genjer atau kangkung. Namun hal yang aneh dalam pikiran Aram yang sudah cukup mengerti. Setiap pagi selalu ada kupasan kulit singkong. Tapi tidak ada singkong rebus atau singkong goreng yang dihidangkan ayahnya. Kalau pun dihidangkan mereka juga tidak suka. Jadi Aram dan adik-adiknya tidak mempertanyakannya.
...*****...
"Kabas, ini Aku bayar hutang kemarin." Pak Marang menyodorkan uang seratus ribu pada tetangga yang juga pemulung.
"Oh, iya, kebetulan sekali beras sudah habis." Jawab Pak Kabas sambil tersenyum.
"Bu, ini uang dari Pak Marang." Dia memanggil istrinya, dan istrinya kedepan seraya menggendong anak kecil berumu dua tahun. Setelah mengambil uang dia masuk kembali dan memasak sesuatu di dapur.
"Uyyy, Marang, Kabas. Apa yang diceritakan pagi-pagi." Tanya tetangga paling ujung, dia tampak mengenakan sepatu boot.
"Tak ada Bakir, cerita langit tak bertiang." Jawab Pak Kabas.
"Kemana Kir." Tanya Pak Marang.
"Biasalah koyong, kalau jadi kuli bangunan. Pasti pergilah ke tempat bangunan." Jawab Paman Bakir dengan diiringi senyum. Mengisap rokok, ransel berisi bekal menggantung di punggung. Dia kemudian mengendarai sepeda motor bututnya pergi meninggalkan suara pesing.
Setelah semua urusan rumah selesai, Pak Marang juga pergi untuk mencari barang bekas. Sementara Pak Kabas tidak memulung hari ini, dia akan ke kantor camat mengurus Kartu Keluarga dan akta kelahiran seorang anaknya.
...*****...
Hujan deras siang itu, langit gelap dan guntur bergemuruh. Pak Marang terbatuk-batuk dan dia berteduh di sebuh rumah papan yang kosong dan tidak dihuni dalam waktu lama. Banyak alang-alang, rumput dan di langit-langit atap kaki lima dipenuhi sarang laba-laba. Cuaca begitu dingin, membuat tubuhnya menggigil. Pak Marang melipat dua tangannya di dada. Di depan ada jalan beraspal cukup lebar yang selalu dilaui kendaraan. Pak Marang merasa senang hari ini, dia mendapatkan banyak besi bekas dan buangan plastik. Dalam perkiraannya paling tidak lebih seratus ribu kalau di jual ke pengepul pendapatannya hari itu. Dia teringat kalau Luran minta dibelikan sepatu.
"Iya, nanti Aku belikan sepatu untukmu nak." Kata hati Pak Marang. Tiba-tiba Pak Marang teringat istrinya, masa awal perkenalan mereka dan waktu pernikahan mereka. Istrinya wanita yang sangat baik, mau hidup menderita bersamanya tanpa pernah mengeluh.
"Istriku, Aku selalu mencintaimu, walau kau sudah pergi jauh, bagiku kau masih hidup, di hatiku dan di hidupku. Lebaran ini, bapak dan anak-anak akan berziarah ke rumahmu." Kata hati Pak Marang sambil memandangi tetesan air hujan.
"Srrrriiiitttttttttt." Sebuah mobil Avanza hitam berhenti mendadak di jalan tepat di depan rumah kosong itu. Pak Marang terkejut dan memperhatikan kejadian di depan. Beberapa sepeda motor berlalu, dengan pengedaran memakai jas hujan.
"Keluar, ayo keluar." Ada suara kasar dari dalam mobil. Tampak dua orang laki-laki sangar menuntun turun dua orang. Masing-masing sudah mereka todongan pisau di leher. Keduanya disandra, satu seorang laki-laki muda berumur dua puluh delapan tahun. Dan seorang lagi seorang wanita hamil tua, mungkin segera akan melahirkan.
"Ambillah, mobil dan apa yang berharga. Tapi jangan sakiti istriku. Lepaskan dia dan bunulah Aku." Ujar laki-laki muda itu.
"Diam." Bentak penyanderanya.
"Habisi, agar tidak ada jejak. Bawak ke rumah kosong itu. Kalu tidak mereka akan melaporkan kita ke polisi." Ujar yang memegang kemudi. Dua penyandera menuntun berjalan menuju rumah kosong. Keduanya melihat gerobak berisi penuh barang bekas. Setelah itu menuju ke samping rumah kosong yang banyak rumputan. Dari jalan raya sulit melihat karena dihalangi semak lebat. Kedua penjahat itu bermaksud membunuh dua sanderanya di belakang rumah kosong itu.
"Pakkkkk."
"Pakkkkk." Sebuah balok kayu menghantam kepala penjahat itu bergiliran. Sehingga membuat mereka kehilangan keseimbangan dan kepala mereka berdarah. Darah tampak semakin banyak karena bercampur air hujan yang masih turun cukup deras. Kedua sandera mereka terlepas dan mereka berdiri menjauh.
"Lari ke sana, Dik. Bawa istrimu. Lewati kebun ini ada rumah warga dan pos jaga." Kata Pak Marang. Sepasang suami istri muda itu bergegas mengikuti arah petunjuk Pak Marang.
"Kurang ajar, laki-laki tua keparat." Maki seorang perampok. Yang satunya melompat, dia mencoba mengejar sepasang suami istri berlari menjauh menerobos semak dibawah pepohonan. Tapi Pak Marang kembali menghadang dengan balok di tangan.
"Wwuuussss." Balok disabetkan, perampok itu terpaksa mundur.
"Hei, kau ini ikut campur. Kau akan merasakan akibatnya." Kata laki-laki jahat itu.
"Sudah, habisi." Ujar kawannya.
"Aku orang Sekayu, takkan takut mati." Jawab Pak Marang. Kemudian dua orang mengeroyok Pak Marang. Berkali-kali dia dapat menghindari serangan dengan cara mengibaskan balok kayu. Tiba-tiba muncul orang dari arah jalan.
"Mengapa lama sekali." Tanya laki-laki berewok tinggi besar, kulit hitam.
"Sialan, keparat busuk ini ikut campur, dan mereka berlari ke arah pemukiman di belakang" Jawab satunya, sambil mengelap darah yang meleh di wajahnya.
"Cepat, kita bisa ditangkap polisi sebelum keluar Kota Palembang." Katanya. Dia mengambil balok kayu yang sama panjang dengan balok di pegang Pak Marang. Kemudian menyerang dengan cara memukul.
"Heaaaa." Tiga orang menyerang sekaligus. Karena kalah tenaga akhirnya sebuah tusukan mengenai punggung, lalu ada menembus perut dan jantung Pak Marang.
"Matilah Kau, suka ikut campur urusan orang." Kata salah satu penjahat, kemudian menendang tubuh Pak Marang yang sudah hampir roboh. Ketiga penjahat itu meninggalkan Pak Marang yang sekarat. Terdengar suara gemuruh mobil melaju cepat dan hilir mudik kendaraan di jalanan.
"Aram, Areha, Luran, Figan. Bak sayang kalian nak. Maafkan bak yang belum sempat mengantarkan kalian dewasa." Kata hati Pak Marang. Darah mengucur deras dari luka-lukanya. Bahkan ada yang keluar dari mulutnya. Matanya mulai kabur dan telinganya tidak lagi mendengar air hujan jatuh. Pak Marang pasra dan menerima takdirnya. Air hujan yang mengalir di sekitar tampak merah bercampur darah. Tampak bayangan putih datang menghampiri.
"Kanda, jangan terlalu capek bekerja. Ayo kita pulang, bersihkan tubuhmu." Ujar bayangan putih itu.
"Istriku, anak kita." Tidak ada jawaban, wanita itu hanya tersenyum lalu menuntun Pak Marang pergi. Dia masih melihat gerobaknya yang penuh dengan barang bekas, dan bekal ubi rebusnya yang belum dia makan tergantung di dinding gerobak sebelah luar. Biasanya dia memakan ubi rebus bekalnya sambil mendorong gerobak, sebab tinggal ambil saja tergantung di dekat pendorong gerobak.
"Sepatu Luran..." Suara gaib itu menggema disekitar itu.
...*****...
Dua orang polisi mendorong gerobak masuk jalan setapak ke arah kontrakan Pak Marang. Empat orang tenaga kesehatan menggotong tandu dengan jenazah terbujur kaku diselimuti kain putih. Pak RT, dan warga berdatangan ke sana. Kedatangan jenazah Pak Marang disambut tangisan oleh keempat anaknya. Pemakaman dan pengurusan jenazah kembali di ambil alih pihak masjid. Begitu juga pembelian kain kafan, biaya lain dan tahlil. Semua kasihan pada Aram dan adik-adiknya yang sudah menjadi yatim piatu. Dalam masalah ini, pihak masjid di Indonesia belum mengaturnya.
...*****...
Pak Polisi menjelaskan kalau Pak Marang diduga dibunuh penjahat atau perampok. Pak polisi juga akan menyelidiki apakah dia punya musuh. Pak Marang tidak ada musuh, dia orang baik dan jujur.
Walaupun hidup sangat miskin dia tidak pernah mencuri atau mengemis. Polisi berjanji akan mengabarkan informasi secepatnya tentang pembunuh Pak Marang. Polisi akan mengusut tuntas kasus itu.
...*****...
"Bakkkk. Maaakkkk." Tangisan Aram dan adik-adiknya dipemakaman terdengar pilu. Suasana sepi karena sudah menjelang petang.
"Koyong, bagaimana kita." Tanya Areha. Memanggil kakak laki-lakinya.
"Tak perlu khawatir nanti koyong akan bekerja." Jawab Aram menenangkan adiknya itu. Tapi Aram juga takut, kerja apa, bagaimana, siapa yang bayar kontrakan dan semuanya.
"Kenapa bak, Kopek." Tanya Figan pada Areha, dia belum mengerti juga.
"Ibu sekarang tidak pernah pulang. Apakah Bak juga tidak pulang-pulang." Kata Figan lagi. Sementara Luran hanya diam saja. Dia masih ingat janji ayahnya yang akan segera membelikan sepatu. Dia merasa kesal sebab ayahnya sudah seperti ibunya yang tidak bisa pulang lagi.
Empat kakak beradik itu duduk di sisi kuburan ayah mereka yang masih merah. Menjelang senja barulah mereka pulang berjalan kaki. Hampir setiap hari dalam dua minggu setelah hari itu, mereka mengunjungi kuburan ayah dan kuburan ibu mereka.
...*****...
"Adik-adik, kalian mau kemana. Ini sudah malam." Seorang pengendara sepeda motor Honda Beat berwarna putih silver berhenti di sisi jalan. Dia memakai baju merah biru, di bagian depan ada logo AF, bagian belakang bertuliskan Apero Fublic.
"Dari pekuburan, Kak." Jawab Aram jujur dan polos.
"Ada apa di sana, memangnya." Tanya anak muda itu.
"Tadi siang kami mengantar jenazah ayah. Warga semua sudah pulang. Adik saya tidak mau pulang dari kuburan, makanya jadi kemalaman begini." Jelas Aram.
"Mari kakak antar." Tawar anak muda itu. Keempat kakak beradik itu tidak menolak, sehingga motor bebek metik itu penuh. Figan paling depan, dan Aram, Areha, Luran di belakang.
...*****...
Aram menemukan ubi rebus bekal ayahnya setiap hari, masih tergantung utuh di dinding gerobak. Dia sekarang tahu kalau ayahnya selalu makan ubi rebus tidak makan nasi. Sementara nasi hanya untuk mereka saja.
Aram menjual barang bekas yang ada, dan yang di dalam gerobak warisan ayahnya. Lalu dia belikan beras untuk makan mereka beberapa Minggu.
...*****...
Sementara itu, sepasang suami istri yang diselamatkan Pak Marang berada di sebuah rumah sakit bersalin. Sepertinya istrinya akan segera melahirkan. Proses melahirkan pun agak sulit, membutuhkan waktu sehari semalam baru sang anak dilahirkan.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments