AZAN ASHAR.
*
Sebuah kompleks perumahan di ujung Kota Palembang, berbatasan antara Kota Palembang dan Kabupaten Ogan Ilir. Sebuah gapura dan jalan aspal lebar tiga meter sebagai jalur masuk. Pos jaga, selalu dijaga satpam siang malam. Semua rumah sudah ditempati pemilik.
Sebuah rumah paling ujung dari blok B. Berpagar besi, kanopi taso dan beratap seng aluminium. Ada mobil hitam dengan merek Brio, terparkir di dalam pagar.
"Sretttt." Pagar terbuka, seorang laki-laki berumur dua puluh tujuh tahun keluar. Dia meletakkan sampah di bak sampa di samping pintu pagar. Seorang anak berumur tiga tahun berlari menyusul.
"Ayahhhh." Panggilnya hampir menangis.
"Ayah, memasukkan sampah di bak. Bukan mau main keluar." Jawabnya.
Seorang wanita berumur lima puluhan tahun melepas mukena di ruang tengah rumah. Selesai shalat Ashar. Si laki-laki masuk ke dalam rumah, dia menggendong anak laki-lakinya.
"Sangka, mari main sama nenek saja, ayah mau istirahat baru pulang kerja." Ujar si nenek-nenek.
"Ayo main sama nenek, mobilan baru di mana." Ujar sang Ayah. Tanpa bicara dia menggerakkan tubuhnya tanda mau turun dari gendongan sang Ayah, dan bermain. Sangka pun bermain ditemani neneknya.
"Sudah ya, anak bujang ayah bermain sama nenek, Ayah tidur sebentar." Ujar sang ayah, melihat anaknya mulai bermain. Si anak mengangguk, ayahnya masuk kamar tengah rumah.
...*****...
PERTENGKARAN.
*
"Kanda, apa maksudmu selalu berbalas pesan, telpon trus, VC juga, dengan mantanmu. Apa tidak ada cara lain untuk kerja. Sesering itu apa saling menghubungi." Tanya istrinya yang tampak merajuk dan sudah dari tadi otak-otak smartphone suaminya. Sang suami yang dari tadi berusaha memejamkan mata, jadi terganggu.
"Saya marketing bank itu, dan dia bekerja di bank itu. Bagaimana caranya tidak berkomunikasi. Dia baru dipindahkan ke bagian pemasaran. Mau tidak mau Aku berkomunikasi dengan dia. Ingat, dalam kerja tidak memainkan perasaan, profesional." Jawab suaminya sambil membuka bantal penutup wajahnya. Kemudian dia kembali mau memejamkan mata.
"Kalau tidak memainkan perasaan, mengapa dia bisa menjadi mantan Kanda." Kata sang istri cemberut besar.
"Itu masa lalu. Jangan dibahas." Serganya.
"Nyesek hatiku membaca chet kalian tiap hari." Jawab istrinya.
"Kau ini, cari masalah terus. Aku capek, banyak masalah. Sudah empat kredit yang Aku tanggani macet. Tiap hari kena marah supervaiser, Hhaaaahhh." Katanya mulai emosi.
"Kanda yang cari masalah, kalau jaga perasaanku pasti tidak akan ada masalah." Jawab istrinya sambil sedikit meronta. Suaminya tidak tahan lagi, lalu bangkit pergi keluar sambil membanting pintu.
"Durrrrrr." Bunyi pintu kamar. Nenek dan cucunya Sangka jadi terkejut. Nenek memandang penuh tanda tanya. Diam-diam hatinya jadi tersinggung. Mengapa anaknya bertengkar, apa karena dia menumpang di rumahnya, pikir nenek itu.
...*****...
KEESOKAN HARINYA.
*
Sudah tiga kali mereka bertengkar dalam seminggu ini. Hati si nenek jadi terenyu dan merasa kalau dirinya adalah sumber pertengkaran anak dan menantunya. Pandangan matanya menjadi sayu, sungguh sedih hidup menumpang anak, kata hatinya. Apa yang mereka ributkan, apa karena ada Aku sehingga istrinya selalu mencari-cari masalah, kata hati si nenek. Begitulah lamunan si nenek itu, lalu dia menyelesaikan menyapu halaman sambil mengawasi cucunya bermain mobil-mobilan.
