Rumah Karung

Aram memikul beberapa batang kayu sebesar lengan orang dewasa. Areha dan Luran membersihkan tanah yang akan mereka bangun tenda. Mencabuti rumput dan membuang sampah plastik. Figan begitu gembira, dia membantu sambil bermain.

"Lebarkan lagi dari ini. Nanti di sini kita buat untuk main, untuk masak dan meletakkan apa saja." Ujar Aram pada ketiga adiknya setelah meletakkan kayu. Terasa sakit bahunya, dan ada bagian kulit bahu yang mengelupas.

"Iya, nanti kami lebarkan membersihkan lahannya." Kata Adik-adiknya dengan semangat.

Bagi mereka hal demikian sama dengan bermain. Aram kemudian kembali mencari kayu untuk rangka tenda di hutan itu. Sampai dia menemukan rumpun bambu. Banyak hal yang akan dia buat dengan bambu.

Setelah rangka untuk tenda cukup. Aram mulai membangun tenda. Berbekal pengalaman menjadi pramuka dulu, dia dapat mendirikan tenda. Aram memilih membuat mendempat tembok. Sisi tembok dijadikan dinding satu sisi. Lalu mendirikan dua tiang bercabang. Di atas cabang dia letakkan kayu melintang. Kemudian ujung kayu untuk rangka atap dia letakkan di atas tembok dan kayu melintang. Maka terbentuklah rangka tenda.

Terpal yang sering mereka gunakan untuk selimut tidur, sekarang dijadikan atap. Tinggi dinding hanya satu setengah meter karena bidang miring. Untuk ikat dia menggunakan tali plastik yang dia temukan di tempat sampah. Tali disambung-sambung agar panjang.

Aram menjahit beberapa karung plastik menjadi beberapa bagian lebar. Lalu dia pasang pada tiang tenda. Karung juga dia kumpulkan dari tempat sampah. Agar tidak bau dia cuci di rawa-rawa. Pintu dia buat dari sekeping seng bekas berkarat. Cukup di sandarkan dan diikat pada tiang muara pintu. Untuk alas lantai dia bentangkan karpet plastik bekas.

Menemukan potongan papan yang bagus, dia bawa kembali ke tenda dan dimanfaatkan. Seiring waktu Aram belajar bertahan hidup dan menemukan pengalaman. Sudah seminggu mereka tinggal di tenda itu.

...*****...

Pergi Memulung.

*

"Areha, jaga adik. Jangan main di rawa-rawa dan di jalan raya. Koyong nak mencari barang bekas." Kata Aram.

"Koyong jangan pulang terlalu sore. Agar kita mandi bersama di rawa-rawa." Kata Areha, dia ingin mencuci perabotan dan pakaian.

"Iya, sudah zuhur pulang." Jawab Aram.

"Besok kami ikut saja Koyong." Kata Areha.

"Jangan, tak ada yang menjaga barang kita. Kasihan juga Figan, dia kecapean nanti." Kata Aram.

Aram kemudian mendorong gerobak keluar tembok dan berjalan menuju jalan raya. Dia sengaja tidak membuat jalan yang jelas. Agar keberadaan mereka tidak diketahui orang. Figan dan Luran mengikuti dari belakang dan mereka berdiri di sisi jalan memperhatikan Aram yang terus melangkah menjauh meninggalkan mereka.

"Kalau dapat seng bekas, Aku mau buat pintu tembok roboh itu." Pikir Aram. Aram masuk kompleks-kompleks penduduk. Dia mengorek bak-bak sampah di depan rumah warga, atau di pembuangan sampa yang banyak berserakan di pinggiran jalan.

Ada beberapa warga membangun rumah di komplek itu. Warga yang baik itu memberikan barang bekas pada aram. Bekas kotak kardus keramik, bekas pintu WC, beberapa potongan papan, potongan besi dan sisa taso aluminium.

"Terimakasih Pak, Ibu." Kata Aram saat dia pergi. Dua suami istri itu menjawab sama-sama.

...*****...

Waktu menunjukkan pukul dua siang. Jalanan di tengah Kota Palembang begitu padat dan macet dimana-mana. Jam-jam itu adalah jam sibuk jalanan. Dimana orang-orang mencari makan dan istirahat kerja, ditambah anak-anak pulang sekolah, pulang kerja, pulang belanja sehingga jalan macet parah.

Sebuah ruas jalan yang juga selalu ramai di pinggiran Kota Palembang yaitu jalan Soekarno-Hatta. Di sepanjang jalan itu sebelah kiri jalan banyak ditanami pohon angsana. Ada juga SPBU dan ruko-ruko. Seorang anak muda datang menuju tempat pengisian BBM. Ada sepuluh orang antrian didepannya. Dengan sabar dia mengantri di bawah teriknya matahari, akhirnya tiba juga gilirannya.

"Berapa Kak." Tanya petugas pengisian BBM.

"Sepuluh ribu saja, Dik." Jawabnya, kemudian petugas menunjukkan dari angka nol. Setelah mengisi BBM, pemuda itu mereka kepanasan karena antri. Belum lagi dia juga dari pagi sudah keliling kota Palembang.

Dia merasa gerah sekali, dan memutuskan untuk istirahat berteduh di bawah rimbunan pohon angsana di sisi jalan. Sambil melihat jalanan yang ramai. Angin pun berhembus menyejukkan. Mobil tampak beriringan padat, lambat sekali.

"Tiiiinnnn." Suara klakson.

"Poommmm." Klakson mobil puso yang besar.

Dua pedagang minuman dan makanan ringan tidak jauh dari situ. Beberapa tukang ojek juga duduk-duduk, menunggu penumpang. Dari jauh seorang ibu-ibu berumur tiga pulu limaan tahun berjalan menyusuri jalan setapak. Dia menjinjing dua ekor ayam belum terlalu besar. Menawarkan pada setiap orang yang dia temui.

"Bu, mau beli ayam tidak." Tawarnya pada pedagang.

"Adu, maaf Bu. Lain kali saja." Ibu itu menolak dengan halus. Begitu juga dengan pedagang satunya. Tukang ojek juga menolak, bahkan ada yang hanya mengangkat tangan saja. Hati ibu itu begitu sedih, dan malu. Sudah setengah hari dia mau menjual ayam itu.

"Dek, mau beli ayam tidak. Bagus untuk peliharaan." Katanya. Si pemuda berbaju merah biru yang sedang membaca buku memperhatikan ayam. Ayam belum begitu besar, untuk di potong saja masih terlalu kecil.

"Belilah dek, lima belas ribu saja satunya." Tawarnya lagi. Si pemuda yang tidak mengerti apa-apa tentang dunia perayaman menjadi aneh. Tapi dia mulai menangkap dari raut wajah si ibu, kalau dia benar-benar membutuhkan. Ayam yang masih kecil di jual tentu sangat mendesak. Beberapa si pemuda termenung berpikir sepertinya.

"Iya sudah, saya beli Yuk." Jawab si pemuda, kemudian merogoh kantong celana. Ada uang tujuh puluh ribu, satu pecahan sepuluh ribu, dua pecahan lima ribu dan sekeping lima puluh ribu. Harga dua ayam tiga puluh ribu rupiah.

"Ayuk tak ada kembalian. Tolong uang pas saja Dik." Jelas si ibu. Kemudian dia menggoyang-goyang tubuh agar anaknya tidur kembali. Yang tampak sangat rewel sekali. Sepertinya sedang demam panas.

"Coba Ayuk tukar di sana." Kata si pemuda. Saat dia menukarkan ternyata semua juga tidak ada, uang kecil pedagang disana kurang. Tukang ojek uangnya juga pecahan lima puluh ribuan, dan seratus ribu.

"Bagaimana Dik." Ujar si ibu-ibu, dari wajah tampak khawatir sekali kalau si pemuda tidak jadi membeli.

"Sudah, kembalian untuk Ayuk saja, tidak apa. Saya ikhlas." Kata si pemuda. Si ibu hampir menjerit, dan dia tiba-tiba menangis. Air matanya tidak terbendung jatuh berderai.

"Terimakasih, terimakasih Dik. Ayuk mau keruma Bidan secepatnya. Mau mengobati anak Ayuk, yang sakit demam panas. Suami Ayuk belum pulang dari tempat kerja di perkebunan karena belum gajian." Katanya sambil menangis. Pemuda itu diam saja, kemudian ibu pamit dan menuju rumah bidan tak jauh dari kontrakannya.

"Kreottt. kreooott." Suara perutnya yang lapar. "Perut, sabar kita puasa hari ini." Kata hati si pemuda itu, lalu dia kembali membaca buku.

...*****...

AYAM UNTUK ARAM.

*

Aram berhenti di sisi jalan raya yang ramai itu. Dia berteduh dari panasnya matahari siang. Beberapa tukang ojek juga tampak duduk santai di atas motor mereka menunggu orderan penumpang. Sambil mengotak-atik smartphone mereka.

Aram melirik ibu-ibu berjualan makanan ringan, es, dan gorengan. Di sebelah itu ada pedagang rokok dan minuman dingin. Aram kembali mendorong gerobaknya sepuluh meter menjauh dari orang-orang dan pedagang makanan. Air liurnya menetes kalau melihat makanan. Kemudian Aram duduk di trotoar jalan. Sudah cukup banyak botol plastik, kardus, besi tua, dan kaleng aluminium dia kumpulkan hari itu.

"Dik, perasaan kita perna bertemu." Sebuah suara memanggil dari samping belakangnya." Seorang pemuda berbaju merah biru duduk bersandar di batang pohon. Di tangannya ada beberapa buku bacaan.

"Oh, iya. Kakak AF itukan." Jawab Aram tersenyum.

"Keoookkkkk. Keeookkkk." Suara dua ekor ayam berbunyi. Anak muda itu kelabakan menenangkan dua ayam cukup besar itu. "Husss. husss." Ayam itu diam, saat dia lepaskan tali melilit kaki kedua ayam itu.

"Kakak jual ayam, ya." Tanya Aram.

"Tidak, tadi baru beli dari seorang ibu-ibu." Jawab si pemuda.

"Bagus sekali warna yang jantan, pasti kalau besar akan jadi ayam jago yang indah. Bulunya merah dan ekornya panjang." Kata Aram, kemudian dia bangkit dan mendekati ayam. Lalu mengelus-elus bulu ayam itu.

"Kau suka ayam." Kata si pemuda sambil memperhatikan Aram mengelus-elus buku ayam.

"Suka, dulu Aku punya ayam jantan. Tapi di jual ayah untuk nambah uang bayaran kontrakan." Kata Aram.

"Kalau kau suka, ambillah ayam ini. Kau peliharaan dan jadikan ternak ayam kampung, kau juga bisa kaya raya nantinya dari ayam ini." Kata si pemuda memotivasi.

"Benar Kak." Kata Aram setengah tak percaya.

"Benar. Ambillah, Aku serius." Ujar si pemuda meyakinkan. Tanpa berpikir lama Aram mengambil kedua ayam itu.

"Kamu tidak sekolah apa." Tanya pemuda itu.

"Tidak Kak, Aku putus sekolah, sejak ayah meninggal." Jawab Aram sedih.

"Kamu jangan putus asa, sekolah itu penting untuk kecerdasan emosional dan pikiran kita. Kalau kau ingin menjadi seseorang yang hebat, kamu harus melanjutkan sekolah. Masuklah sekolah paket B setara SMP. Kakak dulu juga putus sekolah, tapi kakak melanjutkan di usia delapan belas tahun. Masuk sekolah Kejar Paket B dan C. Tapi ada yang paling penting, banyak-banyaklah belajar dan membaca buku atau apapun yang dapat di baca. Agar kau mandiri berpikir, dan mampu bergerak sendiri. Kalau tidak suka membaca pemikiran kamu tidak mandiri dan tidak bisa berpikir logis." Nasihat si pemuda.

"Iya Kak. Terimakasih sarannya, saya akan berusaha sesuai nasihat kakak." Jawab Aram.

"Nama kamu siapa." Tanya si pemuda, dia bangkit dan memasukkan buku ke dalam tasnya. Sebelum pergi dia memberikan uang sepuluh ribu, untuk Aram membeli minuman. Aram mau menolak, tapi dia ingat beras sudah habis. Dia tersenyum dan menerima uang itu.

"Aram, nama saya kak." Ujarnya.

"Oh, oke Aram. Saya mau pergi, motor saya tidak menyala. Tak tahu mengapa." Ujar si pemuda. Aram mengucapkan terimakasih banyak atas semuanya. Aram membaca tulisan di baju merah biru di bagian punggung pemuda itu "Apero Fublic Pers" kemudian si pemuda memakai switer dan sarung tangan. Lalu dia menuntun sepeda motor honda beat-nya.

Tak berapa lama kemudian, setelah merasa tidak begitu capek lagi Aram pun pergi. Kembali ke rumah karungnya di hutan tepi kota.

"Pasti Luran dan Figan gembira sekali memelihara ayam ini. Seandainya bisa, suatu hari nanti Aku menjadi pengusaha ternak ayam kampung yang sukses, dapat impor daging ayam ke luar negeri. Alangkah hebatnya Aku." Pikir Aram. Alhamdulillah, banyak rezeki hari ini ujar Aram. Dia terus melangkah dengan gerobaknya di bahu jalan. Aram tidak memperdulikan hiruk-pikuk kendaraan berlalu.

...*****...

Sementara itu, pemuda yang menuntun motor terus berjalan. Dia juga sedang berpikir bagaimana usaha dan kehidupannya kedepannya nanti.

"Haduu, program hemat ku seperti tak berjalan dengan baik. Ya Allah, sudah menuntun sepeda motor agar hemat bensin dan hemat uang. Malah semakin banyak uang keluar. Semoga uang kiriman Bapak cukup untuk hidup sebulan ini. Baiklah Aku puasa Senin-Kamis sepertinya untuk menghemat lagi. Ya Allah, semoga perusahaan yang Aku perjuangkan ini menjadi perusahaan besar. Sehingga aku dapat membantu pemerintah menciptakan lapangan kerja." Kata hati si pemuda. Tiba-tiba:

"Bang Jon, motor kenapa." Dua anak muda keren berhenti di sisinya, memakai motor Kawasaki ninja hijau.

"Oh, kalian ini. Dani, Alpin dari mana." Tanya Bang Jon.

"Dari tempat Zul, bang. Di kertapati." Jawab yang di panggil Alpin.

"Kenapa juga maen tempat Zul." Tanya Bang Jon.

"Dia merayakan ulang tahun." Kata Dani. Bang Jon tertawa terbahak-bahak.

"Ada-ada saja anak itu." Katanya.

"Mau kemana, bang." Tanya Alpin.

"Biasa, diujung kuliah, lamaran." Jawab bang Jon.

"Alhamdulillah, akhirnya diam-diam lamaran juga, cantik calon Abang." Ujar Dani dan Alpin mengucapkan selamat.

"Apanya yang cantik, apanya selamat, lamaran kerja di tolak terus." Jawab Bang Jon kesal. Kemudian mereka bertiga tertawa.

"Kita menertawakan sarjana negeri kita, Bang." Ujar Dani.

"Mari kita step, bang." Ujar Alvin. Menawarkan untuk mendorong sepeda motor bang Jon kemana-mana. Alpin menyetir dan Dani mendorong dengan kakinya yang kuat. Maklum tubuh Dani kuat dan tinggi besar, Keduanya bergantian sampai capek mendorong sepeda motor Bang Jon.

"Bagaimana skripsi." Tanya Bang Jon saat mereka berhenti istirahat di sebuah warung.

"Santai saja bang, kecil skripsi." Jawab Alpin.

"Alah, santai-santai. Judul kita mana." Kata Dani, dan mereka bertiga kembali tertawa.

"Bayumi, Arip, Asdi bagaimana."

"Kalau Asdi pasti tak jauh dari, Yutri." Celetuk Dani.

"Iya. Sebulan di desa, tak sedikitpun yang dia teliti." Kembali ketiganya tertawa, dan berbincang entah kemana.

...*****...

RUMAH KARUNG KEBANJIRAN.

*

Sudah tiga Minggu Aram dan adik-adiknya tinggal di hutan dengan rumah berdinding karung, beratap terpal. Malam pertama tikar mereka basah oleh uap tanah. Sehingga Aram mencari papan bekas dan bekas pintu WC untuk alas karpet bekas dan tikar. Begitu juga saat hujan, tanah menjadi lembab. Tapi semua itu belum membuat mereka kesusahan. Nyamuk yang banyak, mereka menggunakan kelambu mereka dulu. Sehingga menyelamatkan mereka dari demam berdarah yang mematikan.

Sudah satu Minggu tidak hujan, sepertinya malam ini akan hujan. Udara panas dan awan hitam berarak. Lampu minyak tanah mulai bergoyang oleh angin berhembus. Aram menutup pintu rumah karung mereka. Terdengar suara berkerontang seng itu.

"Kotttt. kotttt." Dua ayam di dalam sangkar bambu berbunyi. Aram sadar kalau dua ayamnya akan basah oleh hujan. Dia keluar dan menutup sekeliling sangkar bambu dengan karung. Atap sangkar ayam aman dari hujan, karena dia gunakan seng bekas yang dia temukan di tempat sampah.

"Koyong, nanti ayam kita mati ditutup begitu, tidak bisa bernafas." Kata Figan yang tampak khawatir sekali.

"Ha.ha.ha.ha." Semua tertawa.

"Tidak lah, kan tidak rapat sekali, dari bagian bawah ada lobang-lobang." Kata Luran.

"Ayo masuk." Ajak Aram, angin semakin deras dan langit semakin gelap. Suara pepohonan menderu diterpa angin kencang. Suara kendaraan di jalanan tak pernah berhenti. Mereka masuk, dinding karung tapak bergoyang karena diterpa angin. Aram berdoa agar rumah karung mereka tidak roboh.

"Sah. sah. sah." Figan memain-mainkan robot-robot yang sudah hilang satu tangan dan satu kaki. Luran memainkan mobil-mobil dengan gembira. Areha membaca buku dongeng yang sudah hilang sampulnya. Sedangkan Aram membaca lembaran koran yang dia temukan di tempat sampah. Banyak yang dia baca, bekas-bekas majalah dan kadang buku-buku tentang apa saja.

"Kalau kamu mau jadi orang yang hebat, banyak-banyaklah membaca." Itulah yang di ingat Aram nasihat dari pemuda yang dia panggil Kakak AF.

"Duuummmmm." Kilat dan guntur datang memecah awan hitam. Gerimis turun dan terdengar mendesa jatuh di atas terpal mereka.

Aram melihat adik-adiknya sudah tertidur bersama mainan mereka. Lampu minyak pun berkelipan mengecil tanda minyak habis. Aram menuangkan minyak tanah ke dalam kaleng lampu minyak. Sehingga nyala lampu perlahan membaik. Dia meletakkan kembali lampu minyak di atas potongan papan kecil tadi.

Aram berbaring dan memejamkan mata. Terdengar angin menderu-menderu terus menerpa pepohonan. Ya Allah, semoga rumah karung kami tak roboh, doa Aram. Aram membaca basmalah dan dua kalimat syahadat, beberapa saat dia tertidur bersamaan hujan turun dengan lebatnya.

Hujan malam itu begitu deras dan lama, air berkumpul cepat di atas tanah. Sehingga membentuk aliran deras yang menghanyutkan dedaunan kering. Air terus mengalir dengan debit cukup tinggi. Tenda Aram yang Hanya menempel di tanah pun di lalui air hujan. Tempat tidur mereka basah, baju tidur mereka basah. Tapi mereka masih tertidur. Areha yang terbangun pertama kalinya.

"Air, banjir." Kata Areha bingung, dia melihat air memenuhi rumah karung mereka. Buku, koran dan majalah yang dia baca semalam basah. Dia baru sadar kalau baju dan celana juga telah basah.

"Koyong, bangun. Figan, Luran bangun. Bangun. Bangun rumah kita banjir." Kata Areha sambil menggoncang satu persatu. Semu terbangun dan menyaksikan tenda yang sudah penuh air.

"Buuurrr." Air menyembur kedalam lebih banyak saat dinding bagian bawah terbuka. Banyak daun kering dan ranting kecil hanyut masuk. Semua kedinginan dan Aram bergerak menyelamatkan apa saja. Terutama pakaian ganti mereka yang di dalam keranjang plastik agar tidak basah. Aram memegang lampu lalu diberikan pada Areha. Dia berusaha membetulkan dinding tapi sia-sia. Menurut Aram kerangka kayu kurang banyak. Besok dia akan membuat parit, meninggikan lantai, menambah tiang atap dan meninggikan atap. Agar air dari tembok tidak masuk membasahi.

Mereka berempat akhirnya berdiri saja, sambil menahan dingin dan kantuk. Tidak ada yang dapat mereka lakukan selain menanti hujan reda.

"Koyong, Aku capek, Dingin." Kata Figan. Aram kasihan dengan adik bungsunya. Dia kemudian menggendong Figan. Areha dan Luran mendekat, kemudian mereka berpelukan satu sama lain.

"Besok koyong buat parit dan kita tinggikan lantai. Agar kalau hujan lebat air tidak masuk." Kata Aram pada adik-adiknya.

"Kita buat bagus-bagus Koyong, rumah kita." Kata Figan. Tiga jam kemudian, baru hujan reda. Mereka mulai membersihkan tenda dan menata kembali. Dengan beralas kain kering, menjelang subuh mereka tertidur lagi sambil duduk, dan mendempet satu sama lain.

...*****...

BELANJA KE PASAR.

*

Sore itu, keluarga Yuzaka pergi ke pasar enambelas, Kota Palembang. Mereka akan membeli keperluan sekolah Yuzaka yang sudah naik ke kelas delapan. Yuzaka begitu gembira soreh itu. Membeli perlengkapan sekolah: alat tulis, seragam sekolah baru dan sepatu. Begitu juga dengan kakak dan adiknya. Setelah selesai, mereka makan jajanan kuliner di sekitar Taman Wisata Benteng Kuta Besak. Berfoto-foto dan melihat-lihat. Menjelang sore mereka pulang ke rumah. Jalanan macet, kendaraan padat merayap seperti biasa.

"Aduuuu, macet trus." Ibu Yuzaka berkata-kata, dia ingin cepat pulang karena menahan pipis.

"Inilah Ibu, kalu belanja ke pasar. Kalau ke e-commerce, pasti tidak terjadi hal-hal seperti ini." Ujar kakak Yuzaka sambil main HP.

"Iya, kalau sepatu kekecilan bagaimana, trus seragam tidak pas, gimana. Minta lagi, beli lagi." Jawab ibunya.

"Iya kita harus pandai memilih Bu. Jangan asal beli saja." Kila anaknya. Ibunya menjawab tetap salah, bagaimana pintar memilih kalau dari internet, yang ada hanya gambar saja. Banta si ibu.

"Sudah, belanja saja ribut. Segalah sesuatu memang ada lebih dan kurangnya." Jawab sang Ayah mendamaikan. Mobil berhenti karena lampu merah.

Sementara Yuzaka sibuk dengan smartphone. Dia meng-upload foto-foto mereka tadi di akun instagram dan facebooknya. Setelah selesai banyak teman-teman yang berkomentar. Dia balas sambil senyum-senyum. Yuzaka tanpa sengaja menoleh keluar memperhatikan jalanan yang ramai. Di seberang jalan dia melihat seorang anak laki-laki mendorong gerobak. Yuzaka memperhatikan beberapakali. Dia Yakin kalau itu adalah Aram, teman sekolahnya. Yuzaka melihat Aram memunguti sampah plastik dan kemudian terus berjalan. Tubuhnya kurus dan dekil sekarang.

"Aram. Aram." Kata Yuzaka di dalam hatinya, dia ingin memanggil dan berusaha membuka pintu mobil. Tapi sayang, lampu hijau menyala dan mobil berjalan. Lama Yuzaka menoleh ke belakang. Dia masih melihat Aram terus berjalan, mendorong gerobak. Entah mengapa, rasa sedih muncul di hati Yuzaka. Matanya basah dan air matanya meleleh di pipinya.

...*****...

Koyong: Kakak Laki-laki.

Kopek: Kakak Perempuan.

Ayuk: Kakak Perempuan lebih dewasa.

...*****...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!