Days Survival
Sejarah alternatif didunia ini...
Pada permulaan tahun 1982, dunia menyaksikan drama yang melibatkan dua kekuatan tak tertandingi, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Mereka bertarung dalam panggung kelam, menjalani tarian kekuasaan yang mencekam di atas peta dunia.
Namun, jalinan kisah ini membawa kita ke suatu tempat yang menjadi titik tolak yang krusial. Di ujung timur yang membeku, sebuah negara tumbuh dalam keheningan yang dingin. Uni Soviet, sebagai markas besar yang megah, memimpin jalannya pemerintahan dan mengendalikan rahasia kekuatan negara. Seperti seekor naga yang menjaga kehormatan, Uni Soviet menguasai lahan yang luas, melintasi batas Eropa hingga memeluk Asia, berdekatan dengan samudera yang menghubungkan Jepang dan Amerika Serikat.
Uni Soviet, seperti raksasa yang tidak tergoyahkan, membanggakan diri sebagai negara terluas di bumi. Tanahnya yang menjulang membentang, melukiskan takdirnya yang besar. Angkatan bersenjatanya, yang tak terhitung jumlahnya, menjadi penjaga kesaktiannya. Dalam lautan perang, di udara dan di daratan, mereka menguasai segalanya. Armada yang tak terbendung, tank tanpa pengecualian, dan unit tempur lainnya bergerak menjaga dominasi yang tiada tanding. Negara-negara adidaya lainnya, meskipun bersatu dalam perjuangan, tetap sadar akan keterbatasan mereka dalam menyaingi kehebatan Uni Soviet. Hanya ketika Amerika Serikat dan tiga sekutunya, Inggris, Prancis, dan Australia, bergabung, ada kemungkinan sejumput harapan untuk menandingi kemiliteran Uni Soviet. Namun, dalam pertarungan ini, tak semua keunggulan Uni Soviet dapat dengan mudah ditaklukkan. Jika mimpi perang menjadi kenyataan, diperkirakan jutaan jiwa akan menjadi korban, dan luka yang terbuka akan mengoyak miliaran hati. Sebab itulah, negara-negara di sekitar Uni Soviet memilih netralitas, menolak terlibat dalam pertempuran mematikan atau perang berdarah dengan monster di timur.
Uni Soviet, di samping memperlihatkan kekuatan ekonomi yang mengagumkan, menciptakan senjata maut yang tersembunyi, bom atom dan nuklir. Sebuah harta berbahaya, yang bersembunyi dalam bilik rahasia mereka. Jumlahnya mencengangkan, melebihi segala jenis bom yang pernah diciptakan. Itu adalah senjata yang melahirkan kehancuran dengan ledakan yang menggelegar. Dalam dunia yang diliputi ketegangan, ancaman yang mencekam, dan potensi kehancuran yang menggantung, zaman Perang Dingin ini terukir sebagai kisah yang mencekam, berpadu dengan nuansa metafora yang membangkitkan getaran serius di hati kita.
Pada titik awal 43 tahun yang lalu, di tahun 1939, pintu gerbang Perang Dunia II terbuka dengan dahsyat. Jerman, Italia, dan Jepang berdiri sebagai tokoh sentral dalam pemicu perang yang dahsyat ini. Aliansi gelap itu terbentuk, mengarah pada pertempuran tanpa ampun yang tak bertujuan perdamaian atau kesejahteraan bersama. Jerman berperan sebagai kekuatan penggerak, mementingkan hegemoni ras tertentu di seluruh dunia. Mereka melabeli ras lain sebagai kelas bawah yang patut ditindas dan diperbudak. Saat perang raksasa ini dimulai, Jerman menikmati keunggulan yang mengagumkan. Dalam waktu empat bulan, mereka mampu menguasai hampir seluruh daratan Eropa, kecuali beberapa negara seperti Spanyol, Portugal, Inggris, Swedia, Finlandia, dan Uni Soviet. Namun, terbatasnya sumber daya alam mendorong mereka untuk melakukan eksperimen-eksperimen rahasia yang misterius, disembunyikan dengan hati-hati agar musuh tidak mengetahui rencana yang tengah dirancang.
Dari kilas balik masa lalu, suara aneh yang samar terdengar, seolah-olah ingin menyampaikan pesan penting kepada para pembaca. Suara itu semakin jelas tiap detik berlalu, menggambarkan laki-laki yang menahan rasa sakit yang tak terperi.
"Shhhh, shhhh, shhh, kematianku telah menjelma di depan mataku saat penyesalanku lenyap dengan sepenuhnya. Akhirnya, aku bebas dari belenggu kesalahan dan penyesalan yang mengikatku selama ini. Terima kasih, teman-temanku, yang terus mendukungku meskipun kita semua telah gugur dalam perjuangan yang begitu besar ini. Semoga di luar sana, di dunia yang luas dan indah yang belum pernah kita lihat, ada seseorang bijaksana dan kuat yang dapat menyelamatkan dunia dari kehancuran ini. Shhhh... Shhhh... Shhhh..."
"Hahaha... sampai kapan pun, kalian, manusia yang lemah dan yang lainnya, tak akan pernah mampu mengalahkanku. Kalian tak sekuat armada Zeppelin yang kumiliki, dan kalian tak ubahnya bodoh dalam segala hal. Mengapa aku berani mengatakan itu? Karena kalian manusia mudah diperdaya, saling menjatuhkan, berperang, membunuh, dan menyiksa satu sama lain. Karena itulah, aku mengusir sifat kemanusiaan dariku sendiri, karena itu hanya akan menghalangi rencanaku untuk menciptakan perdamaian yang kekal. Walaupun kalian menang dalam jumlah dan persenjataan, kalian tetap kalah. Apakah itu saja kemampuan kalian dalam melawan perjuanganku? Lebih baik terimalah tawaranku ini. Aku akan membangun mimpi yang indah, seindah kenyataan yang didambakan oleh banyak orang. Di sana tak ada penderitaan, rasa sakit, penghinaan, persaingan kekuasaan, atau pertempuran. Di sana hanya kebahagiaan yang sempurna, di mana kau akan memperoleh segala yang diinginkan, walaupun mustahil terwujud dalam dunia nyata." Ujar seorang pria dengan semangat yang membara untuk mewujudkan cita-cita yang didambakannya.
"Chukss, aku teringat perkataan seorang yang pernah kutimbang bijaksana dan berwibawa. Dia mengatakan, lebih baik hidup dalam penderitaan daripada terperangkap dalam mimpi yang tak nyata. Berjuanglah, meski tampak mustahil untuk terwujud, selama impian kita tak merugikan orang lain."
"Kamu sebenarnya hanya dimanfaatkan oleh seseorang yang berambisi mewujudkan cita-citanya sendiri," terdengar kata-kata itu dengan suara serak, mengambang di udara seperti asap.
"Diam, diam, diam! Kamulah yang salah di sini, atas segala yang telah terjadi. Tidak ada lagi yang bisa membujukmu. Oleh karena itu, aku harus melakukan ini!" ucap seseorang dengan nada keras yang berbeda, tetapi ini hanya sebatas suara yang tak memiliki bentuk fisik.
"Kematian adalah pilihan yang lebih baik bagimu. Kamulah salah satu penyebab kehancuran dan kekacauan dunia seperti ini. Aku berjanji pada para teman kita yang telah mati karena perang dan kebencian di dunia ini. Dalam diam, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan perdamaian sejati yang diimpikan oleh setiap makhluk hidup di dunia ini," ucap seseorang dengan suara yang berbeda.
Suara pistol bergema keras, diiringi dengan gangguan-suara yang mengusik seperti televisi kehilangan sinyalnya. Kemudian kilas balik berputar kembali, memperlihatkan kekejaman Perang Dunia II yang dimulai ketika Jerman menginvasi Polandia. Kilas balik itu menunjukkan tentara Jerman yang melakukan genosida dengan begitu banyaknya kepada penduduk non-ras utama, dengan cara-cara yang tak terpikirkan. Mereka membakar orang tak berdosa hingga menjadi abu, memotong kulit tahanan secara perlahan-lahan sehingga mereka menjerit kesakitan hingga ajal menjemput karena kehabisan darah, serta memenggal kepala tahanan untuk digunakan sebagai bola kaki dalam permainan yang mengerikan.
Seperti badai menghantam laut lepas, ambisi besar negara Jerman dan sekutunya muncul dalam panorama gelap. Mereka berusaha untuk meluluhlantakkan semua ras, suku, dan bangsa di dunia ini, hanya untuk menyisakan satu ras yang mereka anggap sempurna. Ketika Jerman menguasai tanah-tanah Eropa dengan megahnya dari 1939 hingga 1945, mereka memulai serangkaian eksperimen yang kejam dan tanpa belas kasihan. Rencana ini dipimpin oleh Jenderal Göring dan Mayor Keitel, yang tidak segan memerintahkan para peneliti dan tentara untuk menggunakan wanita dan anak-anak sebagai subjek percobaan dalam rencana gila mereka. Namun, beberapa aktivis kemanusiaan yang berdiri di belakang kaum tertindas dan para ilmuwan Jerman yang tergabung dalam persekutuan menentang kebrutalan dan kegilaan percobaan tersebut. Namun, masyarakat Jerman yang terikat dengan propaganda sang Führer justru berusaha menyudutkan mereka, dengan tindakan teror dan bahkan pembunuhan atau penghilangan mereka oleh pemerintah Jerman saat itu. Kekejaman rezim Jerman tidak berhenti di situ saja, bahkan mereka membunuh sesama ras utama jika mereka memiliki tujuan dan cita-cita yang berbeda dari apa yang telah diformulasikan oleh sang Führer sejak lama. Untuk mencapai rencana mereka yang rahasia, rezim Jerman di bawah kepemimpinan Führer Reich memerintahkan Mayor Jenderal Friedrich dan Mayor Keitel untuk membangun markas penyiksaan yang dikenal sebagai Gestavo. Tempat penyiksaan ini tersebar di seluruh wilayah jajahan Jerman, seperti Prancis, Denmark, Polandia, Yugoslavia, Cekoslowakia, Yunani, Belgia, Belanda, Luksemburg, dan Norwegia. Lebih dari 15 lokasi yang menjamur di negara-negara tersebut. Rencana yang sedang digarap oleh rezim Jerman masih tetap diselimuti misteri. Namun, sedikit informasi tersebar ke Amerika dan Uni Soviet melalui intelijen negara-negara netral. Mereka mendapatkan sedikit bocoran bahwa rezim yang dipimpin oleh sang Führer sedang mengembangkan senjata biologis yang mematikan, mampu memusnahkan seluruh populasi manusia dalam waktu singkat. Meskipun bukti yang diperoleh sangat sedikit, disertai dengan munculnya rumor-rumor yang menarik, seperti penciptaan tank baju besi baru atau pembuatan bom dahsyat.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1941, rezim Jerman di bawah kepemimpinan Fuhrer Reich memerintahkan Mayor Jenderal Helmut dan Jenderal Manstein untuk melancarkan invasi besar-besaran ke Uni Soviet dengan pasukan mencapai 5.000.000 orang. Operasi ini dikenal sebagai Operasi Uternehmen Barbarossa, yang diperkirakan akan menelan korban sebanyak 20 juta tentara dan rakyat sipil dari kedua belah pihak. Seperti lukisan tak terbantahkan yang diwarnai oleh nuansa suram, cerita ini terus berputar, mengungkapkan sisi kelam dunia yang tertutupi oleh keangkuhan dan kebrutalan. Namun, di antara keputusan berisiko yang diambil, beberapa jenderal menolak langkah tersebut. Mereka melihat datangnya musim dingin yang ekstrim, yang diprediksi akan meluluhlantakkan Uni Soviet dalam waktu dua bulan ke depan, mengancam para tentara yang terlibat dalam pertempuran di front tersebut. Namun, saran-saran para jenderal itu ditolak mentah-mentah oleh Führer. Dalam keyakinannya, sang Führer yakin pasukan Jerman akan berhasil menaklukkan Uni Soviet dalam waktu kurang dari satu bulan, sebelum musim dingin yang mengerikan itu tiba. Keputusan Führer Reich sudah menjadi keputusan mutlak, dan tak peduli setuju atau tidak, semua harus tunduk pada perintahnya agar tak dicap sebagai pengkhianat negara.
Pada tanggal 22 Juni 1941, pukul 1 dini hari, pasukan Jerman melancarkan serangan dengan kecepatan yang mengejutkan pada pangkalan militer di perbatasan antara Rumania dan Uni Soviet, dengan taktik yang dikenal sebagai Blitzkrieg. Dalam waktu dua minggu, pasukan Jerman berhasil menembus perbatasan sepanjang 1.000.000 kilometer dan hampir berhasil menghancurkan semangat perlawanan pasukan Uni Soviet. Di tengah situasi yang sangat genting ini, kota Moscow menghadapi ancaman yang sangat mengkhawatirkan. Ibu kota Uni Soviet ini dikepung dengan kejam dari setiap penjuru oleh aliansi Axis Eropa, yang terdiri dari negara-negara seperti Bulgaria, Rumania, Jerman, Hungaria, Finlandia, dan negara boneka Jerman lainnya. Derasnya suara tembakan dan gemuruh peluru merambat di seluruh kota Moscow dan Leningrad. Semua kekuatan militer Uni Soviet diperintahkan untuk berkumpul dan menyatukan kekuatan di kedua kota besar tersebut. Meskipun terorganisir dalam keadaan yang kacau balau, Uni Soviet tetap bertekad untuk mempertahankan benteng terakhir mereka dari serbuan yang dahsyat. Di dalam dua pertempuran epik ini, sejarah, impian, cinta, keluarga, dan takdir diuji hingga batasnya. Namun, tiba-tiba muncul sebuah keajaiban. Musim dingin yang diperkirakan akan datang dalam satu bulan tiba-tiba datang lebih cepat dari yang diperkirakan. Ini membuat ilmuwan dan jenderal-jenderal militer Jerman terkejut. Kesempatan yang langka ini tidak disia-siakan begitu saja. Dengan cepat, para pemimpin Uni Soviet bereaksi dan mengumpulkan tentara mereka untuk melancarkan serangan mengejutkan yang bertujuan menghancurkan semangat pasukan Jerman. Operasi ini diberi nama Operasi Uranus, yang akan dipimpin oleh Jenderal Leminsvo dan Jenderal Timoshenko. Serangan ini diprediksi melibatkan lebih dari sepuluh juta tentara dan rakyat sipil, yang akan bergabung dalam gerakan militer yang besar ini.
Para pemimpin Uni Soviet memberikan segala keputusan penggunaan kekuatan darat, laut, dan udara di bawah kepemimpinan Jenderal Leminsvo dan Jenderal Timoshenko. Rakyat dan tentara bersatu dalam harapan bahwa sang jenderal mampu memutarbalikkan keadaan yang sedang melanda. Jenderal Leminsvo dan Jenderal Timoshenko membagi kekuatan Uni Soviet menjadi 1798 divisi, masing-masing terdiri dari tank dan pasukan milisi bersenjata. Mereka bertujuan untuk menkoordinasikan manuver mereka dengan cermat, sehingga serangan yang terorganisir ini bisa menghancurkan barisan musuh yang tak terhitung jumlahnya. Ketika hamparan musim dingin datang menghampiri, menyelimuti medan perang dengan misteri dan keheningan, jenderal-jenderal dan petinggi Jerman menyadari bahwa mereka terpaksa berhadapan dengan badai yang tak terduga. Seperti hujan salju yang menghamparkan kesulitan dan ketidakpastian, semangat para tentara Jerman mulai terguncang. Rantai pasokan yang menjadi nadi pergerakan mereka terpotong, seolah racun membelit jantung perang mereka. Namun, dalam kejauhan, terlihatlah serangan yang mendebarkan dari tentara Uni Soviet. Seperti kilat di tengah hujan salju, mereka menyerbu dengan kecepatan yang mengejutkan. Dalam serangan yang tiba-tiba ini, mereka menusuk jantung pertahanan jerman dan sekutunya, menghancurkan fondasi taktik yang telah mereka dirikan. Serangan itu juga menyerang jiwa dan semangat juang pasukan Axis, dan akhirnya jutaan pasukan Merah Uni Soviet merebut kembali wilayah yang pernah mereka jajah. Seperti bara yang membara di tengah dinginnya musim, tentara Uni Soviet terus maju, terus menembus wilayah-wilayah terdalam Jerman, merobek-robek moral dan semangat tempur pasukan musuh. Di tengah kekacauan medan pertempuran, jenderal-jenderal Axis terombang-ambing, tidak mengetahui arah apa yang harus diambil untuk mempertahankan posisi mereka yang semakin terdesak. Dalam keadaan cuaca yang semakin memburuk, serta kekacauan yang menguasai mental tentara mereka, kehancuran tampak semakin dekat.
Namun, perlawanan tentara Uni Soviet tidak berhenti di situ. Seperti sungai yang mengalir tak terbendung, mereka terus melaju, memasuki wilayah-wilayah terdalam Jerman, termasuk kota Kaliningrad yang terpencil. Para jenderal dan petinggi Jerman merasa kepanikan dan kebingungan melanda mereka ketika melihat pemandangan kehancuran di sekeliling. Itu pun belum cukup, karena Amerika bergabung dalam Operasi Overlord di pantai Normandia, Prancis, memberikan bantuan kepada negara-negara Barat. Dalam momen yang penuh dengan kesulitan ini, sang Führer dihadapkan pada tekanan dari jenderal-jenderal dan petinggi Jerman lainnya untuk menyerah kepada dunia. Namun, dengan sisa keyakinan yang masih tersisa, ia tetap mempertahankan prinsipnya untuk terus bertempur, seolah merangkul api yang masih berkobar di balik kegelapan. Keadaan semakin rumit dan kacau ketika kabar jatuhnya Polandia ke tangan Uni Soviet menyebar di medan perang. Seperti kabut yang merayap perlahan, berita itu merasuki telinga tentara dan jenderal Jerman lainnya. Tidak hanya itu, Italia, salah satu sekutu Jerman, mengalami kemunduran ketika pasukan Barat dan Amerika Serikat bersatu dalam serangan terhadap pulau Sisilia pada bulan Juli 1943.
Pasukan Jerman semakin terjepit ketika memasuki awal tahun 1944. Italia menyerah tanpa syarat kepada pasukan Amerika, setelah kematian Benito Mussolini, yang merupakan pemimpin tertinggi Italia yang berpihak kepada Axis. Di wilayah yang berbatasan dengan Swiss, Mussolini menemui ajalnya saat berusaha melarikan diri dari tentara Italia yang berpihak kepada Uni Soviet. Kematian Mussolini menjadi penyebab runtuhnya Italia ke tangan pemberontak yang membela perjuangan negara-negara Barat. Ketika satu per satu sekutu dan negara boneka Jerman menyerah dan meninggalkan medan perang, Jerman terpaksa bertempur sendirian, seperti serigala yang terlunta-lunta dalam kegelapan malam. Pada tanggal 18 Januari 1945, sayap-sayap kehidupan Jerman yang pernah menjulang tinggi mulai terkulai lemas di bawah bayang-bayang kesedihan yang tak terbendung. Seperti elang yang tersesat dalam hutan belantara, tentara Jerman yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Muller terpaksa merangkak mundur, meninggalkan jejak derita di tanah Prancis. Mereka meninggalkan bekas-bekas kejayaan, yang kini hanyalah sebongkah kenangan hancur yang membakar jiwa. Sementara itu, di wilayah Timur yang penuh dengan ranjau kenangan, negara-negara yang pernah menari di dalam genggaman Jerman mulai melepaskan diri seperti burung yang mematahkan sangkar terkungkung. Bulgaria, Rumania, Hungaria, dan Finlandia melabuhkan hati mereka pada lepasnya, menghadapkan wajah kehinaan untuk menekan tombol penyerahan tanpa syarat kepada musuh gelap, Uni Soviet. Dalam hening yang suram, Jerman menjadi pecahan yang terpisah-pisah, kehilangan lengan-lengan pengawalnya yang tak berdaya.
Namun, lebih dari sekadar runtuhnya kekuasaan, angan-angan jiwa pun mengalir deras seperti sungai yang melumatkan batu-batu harapan. Menggelepar seperti ombak di lautan rasa, moral dan kepercayaan yang pernah menjadi pilar kuat masyarakat dan prajurit Jerman tergerus oleh angin berhembus yang membawa kabar kehancuran. Dalam gelapnya malam, Berlin menjadi teater tragedi, dimana sandiwara pengkhianatan memainkan peran utama. Operasi Valkyrie, sebuah simfoni pengkhianatan yang dipimpin oleh Kolonel Gustavson, berkecamuk di dalam ruang jiwa yang terbelah. Namun, dalam ironi takdir, panggilan takdirlah yang menentukan. Dalam sekejap, operasi itu lenyap tanpa jejak, meninggalkan puing-puing harapan yang tercerai-berai.
Dalam perjalanan waktu yang tak terbendung, kelopak-kelopak kemenangan bersemi di ladang kelabu. Namun, bagai deburan laut yang melumatkan batu karang, pasukan Barat dan Uni Soviet tak terhentikan. Jenderal-jenderal dan petinggi Jerman, yang merasakan langkah-langkah maut mengintai di depan pintu kesudahan, berlomba melarikan diri, mencari penyelamatan bagi nyawa yang kian rapuh. Dan akhirnya, tabir sejarah diangkat, ketika Berlin, kota yang pernah menjadi lambang kekuatan, kini diserbu dari segala penjuru oleh cengkeraman kekalahan. Uni Soviet, Amerika, Prancis, dan Inggris menyatukan langkah-langkah mereka dalam tarian kehancuran yang tak terhindarkan. Dalam puncak kehancuran yang mendalam, saat senja kejayaan meredup di ufuk timur, para jenderal dan petinggi Jerman berkumpul di sebuah ruangan gelap yang menyiratkan masa depan yang suram. Di tengah ruangan, seperti bintang yang pudar, Fuhrer berdiri tegar, melambangkan ultranasionalisme dan kekuasaan yang perlahan-lahan memudar. Namun, begitu rapuhnya benteng terakhir ini, saat-saat terakhir kota Berlin dikelilingi oleh kegelapan merah Uni Soviet. Dalam ketegangan yang melilit, Fuhrer, sebagai penguasa tertinggi Jerman, memanggil Mayor Kaitel, satu-satunya orang yang masih ia percayai, untuk memimpin sisa-sisa pasukan Jerman yang bertahan di Berlin. Dalam adegan terakhir yang akan menentukan takdir perang dunia, Pertempuran Berlin pun tergelar, menyeruakkan deru pertempuran yang menghantui setiap detak jiwa. Namun, di balik panggung peperangan, tragedi yang melanda bergaung menyayat hati.
Lima hari sebelum keruntuhan Berlin, Fuhrer, sebagai simbol kekuasaan yang hancur, memilih mengakhiri hidupnya dengan senjata yang ia pimpin sendiri, menyisakan luka dalam yang takkan sembuh. Jasadnya dikawal oleh para jenderal, dan dalam bara yang melahap, jejak keberadaannya di dunia sirna tak berbekas. Setelah kematian tragis sang pemimpin tertinggi, negara Jerman dipaksa menaikkan Menteri Propaganda mereka, Jenderal von Karl, sebagai pemimpin interim. Namun, dalam perjalanan singkatnya, ia tanpa memberi tahu para pemimpin militer lainnya, mengumumkan penyerahan kekuasaan Jerman kepada dunia Barat dan Timur melalui gelombang suara di radio, yang merayap ke telinga setiap prajurit dan warga Jerman yang terperangkap di sekitar Berlin.
Dalam pidato yang penuh duka...
"Aku berdiri di sini, dalam saat-saat terakhir negara ini berdiri tegak. Menyuarakan hati-hati yang terbelenggu dalam diriku, untuk mempertahankan dan melayani Jerman yang dulu kita banggakan, bahkan hingga titik darah terakhir. Karena itu, dengan hati yang tulus, tanpa paksaan atau pengaruh kelompok atau pejabat lainnya, aku menyatakan bahwa Jerman harus menyerah tanpa syarat kepada koalisi negara-negara. Aku memohon kepada para prajurit dan jenderal yang masih teguh dalam keyakinan mereka, untuk menyerahkan senjata dan mengakhiri pertempuran demi keluarga kita yang kita cintai. Kita telah dikalahkan dalam segala aspek, dari keuangan hingga semangat, dari mentalitas hingga hal-hal lainnya. Daripada korban jiwa terus bertambah, lebih baik negara ini menyerah daripada berperang tanpa tujuan yang jelas. Hati ini berat mengucapkan kata-kata sekecil ini, tetapi ini adalah yang harus aku lakukan untuk kebaikan bangsa dan rakyat yang aku cintai. Dengan segala hormat yang ada, atas nama Fuhrer Reich yang kita kagumi, yang kita anggap sebagai pahlawan, dan atas nama diriku sebagai pengganti sementara pemerintah Jerman, aku memohon pada semua prajurit dan warga sipil untuk menyerah sekarang. Semua ini demi orang-orang yang kita cintai yang menantikan kedatangan kita di rumah. Kita tidak ingin melukai dan mengecewakan mereka dengan tindakan kita. Kita tidak boleh mati sia-sia, tanpa mencapai sedikit pun tujuan. Terima kasih, ini adalah ucapan terakhirku, Hail Jermanic! Biarlah Jerman yang pemberani tetap hidup. Semoga Tuhan melindungi kita semua dari kehancuran ini, karena Tuhan ada di sisi orang-orang yang beriman."
Dengan cinta yang dalam untuk Jerman, Jenderal Von Karl.
Di dalam koridor-koridor bunker yang remang-remang, terisi oleh kerumunan para prajurit terluka, yang tertimpa reruntuhan bom dan hujan peluru yang tak berkesudahan dari pasukan Uni Soviet yang menyerang Berlin dari luar, Jenderal Von Karl berjalan dengan langkah berat, melepas salam perpisahan yang penuh duka kepada sahabat-sahabatnya yang telah berjuang bersama-sama selama ini. Dalam kesedihan yang tak terkatakan, ia berlari secepat mungkin menuju kamar pribadinya di bunker Fuhrer yang terletak di bawah tanah, di bawah gedung parlemen yang sedang diserang dengan kejam oleh pasukan koalisi dari delapan negara. Ia pergi bersama seluruh anggota keluarganya, dan di akhir perjalanan mereka, Jenderal Von Karl bersama istri dan lima anaknya mengakhiri hidup mereka dengan menenggak racun sianida yang mematikan di dalam kamar mereka. Mereka menghadapi ajal dengan penderitaan yang tak terperi, meninggalkan tubuh mereka yang kemudian ditemukan setelah kota Berlin diobrak-abrik oleh pasukan Uni Soviet. Sebuah pintu bunker terbuka, dan terlihatlah tujuh jasad yang saling berpelukan, di sekeliling mereka terdapat pistol dan sisa racun sianida.
Di tempat lain, pada waktu dan tempat yang berbeda, deklarasi penyerahan yang mereka dengarkan mengakibatkan para tentara dan rakyat Jerman di Berlin menurunkan senjata mereka dan menyerah kepada pasukan negara-negara Barat dan Uni Soviet. Kota Berlin pun jatuh ke tangan kekuatan asing, dan bendera serta lagu kebangsaan Uni Soviet berkibar dan berkumandang di seluruh penjuru kota, menandakan kemenangan dunia atas pengaruh kuat Axis di Eropa. Beberapa hari setelah itu, tepatnya pada tanggal 12 Mei 1945, kabar tentang kematian Fuhrer Reich dan kejatuhan kota Berlin mencapai telinga para tentara Jerman yang berada di luar Berlin. Mereka pun melakukan hal yang sama seperti rekan-rekan mereka di kota, menyerah atau bahkan ada yang memilih bertempur meski dengan sia-sia.
Cerita Rakyat Lokal
Pada tanggal 20 Mei 1945, semua pasukan Axis yang masih aktif di Eropa dan Asia mulai diburu dan ditangkap oleh pihak-pihak Barat dan Timur, satu per satu, hingga tak tersisa lagi. Namun, ada rumor yang beredar di kalangan masyarakat setempat yang tinggal di tepi pantai Norwegia. Mereka melaporkan peristiwa aneh yang terjadi pada tanggal 16 Mei 1945, pukul 9.50 pagi. Terdengar suara mesin turbine dari sebuah kapal selam Jerman, yang kemudian diikuti oleh kejadian yang sungguh tidak wajar. Kabarnya, seluruh pasukan Jerman yang bertugas di kota Oslo tiba-tiba menghilang tanpa bekas, serta hilangnya 12 unit kapal selam beserta semua persenjataan yang tersimpan di balai kota pusat, yang terletak tepat di tengah kota Oslo.
Pemerintah setempat, seperti kepolisian, tentara, dan ahli pelacak, berusaha dengan segala upaya untuk menemukan jejak pasukan Jerman yang hilang tersebut. Namun, segala usaha itu terasa sia-sia, karena tidak ada bukti yang ditinggalkan oleh mereka. Beberapa tokoh masyarakat mulai menggambarkan bahwa tentara yang melarikan diri itu mungkin pergi ke Argentina atau Chile, berdasarkan sebuah telegram yang tertinggal di salah satu bunker milik pasukan Jerman.
Dalam keheningan malam yang mendalam, seolah-olah tersembunyi di balik pepohonan yang rimbun, takdir mengukir kisah-kisah pilu di relung hati yang gelap. Di antara koridor-koridor bunker yang menjadi puri terakhir keberanian, para prajurit terluka menjelma menjadi bayang-bayang yang merintih dalam kepedihan. Mereka adalah penjaga-penjaga yang terluka, yang tercerabut dari batasan-batasan hidup mereka oleh hantaman tak terduga. Jenderal Von Karl, dengan tekad yang beku dalam pandangannya, melangkah di antara mereka, menjalani perjalanan terakhir menuju keabadian. Di mata mereka yang sayu, ia meninggalkan seutas tali penghubung, kata-kata terakhir yang terhunjam dalam dada mereka, suara pengampunan yang dipersembahkan dengan kerendahan hati kepada saudara-saudara yang setia. Dalam pelariannya yang tak terhentikan, ia mencapai tempat perlindungan yang kelam, tempat bertemu dengan takdir yang telah merajut benang kehidupan dan kematian. Di dalam ruang sunyi yang dipenuhi oleh keluarga yang berhimpun, gelap tak terhingga menyelimuti mereka seperti selubung yang merangkum duka. Terbungkus oleh putaran takdir yang tak terhindarkan, mereka meminum racun yang membawa mereka pada lelap yang tak berujung, di tempat yang tak terlihat oleh mata manusia. Jasad mereka menjadi penanda yang memudar di samudra keabadian, dibiarkan terombang-ambing dalam riak-riak waktu yang terus bergulir.
Dalam bayang-bayang kehancuran yang menghimpit, negara Jerman dan pengikut setia rezimnya terjatuh ke dalam jurang kelam. Seperti burung-burung yang terkurung dalam sangkar besi, mereka terikat oleh perintah-perintah yang dipaksakan dan terperangkap dalam doktrin yang telah merasuk ke dalam benak mereka. Namun, kekalahan yang tragis di medan perang membawa mereka ke pintu kegelapan yang tak terelakkan, memaksa mereka merasakan kesedihan yang mendalam dan melihat semua yang mereka bangun runtuh berkeping-keping. Setengah dari jiwa negara Jerman dipecah menjadi dua, seperti jembatan yang retak di atas sungai yang mengalir deras. Potsdam, tempat di mana pertemuan antara kekuatan Barat dan Timur berlangsung, menjadi pemandangan yang menyaksikan pembagian yang menyakitkan. Dalam resolusi yang dihasilkan dari pertemuan-pertemuan tersebut, rezim dan ideologi yang pernah dijunjung tinggi oleh negara Jerman sejak 1933 hingga 1945 dihancurkan secara menyeluruh.
Pada akhirnya, bangsa Jerman terhimpit dan terjebak dalam siksaan dan penindasan yang membelenggu, membayar harga atas dosa-dosa yang dilakukan selama Perang Dunia II. Hukuman itu tak pandang bulu, melanda para pemimpin dan tentara yang ikut terlibat, namun juga menimpa warga sipil yang tak bersalah, yang terjebak dalam jaring pengaruh dan doktrinasi rezim. Di bawah bayang-bayang Amerika Serikat dan Uni Soviet, mereka yang masih terpapar oleh cengkeraman ideologi sang Fuhrer (Fasisme) disiksa dan ditangkap, dipaksa melupakan segala yang mereka ingat dan diperintahkan untuk menyerah pada kehendak Barat dan Timur. Sebagai upaya untuk mempercepat penghapusan jejak pikiran dan pengaruh Fuhrer di Benua Eropa, Amerika Serikat dan Uni Soviet bersama-sama menghancurkan dan merobek bangunan-bangunan bersejarah dan berbudaya yang ditinggalkan oleh rezim Fuhrer Jerman. Tragedi ini menjadi seperti tanah yang diratakan oleh badai, dikenal sebagai denazifikasi, mengubah Jerman secara paksa dalam semua aspek sosial, ekonomi, politik, dan kehidupan bermasyarakat.
Seperti pohon-pohon yang ditebang di hutan belantara, akar-akar kebanggaan dan identitas Jerman dirusak dan ditebas. Di atas reruntuhan yang dibiarkan terluka dan bertumpuk, masyarakat Jerman merasakan betapa kemerdekaan dan identitas mereka terkoyak oleh badai penghancuran. Di dalam dada mereka, terperangkap rasa kehilangan yang mendalam, seperti burung-burung yang kehilangan sarangnya, mereka terombang-ambing dalam arus keputusasaan dan kebingungan. Namun, seperti cahaya yang muncul di balik awan kelabu, harapan perlahan mulai menyala. Seperti benih yang tertanam dalam keheningan tanah yang basah, semangat baru mulai tumbuh dan mekar di antara mereka yang selamat. Dalam kegelapan yang melingkupi, muncul kembali kekuatan-kekuatan baru yang tak terduga, menghidupkan kembali semangat kebangkitan dan menata kembali jejak-jejak yang pernah dihapus.
seorang penulis berita asal Amerika, menuliskan sebuah majalah di New Harizon Post. "Dalam kisah yang diguratkan di halaman sejarah, masyarakat Jerman, tanpa sadar, menjadi korban dalam penderitaan yang tak pernah mereka ciptakan. Mereka terjebak dalam dinding penindasan, dipaksa merangkul nasib buruk yang bukanlah kesalahan mereka. Namun, kebenaran haruslah menimbulkan getir di hati mereka yang bersembunyi di balik tirai, menyaksikan tragedi yang terurai. Mereka-lah yang menabur benih penderitaan dan kebencian, hingga semuanya runtuh menjadi babak hitam dalam lembaran sejarah. Tapi apakah kita harus melanjutkan perlakuan ini? Fuhrer lahir dari rasa sakit Perang Dunia I, menjadi penjahat utama yang mencetuskan konflik besar ini. Manusia terlahir dari derita manusia lainnya, apakah kita akan terus memelihara siklus kebencian ini? Apakah kita akan melahirkan Fuhrer-Fuhrer baru di dunia ini? Apakah kita juga akan menyaksikan lahirnya perang dunia lainnya? Apakah kalian menyadari bahwa perang ini tumbuh dari benih kebencian dan penderitaan yang diakibatkan oleh Fuhrer dan Perjanjian Versailles yang menjatuhkan Jerman ke dalam krisis ekonomi, mengorbankan jutaan jiwa yang kelaparan di awal tahun 1920-an? Apakah kalian menyadari bahwa kita semua terjerat dalam kejahatan perang, tak ada pihak yang suci dalam peperangan, mereka saling membunuh demi meraih kemenangan. Mengapa kalian tak menyadari siklus kematian yang terus berputar ini? Aku berharap suatu hari kalian akan memahami apa yang aku sampaikan, meskipun saat ini sulit untuk melawan pengaruh pemerintah yang mengiming-imingi kita dengan utopia.
Dalam peperangan, tak ada kebaikan atau kejahatan yang mutlak. Semua berjuang demi keberhasilan bangsa mereka sendiri. Sebagai warga sipil yang tak terlibat dalam perang yang dahsyat ini, kita harus melihat dari dua sisi untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah. Kemenangan dan kekalahan dalam perang hanyalah dua sisi yang sama. Buka mata kalian dan saksikanlah berapa juta nyawa yang terenggut di hadapan kita hari ini. Siklus ini akan terus berputar hingga akhir zaman."
Roberto, 8 Agustus 1946, Kota New York, Amerika Serikat.
Dalam kehancuran koalisi Axis yang dipimpin oleh rezim Jerman, sekutunya terpaksa mengubah haluan dukungan mereka, terombang-ambing di tangan Uni Soviet, agar mereka tak mengalami nasib serupa dengan Italia, Jepang, dan Jerman yang terperangkap sebagai negara boneka dan tunduk pada negara-negara pemenang perang. Sebagai penghormatan atas prestasi dan jasa yang diukir oleh Jenderal Lemisvo dan Jenderal Timenshenko, Uni Soviet dan seluruh masyarakat memberikan gelar pahlawan bangsa kepada keduanya. Namun, tak cukup hanya gelar tersebut, pihak militer merintis sebuah patung perunggu sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan mereka. Patung itu berdiri kokoh di dua kota penting Uni Soviet, Moscow dan Leningrad, menjadi simbol abadi perjuangan dan jasa kedua jenderal tersebut dalam gelora Perang Dunia II.
Perang itu seperti kegelapan yang tak pernah usai, menyelimuti bumi dengan kehancuran dan duka. Para tahanan, termasuk Menstein, dihadapkan pada sidang terbuka di Kota Nuremberg, zona kedua yang dikuasai oleh Amerika Serikat, pada tanggal 8 Desember 1945. Sidang tersebut bertujuan untuk mengungkap kebenaran yang selama ini disembunyikan oleh Jerman dari dunia.
Menstein pun memberikan kesaksian tentang struktur pemerintahan Jerman pada saat itu, mulai dari Fuhrer Reich hingga posisi-posisi terbawah dalam sistem Axis Jerman. Tapi pengadilan dan jenderal Uni Soviet tidak puas dengan jawaban yang diberikan. Mereka terus menyerang dengan pertanyaan, namun Menstein hanya bisa menyatakan, "Saya hanya tahu sampai di situ karena saya bukanlah orang kepercayaan Fuhrer. Saya hanya memimpin serangan di Front Timur. Walaupun saya dibunuh atau disiksa, kalian tidak akan bisa mendapatkan informasi yang kalian inginkan karena hanya ada tiga orang yang mengetahuinya." Pernyataan ini tercatat oleh Nikita Mulisian, seorang penulis dari koran Zurach Post.
Bukan hanya Menstein, ada satu admiral lainnya yang membelot ke Uni Soviet bernama Admiral Nuremberg. Ia membelot pada tahun 1944 dan ditahan di Kota Moscow dengan pengamanan yang sangat ketat. Begitu pula dengan jenderal-jenderal lainnya seperti Jenderal Helmush, Fleet Admiral Karl Donitz, dan Jenderal Muller. Bersama dengan 135.000 tentara Jerman lainnya, kebanyakan dari mereka ditahan di Inggris, Prancis, dan Jerman sendiri. Perang ini diperkirakan telah menelan lebih dari 75 juta nyawa dan melukai ratusan juta manusia. Kisah-kisah kelam ini tercatat dalam buku sejarah yang dipelajari di berbagai negara saat ini. Masyarakat pun mulai bertanya-tanya dalam hati mereka tentang kejadian sebenarnya di Gestavo, kekejaman apa yang dilakukan oleh tentara dan jenderal mereka yang mengakibatkan lebih dari 10 juta jiwa hilang dalam kurun waktu enam tahun. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu tampaknya diabaikan oleh pemerintah saat itu dan kebenarannya dikubur dalam diam. Beberapa tahun telah berlalu, namun cerita kelam tentang perang yang mengerikan itu masih menghantui setiap negara yang pernah diduduki oleh Jerman pada Perang Dunia II. Mereka takut, dan ketakutan mereka tidaklah tanpa alasan yang beralasan. Selama masa pendudukan Jerman di wilayah jajahannya, mereka membangun penjara dan tempat penyiksaan bagi ras yang dianggap tidak layak hidup di dunia ini.
Alasan apa pun yang melatarbelakangi perang, itu hanya akan menimbulkan kerugian besar bagi penyerang maupun negara yang diserang. Kebencian, nasionalisme, tujuan, pemikiran, dan kehidupan manusia menjadi dasar peperangan di dunia ini. Namun, perang tidaklah mengakhiri penderitaan dan kesedihan dunia. Perang yang sebenarnya, yang dikenal sebagai Perang Dingin, telah mengintai di depan mata manusia. Dalam perang ini, pihak Barat melawan pihak Timur, dan bahayanya terletak pada jumlah senjata nuklir dan atom yang dimiliki oleh negara-negara yang terlibat. Jika perang itu pecah, kemungkinan salah satu dari mereka akan menggunakan senjata atom sebagai kekuatan utama.
Note: Axis adalah sebuah aliansi persatuan perang yang dibentuk pada tahun 1934 oleh dua negara yang memiliki ideologi fasisme, yaitu Italia dan Jerman. Pada akhirnya, aliansi ini harus dibubarkan ketika memasuki tahun 1945 karena kekalahan semua negara anggota aliansi dalam Perang Dunia II, yang mengakibatkan negara Jepang, Italia, dan Jerman harus berada di bawah zona pendudukan negara-negara pemenang. Akan tetapi, berbeda dengan sekutu mereka yang lain, seperti Bulgaria dan negara boneka Jerman lainnya, mereka harus menandatangani Perjanjian Fakta Union pada tanggal 28 Desember 1945. Perjanjian ini berisi tentang penghapusan pemikiran fasisme di kalangan rakyat maupun di pemerintahan.
Axis (Blok Poros): Jerman (Third Reich), Jepang, Italia, Bulgaria, Rumania, Austria, Slovakia, Finlandia, Irak, Manchuoria, Iran dan masih ada yang lainnya termasuk para simpatisan pemberontak yang berafiliasi dengan SS army (schutzstaffel).
Allies (Blok Sekutu): Inggris, Prancis, Amerika Serikat, Republik China, Filipina, Australia, Denmark, India Britania, Brasil, Meksiko, Norwegia, Yugoslavia, Polandia, Yunani, dan masih banyak lagi. (Untuk Uni Soviet, negara tersebut bergabung dengan Allies pada saat Operasi Barbarossa dilakukan oleh Jerman dan sekutunya)
Netral: Spanyol, Portugal, Swedia, dan masih banyak lagi.
Puluhan tahun telah berlalu, ribuan hari berganti, namun masih tersimpan misteri yang menggelayut di dunia ini tanpa terungkap. Pada tahun 1982, di sebuah kota pelabuhan kecil yang dikecup embun salju tebal, malam melukiskan jalanan sunyi dan sepi seperti simfoni kesunyian. Dalam kegelapan itu, seorang pria paruh baya melangkah dengan terhuyung-huyung keluar dari pintu gerbang sebuah bar bernapas alkohol. Seperti seorang tari yang goyah, ia menyusuri jalan-jalan gelap yang terbungkus dengan misteri, wajahnya memancarkan kepedihan yang tak terucap, membebani dirinya dengan rasa penyesalan akan luka masa lalu. Lalu, dengan kostum kekacauan, pakaian yang terlipat rapih kebingungan, ia melanjutkan langkah-langkah tanpa tujuan, sementara tangan penuh kasih memeluk sebuah surat yang menggurat sejuta kenangan tentang seorang bocah kecil. Menjelajahi lorong waktu lebih dari 3 jam tanpa henti, pria paruh baya itu akhirnya merasakan lesu melanda tubuhnya, meresapi kelelahan luar biasa yang tak terhingga. Terpaksa, ia berlutut di tengah jalan yang membeku, seolah-olah memeluk kedinginan malam itu dengan penuh harap. Dalam keputusasaan, larik-larik air mata mulai mengalir deras dari matanya, menyampaikan pesan tak terucap yang melintas di bibirnya. "Apa yang telah kuwariskan kepadanya?" bisik pria paruh baya sambil meninju dengan penuh getir jalan yang membeku di depannya.
"Mengapa aku membiarkannya terpisah? Apa yang merasuki jiwaku hingga melangkah pada jalur kekejaman itu? Andai saja aku dapat meretas dawai waktu sekali lagi, kutemukan takdir yang berbeda, dan memperbaiki celah masa lalu yang jauh dari kesempurnaan," lantun pria paruh baya sambil terus meninju jalan, tangannya terluka dan mengucurkan sederetan cerita merah mengalir. Ia merobek serpih kain dari reruntuhan pakaian, menghela nafas hati-hati saat melilitkan kain itu pada lukanya yang terpahat dalam.
"Rasa sakit ini terlalu ringan untuk menimbang dosa yang pernah terperangkap dalam ragaku. Mengapa aku meninggalkannya saat sinar matahari pertama kali mewarnai langit, ketika cintanya menggemakan dekap seorang ayah?" bisik pria itu sambil terus memperhatikan foto yang beristirahat dalam genggaman.
Foto itu menampilkan seorang anak laki-laki kecil berusia sekitar 6 tahun, dengan rambut berwarna coklat, mata biru menghipnotis, dan bekas goresan yang menyapa di wajahnya, simbol kejahatan seorang tak bertepi belas kasihan. "Aku bukanlah penari bidadari yang teguh. Aku lebih baik terlupakan dalam relung dunia ini daripada memikul beban dosa yang meluas," seru pria paruh baya itu sambil menenggelamkan ingatan dalam memori yang selalu mengikatnya.
"Kumohon, kiranya Engkau mengabulkan petisi hatiku ini, ya Tuhan. Aku ingin berjumpa dengan sang anak, walaupun pertemuan itu hanya menjadi harmoni terakhir dalam hidupku. Aku ingin memohon pengampunan, menyuguhkan penyesalan pada kedangkalan masa lalu yang pernah kukuliti," ucap pria paruh baya itu, menyusuri sungai air mata tanpa batas.
Dari kejauhan, terlihatlah siluet misterius yang mendekati pria paruh baya itu, langkahnya semakin dekat dan berdentum-dentum seiring waktu. Dalam panik, sang pria paruh baya bangkit dari dalam relung gelap, meraih batu megah yang bersemayam untuk mempertahankan dirinya. Namun, ketika pria itu sekali lagi menelusuri lanskap sekitarnya, bayangan misterius itu hilang dengan seketika, tak meninggalkan jejak seperti kilauan fajar yang lenyap dalam jeda. Hening kembali meliputi suasana, memunculkan teka-teki tak berujung dalam pikiran pria paruh baya itu. "Hah? Apakah bayangan itu? Dan suara apa yang menjalar? Ataukah penglihatanku berbelit-belit oleh arus arak yang merambat di dada?" bisik sang pria paruh baya, mengarungi samudera kebingungan yang tak terlukiskan.
"Heh, heh, heh, heh. Aku teramat basah oleh mabuk diri, hingga mampu menyelami pikiran yang tak berbentuk seperti ini," kata pria paruh baya itu, tertawa dengan lirih. Namun, keajaiban kembali mempermainkan perasaan, dari belakang sang pria paruh baya terlihat siluet pemuda yang berhasrat menyentuh bahunya, namun niat itu terhenti saat sang pria paruh baya menyingkap kabut misteri di belakangnya.
"Tunggu sebentar, mengapa aku merasakan semburat nafas orang yang terhembus di belakangku ini?" bisik sang pria paruh baya, melirik ke kanan dan ke kiri, merajut alam sekitar yang berdansa dalam rasa ingin tahu. Di tengah kegelapan malam yang terbentang luas, kisah pria paruh baya ini terjalin dalam rentetan tragis yang menyatu dengan ketakutan dan penderitaan. Seakan-akan waktu sendiri merajut narasi yang penuh ketegangan, mempersembahkan tarian kehidupan yang berpadu dengan melodi misteri dan nasib yang tak terelakkan. Bayangan misterius itu, dengan sikapnya yang mencurigakan dan misterius, menjelma menjadi manifestasi kegelapan yang merayap perlahan-lahan, menghanyutkan pria paruh baya ke dalam ketakutan yang tak terperikan. Seperti bianglala yang mencuri angin malam, sosok pemuda itu hadir dalam topeng hitam yang menggambarkan gelapnya hati dan ketidakberesan jiwa. Dalam genggaman tangan kirinya, ia membawa botol vodka kosong, simbol kekosongan dalam kesia-siaan yang melingkupi dirinya. Dengan naluri bertahan yang tersisa, sang pria paruh baya menggenggam batu dengan keputusasaan, berusaha menolak kehadiran yang menakutkan itu. Namun, upayanya terhempas dalam kekosongan, lemparan yang dilayangkannya berakhir sia-sia, seakan-akan dunia ini menari dengan kekejaman yang tak terduga. Hanya candaan waktu semata yang mengarahkan batu itu ke jalur yang terlepas dari kejaran pemuda misterius itu. Ketakutan semakin merasuki pria paruh baya, melilitnya dalam belenggu tak terlukiskan. Ia memilih mundur perlahan, seperti daun yang menari mengikuti denting angin. Namun, saat nafas lega hampir tercapai, ia melirik keadaan di sekitarnya, berusaha membaca pertanda dalam kegelapan malam. Saat itu, ia melihat bayangan aneh muncul kembali dari kedalaman kegelapan. Bayangan yang tak bergerak, tetapi semakin membesar dan mendekat, seolah-olah ingin menggulung dunia ini dalam keabadian.
"Pelangi ilusi apa ini? Apakah ia hanya bayanganku yang bermain-main, mengaduk-aduk jiwa yang tak karuan?" bisik sang pria paruh baya, tersesat dalam kebingungan yang melanda pikirannya. Dengan mata yang takut namun penuh keingintahuan, pria paruh baya itu mengamati dengan hati yang berdebar, tak berani lagi mengabaikan misteri yang mengintai. Pada akhirnya, pemuda misterius itu muncul dari dalam bayangan tersebut, menghampiri dengan langkahnya yang penuh keanggunan. Dalam sekejap, topeng yang menyembunyikan identitasnya terbuka, membuka tabir dari wajah yang diwarnai oleh misteri. Ketakutan menguasai pria paruh baya itu sekali lagi, mencengkeram hatinya dengan kuasa yang melumpuhkan. Kelelahan dan sakit yang menyiksa dadanya, penyakit tbc yang kianmerajai tubuhnya, semakin menambah keluh kesahnya menjadi cerita tragis yang tak berujung.
"Duhai, penyakit yang mengganas! Mengapa engkau kembali menghampiriku pada saat yang paling tidak diharapkan?" ucap sang pria, sambil memegangi dadanya yang terasa semakin teriris oleh rasa sakit yang tak terperi. Namun, dalam kehampaan hati dan kedukaan yang merajai, pemuda misterius itu tak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan perlahan, ia mendekat, mengikuti alur nasib yang telah dijalin sebelumnya. Dalam genggaman tangan kirinya, botol vodka yang kosong dilemparkannya, seolah-olah ia melemparkan kekosongan yang ada ke dalam kehidupan sang pria paruh baya. Lemparan itu terbang dengan kecepatan dan kekuatan yang mempesona, menghunjam tepat di belakang kepala sang pria paruh baya. Suara pecahan kaca yang memenuhi malam menjadi simfoni kesedihan, memadukan getaran darah yang terpancar dalam nyala kehidupan yang perlahan meredup. Puluhan serpihan kaca menancap di kulit belakang kepalanya, menimbulkan pendarahan yang tak terkendali. Darah mengalir deras, melumuri tubuh sang pria paruh baya dan membasahi pakaian yang melekat erat pada dirinya. Dengan sisa-sisa kekuatan yang tersisa, pria itu berteriak kesakitan, meluapkan rasa sakit yang membelenggu jiwa dan raganya.
"Dengarkan seruan keputusasaanku, apakah ada yang mendengar? Seseorang, tolonglah aku! Aku membutuhkan pertolongan!" seru sang pria, suaranya terdengar seperti hentakan terakhir dari hati yang terluka. Namun, malam yang pekat tak memberi jawaban, seolah-olah kekosongan itu sendiri yang mempermainkan nasib sang pria paruh baya. Tak ada yang menyadari jeritan putus asa itu, karena keheningan malam telah melahap setiap sapaan yang dilontarkan. Dalam gelap yang semakin mengabur, sang pria paruh baya mencoba menahan darah yang tak henti mengalir, tangan yang kini menjadi tameng bagi luka yang teriris. Namun, tangannya hanya mampu memperlambat laju darah, bukan menghentikannya. Jika tak ada bantuan segera, takdirnya pun terancam meredup, menghilang dalam kekosongan yang tak berujung.
"Ah, betapa luka ini menusuk, penglihatanku yang kabur, aku merasa akan terjatuh tak sadarkan diri di tempat ini," lirih sang pria paru baya sambil menggenggam kepala yang terluka parah. Darah mengalir deras dari kulit kepalanya, namun ia tetap bangkit, melawan rasa sakit yang melanda. Ada alasan yang penting bagi dirinya, sehingga ia tak menyerah. Ia terus berjuang, meski penglihatannya semakin kabur. Semangat hidup dan rasa penyesalan menjadikan pria paru baya itu berdiri tegar, melawan rasa sakit yang melilit.
"Walau darah mengalir melalui luka di kepala ini, tetapi rasa penyesalanku tak terbandingkan dengan derasnya aliran ini," ucap pria paru baya itu dengan suara lantang, membuat sang pemuda misterius terkagum melihat perjuangannya. Namun semangat dalam diri pria paru baya itu akhirnya memudar dengan cepat, seiring hilangnya kesadarannya yang sedikit demi sedikit. Pendarahan semakin parah di kepala, dan ia pun terjatuh keras ke permukaan aspal yang dingin di malam itu. Ia ingin bangkit, tetapi kekuatannya sudah tak ada lagi. Suara langkah mendekat, membuatnya panik. Ia menutup mata dengan harapan ini hanya mimpi. Sambil memejamkan mata, pria paru baya itu berdoa kepada sang pemuda misterius, memohon waktu lagi untuk hidup, meskipun hanya sekejap. "Tolong, jangan kau ambil hidupku terlebih dahulu," ucap sang pria paru baya dengan suara berlinang air mata.
"Aku mohon, berilah aku kesempatan hidup, sekalipun hanya sejengkal waktu. Aku telah kehilangan tujuan dan arah dalam hidup, tetapi penyesalanku ingin kuubah." Ucapannya terdengar bergetar, sambil ia meremas kedua tangannya.
Dalam gemuruh keheningan, kepalan tangannya memohon izin untuk terlepas, melepaskan keadaan yang lemas tanpa daya. Ia tergeletak, tubuhnya tak mampu lagi bergerak, terpaku dalam keterbelengguan. Air mata sang pria paru baya mengalir tak henti, menari-nari dalam kesedihan dan penyesalan, menghibur masa lalu yang menghantui, hingga pikirannya tergulung dalam awan kelam, tak mampu menemukan celah berpikir kecuali meratapi dirinya sendiri dengan sedih pada setiap saat. Suara langkah kaki datang, berdetak pasti di setiap langkahnya. Dan kemudian, langkah itu berhenti dengan anggunnya tepat di hadapannya, di hadapan kepala sang pria paru baya yang terkapar lemah. Darah mengalir deras dari lukanya, sungai merah yang mengalir tak terbendung. Ketakutan menjalar di dalam sanubari sang pria paru baya. Di saat ia tersadar bahwa pemuda misterius itu kini berdiri di hadapannya, layaknya bayangan yang menyatu dalam realitas cermin.
"Inikah akhir hayat dari perjalanan hidupku yang penuh duka? Mengapa penyesalan ini tak henti menghantui sejak awal kehilangan itu? Pencarian yang melingkupi enam belas tahun hidupku tak pernah berbuah, sekalipun hanya sedikit. Aku merasa layak mati seperti ini, atau berilah siksaan yang lebih mematikan kepada sosok jahat ini, sejahat iblis dalam diriku. Tiada lagi sandaran yang tersisa, tiada lagi nasihat yang bisa kutanyakan untuk kebaikan bersama. Aku hidup sendirian dalam dunia kejam ini. Tidakkah ada secuil kebahagiaan yang tersisa bagiku? Apakah manusia lain puas merusak hatiku? Padahal, diriku pun seorang penjahat keji. Mengapa aku menyalahkan mereka yang berbuat jahat padaku?" bisik sang pria paru baya di dalam keheningan, sembari menangisi nasibnya tanpa henti.
Hujan turun dengan deras, membasahi mereka dengan embun dingin, menyatukan darah dan air mata menjadi tarian tak terpisahkan. Tangisannya terus mengalir, matanya merah bagai titisan darah yang ingin membanjiri dunia dengan kesedihan yang ia alami. Namun menangis dan menyesali tak akan menghasilkan jalan keluar yang bermakna, bagi manusia yang terlahir untuk menjadi kuat. Penyesalan dan kesedihan hanya akan menghancurkan diri dari dalam. Lebih baik melangkah maju, apa adanya, dan berjuang untuk meraih impian yang diidamkan, selama tujuan itu tak merugikan individu manusia atau makhluk lainnya. Setiap jatuh adalah ujian yang harus dilewati untuk mencapai apa yang diinginkan. Ribuan jeritan rasa sakit dan tangisan kesedihan terdengar, memenuhi malam yang gelap dengan gema yang mencekam. Di dalam kedukaan dan rasa sakit yang tiada akhir...
Dalam kesakitan dan keputusasaan yang tak terbanding, sang pria paru baya berusaha meraih tangan pemuda itu. Namun upayanya sia-sia, ketika tangan itu tiba-tiba menjadi kaku dan tak dapat digerakkan lagi. Pria paru baya itu tersenyum tanpa alasan yang jelas, sambil mengucapkan kata-kata samar kepada pemuda yang berdiri tegak di hadapannya.
Tersenyumlah meski hati masih terluka, tawa kosong menderu seperti angin yang menghempas. "Mengapa tragedi ini memanggil kenangan malam gelap nan dingin? Seperti malam itu, ketika teman-teman dikirim ke alam keabadian dengan kekejaman tak terbayangkan. Di tengah keceriaan yang diliputi tawa dan lelucon yang tak henti, tiba-tiba semuanya berubah menjadi malam berdarah dan teriakan, saat kematian menghadapinya. Kekejaman itu disebabkan oleh tentara Jerman yang dipimpin oleh Herman Heinz. Mereka tiba dengan tiba-tiba dan tanpa alasan yang jelas, melumpuhkan siapa saja yang berada di sana dengan senjata AK47. Wajah mereka beku, tanpa ekspresi emosional, meskipun dihadapkan oleh ratusan orang yang menjadi sasaran amarah mereka. Mereka tak memiliki belas kasihan, tanpa memedulikan siapa atau alasan di balik pembunuhan itu. Dengan kekejaman dan kegilaan, mereka menembakkan senjata mereka ke arah semua orang di sekitar mereka, termasuk diriku yang berada paling dekat dengan tentara Jerman itu. Suara tembakan bergema di tempat yang dulu penuh dengan keramaian, hingga tak ada yang tersisa kecuali aku yang masih bertahan hidup hingga detik terakhir. Apakah ini keberuntungan atau takdir tak terduga, sebuah hukuman atas dosa-dosa yang pernah kulakukan? Sungguh, takdir memiliki caranya yang aneh dalam memberikan kejutan yang datang dan pergi seiringan. Teman-temanku yang kucintai seakan menjadi keluarga, meski kami berbeda latar belakang dan masa lalu. Akhirnya, mereka semua harus mati dengan cara yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dan apa yang mereka tinggalkan setelah kekejaman yang tak bermoral itu? Ya, semua itu benar. Mereka meninggalkan kesan yang ingin kulihat sekali lagi dalam hidup ini. Namun, impian itu tak mungkin terwujud di dunia nyata ini. Mereka semua telah mati dan tak akan pernah hidup lagi, dan suatu saat nanti, aku pun akan bergabung dengan mereka, entah itu di surga yang indah atau neraka yang membara." Ucapannya ditutup oleh pria paru baya itu, sambil berusaha mengangkat dirinya dari kehancurannya. Tetap terbaring tanpa gerakan, pria paru baya itu pasrah, meratapi nasibnya dan mimpi yang akan berakhir menjadi kehancuran yang dalam.
Pria paru baya itu, matanya berkilauan bak cermin yang tercermin dalam sungai air mata yang tak henti mengalir. Tubuhnya membeku, seolah-olah menjadi kisah hidup yang terperangkap dalam dinginnya kematian, dan setetes darah tak henti menetes tanpa henti. "Aku telah merenung dengan keras tentang sebuah pertanyaan yang menghantuiku, yang tak pernah lepas dari benak dan hati ini. Mengapa tidak aku yang terlunta-lunta di saat itu? Mengapa yang maha kuasa masih membiarkan diriku bernapas di dunia yang penuh dengan penderitaan dan pengkhianatan? Apakah manfaatnya aku terus hidup dalam dunia ini? Aku hanyalah penghancur impian yang paling jahat, lebih kejam daripada iblis itu sendiri. Aku adalah pembawa bencana yang menghancurkan hidup dan masa depan, dengan ribuan, bahkan puluhan ribu nyawa yang tak terhitung tewas di tangan ini. Apakah bedanya diriku dengan tentara Axis yang meneror jutaan jiwa dalam kamp-kamp penyiksaan? Semuanya terlihat seperti akan segera berlalu, seperti mimpi yang terus menghantui di malam hari. Mengapa seseorang seperti aku, yang dipenuhi dengan dosa dan kesalahan, masih diberi hak untuk hidup dan menghirup udara yang segar hingga saat ini? Mengapa waktu berjalan begitu cepat, seperti 10 tahun terasa seperti hanya 10 menit? Siapa yang mengatur segala keanehan ini? Apakah ini hanya sebuah mimpi atau khayalan dari seorang penulis yang menciptakan dunia yang penuh duka dan hancur dengan diriku sebagai tokoh utamanya yang terlantar? Sulit bagiku memahami kejadian yang terus berulang ini, seakan-akan kejadian ini tak henti-hentinya, hingga aku masih ingat beberapa kata dari ucapan sang orang misterius itu. Apakah ada yang sedang mempermainkan kita? Apakah kita hanya entitas lemah di dalam alam ini, dengan entitas yang lebih kuat memegang kendali? Apakah ini kenyataan atau sekadar mimpi belaka? Sejauh mana seseorang harus gila untuk memikirkan hal seaneh itu? Kecuali Marlin dan bukunya yang berjudul 'Lost of Humanity'. Aku ingat pernah membacanya saat berada di medan perang di Front Krimea sekitar tahun 1943. Jika ingatanku tak salah, itu satu-satunya yang masih melekat dalam ingatanku dari perang besar itu, karena peristiwa itu telah lama terkubur dalam kekelaman, dan aku berusaha melupakannya. Namun, ingatan yang sama terus menghantuiku dalam mimpi setiap malam, membelah hatiku tanpa henti." Ucap sang pria paru baya, tanpa henti mengeluarkan pertanyaan yang terus mengalir. Meski terkesan terabaikan, dia tampaknya menikmati dramatisme kejadian itu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 9 Episodes
Comments