Seperti biasa, setiap pagi ibu-ibu rumah tangga selalu banyak pekerjaan, berberes.
"Biarlah Bu, saya saja yang mengepel. Ibu main saja sama Sangka." Kata menantunya. Dia tidak enak ibu mertuanya bekerja begitu. Nanti kalau dilihat tetangga pasti dia dibilang menantu kurang ajar.
"Baiklah kalau begitu." Si nenek tidak jadi mengepel dan dia pergi bermain bersama cucunya di ruang tengah. Cucunya mengajak bermain di luar sambil beli jajanan. Setelah pulang, Sangka mengajak neneknya bermain hantu-hantu. Sementara lantai baru saja di pel oleh menantunya.
"Nah, ketahuan cucu nenek." Saat dia membuka tirai kamar. Sangka berlari ke dapur sambil tertawa, bermaksud bersembunyi lagi. Tiba-tiba:
"Surrrrr. Buukkk." Sangka jatuh tergelincir karena menginjak lantai granit basah baru di pel. Kemudian berguling dan membentur kusen pintu depan. Snack di tangannya berhamburan di tengah ruangan.
"Anakku." Teriak sang ibu. Dia segera menolong anaknya. Si nenek keluar dan mendekati. Saat melihat kepala si anak tampak ada luka. Anak menangis menjerit-jerit beberapa saat.
"Ibu, kan Aku ngepel kenapa main begitu." Kata menantu menyalahkan mertua.
"Iya, maafkan ibu. Maafkan nenek, ya." Ujar ibu mertuanya pada menantu dan cucunya. Namun di dalam hati mertua begitu sedih. Padahal Sangka sendiri yang mau bermain. Kalau tidak dituruti pasti dia menangis. Nenek merasa bersalah sekali. Apalagi saat melihat raut wajah menantunya sangat masam. Menantunya telah menganggap dia lalai dan tidak berpikir sebagaimana mestinya orang sudah tua.
...*****...
MALAMNYA.
*
Seperti biasa suaminya pulang dan istrinya menceritakan semua. Tapi hanya menurut versi sang istri. Sedikit kesal hati suaminya pada sang ibu. Tapi tidak dia masalakan dan tidak menyalakan sang ibu. Hanya saja saat berkata-kata bersama istrinya didengar oleh ibunya. Yang kebetulan lewat di depan kamar saat mau ke WC.
"Kenapa juga ibu begitu." Ujar si suami.
"Tapi harus Kanda beri tahu, agar tidak diulangi. Tapi jangan sampai ibu tersinggung." Ujar si istri. Mereka memperhatikan anak mereka yang tidur nyenyak dan kepalanya yang di perban.
"Apa kata Bu Bidan." Tanya si suami.
"Tak apa, hanya luka kulit." Jawab istrinya. Sang suami melihat jam dari handphone, jam menunjukkan pukul 12:21 malam. Keduanya tidak mengetahui kalau sang ibu mendengar semua percakapan mereka.
...*****...
Sebuah mobil pribadi merek rush warna merah keluaran terbaru menyusuri jalanan di tengah Kota Palembang. Pak Katara, istrinya, ayah, ibu, bayi kembar mereka, Pintan dan dua laki-laki muda di dalam mobil. Tiba di dekat lampu merah Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II.
"Belok kanan, Kak." Anak muda di belakang memberi tahu. Katara langsung ke kanan, karena jalur langsung. Jalan lurus dan ramai, dari atas LRT terdengar bunyi kereta cepat lewat. Beberapa saat kemudian mereka masuk lorong kecil tapi padat kendaraan. Sekitar setengah jam baru mereka tiba di tempat tujuan. Mereka sudah beberapa kali bertanya pada warga.
Berhentilah di depan jalan setapak. Sesuai petunjuk dari warga yang mereka tanyai. Mereka masuk berjalan kaki beriringan. Tampak ibu kontrakan mengintip mereka. Dari jauh, mereka melihat ada kontrakan berbentuk bedengan memanjang, berdinding papan beratap seng berkarat.
"Permisi Bu, kontrakan Pak Marang di mana ya." Tanya Katara. Istri Pak Kabas yang sedang menyapu lantai berhenti dan berdiri di teras.
"Sebelah ini dek, Pak Marang yang ditikam penjahat itu kan." Jawabnya, sambil menunjuk. Seorang bapak-bapak keluar dari kontrak di samping kontrakan Pak Kabas. Dia tampak tergesa-gesa, sehingga tidak bersapa atau menegur siapapun.
"Benar, Bu." Jawab Pak Katara lagi.
"Ada apa." Tanya istri Pak Kabas.
"Kami mau silaturahmi saja. Istri dan anaknya ada." Tanya Pak Katara lagi. Istri Pak Kabas kemudian memperhatikan keluarga itu.
"Mari Dek, Ayuk. Bawa dedeknya ke teras, kasihan panas. Semuanya silahkan duduk." Kata istri Pak Kabas. Mereka duduk di teras, anak kecil Pak Kabas keluar dan duduk di pangkuan ibunya. Setelah basah basih, dan berkenalan.
Barulah istri Pak Kabas menceritakan semua tentang Pak Marang. Dimulai dari istrinya meninggal, kemudian Pak Marang juga meninggal, sampai akhirnya anak-anaknya menghilang entah kemana.
Cerita itu membuat keluarga Pak Katara menjadi sedih. Bagaimana mereka mencari anak Pak Marang. Mereka sudah pergi dan tinggal di suatu tempat. Bagaimana kalau mereka terlantar. Rasa bersalah menghantui Pak Katara, Istri dan keluarganya.
Istri Pak Kabas berkata sedikit berbisik.
"Kemungkinan anak Pak Marang di usir oleh pemilik kontrakan. Karena hari waktu mereka pergi. Hari terakhir sewa kontrakan." Jelas istri Pak Kabas. Dia tahu persis sifat pemilik kontrakan. Sehari saja lewat, dia tidak segan-segan mengusir.
"Astagfirullah." Itulah yang terucap dari mulut mereka semua.
"Dulu, ada keluarga yang minta ditunda satu hari saja, tidak diizinkan, langsung di usir." Cerita Istri Pak Kabas.
"Apa mereka punya keluarga di Palembang, Bibi." Tanya Pintan.
"Tidak ada, setahu kami." Jawab Istri Pak Kabas.
Istri Pak Kabas menceritakan hari itu. Dia banyak memasak untuk membagi Aram dan adik-adiknya. Tega sekali penjahat itu, membuat yatim piatu anak-anaknya. Padahal Pak Marang orang baik. Yang menjadi aneh, mengapa orang membunuhnya. Apa alasan mereka begitu tega. Pak Marang hanyalah pemulung yang miskin. Apa yang mereka inginkan dari orang seperti itu. Itulah kata-kata istri Pak Kabas yang membuat hati Pak Katara dan istrinya ikut bersedih.
"Saya khawatir mereka akan menjadi gelandangan dan terlantar." Kata istri Pak Kabas, diakhir pembicaraan mereka.
...*****...
"Kita akan cari mereka, Dinda." Ujar Pak Katara saat di jalanan pulang.
"Sayang tidak ada fotonya, kalau ada kita bisa meminta bantuan polisi." Kata ayah Pak Katara.
"Aram, Areha, Luran dan Figan." Reze membaca catatan nama-nama anak Pak Marang. Mereka ingin membalas budi baik Pak Marang.
...*****...
SATU BULAN BERLALU.
*
"Grundungggg. Duuummm." Guntur dan petir bergemuruh di langit malam. Sepertinya hujan akan turun dengan lebatnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat. Aram sudah lelah mendorong gerobak. Mereka tidak tahu akan kemana.
"Yong, Aku mau tidur." Kata Figan, dia hampir menangis.
"Kita cari tempat dulu, sabar ya." Jawab Areha. Luran tampak membantu mendorong gerobak, sementara Areha menjinjing beberapa kardus. Jalan Kenten Lama yang kecil mulai sepi. Dulu jalan di sini ramai. Tapi sejak jalan Kenten Baru selesai, membuat jalan ini sepi. Walaupun begitu masih ramai juga di siang hari.
Melewati sebuah tikungan berkelok tajam, Aram melihat bangunan ruko memanjang delapan pintu yang tidak di sewa atau tidak ada penghuninya di sisi jalan. Sampa berserakan dan rumput menjalar hampir menutupi halaman. Berpenerangan lampu jalan mereka menuju ruko itu.
Aram mencari kaki lima yang di atap dengan kanopi. Agar kalau hujan angin mereka tidak basah. Gerobak dia letakkan, dan mengamati sekitar. Aram membersihkan sekitar teras dengan sapu yang dia bawa di dalam gerobak. Mencabuti rumput yang mulai tumbuh di lantai semen berlobang. Pertanda kalau tempat itu sudah cukup lama tidak di tempati. Kemudian menggelar tikar yang sering mereka duduki dan alas tidur. Areha menyalahkan lilin tapi tidak dapat menyalah karena angin berhembus cukup kencang.
Sementara cuaca terus buruk dengan kilat dan guntur. Sebelum tidur Aram membagi beberapa potong gorengan. Aram menuangkan air minum dari galon ke cerek plastik yang sudah kehitaman. Itulah makan malam empat kakak beradik yatim-piatu malam itu. Mereka dapat melihat samar-samar dari pantulan lampu jalan.
"Koyong, kapan kita makan nasi lagi. Sudah dua hari kita makan gorengan dan ubi jalar." Tanya Figan yang belum mengerti keadaan hidup mereka.
"Besok kita jual barang bekas kita." Baru beli beras dua atau tiga kilo." Jawab Aram.
"Aku boleh makan banyak-banyak, ya." Ujar Figan.
"Tapi dihabiskan ya." Kata Areha.
"Iya. Pasti habis." jawab Figan merasa hebat.
"Luran, kamu kenapa." Tanya Areha melihat diam saja.
"Aku ngantuk, Kopek." Jawabnya.
"Habiskan gorenganmu, sudah itu tidur." Kata Aram. Setelah itu, Luran dan Figan berbaring. Banyak sekali nyamuk yang dari tadi mengerubuti mereka. Aram mengambil terpal selebar tiga kali dua meter. Terpal itu peninggalan ibu mereka. Biasanya terpal di gunakan untuk menjemur sesuatu, misalnya ikan asin. Terpal itulah digunakan untuk selimut mereka agar tidak di gigit nyamuk.
Sudah tiga bulan lebih Aram dan adik-adiknya terlantar. Mereka setiap hari mencari barang bekas dan menjual ke pengepul. Kemudian membeli beras atau keperluan lainnya. Kalau hujan mereka mandi dan mencuci. Ember dan baskom yang mereka bawa menjadi wadah air hujan. Mereka tidur di emperan toko, emperan ruko tak dihuni, kadang di teras masjid, atau di kaki lima rumah orang yang tidak berpenghuni.
Mengingat ibu mereka yang sering memetik sayuran, liar. Seperti sayur genjer dan kangkung di rawa-rawa. Aram juga melakukannya. Kadang mereka memetik daun singkong yang tumbuh di sekitar jalan mereka lalui. Kadang mereka mendapat singkong yang berisi. Aram gali dan mereka makan bersama sambil bercanda ria. Penderitaan mereka belum dirasakan dengan getir. Karena mereka masih anak-anak yang masih mementingkan bermain.
Terdengar dengkuran tiga adik Aram dari balik terpal selimut malam yang hangat di udara malam dingin. Dengkuran itu bersahutan dengan suara jangkrik. Tak lama kemudian angin berhembus lebih kencang. Kemudian kilat dan guntur datang. Dari tadi hari akan hujan, sekarang turun dengan derasnya.
"Akhirnya hujan juga. Alhamdulillah." Kata Aram. Dia bangkit dan mengambil tiga ember plastik kecil, dua ember besar, dua baskom cukup besar. Kemudian dia meletakkan di ujung teratak atap kanopi. Besok mereka bisa mandi dan mencuci baju pikir Aram. Setelah itu dia juga berbaring di sisi Figan dan tidur. Figan sering menangis kalau tidak di dekat Aram. Menangis teringat ayah dan ibu mereka.
"Bakkkk. Maaakkkk. Kapan pulang, lalu dia memeluk kedua orang tuanya. Lalu bermain-main di suatu tempat. Mulut Figan memanggil-manggil kedua orang tuanya. Ternyata ayah dan ibu mereka datang ke dalam mimpi Figan dan berjanji akan pulang asal dia tidak nakal. Mungkin mimpi-mimpi itulah yang membuat Figan tidak terlalu rindu Ayah dan Ibunya.
...*****...
Seorang ibu-ibu berumur lima puluhan tahun turun dari angkot dan berhenti di sebuah persimpangan jalan menuju komplek perumahan. Hijab sederhana, baju kurung panjang sampai ke mata kaki. Beberapa ibu-ibu dan anak berseragam sekolah juga turun dari angkot. Mereka sudah membayar waktu di dalam perjalanan. Di gapura jalan itu banyak tukang ojek mangkal. Jalan itu cukup ramai karena sudah jadi jalan kecamatan.
"Ojek Bu." Tawar beberapa tukang ojek. Anak sekolah dan ibu-ibu lain menerima tawaran tukang ojek. Tapi berbeda dengan ibu yang satu itu.
"Tidak, terimakasih." Jawab si ibu. Dia kemudian melangkah mengikuti jalan itu. Dia menjinjing tas pakaian dan tas kecil yang berisi alat shalat dan Al-Qur'an. Banyak sekali yang berlalu lalang. Si ibu tua itu melihat empat anak-anak berjalan dari arah berlawanan. Kakak tertua mendorong gerobak yang penuh barang. Ada juga bagian gerobak di muat dengan barang bekas. Mereka memunguti sampa botol plastik di sepanjang jalan. Si nenek jadi prihatin dan kasihan. Dimana organ tua mereka kata hatinya.
Setengah jam perjalanan si ibu-ibu tiba di sebuah rumah.
...*****...
KERUMAH BARDA.
*
Seorang ibu-ibu muda sedang menidurkan anaknya. Tapi si anak sangat rewel sekali. Selalu menangis dan susa tidur. Membuat ibu muda itu kesal bukan kepalang. Sementara dia juga mengantuk berat. Semalam dia bergadang karena si kecil rewel. Mulut menguap dan matanya berair.
"Tidurlah, jangan nakal. Bikin kesal saja kamu ini." Kata si ibu-ibu muda.
"Tok. Tok. Tok." Pintu di ketuk beberapa kali.
"Siapa juga di luar. Bikin kesal saja." Kemudian si ibu-ibu bangkit menuju pintu. Sementara anak yang dia gendong tiba-tiba menangis keras. Wajah si ibu begitu ketus dan sinis karena menahan amarahnya. Dia mau marah, tapi tidak bisa.
"Oh, Ibu." Katanya singkat, kemudian membuka pintu lebar-lebar dan kembali berbalik masuk kamar menenangkan bayi perempuannya. Wajahnya sangat masam dan bicaranya ketus. Namun lain tanggapan si ibu yang baru datang. Melihat sikap si menantu dia menjadi tidak enak dan sedih. Dia tidak diharapkan datang kerumah ini. Wajahnya masam dan tidak tersenyum sedikitpun, pikir si nenek.
"Lasa, kenapa anakmu.?" Tanya si ibu mertua basa-basi.
"Mau tidur." Jawab suara dari dalam kamar singkat. Si ibu mertua diam. Sekarang dia hanya duduk di teras setelah meletakkan kedua tasnya di sudut ruangan. Perasaannya seperti datang ke neraka. Ingin dia segera pergi dari sana. Teras lapar perut si ibu karena terdengar suara perutnya. Tapi dia tidak nafsu makan. Dari teras rumah dia memperhatikan jalanan. Sementara di kamar, Lasa sang menantu akhirnya tidur pulas bersama anaknya.
...*****...
Malam harinya, mereka berkumpul di ruang tengah. Ada anak berumur sembilan tahun sedang belajar. Lasa bermain dengan anak bayinya. Televisi menayangkan sebuah sinetron.
"Umak, pukul berapa tiba di rumah." Tanya seorang laki-laki berumur tiga puluhan tahun.
"Sekitar pukul tiga sore." Jawab si Ibu mertua Lasa.
"Pergi sendiri atau di antar Zeta." Tanya anaknya.
"Ibu berangkat agak siang. Zeta berangkat pagi-pagi. Aku bilang pada istri Zeta kalau mau ke rumahmu. Jadi naik angkot dan ojek." Jelas Ibunya. Sesungguhnya dia hanya naik angkot, dua kali dia jalan kaki agar menghemat uang.
"Oh, iya Bu." Jawab Barda.
"Sehat Dik Yayu dan anaknya, Bu." Tanya istri Barda.
"Alhamdulillah, sehat." Jawab ibu mertua.
"Ayah coba ajarin kakak, tak bisa, tambahan sulit." Kata anak sulung Barda. Barda kemudian mendekati anaknya dan mengajarkan pekerjaan rumah. Ibunya diam saja dan menonton televisi. Menantu pun masuk kamar membawa bayinya. Si nenek sendiri dalam lamunan, entah apa yang dia pikirkan.
...*****...
PERTENGKARAN BARDA.
*
Tiga hari berlalu, nenek di rumah anaknya bernama Barda. Suasana biasa saja dan tidak ada masalah. Tapi, pada malam keempat terjadi pertengkaran antara Barda dan Istrinya.
Sekitar pukul sepuluh malam. Barda dan istrinya cekcok di dalam kamar. Terdengar oleh ibunya dari luar. Entah apa yang mereka ributkan. Yang jelas ada teriak dan suara keras.
"Sudah, ada ibu tidak enak." Kata Barda.
"Kau memikirkan perasaan ibu, tidak memikirkan perasaanku." Jawab Lasa.
"Memikirkan apa, kau itu yang ngamurau. Curiga saja yang kau pikirkan." Kata Barda, ngamurau nama penyakit jiwa gila cemburu.
"Iya, makanya kau sebagai laki-laki harus mengerti." Kata Lasa keras.
"Mulut tidak pernah sekolah apa. Pikiran seperti itu. Apa tidak mengerti adab dan etika. Tidak diajarkan mungkin bagaimana berprilaku." Kata Barda.
"Ahhhhh." Lasa tiba-tiba menangis keras.
Ibu Barda, menjadi tidak enak saat si menantu membandingkan sikap Barda terhadap dirinya. Dia merasa bersalah kalau kehadirannya penyebab ributnya anak dan menantunya. Memang tidak banyak anak dan menantu yang dapat menerima mertua. Namun terkadang itu hanyalah permainan perasaan saja. Orang tua terlalu sensitif, dan anak dan menantu yang belum dewasa.
Setelah malam itu, beberapa hari kemudian entah apa yang diributkan. Kembali terdengar Barda dan istrinya bertengkar di kamar. Barda pergi kerja tanpa sarapan. Begitu juga anak mereka sekolah tidak sarapan. Sementara Lasa mengurung diri di kamar. Beberapa hari kemudian terjadi lagi pertengkaran dan membuat rumah bagai neraka.
Ternyata permasalahannya karena kesibukan, Barda sudah jarang memberi kabar. Pulang, dia cepat tidur karena capek. Lalu pergi kerja buru-buru pagi-pagi sekali. Menurut istrinya, dia sudah berubah dan yakin sekali kalau Barda punya selingkuhan atau istri simpanan. Tuduhan itulah yang membuat Barda kesal setengah mati. Dia bekerja keras demi keluarga, sementara istri tidak mau mengerti. Mereka pun menjadi keras kepala semua.
"Begitulah hidup menumpang anak." Kata hati ibu Barda. Suatu hari, waktu subuh ibu Barda bangun dan shalat subuh. Terdengar lagi bentakan Barda berulang-ulang.
"Aku sibuk, cari makan, bukan maen perempuan. Mengerti, atau kau binatang tidak mengerti. Tiap hari cari masalah terus." Teriak Barda dengan kata yang sangat kasar.
Ibu Barda memasak telur goreng dan nasi goreng untuk sarapan pagi. Karena melihat Menantunya belum bangun, sedangkan hari sudah siang.
"Keasinan Nek." Kata anaknya saat mencicipi telur, dia tidak suka asin. Istri Barda yang baru bangun dengan wajah masam menjadi tambah kesal. Dia kemudian mau menggoreng telur lagi. Tapi sayang telur sudah dimasak semua. Melihat telur tinggal tiga butir, ibu Barda masak telur satu adonan. Mau ke warung belum ada yang buka.
Nenek tidak tahu kesukaan cucunya bagaimana. Karena biasanya semua anak suka kalau goreng telur diberi garam sedikit. Ternyata anak Barda suka telur goreng tawar.
Pagi itu, suasana sarapan jadi tidak enak. Entah karena pertengkaran mereka atau karena sang ibu. Yang jelas, si nenek jadi tidak enak.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments