NovelToon NovelToon

Kedipan Dikalah Senja.

Tapak di Lumpur

Sebuah kontrakan bedengan sederhana, berdinding papan dan berlantai semen. Ada empat pintu bedengan, semuanya disewa keluarga sederhana. Di bagian belakang bangunan bedengan berupa rawa-rawa dangkal, selain berlumpur juga ditumbuhi semak-semak. Kalau hujan deras, sering banjir dan air kadang membanjiri ke dalam kontrakan.

Di seberang rawa-rawa tampak kompleks perumahan baru. Sedangkan dibarisan depan bedengan ada tembok batu bata yg memisahkan dengan kompleks perumahan bagian depan. Rumah pemilik kontrakan bedengan juga dibarisan itu. Ada lorong jalan dari depan kontrakan melewati sisi samping rumah pemilik kontrakan yang cukup mewah menuju jalan perumahan.

Kondisi di depan kontrakan bedengan itu banyak tumpukan barang bekas dan rongsokan. Memang, tiga keluarga penyewa kontrakan sederhana itu berprofesi sebagai pemulung, dan satu keluarga lagi kuli bangunan. Halaman sempit, bertambah sempit, dan becek becek setelah hujan.

...*****...

Seorang wanita berumur tiga puluh limaan tahun terbaring lemah. Beralas tikar plastik yang lapuk, kain dan bajunya lusu. Wajah pucat, tubuh kurus dan kulit berwarna kekuningan tanda sakit. Di sebelah kirinya, duduk dua anaknya. Yang sulung laki-laki, adiknya perempuan. Yang laki-laki berumur dua belas tahun, anak perempuan berumur sepuluh tahun. Duduk di sebelah kanannya dua anak laki-laki, satu berumur delapan tahun, satunya berumur enam tahun.

"Aram, jaga adik-adikmu ya. Maafkan Umak, tak dapat menjaga kalian. Umak sayang dengan kalian berempat. Peluk Umak, tubuh Umak dingin." Kata ibu Aram lemah, butir air mata mengalir dari kelopak matanya. Tangannya yang lemak dia gerakkan sekuat tenaga agar dapat menyentuh anak-anaknya. Lalu menarik mereka dan membenamkan wajah mereka ditubuhnya. Aram dan ketiga adiknya sedih dan takut. Air matanya tak terbendung saat ibunya berkata-kata demikian.

"Makkkk." Aram dan tiga adiknya menangis pilu, air mata mereka bercucuran mengalir dan jatuh dipangkuan ibunya.

"Bak kalian belum pulang." Tanya Ibu mereka lemah.

"Belum, Mak." Jawab Aram.

"Areha, cucikan baju adik-adik kau, ya." Kata sang ibu lagi. Areha hanya mengangguk disertai tangisan.

"Luran, Figan jangan nakal, ya. Umak sangat sayang kalian." Ujar ibunya, dan keduanya hanya mengangguk pelan.

"Aram, tolong jaga adik-adik kau. Umak mohon, berjanjilah. Cepatlah dewasa. Saling berkasih sayanglah dan saling menguatkan. Adik beradik harta yang paling berharga di dunia ini. Berbagilah dalam kesusahan dan berbagilah dalam kesenangan. Kalian akan menjadi anak-anak yang hebat, membanggakan ibu. Tetaplah baik dan tetaplah jujur dalam kondisi apapun." Kata ibu Aram mengulangi permohonannya tadi, dan memberi nasihat. Seakan-akan pesan terakhir yang keramat. Dari tatapan mata ibunya seolah-olah dia memohon pada Aram anak sulungnya. Aram yang baru berumur dua belas tahun dapat mengerti. Pandangan mata ibunya itulah yang kelak tidak akan pernah dia lupakan. Sehingga dia sangat tangguh dalam perjalanan hidup menjaga adik-adiknya.

"Kalau Bak kalian pulang, bilang jangan terlalu capek Kerja." Kata ibu lagi.

Kemudian tangan ibu kembali memeluk erat anak-anaknya. Dia menarik nafas yang sangat sesak dan berat. Beberapa saat kemudian pelukannya perlahan melonggar, dan kedua tangan sang ibu perlahan bergeser jatu ke lantai.

Berkali-kali mereka memanggil dan mengguncang tubuh ibu mereka. Teriakan dan panggilan mereka memenuhi seisi ruangan kontrakan mereka. Namun tak ada gerakan sang ibu. Dia terbujur dan tetap membisu, matanya pun tertutup rapat. Aram dan tiga adiknya ketakutan. Mereka tidak dapat menerima kenyataan itu. Mereka terpukul dan sangat sedi tidak menyangka Ibu mereka pergi secepat itu.

"Umakkkkk." Jeritan mereka keras melengking.

"Bakkkk." Teriak mereka memanggil sang ayah, lalu menjerit memanggil ibu mereka, bergantian.

...*****...

Seorang laki-laki berumur empat puluhan tahun berjalan pelan mendorong gerobak yang berisi banyak barang bekas. Bajunya kotor, bau dan lusu basah oleh keringat. Berkali-kali mobil mengklakson agar dia menepi. Begitulah suasana jalan di Kota Palembang di siang hari. Walau jalanan di pinggiran kota tatap ramai.

Sekarang dia berjalan memasuki pemukiman, dimana kendaraan tidak begitu ramai. Hanya sesekali mobil atau sepeda motor warga yang berlalu. Jualan mangga manis di sisi jalan tertumpuk rapi. Beberapa buah di iris terbuka, kuning manis sepertinya. Tertulis pada sobekan kardus: dua kilo, lima belas ribu. Bapak pemulung itu berhenti dan memarkirkan gerobak di sisi jalan, lalu membeli.

"Kalau sekilo berapa, Dik." Tanyanya.

"Delapan ribu, Pak." Jawab pedagang itu.

"Minta satu kilo saja." Katanya, si pedagang yang bertubuh gempal dan perut buncit tampak kesusahan berdiri. Kemudian dia memberikan kantong plastik dan si bapak memilih, lalu ditimbang. Ternyata satu kilo hanya empat biji. Terlihat senyuman dari bibir si bapak. Dia kemudian menggantung plastik buah di sisi dinding gerobak. Setelah membayar dia berjalan sambil mendorong gerobak.

"Aram dan adik-adiknya pasti suka sekali Aku belikan buah mangga. Sudah berkali-kali meminta buah mangga, baru kali ini terbeli. Kalau dapat uang dari penjualan besok. Untuk ibu mereka berobat ke bidan. Semoga istriku cepat sembuh, Ya Allah." Kata hati si bapak. Sekarang dia memasuki jalan setapak menuju kontrakannya. Di jalan banyak yang melihat ke arahnya, tapi semua diam.

Dia merasa aneh, merasakan ada sesuatu yang terjadi, entah apa. Dari ujung jalan setapak dia melihat banyak warga, Pak RT juga ada. Imam masjid, ibu-ibu pengajian teman istrinya juga berkumpul. Setiap warga datang membawa beras dan macam-macam bantuan. Hati si bapak bergetar, dia langsung berlari masuk kontrakan. Tampak terbujur kaku sesosok manusia diselimuti kain hijau bertuliskan inalilahi wainailaihi rojiun yang di pinjam dari masjid. Hati si bapak seketika menjadi hancur dan tubuh lemah. Dia kuatkan untuk berjalan dan dudukby by CT di sisi jenazah istrinya.

"Sabar, Marang. Sabar, jalan hidup sudah ditentukan oleh Allah." Ujar salah satu ibu-ibu, dia Ibu RT.

"Allah lebih sayang pada istrimu, sehingga dia dijemput lebih cepat." Kata ibu-ibu yang agak gendut.

"Iya Bu RT." Jawab Pak Marang sambil menahan air matanya. Dia kemudian menutup kembali wajah istrinya dengan kain hijau. Dua anaknya tampak menangis sampai mata merah, dua anak kecilnya tampak bingung. Lalu Pak Marang memeluk erat keempat anaknya tampak kata-kata.

"Bak, Umak kenapa." Tanya anaknya berumur enam tahun.

"Tidak apa-apa, Figan. Ibumu sedang sakit." Jawab Pak Marang sambil membelai rambut anak bungsunya itu. Wajah lugu dan polos itu begitu menyentuh hati Pak Marang.

...*****...

Keesokan paginya jenazah istri Pak Marang di kebumikan di pemakaman umum. Biayah pemakaman dan kain kafan di tanggung keuangan masjid. Karena ada uang amal kematian, sehingga tidak membebani kuluarga yang mendapat musibah. Apalagi keluarga kurang mampu tentu sangat membantu.

Sedangkan pelaksanaan tahlilan dilakukan setelah shalat Isya selama tiga malam berturut-turut di masjid. Uang yang di simpan pak Marang untuk pengobatan istrinya kini dia gunakan untuk biayah tahlilan. Walau pun hanya sekedar makanan ringan.

...*****...

ENAM BULAN KEMUDIAN.

*

Pak Marang mulai terbiasa tanpa kehadiran sang istri tercinta. Begitu juga dengan anak-anaknya mulai terbiasa tanpa sang ibu. Setelah kepergian istrinya Pak Marang menjadi sering sakit-sakitan. Hujan sedikit saja dia akan demam dan batuk. Tapi dia tidak pernah istirahat. Terus bekerja mencari barang bekas, di sekitar Kota Palembang. Aram, Areha, Luran, dan Figan, setiap hari sekolah seperti biasa. Aram sudah kelas sembilan SMP. Areha kelas lima SD, Luran kelas tiga, dan Figan baru kelas satu.

...*****...

Pak Marang bangun waktu pajar. Dia memasak dan mencucikan pakaian anak-anaknya. Kemudian dia memasak apa yang ada untuk anak-anaknya. Nasi, sayur dengan ikan asin. Kadang hanya sambal saja. Tapi anak-anak selalu lahap makan. Bagi mereka terasa lezat masakan ayah walau itu hanya sambal terasi dan rebus sayur genjer atau kangkung. Namun hal yang aneh dalam pikiran Aram yang sudah cukup mengerti. Setiap pagi selalu ada kupasan kulit singkong. Tapi tidak ada singkong rebus atau singkong goreng yang dihidangkan ayahnya. Kalau pun dihidangkan mereka juga tidak suka. Jadi Aram dan adik-adiknya tidak mempertanyakannya.

...*****...

"Kabas, ini Aku bayar hutang kemarin." Pak Marang menyodorkan uang seratus ribu pada tetangga yang juga pemulung.

"Oh, iya, kebetulan sekali beras sudah habis." Jawab Pak Kabas sambil tersenyum.

"Bu, ini uang dari Pak Marang." Dia memanggil istrinya, dan istrinya kedepan seraya menggendong anak kecil berumu dua tahun. Setelah mengambil uang dia masuk kembali dan memasak sesuatu di dapur.

"Uyyy, Marang, Kabas. Apa yang diceritakan pagi-pagi." Tanya tetangga paling ujung, dia tampak mengenakan sepatu boot.

"Tak ada Bakir, cerita langit tak bertiang." Jawab Pak Kabas.

"Kemana Kir." Tanya Pak Marang.

"Biasalah koyong, kalau jadi kuli bangunan. Pasti pergilah ke tempat bangunan." Jawab Paman Bakir dengan diiringi senyum. Mengisap rokok, ransel berisi bekal menggantung di punggung. Dia kemudian mengendarai sepeda motor bututnya pergi meninggalkan suara pesing.

Setelah semua urusan rumah selesai, Pak Marang juga pergi untuk mencari barang bekas. Sementara Pak Kabas tidak memulung hari ini, dia akan ke kantor camat mengurus Kartu Keluarga dan akta kelahiran seorang anaknya.

...*****...

Hujan deras siang itu, langit gelap dan guntur bergemuruh. Pak Marang terbatuk-batuk dan dia berteduh di sebuh rumah papan yang kosong dan tidak dihuni dalam waktu lama. Banyak alang-alang, rumput dan di langit-langit atap kaki lima dipenuhi sarang laba-laba. Cuaca begitu dingin, membuat tubuhnya menggigil. Pak Marang melipat dua tangannya di dada. Di depan ada jalan beraspal cukup lebar yang selalu dilaui kendaraan. Pak Marang merasa senang hari ini, dia mendapatkan banyak besi bekas dan buangan plastik. Dalam perkiraannya paling tidak lebih seratus ribu kalau di jual ke pengepul pendapatannya hari itu. Dia teringat kalau Luran minta dibelikan sepatu.

"Iya, nanti Aku belikan sepatu untukmu nak." Kata hati Pak Marang. Tiba-tiba Pak Marang teringat istrinya, masa awal perkenalan mereka dan waktu pernikahan mereka. Istrinya wanita yang sangat baik, mau hidup menderita bersamanya tanpa pernah mengeluh.

"Istriku, Aku selalu mencintaimu, walau kau sudah pergi jauh, bagiku kau masih hidup, di hatiku dan di hidupku. Lebaran ini, bapak dan anak-anak akan berziarah ke rumahmu." Kata hati Pak Marang sambil memandangi tetesan air hujan.

"Srrrriiiitttttttttt." Sebuah mobil Avanza hitam berhenti mendadak di jalan tepat di depan rumah kosong itu. Pak Marang terkejut dan memperhatikan kejadian di depan. Beberapa sepeda motor berlalu, dengan pengedaran memakai jas hujan.

"Keluar, ayo keluar." Ada suara kasar dari dalam mobil. Tampak dua orang laki-laki sangar menuntun turun dua orang. Masing-masing sudah mereka todongan pisau di leher. Keduanya disandra, satu seorang laki-laki muda berumur dua puluh delapan tahun. Dan seorang lagi seorang wanita hamil tua, mungkin segera akan melahirkan.

"Ambillah, mobil dan apa yang berharga. Tapi jangan sakiti istriku. Lepaskan dia dan bunulah Aku." Ujar laki-laki muda itu.

"Diam." Bentak penyanderanya.

"Habisi, agar tidak ada jejak. Bawak ke rumah kosong itu. Kalu tidak mereka akan melaporkan kita ke polisi." Ujar yang memegang kemudi. Dua penyandera menuntun berjalan menuju rumah kosong. Keduanya melihat gerobak berisi penuh barang bekas. Setelah itu menuju ke samping rumah kosong yang banyak rumputan. Dari jalan raya sulit melihat karena dihalangi semak lebat. Kedua penjahat itu bermaksud membunuh dua sanderanya di belakang rumah kosong itu.

"Pakkkkk."

"Pakkkkk." Sebuah balok kayu menghantam kepala penjahat itu bergiliran. Sehingga membuat mereka kehilangan keseimbangan dan kepala mereka berdarah. Darah tampak semakin banyak karena bercampur air hujan yang masih turun cukup deras. Kedua sandera mereka terlepas dan mereka berdiri menjauh.

"Lari ke sana, Dik. Bawa istrimu. Lewati kebun ini ada rumah warga dan pos jaga." Kata Pak Marang. Sepasang suami istri muda itu bergegas mengikuti arah petunjuk Pak Marang.

"Kurang ajar, laki-laki tua keparat." Maki seorang perampok. Yang satunya melompat, dia mencoba mengejar sepasang suami istri berlari menjauh menerobos semak dibawah pepohonan. Tapi Pak Marang kembali menghadang dengan balok di tangan.

"Wwuuussss." Balok disabetkan, perampok itu terpaksa mundur.

"Hei, kau ini ikut campur. Kau akan merasakan akibatnya." Kata laki-laki jahat itu.

"Sudah, habisi." Ujar kawannya.

"Aku orang Sekayu, takkan takut mati." Jawab Pak Marang. Kemudian dua orang mengeroyok Pak Marang. Berkali-kali dia dapat menghindari serangan dengan cara mengibaskan balok kayu. Tiba-tiba muncul orang dari arah jalan.

"Mengapa lama sekali." Tanya laki-laki berewok tinggi besar, kulit hitam.

"Sialan, keparat busuk ini ikut campur, dan mereka berlari ke arah pemukiman di belakang" Jawab satunya, sambil mengelap darah yang meleh di wajahnya.

"Cepat, kita bisa ditangkap polisi sebelum keluar Kota Palembang." Katanya. Dia mengambil balok kayu yang sama panjang dengan balok di pegang Pak Marang. Kemudian menyerang dengan cara memukul.

"Heaaaa." Tiga orang menyerang sekaligus. Karena kalah tenaga akhirnya sebuah tusukan mengenai punggung, lalu ada menembus perut dan jantung Pak Marang.

"Matilah Kau, suka ikut campur urusan orang." Kata salah satu penjahat, kemudian menendang tubuh Pak Marang yang sudah hampir roboh. Ketiga penjahat itu meninggalkan Pak Marang yang sekarat. Terdengar suara gemuruh mobil melaju cepat dan hilir mudik kendaraan di jalanan.

"Aram, Areha, Luran, Figan. Bak sayang kalian nak. Maafkan bak yang belum sempat mengantarkan kalian dewasa." Kata hati Pak Marang. Darah mengucur deras dari luka-lukanya. Bahkan ada yang keluar dari mulutnya. Matanya mulai kabur dan telinganya tidak lagi mendengar air hujan jatuh. Pak Marang pasra dan menerima takdirnya. Air hujan yang mengalir di sekitar tampak merah bercampur darah. Tampak bayangan putih datang menghampiri.

"Kanda, jangan terlalu capek bekerja. Ayo kita pulang, bersihkan tubuhmu." Ujar bayangan putih itu.

"Istriku, anak kita." Tidak ada jawaban, wanita itu hanya tersenyum lalu menuntun Pak Marang pergi. Dia masih melihat gerobaknya yang penuh dengan barang bekas, dan bekal ubi rebusnya yang belum dia makan tergantung di dinding gerobak sebelah luar. Biasanya dia memakan ubi rebus bekalnya sambil mendorong gerobak, sebab tinggal ambil saja tergantung di dekat pendorong gerobak.

"Sepatu Luran..." Suara gaib itu menggema disekitar itu.

...*****...

Dua orang polisi mendorong gerobak masuk jalan setapak ke arah kontrakan Pak Marang. Empat orang tenaga kesehatan menggotong tandu dengan jenazah terbujur kaku diselimuti kain putih. Pak RT, dan warga berdatangan ke sana. Kedatangan jenazah Pak Marang disambut tangisan oleh keempat anaknya. Pemakaman dan pengurusan jenazah kembali di ambil alih pihak masjid. Begitu juga pembelian kain kafan, biaya lain dan tahlil. Semua kasihan pada Aram dan adik-adiknya yang sudah menjadi yatim piatu. Dalam masalah ini, pihak masjid di Indonesia belum mengaturnya.

...*****...

Pak Polisi menjelaskan kalau Pak Marang diduga dibunuh penjahat atau perampok. Pak polisi juga akan menyelidiki apakah dia punya musuh. Pak Marang tidak ada musuh, dia orang baik dan jujur.

Walaupun hidup sangat miskin dia tidak pernah mencuri atau mengemis. Polisi berjanji akan mengabarkan informasi secepatnya tentang pembunuh Pak Marang. Polisi akan mengusut tuntas kasus itu.

...*****...

"Bakkkk. Maaakkkk." Tangisan Aram dan adik-adiknya dipemakaman terdengar pilu. Suasana sepi karena sudah menjelang petang.

"Koyong, bagaimana kita." Tanya Areha. Memanggil kakak laki-lakinya.

"Tak perlu khawatir nanti koyong akan bekerja." Jawab Aram menenangkan adiknya itu. Tapi Aram juga takut, kerja apa, bagaimana, siapa yang bayar kontrakan dan semuanya.

"Kenapa bak, Kopek." Tanya Figan pada Areha, dia belum mengerti juga.

"Ibu sekarang tidak pernah pulang. Apakah Bak juga tidak pulang-pulang." Kata Figan lagi. Sementara Luran hanya diam saja. Dia masih ingat janji ayahnya yang akan segera membelikan sepatu. Dia merasa kesal sebab ayahnya sudah seperti ibunya yang tidak bisa pulang lagi.

Empat kakak beradik itu duduk di sisi kuburan ayah mereka yang masih merah. Menjelang senja barulah mereka pulang berjalan kaki. Hampir setiap hari dalam dua minggu setelah hari itu, mereka mengunjungi kuburan ayah dan kuburan ibu mereka.

...*****...

"Adik-adik, kalian mau kemana. Ini sudah malam." Seorang pengendara sepeda motor Honda Beat berwarna putih silver berhenti di sisi jalan. Dia memakai baju merah biru, di bagian depan ada logo AF, bagian belakang bertuliskan Apero Fublic.

"Dari pekuburan, Kak." Jawab Aram jujur dan polos.

"Ada apa di sana, memangnya." Tanya anak muda itu.

"Tadi siang kami mengantar jenazah ayah. Warga semua sudah pulang. Adik saya tidak mau pulang dari kuburan, makanya jadi kemalaman begini." Jelas Aram.

"Mari kakak antar." Tawar anak muda itu. Keempat kakak beradik itu tidak menolak, sehingga motor bebek metik itu penuh. Figan paling depan, dan Aram, Areha, Luran di belakang.

...*****...

Aram menemukan ubi rebus bekal ayahnya setiap hari, masih tergantung utuh di dinding gerobak. Dia sekarang tahu kalau ayahnya selalu makan ubi rebus tidak makan nasi. Sementara nasi hanya untuk mereka saja.

Aram menjual barang bekas yang ada, dan yang di dalam gerobak warisan ayahnya. Lalu dia belikan beras untuk makan mereka beberapa Minggu.

...*****...

Sementara itu, sepasang suami istri yang diselamatkan Pak Marang berada di sebuah rumah sakit bersalin. Sepertinya istrinya akan segera melahirkan. Proses melahirkan pun agak sulit, membutuhkan waktu sehari semalam baru sang anak dilahirkan.

...*****...

Kemana Aku

Sebuah ruangan bersalin di Rumah Sakit Bunda Kota Palembang, penuh kebahagiaan. Seorang ibu-ibu muda baru selesai melahirkan. Sepasang anak laki-laki kembar lahir sehat dan normal. Beberapa suster datang mengecek infus, kesehatan ibu dan bayinya, kemudian keluar. Ada yang dia katakan pada si ibu dan mertuanya. Yang duduk di sebuah kursi. Sementara itu seorang gadis berhijab pink sibuk maen handphone. Dia memfoto dua kemenakannya yang baru lahir dan dia upload di media sosial miliknya. Sementara Dua bayi masih merah tidur nyenyak di ranjang khusus.

"Bagaimana keadaanmu, Reze." Tanya ibu mertuanya mendekat setelah semua suster pergi.

"Alhamdulillah, baik Bu." Jawab Reze atas pertanyaan Ibu Mertuanya. Pintu kamar terbuka, seorang laki-laki muda membawa banyak belanjaan. Kemudian dia memberikan semua belanjaan pada adik perempuan untuk mengurusi.

"Siapkan ini, Pintan." Ujarnya sambil menunjuk belanjaan. Pintu toilet terbuka, seorang kakek-kakek keluar.

"Iya, Koyong." Jawabnya.

"Dinda, Bak-Umak, dan Gafur besok baru ke Palembang. Kakak Mansur menelpon Kanda, saat belanja di Indomaret." Kata laki-laki itu

"Iya, tak apa." Jawab Reze lemah.

"Bak, ada martabak." Ujar suami Reze.

"Anak Bak nian kau ini, Katara." Jawab ayah Katara. "Pintan." Panggilan kode, memang mertua laki-laki Reze hobi martabak kacang.

"Iya Bak, sebentar." Sahut Pintan sambil menata makanan di piring.

"Ayuk nak buah apa." Tanya Pintan pada Reze. Reze menjawab buah apa yang ada. Ibu mertua juga menganjurkan banyak makan sayur dan buah. Sebab ibu menyusui perlu asupan nutrisi yang banyak untuk memproduksi ASI. Mereka keluarga bahagia, selalu bercengkrama dengan ceria.

Suasana pun tenang, sambil memakan makanan Pak Katara menceritakan kejadian kemarin sore pada keluarganya. Ayah, Ibu dan Pintan terkejut sekali. Mereka tidak menyangka kalau Pak Katara dan Istrinya baru melewati keadaan buruk dan genting.

"Mungkin bapak baik itu, terbunuh." Kata Pak Katara lesu. Sementara ibunya memeluk Reze sambil menangis. Pintan juga berkaca-kaca matanya. Ayah Katara terdiam seribu bahasa, mengetahui anak dan menantunya mengalami musibah buruk itu.

"Apa kita diamkan dan biarkan saja, Kanda. Apakah kita tidak berdosa." Tanya Reze takut.

"Kanda juga mengerti dinda. Kita berhutang nyawa pada bapak itu. Kita akan cari alamatnya, bila perlu meminta bantuan polisi." Jawab Pak Katara.

"Bukan hanya kita, tapi dua anak juga." Ujar Reze sambil sesenggukan.

"Kalau demikian, segeralah kau melaporkan kejadian ini ke polisi. Apalagi mobilmu yang mereka rampas. Sebelum ada kejadian lain yang bersangkutan dengan mobil itu. Misalnya perampokan Bank atau apalah." Kata ayah Pak Katara.

...*...

Pak Katara dan Istrinya ternyata belum sempat melapor ke polisi. Reze istrinya tiba-tiba sakit perut dan segera akan melahirkan. Itulah mengapa Pak Katara langsung ke rumah sakit dan menunggu sampai persalinan istrinya selesai baru dia akan melaporkan kejadian sore itu. Beberapa saat di rumah sakit dia menelpon ayah dan ibunya untuk pergi ke rumah sakit. Setelah bercerita, akhirnya Pak Katara dan ayahnya pergi ke kantor polisi untuk melapor.

...*****...

Di rumah sakit, Reza terus dihantui rasa bersalah. Dia mengingat kejadian kemarin sore. Sebelum mereka begitu jauh. Reze menoleh sekilas ke belakang. Dia melihat si pemulung dikeroyok tiga orang. Reze dan suaminya juga masih melihat pemulung itu ditusuk berkali-kali oleh penjahat.

"Sudah Reze, nanti kalau kau sehat. Kita sekeluarga datang kerumah mereka. Kalau perlu istri atau anaknya kita berikan pekerjaan, santunan. Kita anggap mereka keluarga kita. Sekarang kau banyak istirahat. Semoga penjahat itu cepat ditangkap polisi. Kemudian dihukum setimpal perbuatannya." Ujar ibu mertua Reze sambil membelai rambutnya.

"Benar kata ibu, Yuk." Kata Pintan ikut menghibur. Sambil duduk Pintan membuka akun media sosial facebook miliknya. Dia menemukan berita yang sedang heboh. Tentang terbunuhnya seorang pemulung di samping rumah kosong. Pintan membaca berita, dan menunjukkan foto lokasi. Reze membenarkan lokasi itu. Dan membenarkan juga kalau orang di berita itu adalah orang yang menolongnya.

"Bapak itu bertaruh nyawa, ada lima tusukan di tubuhnya kata polisi." Jelas Pintan. Ibu mereka tampak bergidik ngeri mendengar itu.

TIBA-TIBA:

"Ting-Tung-Tung-Tung" Bunyi smartphone milik Reze berbunyi.

"Sebelah mana ruangan persalinan kamu, Ze." Tanya suara di telpon.

"Ruang Anak khusus, lantai tiga paman." Jawab Reze. Ibu mertua bertanya siapa, Reze menjawab Paman Redo. Pak Redo adik kandung ayah Katara.

"Arah sebelah mana kalau naik." Tanya lagi. Reze bingung, dia melirik Pintan. Lalu bertanya apakah Pintan mau menjemput paman dan keluarga di bawah. Pinta bersedia, dan segera keluar ruangan.

"Oh, menjelaskannya, Paman. Nanti Pintan yang menjemput. Atau paman ke resepsionis saja." Jawab Reze. Terdengar suara bayi menangis kecil dan diam lagi.

"Jangan-jangan lapar ini, cucu nenek." Kata mertua Reze. Tidak berapa lama paman, bibi, anak-anaknya tiba bersama Pintan. Mereka membesuk persalinan istrinya Pak Katara.

"Bibik Ziwa, sehat." Ujar Pintan sambil memeluk istri pamannya.

"Dudi, Futo, sudah besar kalian." Ujar ibu Pak Katara memanggil dua anak adik iparnya.

"Mengapa kontak Katara tidak aktif." Tanya Paman Redo.

"Kakakmu, dan Katara di kantor polisi." Jawab mertua Reze.

"Kantor polisiiiii." Paman Redo dan istrinya terkejut bukan kepalang. Setelah itu, Reze dan mertuanya menjelaskan peristiwa yang menimpa Pak Katara dan Reze kemarin sore.

"Pas hujan, sore kemarin. Inalillahi wa Inna ilaihi Raji'un." Kata Pak Redo diakhiri cerita.

...*****...

Ruang kelas tujuh SMP Negeri 40 Palembang terlihat tenang dan rapi. Semua siswa-siswi tertib duduk di bangku masing-masing. Siap menunggu pelajaran. Hari Sabtu siang mata pelajaran Bahasa Indonesia, yang bersifat kreatifitas menulis. Seperti puisi, cerpen, pantun, dongeng, dan andai - andai. Andai-andai adalah sastra lisan asli dari Sumatera Selatan yang bersifat fantasi, sejenis dongeng.

"Bagaimana, sudah tugasnya anak-anak." Tanya Wali Kelas Tujuh. Kemudian dia berkeliling ruangan, melihat sedikit atau bertanya-tanya.

"Yuzaka, kamu bikin cerita apa?." Tanya Ibu Guru sekaligus wali kelasnya.

"Rahasia Bu." Yuzaka malu-malu dan menutup tulisannya.

"Disin, buat apa?." Tanya ibu.

"Dongeng anak Bu." Jawab Disin.

"Bagus." Ibu guru kembali berkeliling ruangan.

"Kayba, bikin apa?." Kayba juga menutup buku tulisnya. Semua mata melihat ke arah Kayba.

"Pasti puisi, itu pun kalau jadi." Ujar seorang siswa laki-laki. Kayba yang badan gemuk dan tinggi tampak kelagapan mendengar kata-kata temannya itu. Terdengar suara tawa disekeliling kelas.

"He, kali ini pasti selesai." Ujar Kayba sambil mengacungkan tinju. Semua kembali tertawa melihat tingkah Kayba.

"Katanya mau jadi penulis terkenal, buat puisi trus dari awal masuk kelas." Celetuk teman satunya lagi. Kembali ruangan penuh dengan tawa lagi.

"Pagli, Teram. Sudah jangan menggoda temannya. Dalam berkarya kita harus saling mendukung. Supaya karya kita bertambah baik. Masukkan dan saran-saran untuk kebaikan sebuah karya. Itu yang perlu kalian lakukan. Kalau mau hebat menulis kalian harus terus berlati." Nasihat ibu Wali Kelas.

"Aram, kamu bikin apa?."

"Saya bikin syarce, Bu." Jawab Aram datar.

"Apa syarce, baru dengar." Sahut ibu guru.

"Syarce sastra baru yang Aram baca di internet. Syarce singkatan dari syair dan cerita. Syair atau puisi bahasanya sulit dipahami oleh semua orang. Jadi kalau digabungkan dengan cerita semua orang akan mengerti. Syarce, ada yang fiksi ada yang non fiksi. Non fiksi berarti berasal dari kejadian sebenarnya walau disampaikan secara abstrak." Jelas Aram.

"Ok, baiklah. Ibu tunggu karya kamu." Ujar ibu Wali Kelas. Dia kemudian kembali keliling ruangan menyapa murid yang lain. Ruang kelas kembali ramai dengan candaan mereka. Tapi mereka tetap menulis dan berkarya yang terbaik.

"Sabtu depan, boleh dibagikan pada teman yang mau menjadi relawan untuk membacakan karya. Atau dibacakan sendiri oleh penulis." Kata ibu Wali Kelas. Beberapa saat kemudian jam pelajaran berakhir, ditandai bunyi bel sekolah. Maka, semua mengumpulkan tugas karya tulis di meja guru.

"Yang bagus, nanti ibu upload pada website sekolah. Atau dikirim ke lomba literasi tingkat nasional." Kata ibu Wali Kelas sambil menyusun buku-buku tugas mereka. Setelah terkumpul semuanya, kelas hari itu berakhir.

...*****...

Di gapura sekolah.

*

"Yuzaka, kalau saya ada salah. Saya minta maaf, sampaikan juga pada teman-teman." Kata Aram lesuh, tapi dia tersenyum. Aram menyodorkan sepucuk surat padanya.

"Kau tak ada salah Aram. Kenapa juga meminta maaf, aneh. Kalau kau ada salah padaku, sebelum kau memintanya. Ada apa, aneh-aneh kamu." Jawab Yuzaka sambil tersenyum, dia bahagia kalau Aram menyapanya. Tanpa curiga, Yuzaka mengambil sepucuk surat dari tangan Aram. Sekilas dia membaca kalau surat itu ditujukan pada Wali Kelas mereka.

"Tidak apa-apa, Aku duluan ya." Ujar Aram, dia kemudian melangkah pulang berjalan kaki seperti biasa. Yuzaka mengiakan, lalu duduk dibangku di depan pagar sekolah. Memperhatikan Aram yang berjalan tanpa menoleh diantara siswa-siswi pulang. Bangku besi memanjang diteduhi pohon angsana yang rindang. Tempat biasa siswa-siswi menunggu jemputan. Yuzaka menunggu jemputan, ayah atau kakaknya. Beberapa anak sekolah juga duduk di sekitarnya. Sementara siswa-siswi sekolahnya terus mengalir keluar. Ada yang bersepeda, jalan kaki, atau bersepeda motor.

"Yuzaka, saya duluan ya." Panggil seorang siswi satu kelas dengannya. Dia pulang dengan kakaknya yang sudah kelas sembilan.

"Iya Disin, jangan lupa main kerumah nanti, rujakan."

"Okkk." Teriak Disin sambil melambaikan tangan.

"Jangan lupa ajak yang lain." Teriak Yuzaka, dan dibalas kode oke oleh Disin.

...*****...

Sudah tujuh hari meninggalnya ayah Aram. Itu bertepatan dengan habisnya masa sewa kontrakan bulan itu. Tinggal tiga hari lagi waktu bayar.

"Pak, kontrakan Pak Marang hampir habis bulan ini. Bagaimana, dia sudah meninggal dan hanya anak-anak saja." Ujar ibu pemilik kontrakan pada suaminya.

"Bagaimana lagi, mereka juga tidak bisa membayar yatim-piatu." Jawab suaminya bingung.

"Apa tak ada keluarga mereka." Tanya istrinya.

"Mereka tidak tahu, mereka bilang ada keluarga tapi tidak tahu di mana." Jelas suaminya.

"Kalau tidak bisa membayar, sesuai aturan Pak." Kata istrinya. Suaminya diam saja, dia tidak dapat memutuskan bagaimana. Rasa kasihan pada Aram juga memenuhi hatinya. Tapi kontrakan itu juga mata pencaharian mereka.

Sekitar pukul sembilan malam, ibu pemilik kontrakan mendatangi kontrakan Aram. Waktu itu, dia masih belajar bersama adik-adiknya.

"Krettt." Pintu tiba-tiba terbuka. Aram dan adik-adiknya melihat ke pintu, masuk ibu-ibu gemuk. Mendekati Aram dan adik-adiknya. Aram yang menelungkup berbalik bangkit, dan duduk. Adik-adik Aram diam memperhatikan penuh tanda tanya.

"Aram, kontrakan kalian tinggal tiga hari lagi. Kalau kalian tidak bisa membayar, silakan tinggalkan kontrakan ini. Bawak semua barang-barang kalian." Kata ibu kontrakan, dengan sinis. Aram hanya mengangguk saja, dia merasakan kengerian dari wajah dan pandangan ibu gemuk itu. Setelah itu, ibu pemilik kontrakan pergi. Aram begitu sedih, dia pandangi adik-adiknya. Teringat pesan ibunya, dia harus menjaga adiknya.

"Umakk. Baakkk." Itulah suara jeritan hati Aram.

...*****...

TIGA HARI KEMUDIAN.

*

Aram mendorong gerobak peninggalan ayahnya. Sinar matahari sudah cukup panas, sekitar pukul sebelas siang. Di dalam gerobak: pakaian mereka, tas sekolah, alat dapur yang tidak begitu banyak. Satu lusin piring plastik, cangkir plastik, sendok satu lusin, kuali, periuk, cedok, sekit, kompor gas, terpal, parang, pisau dapur, galon air, cerek plastik, dan alat lainnya. Aram tidak tahu mau pergi ke mana, yang jelas dia melangkah saja diikuti adik-adiknya, meninggalkan kontrakan. Mereka pergi sebelum waktunya subuh, sehingga tidak ada yang tahu.

"Koyong, kita kemana." Tanya Figan, dia tampak kecapean berjalan dan minta minum, dia haus.

"Koyong, Aku lapar." Kata Luran. Aram ingat Ubi rebus yang dia masak tadi. Kemudian mencari tempat rindang dan jauh dari jalan raya. Dia mengajak tiga adiknya makan ubi rebus beralas tikar plastik yang lapuk. Air minum sebotol plastik bekas air mineral.

...*****...

Di Sekolah Aram.

*

"Lapor, upacara telah selesai." Kata pemimpin regu paling kanan pada pemimpin upacara bendera hari Senin. Beberapa pemimpin regu juga mengikuti.

"Laporan selesai, upacara selesai." Laporan pemimpin regu.

"Bubarkan." Jawab pemimpin upacara. Setelah itu, semu diistirahatkan, lalu membubarkan diri. Para guru masuk ruang kantor sekolah, sedangkan siswa-siswi istirahat lima belas menit sebelum masuk kelas.

...*****...

Di Kelas Aram.

*

"Ibu, ini surat dari Aram. Sepertinya dia tidak sekolah hari ini." Kata Yuzaka, setelah itu dia berbalik dan menuju bangkunya.

"Oh, iya." Ibu Wali Kelas mengambil surat, dan meletakkan di atas map tebal. Kemudian dia segera mengabsen siswanya. Sebelum absen dia menandai nama Aram dengan izin. Lalu dia mulai memanggil siswa-siswinya satu per satu.

"Ada yang tahu mengapa Aram tidak sekolah." Tanya ibu Wali Kelas sambil menutup buku absensi.

"Pasti takut baca syarce karyanya yang aneh itu, Bu." Kata Ramda teman sebangku Aram. Terdengar tawa beberapa orang siswa, langsung dibantah oleh gurunya.

"Hus, tak boleh begitu." Sangga si Wali Kelas.

"Aram sii, masih kecil bikin karya cinta-cintaan. Makanya dia malu Bu. Ngaji saja belum tamat." Celetuk Boby. Kali ini semua tidak bisa menahan tawa, sehingga ibu Wali Kelas juga ikut tertawa.

"Jangan bercanda begitu pada Aram. Dia tidak pernah pacar-pacaran." Yuzaka membela Aram.

"Yeeeeee." Satu kelas temannya berbunyi seperti itu.

Membuat Yuzaka malu setengah mati. Malah Yuzaka dibilang suka sama Aram dan parahnya Yuzaka diledek mau jadi istri Aram. Betapa kesalnya Yuzaka di goda teman sekelasnya begitu. Wajahnya merah padam dan tidak bisa berkata-kata lagi.

"Stopppp. Sudah. Panjang urusan, belajar sekarang." Kata ibu Wali Kelas.

...*****...

Pelajaran di mulai, satu demi satu membacakan karya mereka. Ibu guru sekaligus Wali Kelas menjelaskan kelemahan dan kelebihan karya mereka. Mana tata bahasa yang salah dan benar. Sehingga semua menjadi paham dan mengerti. Semua sangat bersemangat dan seru ketika giliran Kayba. Ternyata puisi Kayba memang belum selesai. Saat dia membacakan dan terpotong alurnya.

"Kan tidak selesai." Kata Boby, Teram, dan Pagli hampir bersamaan, lalu seisi kelas tertawa. Ibu Wali Kelas tidak dapat lagi menahan tawa juga. Wajah Kayba gembul menjadi merah, menahan malu.

"Adu kalian ini, bikin puisi itu dengan perasaan dan imajinasi tinggi. Tidak hanya asal tulis, seperti karya tulis lain." Ujar Kayba bermaksud menjelaskan mengapa puisi miliknya tidak selesai. Keadaan semakin riuh ketika penjelasan Kayba diutarakan. Wali Kelas menenangkan dan meminta Kayba duduk.

"Ini, karya Aram ada yang mau membacakan." Tanya Ibu Wali Kelas. Lama semua terdiam, tidak ada yang mau membacakan.

"Biar saya saja, Bu." Tawar Yuzaka.

"Yeeeee." Kembali suara satu ruangan penuh.

"Sudah, silakan Yuzaka." Ujar ibu guru. Yuzaka maju dan mengambil kertas putih dua lembar di atas meja. Lalu maju ke tengah, depan kelas. Berdiri menghadap teman-temannya.

*

Palembang, Januari 2019.

Syarce: Kemana Aku

Karya: Mohammad Aram.

SYARCE:

Waktu masih ada ibu, Aku tertawa setiap hari.

Walau perutku dan perut adik-adikku belum makan. Karena kami selalu bermain bersama. Menunggu ibu dan ayah pulang dari memungut sampah. Tapi Ibu telah pergi berbulan-bulan lalu. Membuat tawaku berkurang setiap hari. Sedih dari segalah sedih yang terjadi. Lalu tujuh hari lalu ayah juga pergi. Pergi menyusul ibu, jauh. Dan tidak akan pernah kembali lagi.

Hanya gerobak ayah yang diantar polisi. Ada bekal ayah sekantung ubi, dan besi berkarat. Polisi bilang Ayahku di bunuh penjahat yang keji. Kami pun menangis dan bersedih bagaikan tidak bernafas lagi. Masih ada waktu belajar dan bermain. Menghela nafas dalam hari-hari kami. Sampai ibu kontrakan datang memberi tahu. Sewa kontrakan kami telah berakhir.

KEMANA AKU

Kemana Aku.

Dan adik-adikku.

Mencari tempat berteduh.

Dari hujan dan terik matahari.

Dingin malam dan tidur yang bermimpi.

Keman Aku.

Mendorong gerobak peninggalan Ayahku.

Menyusuri jalan panjang ini.

Makan apa kami nantinya.

Tidur pasti berlantai bumi.

Kemana Aku.

Yang sengsara ini.

Anak yatim-piatu.

Membawa adik-adik ku.

Mencari jalan hidup.

Ayah, Ibu mengapa kalian pergi.

Setelah ibu pergi, tawaku berkurang.

Saat ayah pergi tawaku padam.

Hanya tangisanku dan tangis adik-adikku.

Yang masih Aku punya.

*

...*****...

Air mata Yuzaka meleleh di pipi. Dia langsung duduk dan menangis. Disini langsung memeluk Yuzaka. Semuan-teman terdiam sedih. Ibu Wali Kelas juga bersedih. Seketika ceria mereka tadi hilang dan berganti keprihatinan.

"Apa itu syarce, yang bikin orang sedih." Ujar Halimah.

"Itu hanya karya sastra, berarti bohong. Kesedihan dan kegembiraan memang efek dari karya sastra, begitu saja tidak tahu." Jelas Boby.

"Benar kamu, kita jadi sedih mendengar itu. Bagaimana kalau benar-benar nyata." Kata Saen.

"Sepertinya benar, ibu Aram kan sudah meninggal. Aram bilang kemarin kalau sastra syarce ada fiksi dan ada non fiksi." Kata Guki. Semua menatap tajam pada Guki.

...*****...

Sementara itu, ibu wali kelas Aram duduk di meja kerjanya. Dia membuka surat Aram yang dia kira surat izin tidak masuk sekolah biasa.

*

Assalamualaikum, Ibu Tuyahan, Wali Kelas, kelas 7.1. Aram tidak dapat mengikuti pelajaran hari Senin ini. Bahkan mungkin hari-hari kemudiannya. Sampaikan salam Aram pada Bapak kepala sekolah. Mohon maaf belum bisa membayar tunggakan SPP. Mohon maaf atas kenakalan Aram selama ini Bu. Sampaikan salam maafku pada teman-teman semua.

Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatu.

Dari Aram:

...*****...

Air mata Ibu Tuyahan memercik dari sisi kedua matanya. Jatu membasahi kertas surat Aram. Dia menduga ada hal yang terjadi pada Aram. Ada apa sampai kata-kata suratnya begitu dalam maknanya.

Apa dia pergi? Apa mau berhenti? Atau karena belum membayar SPP. Pertanyaan itu menghantui pikiran Ibu Tuyahan. Dia memutuskan untuk menemui Aram di kontrakannya bersama teman-temannya. Semua setuju, kelas berakhir dan memasuki jam istirahat pertama.

...*****...

Empat mobil angkot berhenti di depan jalan setapak. Segerombolan anak-anak SMP turun dari setiap angkot. Diantaranya ada Ibu Guru Tuyahan yang sedang hamil muda. Baju gamisnya tampak sedikit menonjol. Lalu berjalan beriringan menyusuri jalan setapak menuju kontrakan Aram.

"Pak, anak-anak pak Marang di mana." Tanya ibu guru pada Pak Kabas yang sedang melipat kardus. Tampak disekitarnya berserakan barang-barang bekas.

"Siang kemarin ada, Bu. Tapi pagi ini tidak kelihatan, gerobaknya juga tidak ada. Saya juga bertanya-tanya kok sepi." Jawab pak Kabas sambil bekerja. Mendengar suara berisik, dari dalam setiap kontrakan keluar ibu-ibu. Lalu duduk berkumpul di teras kontrakan Pak Kabas dan ibu Tuyahan bergabung.

"Mungkin cari barang bekas. Kan kedua orang tua mereka tidak ada lagi. Kasihan mereka jadi yatim piatu. Saya sudah masak banyak pagi ini, mau membagi mereka." Ujar istri Pak Kabas.

"Main mungkin, si Luran itu selalu sama adiknya itu." kata Istri Pak Bakir. Ibu-ibu itu menceritakan tentang Aram pada ibu Tuyahan. Sehingga si ibu tahu duduk persoalan yang dihadapi Aram.

...*****...

"Aram. Aram." Panggil Yuzaka di depan pintu. Tanpa sengaja, Disin mendorong pintu. Ternyata pintu tidak terkunci. Ruangan kontrakan kosong tak ada apa-apa. Baru sadar semuanya kalau Aram dan adik-adiknya telah pergi. Saat bertanya pada ibu kontrakan dia bilang tidak tahu. Tapi dia senang mendengar Aram dan adik-adiknya telah pergi. Tinggal cari penyewa baru pikirnya sambil senyum-senyum.

...*****...

Waktu Istirahat:

*

"Kita tidak peka pada Aram." Ujar Disin. Sementara Yuzaka masih diam dan matanya berkaca-kaca. Memang Yuzaka yang paling peduli pada Aram. Beberapa teman wanita Yuzaka datang dan membicarakan tentang Aram.

"Oh, orang tua yang dibunu penjahat di televisi itu, ayah Aram." Kata Halimah. Semua jadi terkejut dan baru mengetahuinya.

"Tega sekali ya, kasihan Aram." Ujar Saen.

"Kita coba cari saja Aram, kalau ketemu kita bantu apa yang dapat kita lakukan." Saran Halimah. Semua setuju, dan mereka mencari di hari-hari libur, tapi Aram tak kunjung ditemukan. Sehingga mereka semua menyerah dan mulai melupakan Aram dalam kehidupan mereka. Hanya Yuzaka yang terus berusaha menemukan Aram.

...*****...

Malam Hujan

AZAN ASHAR.

*

Sebuah kompleks perumahan di ujung Kota Palembang, berbatasan antara Kota Palembang dan Kabupaten Ogan Ilir. Sebuah gapura dan jalan aspal lebar tiga meter sebagai jalur masuk. Pos jaga, selalu dijaga satpam siang malam. Semua rumah sudah ditempati pemilik.

Sebuah rumah paling ujung dari blok B. Berpagar besi, kanopi taso dan beratap seng aluminium. Ada mobil hitam dengan merek Brio, terparkir di dalam pagar.

"Sretttt." Pagar terbuka, seorang laki-laki berumur dua puluh tujuh tahun keluar. Dia meletakkan sampah di bak sampa di samping pintu pagar. Seorang anak berumur tiga tahun berlari menyusul.

"Ayahhhh." Panggilnya hampir menangis.

"Ayah, memasukkan sampah di bak. Bukan mau main keluar." Jawabnya.

Seorang wanita berumur lima puluhan tahun melepas mukena di ruang tengah rumah. Selesai shalat Ashar. Si laki-laki masuk ke dalam rumah, dia menggendong anak laki-lakinya.

"Sangka, mari main sama nenek saja, ayah mau istirahat baru pulang kerja." Ujar si nenek-nenek.

"Ayo main sama nenek, mobilan baru di mana." Ujar sang Ayah. Tanpa bicara dia menggerakkan tubuhnya tanda mau turun dari gendongan sang Ayah, dan bermain. Sangka pun bermain ditemani neneknya.

"Sudah ya, anak bujang ayah bermain sama nenek, Ayah tidur sebentar." Ujar sang ayah, melihat anaknya mulai bermain. Si anak mengangguk, ayahnya masuk kamar tengah rumah.

...*****...

PERTENGKARAN.

*

"Kanda, apa maksudmu selalu berbalas pesan, telpon trus, VC juga, dengan mantanmu. Apa tidak ada cara lain untuk kerja. Sesering itu apa saling menghubungi." Tanya istrinya yang tampak merajuk dan sudah dari tadi otak-otak smartphone suaminya. Sang suami yang dari tadi berusaha memejamkan mata, jadi terganggu.

"Saya marketing bank itu, dan dia bekerja di bank itu. Bagaimana caranya tidak berkomunikasi. Dia baru dipindahkan ke bagian pemasaran. Mau tidak mau Aku berkomunikasi dengan dia. Ingat, dalam kerja tidak memainkan perasaan, profesional." Jawab suaminya sambil membuka bantal penutup wajahnya. Kemudian dia kembali mau memejamkan mata.

"Kalau tidak memainkan perasaan, mengapa dia bisa menjadi mantan Kanda." Kata sang istri cemberut besar.

"Itu masa lalu. Jangan dibahas." Serganya.

"Nyesek hatiku membaca chet kalian tiap hari." Jawab istrinya.

"Kau ini, cari masalah terus. Aku capek, banyak masalah. Sudah empat kredit yang Aku tanggani macet. Tiap hari kena marah supervaiser, Hhaaaahhh." Katanya mulai emosi.

"Kanda yang cari masalah, kalau jaga perasaanku pasti tidak akan ada masalah." Jawab istrinya sambil sedikit meronta. Suaminya tidak tahan lagi, lalu bangkit pergi keluar sambil membanting pintu.

"Durrrrrr." Bunyi pintu kamar. Nenek dan cucunya Sangka jadi terkejut. Nenek memandang penuh tanda tanya. Diam-diam hatinya jadi tersinggung. Mengapa anaknya bertengkar, apa karena dia menumpang di rumahnya, pikir nenek itu.

...*****...

KEESOKAN HARINYA.

*

Sudah tiga kali mereka bertengkar dalam seminggu ini. Hati si nenek jadi terenyu dan merasa kalau dirinya adalah sumber pertengkaran anak dan menantunya. Pandangan matanya menjadi sayu, sungguh sedih hidup menumpang anak, kata hatinya. Apa yang mereka ributkan, apa karena ada Aku sehingga istrinya selalu mencari-cari masalah, kata hati si nenek. Begitulah lamunan si nenek itu, lalu dia menyelesaikan menyapu halaman sambil mengawasi cucunya bermain mobil-mobilan.

Seperti biasa, setiap pagi ibu-ibu rumah tangga selalu banyak pekerjaan, berberes.

"Biarlah Bu, saya saja yang mengepel. Ibu main saja sama Sangka." Kata menantunya. Dia tidak enak ibu mertuanya bekerja begitu. Nanti kalau dilihat tetangga pasti dia dibilang menantu kurang ajar.

"Baiklah kalau begitu." Si nenek tidak jadi mengepel dan dia pergi bermain bersama cucunya di ruang tengah. Cucunya mengajak bermain di luar sambil beli jajanan. Setelah pulang, Sangka mengajak neneknya bermain hantu-hantu. Sementara lantai baru saja di pel oleh menantunya.

"Nah, ketahuan cucu nenek." Saat dia membuka tirai kamar. Sangka berlari ke dapur sambil tertawa, bermaksud bersembunyi lagi. Tiba-tiba:

"Surrrrr. Buukkk." Sangka jatuh tergelincir karena menginjak lantai granit basah baru di pel. Kemudian berguling dan membentur kusen pintu depan. Snack di tangannya berhamburan di tengah ruangan.

"Anakku." Teriak sang ibu. Dia segera menolong anaknya. Si nenek keluar dan mendekati. Saat melihat kepala si anak tampak ada luka. Anak menangis menjerit-jerit beberapa saat.

"Ibu, kan Aku ngepel kenapa main begitu." Kata menantu menyalahkan mertua.

"Iya, maafkan ibu. Maafkan nenek, ya." Ujar ibu mertuanya pada menantu dan cucunya. Namun di dalam hati mertua begitu sedih. Padahal Sangka sendiri yang mau bermain. Kalau tidak dituruti pasti dia menangis. Nenek merasa bersalah sekali. Apalagi saat melihat raut wajah menantunya sangat masam. Menantunya telah menganggap dia lalai dan tidak berpikir sebagaimana mestinya orang sudah tua.

...*****...

MALAMNYA.

*

Seperti biasa suaminya pulang dan istrinya menceritakan semua. Tapi hanya menurut versi sang istri. Sedikit kesal hati suaminya pada sang ibu. Tapi tidak dia masalakan dan tidak menyalakan sang ibu. Hanya saja saat berkata-kata bersama istrinya didengar oleh ibunya. Yang kebetulan lewat di depan kamar saat mau ke WC.

"Kenapa juga ibu begitu." Ujar si suami.

"Tapi harus Kanda beri tahu, agar tidak diulangi. Tapi jangan sampai ibu tersinggung." Ujar si istri. Mereka memperhatikan anak mereka yang tidur nyenyak dan kepalanya yang di perban.

"Apa kata Bu Bidan." Tanya si suami.

"Tak apa, hanya luka kulit." Jawab istrinya. Sang suami melihat jam dari handphone, jam menunjukkan pukul 12:21 malam. Keduanya tidak mengetahui kalau sang ibu mendengar semua percakapan mereka.

...*****...

Sebuah mobil pribadi merek rush warna merah keluaran terbaru menyusuri jalanan di tengah Kota Palembang. Pak Katara, istrinya, ayah, ibu, bayi kembar mereka, Pintan dan dua laki-laki muda di dalam mobil. Tiba di dekat lampu merah Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II.

"Belok kanan, Kak." Anak muda di belakang memberi tahu. Katara langsung ke kanan, karena jalur langsung. Jalan lurus dan ramai, dari atas LRT terdengar bunyi kereta cepat lewat. Beberapa saat kemudian mereka masuk lorong kecil tapi padat kendaraan. Sekitar setengah jam baru mereka tiba di tempat tujuan. Mereka sudah beberapa kali bertanya pada warga.

Berhentilah di depan jalan setapak. Sesuai petunjuk dari warga yang mereka tanyai. Mereka masuk berjalan kaki beriringan. Tampak ibu kontrakan mengintip mereka. Dari jauh, mereka melihat ada kontrakan berbentuk bedengan memanjang, berdinding papan beratap seng berkarat.

"Permisi Bu, kontrakan Pak Marang di mana ya." Tanya Katara. Istri Pak Kabas yang sedang menyapu lantai berhenti dan berdiri di teras.

"Sebelah ini dek, Pak Marang yang ditikam penjahat itu kan." Jawabnya, sambil menunjuk. Seorang bapak-bapak keluar dari kontrak di samping kontrakan Pak Kabas. Dia tampak tergesa-gesa, sehingga tidak bersapa atau menegur siapapun.

"Benar, Bu." Jawab Pak Katara lagi.

"Ada apa." Tanya istri Pak Kabas.

"Kami mau silaturahmi saja. Istri dan anaknya ada." Tanya Pak Katara lagi. Istri Pak Kabas kemudian memperhatikan keluarga itu.

"Mari Dek, Ayuk. Bawa dedeknya ke teras, kasihan panas. Semuanya silahkan duduk." Kata istri Pak Kabas. Mereka duduk di teras, anak kecil Pak Kabas keluar dan duduk di pangkuan ibunya. Setelah basah basih, dan berkenalan.

Barulah istri Pak Kabas menceritakan semua tentang Pak Marang. Dimulai dari istrinya meninggal, kemudian Pak Marang juga meninggal, sampai akhirnya anak-anaknya menghilang entah kemana.

Cerita itu membuat keluarga Pak Katara menjadi sedih. Bagaimana mereka mencari anak Pak Marang. Mereka sudah pergi dan tinggal di suatu tempat. Bagaimana kalau mereka terlantar. Rasa bersalah menghantui Pak Katara, Istri dan keluarganya.

Istri Pak Kabas berkata sedikit berbisik.

"Kemungkinan anak Pak Marang di usir oleh pemilik kontrakan. Karena hari waktu mereka pergi. Hari terakhir sewa kontrakan." Jelas istri Pak Kabas. Dia tahu persis sifat pemilik kontrakan. Sehari saja lewat, dia tidak segan-segan mengusir.

"Astagfirullah." Itulah yang terucap dari mulut mereka semua.

"Dulu, ada keluarga yang minta ditunda satu hari saja, tidak diizinkan, langsung di usir." Cerita Istri Pak Kabas.

"Apa mereka punya keluarga di Palembang, Bibi." Tanya Pintan.

"Tidak ada, setahu kami." Jawab Istri Pak Kabas.

Istri Pak Kabas menceritakan hari itu. Dia banyak memasak untuk membagi Aram dan adik-adiknya. Tega sekali penjahat itu, membuat yatim piatu anak-anaknya. Padahal Pak Marang orang baik. Yang menjadi aneh, mengapa orang membunuhnya. Apa alasan mereka begitu tega. Pak Marang hanyalah pemulung yang miskin. Apa yang mereka inginkan dari orang seperti itu. Itulah kata-kata istri Pak Kabas yang membuat hati Pak Katara dan istrinya ikut bersedih.

"Saya khawatir mereka akan menjadi gelandangan dan terlantar." Kata istri Pak Kabas, diakhir pembicaraan mereka.

...*****...

"Kita akan cari mereka, Dinda." Ujar Pak Katara saat di jalanan pulang.

"Sayang tidak ada fotonya, kalau ada kita bisa meminta bantuan polisi." Kata ayah Pak Katara.

"Aram, Areha, Luran dan Figan." Reze membaca catatan nama-nama anak Pak Marang. Mereka ingin membalas budi baik Pak Marang.

...*****...

SATU BULAN BERLALU.

*

"Grundungggg. Duuummm." Guntur dan petir bergemuruh di langit malam. Sepertinya hujan akan turun dengan lebatnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat. Aram sudah lelah mendorong gerobak. Mereka tidak tahu akan kemana.

"Yong, Aku mau tidur." Kata Figan, dia hampir menangis.

"Kita cari tempat dulu, sabar ya." Jawab Areha. Luran tampak membantu mendorong gerobak, sementara Areha menjinjing beberapa kardus. Jalan Kenten Lama yang kecil mulai sepi. Dulu jalan di sini ramai. Tapi sejak jalan Kenten Baru selesai, membuat jalan ini sepi. Walaupun begitu masih ramai juga di siang hari.

Melewati sebuah tikungan berkelok tajam, Aram melihat bangunan ruko memanjang delapan pintu yang tidak di sewa atau tidak ada penghuninya di sisi jalan. Sampa berserakan dan rumput menjalar hampir menutupi halaman. Berpenerangan lampu jalan mereka menuju ruko itu.

Aram mencari kaki lima yang di atap dengan kanopi. Agar kalau hujan angin mereka tidak basah. Gerobak dia letakkan, dan mengamati sekitar. Aram membersihkan sekitar teras dengan sapu yang dia bawa di dalam gerobak. Mencabuti rumput yang mulai tumbuh di lantai semen berlobang. Pertanda kalau tempat itu sudah cukup lama tidak di tempati. Kemudian menggelar tikar yang sering mereka duduki dan alas tidur. Areha menyalahkan lilin tapi tidak dapat menyalah karena angin berhembus cukup kencang.

Sementara cuaca terus buruk dengan kilat dan guntur. Sebelum tidur Aram membagi beberapa potong gorengan. Aram menuangkan air minum dari galon ke cerek plastik yang sudah kehitaman. Itulah makan malam empat kakak beradik yatim-piatu malam itu. Mereka dapat melihat samar-samar dari pantulan lampu jalan.

"Koyong, kapan kita makan nasi lagi. Sudah dua hari kita makan gorengan dan ubi jalar." Tanya Figan yang belum mengerti keadaan hidup mereka.

"Besok kita jual barang bekas kita." Baru beli beras dua atau tiga kilo." Jawab Aram.

"Aku boleh makan banyak-banyak, ya." Ujar Figan.

"Tapi dihabiskan ya." Kata Areha.

"Iya. Pasti habis." jawab Figan merasa hebat.

"Luran, kamu kenapa." Tanya Areha melihat diam saja.

"Aku ngantuk, Kopek." Jawabnya.

"Habiskan gorenganmu, sudah itu tidur." Kata Aram. Setelah itu, Luran dan Figan berbaring. Banyak sekali nyamuk yang dari tadi mengerubuti mereka. Aram mengambil terpal selebar tiga kali dua meter. Terpal itu peninggalan ibu mereka. Biasanya terpal di gunakan untuk menjemur sesuatu, misalnya ikan asin. Terpal itulah digunakan untuk selimut mereka agar tidak di gigit nyamuk.

Sudah tiga bulan lebih Aram dan adik-adiknya terlantar. Mereka setiap hari mencari barang bekas dan menjual ke pengepul. Kemudian membeli beras atau keperluan lainnya. Kalau hujan mereka mandi dan mencuci. Ember dan baskom yang mereka bawa menjadi wadah air hujan. Mereka tidur di emperan toko, emperan ruko tak dihuni, kadang di teras masjid, atau di kaki lima rumah orang yang tidak berpenghuni.

Mengingat ibu mereka yang sering memetik sayuran, liar. Seperti sayur genjer dan kangkung di rawa-rawa. Aram juga melakukannya. Kadang mereka memetik daun singkong yang tumbuh di sekitar jalan mereka lalui. Kadang mereka mendapat singkong yang berisi. Aram gali dan mereka makan bersama sambil bercanda ria. Penderitaan mereka belum dirasakan dengan getir. Karena mereka masih anak-anak yang masih mementingkan bermain.

Terdengar dengkuran tiga adik Aram dari balik terpal selimut malam yang hangat di udara malam dingin. Dengkuran itu bersahutan dengan suara jangkrik. Tak lama kemudian angin berhembus lebih kencang. Kemudian kilat dan guntur datang. Dari tadi hari akan hujan, sekarang turun dengan derasnya.

"Akhirnya hujan juga. Alhamdulillah." Kata Aram. Dia bangkit dan mengambil tiga ember plastik kecil, dua ember besar, dua baskom cukup besar. Kemudian dia meletakkan di ujung teratak atap kanopi. Besok mereka bisa mandi dan mencuci baju pikir Aram. Setelah itu dia juga berbaring di sisi Figan dan tidur. Figan sering menangis kalau tidak di dekat Aram. Menangis teringat ayah dan ibu mereka.

"Bakkkk. Maaakkkk. Kapan pulang, lalu dia memeluk kedua orang tuanya. Lalu bermain-main di suatu tempat. Mulut Figan memanggil-manggil kedua orang tuanya. Ternyata ayah dan ibu mereka datang ke dalam mimpi Figan dan berjanji akan pulang asal dia tidak nakal. Mungkin mimpi-mimpi itulah yang membuat Figan tidak terlalu rindu Ayah dan Ibunya.

...*****...

Seorang ibu-ibu berumur lima puluhan tahun turun dari angkot dan berhenti di sebuah persimpangan jalan menuju komplek perumahan. Hijab sederhana, baju kurung panjang sampai ke mata kaki. Beberapa ibu-ibu dan anak berseragam sekolah juga turun dari angkot. Mereka sudah membayar waktu di dalam perjalanan. Di gapura jalan itu banyak tukang ojek mangkal. Jalan itu cukup ramai karena sudah jadi jalan kecamatan.

"Ojek Bu." Tawar beberapa tukang ojek. Anak sekolah dan ibu-ibu lain menerima tawaran tukang ojek. Tapi berbeda dengan ibu yang satu itu.

"Tidak, terimakasih." Jawab si ibu. Dia kemudian melangkah mengikuti jalan itu. Dia menjinjing tas pakaian dan tas kecil yang berisi alat shalat dan Al-Qur'an. Banyak sekali yang berlalu lalang. Si ibu tua itu melihat empat anak-anak berjalan dari arah berlawanan. Kakak tertua mendorong gerobak yang penuh barang. Ada juga bagian gerobak di muat dengan barang bekas. Mereka memunguti sampa botol plastik di sepanjang jalan. Si nenek jadi prihatin dan kasihan. Dimana organ tua mereka kata hatinya.

Setengah jam perjalanan si ibu-ibu tiba di sebuah rumah.

...*****...

KERUMAH BARDA.

*

Seorang ibu-ibu muda sedang menidurkan anaknya. Tapi si anak sangat rewel sekali. Selalu menangis dan susa tidur. Membuat ibu muda itu kesal bukan kepalang. Sementara dia juga mengantuk berat. Semalam dia bergadang karena si kecil rewel. Mulut menguap dan matanya berair.

"Tidurlah, jangan nakal. Bikin kesal saja kamu ini." Kata si ibu-ibu muda.

"Tok. Tok. Tok." Pintu di ketuk beberapa kali.

"Siapa juga di luar. Bikin kesal saja." Kemudian si ibu-ibu bangkit menuju pintu. Sementara anak yang dia gendong tiba-tiba menangis keras. Wajah si ibu begitu ketus dan sinis karena menahan amarahnya. Dia mau marah, tapi tidak bisa.

"Oh, Ibu." Katanya singkat, kemudian membuka pintu lebar-lebar dan kembali berbalik masuk kamar menenangkan bayi perempuannya. Wajahnya sangat masam dan bicaranya ketus. Namun lain tanggapan si ibu yang baru datang. Melihat sikap si menantu dia menjadi tidak enak dan sedih. Dia tidak diharapkan datang kerumah ini. Wajahnya masam dan tidak tersenyum sedikitpun, pikir si nenek.

"Lasa, kenapa anakmu.?" Tanya si ibu mertua basa-basi.

"Mau tidur." Jawab suara dari dalam kamar singkat. Si ibu mertua diam. Sekarang dia hanya duduk di teras setelah meletakkan kedua tasnya di sudut ruangan. Perasaannya seperti datang ke neraka. Ingin dia segera pergi dari sana. Teras lapar perut si ibu karena terdengar suara perutnya. Tapi dia tidak nafsu makan. Dari teras rumah dia memperhatikan jalanan. Sementara di kamar, Lasa sang menantu akhirnya tidur pulas bersama anaknya.

...*****...

Malam harinya, mereka berkumpul di ruang tengah. Ada anak berumur sembilan tahun sedang belajar. Lasa bermain dengan anak bayinya. Televisi menayangkan sebuah sinetron.

"Umak, pukul berapa tiba di rumah." Tanya seorang laki-laki berumur tiga puluhan tahun.

"Sekitar pukul tiga sore." Jawab si Ibu mertua Lasa.

"Pergi sendiri atau di antar Zeta." Tanya anaknya.

"Ibu berangkat agak siang. Zeta berangkat pagi-pagi. Aku bilang pada istri Zeta kalau mau ke rumahmu. Jadi naik angkot dan ojek." Jelas Ibunya. Sesungguhnya dia hanya naik angkot, dua kali dia jalan kaki agar menghemat uang.

"Oh, iya Bu." Jawab Barda.

"Sehat Dik Yayu dan anaknya, Bu." Tanya istri Barda.

"Alhamdulillah, sehat." Jawab ibu mertua.

"Ayah coba ajarin kakak, tak bisa, tambahan sulit." Kata anak sulung Barda. Barda kemudian mendekati anaknya dan mengajarkan pekerjaan rumah. Ibunya diam saja dan menonton televisi. Menantu pun masuk kamar membawa bayinya. Si nenek sendiri dalam lamunan, entah apa yang dia pikirkan.

...*****...

PERTENGKARAN BARDA.

*

Tiga hari berlalu, nenek di rumah anaknya bernama Barda. Suasana biasa saja dan tidak ada masalah. Tapi, pada malam keempat terjadi pertengkaran antara Barda dan Istrinya.

Sekitar pukul sepuluh malam. Barda dan istrinya cekcok di dalam kamar. Terdengar oleh ibunya dari luar. Entah apa yang mereka ributkan. Yang jelas ada teriak dan suara keras.

"Sudah, ada ibu tidak enak." Kata Barda.

"Kau memikirkan perasaan ibu, tidak memikirkan perasaanku." Jawab Lasa.

"Memikirkan apa, kau itu yang ngamurau. Curiga saja yang kau pikirkan." Kata Barda, ngamurau nama penyakit jiwa gila cemburu.

"Iya, makanya kau sebagai laki-laki harus mengerti." Kata Lasa keras.

"Mulut tidak pernah sekolah apa. Pikiran seperti itu. Apa tidak mengerti adab dan etika. Tidak diajarkan mungkin bagaimana berprilaku." Kata Barda.

"Ahhhhh." Lasa tiba-tiba menangis keras.

Ibu Barda, menjadi tidak enak saat si menantu membandingkan sikap Barda terhadap dirinya. Dia merasa bersalah kalau kehadirannya penyebab ributnya anak dan menantunya. Memang tidak banyak anak dan menantu yang dapat menerima mertua. Namun terkadang itu hanyalah permainan perasaan saja. Orang tua terlalu sensitif, dan anak dan menantu yang belum dewasa.

Setelah malam itu, beberapa hari kemudian entah apa yang diributkan. Kembali terdengar Barda dan istrinya bertengkar di kamar. Barda pergi kerja tanpa sarapan. Begitu juga anak mereka sekolah tidak sarapan. Sementara Lasa mengurung diri di kamar. Beberapa hari kemudian terjadi lagi pertengkaran dan membuat rumah bagai neraka.

Ternyata permasalahannya karena kesibukan, Barda sudah jarang memberi kabar. Pulang, dia cepat tidur karena capek. Lalu pergi kerja buru-buru pagi-pagi sekali. Menurut istrinya, dia sudah berubah dan yakin sekali kalau Barda punya selingkuhan atau istri simpanan. Tuduhan itulah yang membuat Barda kesal setengah mati. Dia bekerja keras demi keluarga, sementara istri tidak mau mengerti. Mereka pun menjadi keras kepala semua.

"Begitulah hidup menumpang anak." Kata hati ibu Barda. Suatu hari, waktu subuh ibu Barda bangun dan shalat subuh. Terdengar lagi bentakan Barda berulang-ulang.

"Aku sibuk, cari makan, bukan maen perempuan. Mengerti, atau kau binatang tidak mengerti. Tiap hari cari masalah terus." Teriak Barda dengan kata yang sangat kasar.

Ibu Barda memasak telur goreng dan nasi goreng untuk sarapan pagi. Karena melihat Menantunya belum bangun, sedangkan hari sudah siang.

"Keasinan Nek." Kata anaknya saat mencicipi telur, dia tidak suka asin. Istri Barda yang baru bangun dengan wajah masam menjadi tambah kesal. Dia kemudian mau menggoreng telur lagi. Tapi sayang telur sudah dimasak semua. Melihat telur tinggal tiga butir, ibu Barda masak telur satu adonan. Mau ke warung belum ada yang buka.

Nenek tidak tahu kesukaan cucunya bagaimana. Karena biasanya semua anak suka kalau goreng telur diberi garam sedikit. Ternyata anak Barda suka telur goreng tawar.

Pagi itu, suasana sarapan jadi tidak enak. Entah karena pertengkaran mereka atau karena sang ibu. Yang jelas, si nenek jadi tidak enak.

...*****...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!