Sebuah hutan di pinggiran Kota Palembang tidak begitu luas. Pepohonan juga tidak begitu besar, banyak rumpun bambu dan semak-semak. Ada pohon-pohon karet yang cukup besar. Bentuk tanah bidang miring, berbukit kecil, sedangkan di lembah ada rawa-rawa yang cukup dalam dan panjang.
Di sekeliling hutan itu dipagari dengan tembok terbuat dari batako. Jalan aspal melintasi di sisi hutan. Jalan itu menembus ke semua jalan di sekitar Kota Palembang. Selalu ramai dilalui kendaraan. Hutan itu milik orang kaya.
Pada sisi hutan, tidak jauh dari tembok memagari. Terdapat tanah yang ditumbuhi semak, dan pepohonan kecil. Di tanah itu juga terdapat bangunan kosong terbuat dari kayu, berdinding separuh, berlantai semen dan beratap seng. Sepertinya bekas bangunan orang berdagang. Walau sudah lama ditinggalkan. Tapi kondisinya masih bagus. Sering dijadikan tempat berteduh orang yang melintas saat hujan tiba-tiba turun.
"Cuitt. Cuuttt." Suara burung-burung di sekitar itu. Angin berhembus, dedaunan pepohonan bergoyang-goyang seakan melambai pada setiap orang berlalu.
...*****...
Sebuah rumah mewah berlantai dua berdiri kokoh. Halaman luas berumput hijau. Disekitar rumah banyak di tanami bunga-bunga dan pohon hias. Rumah dikelilingi pagar luas dan tinggi. Sebagian pagar berupa tembok semen, dan selebihnya berupa besi-besi tegak tinggi sekitar dua meter setengah.
Jarak besi pagar hanya empat jari, dari satu ke yang lainnya. Dengan demikian, orang-orang dari luar pagar dapat melihat indah taman rumah mewah itu. Orang dari dalam pagar juga dapat melihat keluar dan jalanan.
Sementara itu, seorang anak laki-laki berumur empat tahun asik bermain seorang diri. Beberapa mobil-mobilan ada disekitarnya.
"Gaka, Gaka." Panggil sebuah suara dari luar pagar. Si bocah menoleh dan tersenyum ceria saat mengenali siapa yang memanggil.
"Nenekkkk." Dia berlari merapat ke pagar, dan tangannya memegang wajah si nenek.
"Apa kabar cucu Nenek." Tanya si nenek. Bocah berusia empat tahun itu tersenyum gembira.
"Baik Nek, Gaka sehat." Gaka baru beli mobilan yang bisa jalan sendiri. Si anak menunjukkan pada si nenek.
"Bagusnya mobil cucu nenek." Pujinya, membuat si bocah senang.
"Nenek masuk kerumah, ibu-ayah di rumah." Katanya.
"Iya, nanti nenek masuk." Jawabnya lembut, kemudian air mata si nenek menetes. Tangan si nenek membelai pipi cucunya.
"Nenek jangan nangis." Ujarnya yang sedih dan hampir ikut menangis juga.
"Ini hadiah dari nenek." Menyodorkan mainan kipas angin terbuat dari botol plastik. Si Gaka begitu suka, dia mau menunjukkan pada ibunya segera. Si nenek menganggukkan kepala dan anak balita itu berlari ke rumah.
"Gaka, main dimana, ibu cari-cari tadi." Seorang ibu-ibu muda muncul dari balik tanaman bunga yang subur dan indah. Ibu anak itu menggendong dan memeluk erat. Dia sedang hamil tua.
"Main dekat pagar di sana." Jawabnya sambil menunjuk.
"Oh, jangan mendekat kalau ada orang memanggil kamu ya." Kata ibunya. Gaka mengangguk saja.
"Ayo ajak nenek ke rumah. Dia memberikan kakak mainan kipas angin." Katanya sambil memainkan dan menunjukkan.
"Nenek mana." Tanya ibu. Kemudian muncul seorang laki-laki dan gadis muda.
"Adu, disini kakak main ya. Tadi Bibi lewat sini tidak ada." Ujar wanita muda, cantik dengan hijab syar'i.
"Kakak kalau mau main kasih tau, Bibi, ibu, ayah, atau kakek. Agar tidak dicari-cari." Kata si ayah.
"Bibik tak mau lagi, ajak jalan-jalan kalau Gaka nakal." Ujar gadis muda itu. Dia mencolek-colek pipi kemenakannya. Mengancam kalau masih suka bermain tidak memberi tahu. Gaka tampak merengek dan berjanji tidak mengulangi lagi.
Lalu sang ayah mengajak Gaka kembali ke rumah. Gaka menolak lalu dia berlari ke arah pagar tadi. Ketiganya mengikuti dari belakang. Mainan kipas angin dia angkat tinggi, sehingga berputar kencang. Ibu yang hamil tidak kuat dia hanya berjalan menyusul.
Si nenek tadi mengintip dari balik pagar. Dia melihat Gaka, anak perempuannya sedang hamil, menantunya, dan adik ipar anaknya berlari menuju ke arahnya. Dia bahagia melihat anak dan cucunya. Tapi perlahan dia pergi.
"Nenekkkk. Nenekkkk." Panggil Gaka.
"Nenek, apa mungkin ibu." Pikir ibu Gaka, dia terus mengikuti dan tiba di dekat Gaka yang berpegang pada besi pagar. Lalu Gaka menangis keras sambil memanggil si nenek.
"Mungkin Gaka rindu Ayah dan ibu, Kak." Ujar gadis muda itu.
"Tiga hari lagi mereka baru pulang umroh." Jawab ayah Gaka.
"Apa mungkin ibu yang datang kanda." Kata ibu Gaka.
"Rasanya tidak mungkin, kalau ibu yang datang pasti kerumah. Bukan di sisi pagar samping begini." Jelas si suami. Semua membenarkan pendapatnya. Lalu mereka membujuk Gaka untuk pulang. Mobil di bawa oleh bibinya, sementara Gaka digendong sang ayah. Dia terus menangis menunjuk ke pagar kalau neneknya di sana sebelumnya.
Saat mereka berjalan menuju rumah, melewati banyak bunga-bunga indah. Seorang Ibu-ibu berumur empat puluh tahun asisten rumah tangga mereka muncul.
"Ada apa, Yuk Wera." Panggil Ibu Gaka.
"Dek Hadi, dek Juhusi, ada tamu." Jawabnya.
"Siapa yuk." Tanya Pak Hadi dan terus berjalan.
"Sahabat Dek Hadi, Pak Katara dan Ibu Reze." Jelas Ayuk Wera.
"Oh, iya-iya." Jawabnya sambil bergegas cepat menuju rumah mewah berlantai dua. Cukup menguras tenaga melintasi halaman rumah yang luas itu.
"Mereka dapat anak kembar, lucu." Ujar Yuk Wera seiring berjalan.
"Cowok atau cewek anaknya." Tanya Juhusi. Ayuk Wera memberitahu kalau anak mereka cowok. Beberapa saat mereka tiba di rumah. Berkumpul di ruang tamu yang luas.
*
Mereka menyambut hangat kedatangan Pak Katara. Teman bisnis Pak Hadi, sekaligus sahabat sejak di bangku sekolah dulu. Mereka sudah menganggap seperti saudara satu sama lain.
"Maaf tak datang saat istrimu melahirkan. Aku mengantar dan mempersiapkan Ayah berangkat umrah." Kata Pak Hadi, mereka pun berjabat tangan dan mulai tenggelam dalam kehangatan. Sementara Juhusi dan Reze bermain dengan bayi kembar yang lucu.
"Siapa namanya." Tanya Juhusi.
"Ahmad Marang dan Umar Marang." Jawab Katara.
"Dari mana inspirasi nama Marang itu." Tanya Hadi. Ayuk Wera datang mengantarkan makanan kecil dan minuman. Mempersilahkan semuanya makan dan minum.
"Cerita panjang dan mengerikan, Marang itu nama seorang pemulung yang menyelamatkan nyawa kami dan dua bayi kami." Jawab Katara lesu, dia menceritakan kenangan mengerikan beberapa bulan lalu. Hadi dan istrinya begitu ngeri dan prihatin sekali. Yang membuat Katara bertambah sedih memikirkan nasib anak-anak Pak Marang yang tidak tahu kemana.
"Mungkin mereka menjadi gelandangan. Aku sudah berusaha mencari tapi tidak ditemukan. Mungkin mereka ke desa asal orang tuanya." Ujar Pak Katara diakhir ceritanya.
...****"...
Sementara itu, di balik sebuah bak sampa yang cukup besar di sisi jalan. Seorang nenek-nenek duduk bersembunyi. Air matanya menetes berurai tak henti. Memang seharusnya diumurnya sekarang, hidup tenang dan bermain-main dengan cucu-cucunya. Setelah Gaka dan kedua orang tuanya pergi si nenek baru pergi meninggalkan tempat itu.
"Maafkan nenek Gaka." Kata hati si nenek, dia sesungguhnya ingin sekali masuk kerumah besar dan indah itu. Tapi dia malu, itu rumah mertua anaknya. Malu juga menumpang besan pikirnya. Hatinya sudah bulat, dia akan pergi dan tidak akan menyusahkan siapa pun lagi.
Si nenek berjalan terus tanpa rasa letih. Sampai akhirnya dia tiba di pemakaman umum. Lalu dia masuk dan mendatangi sebuah kuburan. Dia membersihkan kuburan itu. Lalu berdoa, dan membaca surat Alfatihah.
"Bahman Bin Bahlim. Wafat di Palembang, 19 Oktober 2003." Tertulis di batu nisan. Lama si nenek duduk merenung, banyak kenangan terbayang saat bersama suaminya. Matanya berkaca-kaca terharu.
"Cita-cita hidup kanda, ingin membangun panti asuhan dan merawat anak-anak yatim." Itulah salah satu sepenggal kenangan terbayang dimata si nenek.
"Assalamualaikum, kanda." Ujar si nenek pergi. Matahari tampak telah condong ke barat.
...*****...
MEMASAK DI TEPI HUTAN.
*
Siang itu, Aram dan adik-adiknya menjual barang bekas pada seorang pengepul.
"Kardus lima kilo di kali dua ribu, besi sepuluh kilo di kali tiga, plastik tujuh kilo dikali seribu, Alma empat kilo di kali Lima. Jadi total semua uang enam puluh tujuh ribu." Kata si pengepul. Uang diserahkan pada Aram. Figan dan Lurau meminta uang jajan. Aram memberikan Figan, Lurau dan Areha masing-masing dua ribu rupiah. Tiga adik Aram begitu bersemangat, mereka sampai melompat kegirangan. Aram mampir di sebuah tokoh.
"Beras sekilo berapa Bu." Tanya Aram.
"Yang ini, sepuluh ribu, sebelas ribu dan yang ini dua belas ribu." Jawab si ibu sambil menunjuk.
"Yang harga sepuluh ribu minta dua kilo Bu, garam halus satu, penyedap rasa satu, sabun mandi satu dan mie instan satu." Kata Aram. Semu belanja Aram tiga puluh ribu. Berarti dia masih punya uang tiga puluh satu ribu. Sementara Figan dan Luran mulai membeli snack dengan uang masing-masing. Areha tidak mau jajan, dia selalu menabung. Sudah mencapai seratus ribu tabungannya yang dari plastik. Aram juga menabung entah berapa isinya. Mereka tidak tahu untuk apa, tapi ingat nasihat ibu mereka.
"Sukalah menabung, rajinlah bekerja."
Aram mencari tempat untuk memasak nasi. Tapi di sekitar itu sulit, karena ramai. Maka Aram mencari tempat sepi sekaligus tempat untuk bermalam. Kembali dia menyusuri jalan mendorong gerobak. Sepanjang jalan dia mengamati sekitar. Kalau-kalau ada lahan kosong yang bisa dia singgahi untuk memasak. Banyak tanah kosong dan ditumbuhi alang-alang atau bersemak-semak. Tapi panas, dan terlalu dilihat orang. Sampai akhirnya menemukan sebuah tanah kosong bersemak jarang. Pas juga di sisi jalan ada bangunan kosong bekas orang jualan.
Aram berpikir tempat itu bisa mereka singgahi. Dan di balik semak jarang sekaligus ada pohon-pohon. Tanahnya datar dapat dia letakkan gerobak. Aram dan adik-adiknya melepas lelah, berteduh di dalam bangunan sederhana di sisi jalan itu. Kendaraan ramai lalu lalang. Dari bangunan itu, dia melihat hutan yang dikelilingi tembok batako tinggi dua meteran.
Aram pun masuk ke balik semak-semak. Membersihkan sebuah tempat untuk dia memasak nasi. Mengeluarkan kompor gas dan periuk, galon air, sendok dan piring. Aram mulai memasak, sementara Areha mengajak Figan dan Luran bermain. Kadang mendekati Aram, kadang masuk sedikit ke dalam semak-semak di sekitar itu. Mengabil buah-buah semak dan mereka makan.
"Ohhhhh, pagar itu ada lobang." Kata Luran yang tanpa sengaja melihat saat bermain-main. Mereka juga memetik bunga-bunga liar, rerantingan untuk mainan.
"Adu, Aku terinjak duri." Kata Figan.
"Makanya, hati-hati." Kata Areha. Duri cukup panjang dapat menembus sendal jepit Figan. Sendal jepit itu ditemukan di tempat sampah. Itulah mengapa ukuran tidak sama dan warna sendal beda. Sendal mereka berempat sama seperti itu semua.
"Aku menemukan besi-besi, Kopek." Kata Luran, dia tampak berdiri di sisi dinding tembok. Puluhan besi behal bekas terpotong pendek, ada yang tergulung dan bengkok-bengkok. Sepertinya sisa tukang bekerja membangun tembok dulu.
"Areha, ajak adik makan. Sudah masak nasi." Panggil Aram, Areha mengiakan dan mereka kembali menuju Aram. Nasi dicampur mie instan, satu bungkus di bagi empat. Tampak sudah di bagi di dalam piring.
"Koyong, kami dapat besi bekas." Kata ketiganya bangga. Aram melihat apa yang mereka bawah, mengkin sekitar enam kilo beratnya. Aram tersenyum, sudah ada untuk mereka beli beras lagi setelah beras habis pikirnya. Keempatnya makan dengan lahap, hari ini baru sekali mereka makan. Dan itu untuk makan sampai besok. Tubuh keempat sekarang terlihat kurus dan tidak terawat.
"Di mana menemukan besi behal itu." Tanya Aram sambil makan.
"Di dekat lobang besar. Ada tiang tembok mau roboh." Jawab Luran, suaranya agak kelu karena sambil makan nasi panas.
"Pelan-pelan, Figan." Tampak dia berusaha makan nasi panas dengan cepat karena kelaparan.
"Ha. ha. ha." Semua tertawa melihat tingkah Figan yang lucu dan lugu.
...*****...
MIMPI ARAM.
*
Matahari bersinar terik menjelang sore. Aram duduk bersandar di bawah sebatang pohon. Dia memandangi jalan yang ramai, dimana orang lalu lalang entah kemana. Tubuhnya terasa capek dan gatal. sudah dua hari mereka tidak mandi. Memasuki musim kemarau hujan jarang turun. Dia melihat Figan dan Luran bermain mobilan yang mereka temukan di tempat sampah. Ban mobilan sudah di ganti dengan ban dari sendal jepit. Banyak mainan yang mereka temukan. Areha sendiri main masak-masak seorang diri. Aram pun akhirnya tertidur di bawah pohon itu.
"Bak, Mak, baleklah. Tengok adek kurang makan, tidak sekolah. Kami capek setiap hari berjalan mencari makan dan mencari tempat tidur." Kata Aram mengadu pada orang tuanya.
"Aram, kamu anak laki-laki nak, kalau tidak sekarang, besok atau lusa kau tetap harus banyak menemukan kesusahan, jadi kuatlah. Jaga adik-adikmu. Merekalah tambatan hidupmu dan harta paling berhargamu." Kata si ibu, sambil membelai rambutnya.
"Aram, sudah lama kau tidak memancing. Di lembah hutan ini ada sumber air jernih. Memancinglah, agar dapat lauk makan. Di sana banyak ikan leleh dan ikan gabus." Ayah Aram memberikan pancing pada Aram.
"Bak dengan Umak nak kemana." Tanya Aram, dia berdiri di bawa sebatang pohon sambil memegang pancing.
"Bak dan Umak nak pegi, di sana kami menunggu kalian." Jawab ibu Aram.
"Aiiii, Bak, Umakkkkk. Baleklah, baleklah. Aram mohon." Kata Aram sambil menangis. Tampak ayah ibu Aram terus melanjutkan pergi menjauh sampai tidak terlihat lagi.
"Koyong. Koyong.. Bangun, bangunlah." Panggil Areha, sambil mengguncang tubuh kakaknya yang seperti menangis. Aram terbangun dan melihat ke sekeliling. Matahari sudah hampir gelap, dan dia melihat tiga adiknya sudah duduk di dekatnya. Figan dan Luran memakai peci bekas. Kemudian terdengar sayup-sayup suara azan dari masjid.
"Kenapa koyong menangis." Tanya Areha.
"Aku bermimpi, sudah ayo kita shalat." Ajak Aram. Ketiga adiknya mengiakan, dan mereka bertayamum saja, lalu shalat di atas tanah dan dedaunan kering di bawah pohon itu.
"Koyong, kenapa kita tidak shalat di masjid." Tanya Luran.
"Kita bau, dan pakaian kita jelek. Nanti mengganggu jamaah masjid." Jawab Aram, Aram menjadi imam shalat mereka. Setelah shalat mereka menuju bangunan bekas orang jualan di pinggir jalan.
"Kita tidur di sini malam ini." Kata Aram. Tiga adiknya mengikuti. Berselimut terpal, beralas tikar kardus dan berbaring dilantai yang kotor.
...*****...
Keesokan paginya, Aram memasak nasi lagi. Hari ini mereka akan makan nasi dua kali. Saat memasak dia memperbanyak air. Agar beras satu canting menjadi banyak. Lalu dia berikan garam, juga penyedap rasa. Keempat anak yatim-piatu piatu itu makan dengan lahap.
"Areha, kau dan Figan jaga gerobak kita. Saya mau melihat-lihat di dalam hutan itu bersama Luran." Kata Aram, setelah makan dia pergi membawa parang, sedang Luran menjinjing gancu dan karung. Sesuai petunjuk Luran, mereka masuk ke dalam tembok melalui lobang tembok.
"Ini jebol sendiri, karena kwalitas batakonya jelek." Kata Aram. Keduanya masuk hutan, pohon di dalam tidak begitu besar, tapi cukup rapat. bentuk tanah bidang miring tapi tidak tegak. Keduanya memunguti bekas-bekas kaleng minuman atau kaleng makanan. Tidak begitu banyak semak-semak. Sampai di lembah hutan, Aram menemukan rawa-rawa berair jernih. Karena tidak tercemar limbah rumah tangga seperti sungai-suangi di tengah kota Palembang biasanya.
"Mimpi yang nyatanya." Ujar Aram.
"Hati-hati Luran, nanti ada ular." Aram memberi peringatan adiknya, yang cepat-cepat ingin mandi. Dia mengurungkan niat, dan memperhatikan sekitar.
"Kita buat tepian dahulu." Kata Aram. Dia kemudian menebang beberapa pohon sebesar kaki orang dewasa. Lalu meletakkan di atas permukaan rawa-rawa yang memanjang seperti sungai itu. Kemudian membersihkan semak-semak sekitar dengan parang. Aram kemudian kembali menebang pohon dan menambah banyak kayu terlintang, juga membuat jemuran.
Setelah itu, dia kembali dan membawa gerobak masuk tembok melalui lobang tembok. Bongkahan batako dia bersihkan agar mudah dilalui. Areh, Figan, Luran dan Aram kemudian mandi bersama sambil mencuci di rawa-rawa itu.
"Koyong, kita tinggal sekitar ini saja. Agar bisa mandi dan mencuci. Juga tidak susa untuk BAB." Saran Areha.
"Iya, kita buat rumah-rumah untuk main." Kata Figan.
"Heeeyyy." Ternyata Luran sudah di atas sebatang pohon. Figan mendatangi dan berusaha untuk naik juga tapi tidak bisa.
Aram berpikir ada benarnya saran Areha. Asal mereka hati-hati, terutama api. Hutan siapa ini pikirnya. Dia memutuskan akan membuat kema. Tapi tidak jauh dari lobang tembok. Agar ramai, dan berada di dekat jalan.
...*****...
Seorang nenek-nenek berjalan entah kemana. Dia menyusuri jalan raya di tengah Kota Palembang. Hatinya hancur dan sedih, tapi apa mau dikata. Seperti inilah jalan yang dia inginkan. Pergi dari kehidupan empat orang anak-anaknya dan tidak akan menyusakan mereka lagi. Matahari telah hampir terbenam, dia sekarang menyeberangi Jembatan Ampera. Di tengah-tengah jembatan dia berhenti dan memandangi arus Sungai Musi. Tampak perahu dan kapal-kapal hilir mudik, besar dan kecil. Banyak juga pejalan kaki melintasi Jembatan Ampera lalu lalang.
"Mpek. Mpek." Seorang penjual mpek-mpek lewat.
Si nenek kembali berjalan menuju Masjid Agung Palembang, bernama Masjid Sultan Mahmud Badaruddin I. Tampak masjid berdiri megah dengan arsitektur khas Sumatera Selatan. Terdengar azan yang merdu memanggil kalbu. Dia pun segera ke masjid untuk shalat.
...*****...
Seorang anak muda berdiri di sisi jalan. Dia membuka septitank motor honda beat hitam silvernya. Dia memperkirakan seberapa jauh lagi bensin itu bisa membawa motornya. Dia membatasi sepuluh ribu setiap hari uangnya untuk beli bensin. Dari tasnya tampak menyembul amplop kuning untuk lamaran kerja.
"Aduuuu, perut sudah lapar ini. Sepertinya Aku harus mendorong motor agar cukup untuk pulang, dan ke SPBU besok." Kata hatinya. Merogoh kantong, tampak uangnya tinggal tujuh puluh enam ribu lagi. Si pemuda berbaju merah biru dengan logo AF mulai mendorong sepeda motornya. Setengah jam kemudian ada pengendara motor menawarkan untuk mendorong, si pemuda ingin menolak. Tapi pengendara itu memaksa mau mendorong sepanjang jalan dia lalui.
"Kak, mari saya stepp." Katanya.
"Tak usah, Dik. Lanjutkan perjalananmu." Jawab si pemuda.
"Jangan sungkan, ayo jalan." Pemuda itu mengikuti dan lima belas kilometer lebih dia di dorong pemuda baik itu.
"Ok, Kak saya lanjut ke Banyuasin." Ujarnya. Si pemuda mengucapkan kata berterimakasih banyak.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments