Malam pertama yang seharusnya dilalui pasangan suami istri dengan mereguk manisnya nektar percintaan, nyatanya tak berlaku untuk Ravendra dan Medhina. Sebab, sepanjang malam keduanya sama-sama memunggungi satu sama lain. Memang keduanya tidur dalam satu ranjang, tetapi ada beberapa guling yang menyekat keduanya. Selain itu, hati Medhina yang mengeras dan mengatakan tidak ingin melakukan kontak fisik dengan suaminya. Menimbulkan tanda tanya besar bagi Ravendra.
Sepenuhnya Ravendra tahu bahwa perkenalan mereka masih sangat singkat. Ravendra pun juga tidak berpikir akan melakukan malam pertama secepat ini. Hanya saja, semuanya bisa dibicarakan dengan baik-baik. Tidak perlu mengutarakan semuanya secara frontal.
Pagi ketika terbangun, Ravendra mengerjap karena sinar matahari yang sudah mengintip di balik tirai jendela. Pria itu menggeliat, dan kemudian terbangun. Hal pertama yang Ravendra lakukan adalah menengok ke belakang punggungnya.
Helaan nafas yang berat pun muncul, saat dia mendapati Medhina yang masih tertidur di belakangnya.
"Bangun Dhina, Istriku ... hari sudah pagi. Lihatlah, rupanya semalam pun ada sekat di antara kita. Sebegitunya kamu tidak ingin aku menyentuhmu?"
Itu hanya sebuah kata-kata di dalam hati saja, tetapi tidak terucap dari Ravendra. Pria itu memilih segera bergegas ke dalam kamar mandi dan menyegarkan dirinya. Berharap guyuran dari air shower bisa mendinginkan hati dan kepalanya yang terasa panas. Tidak mengira juga semua kebahagiaan dan senyuman di hari bahagianya, telah berganti dengan hubungan dingin seperti ini.
Pria itu melakukan ritual pagi, dan benar-benar mengguyur tubuhnya di bawah guyuran air shower yang dingin. Bahkan beberapa kali, Ravendra hanya diam, dengan kedua tangan yang menyentuh tembok kamar mandi dan membiarkan air terus membasahinya.
"Mungkinkah ada sesuatu tentang Medhina yang tidak kuketahui sehingga sikapnya berubah menjadi seperti ini? Aku pun tidak ingin melewatkan malam pertama saat hatimu belum siap. Tujuanku menikah bukan untuk itu. Namun, aku ingin membina rumah tangga. Berharap kamu bisa menjadi wanita yang membina rumah tangga denganku. Kita bisa melakukannya perlahan-lahan, saling mengenal hingga akhirnya bisa saling mencintai satu sama lain," gumam Ravendra dalam hatinya.
Hampir dua puluh menit berlalu, dan Ravendra baru keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar dan rambut yang masih basah. Pria itu sudah mengenakan celana pendek dan kaos, pakaian santai yang akan dia kenakan untuk sarapan pagi ini.
Saat Ravendra keluar dari kamar mandi, Medhina sudah terbangun. Gadis itu bersandar di headboard dengan merapikan rambutnya yang panjang.
"Sudah bangun?" sapa Ravendra tanpa menatap wajah Medhina.
"Sudah," jawab Medhina dengan suaranya yang masih serak khas orang baru bangun tidur.
"Mandilah, kita akan turun untuk sarapan," ucap Ravendra lagi.
Dengan langkah gontai Medhina pun memasuki kamar mandi. Sementara Ravendra memilih untuk duduk dan melihat pada pemandangan Ibukota di pagi hari dengan lalu lintasnya yang sudah padat merayap. Di telinganya, Ravendra bisa mendengar gemericik air dari kamar mandi. Pria itu terlalu bingung dengan perubahan sikap Medhina, dan menerka-nerka sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
Hampir setengah jam berlalu, barulah Medhina keluar dari kamar mandi. Bahkan wanita itu sudah mengeringkan rambutnya dan mengenakan make up tipis di wajahnya.
"Sudah," ucap Medhina dengan singkat.
"Ayo, kita sarapan," ajak Ravendra kepada Istrinya untuk sarapan di restoran hotel itu.
Sepanjang sarapan, keduanya sama-sama diam. Ravendra juga mengambil sarapan untuknya sendiri, tidak menunggu sampai Medhina melayaninya dan mengambilkan sarapan untuknya. Sebab, Ravendra juga tidak ingin jika istrinya itu melakukan sesuatu untuknya dan tidak ikhlas. Lebih baik, Ravendra berinisiatif sendiri.
Jika beberapa orang yang sarapan bersama dibarengi dengan obrolan ringan dan candaan hangat. Namun, semua itu tidak berlaku bagi Ravendra dan Medhina. Keduanya sama-sama diam, bahkan sebisa mungkin berusaha untuk menghindari kontak mata. Hampir setengah jam berlalu, keduanya sudah menikmati sarapan, dan sekarang keduanya kembali lagi ke kamarnya.
***
Saat malam tiba ....
"Dhina, apa alasanmu menikah denganku?" tanya Ravendra kepada istrinya malam itu. Malam ini juga akan menjadi malam terakhir bagi keduanya untuk menginap di hotel. Esok mereka akan melakukan cek out, dan setelahnya Ravendra akan mengajak Medhina pulang ke unit apartemennya.
"Memenuhi janji kepada Ayah dan Bunda," jawab Medhina.
"Apa pun alasan yang kamu miliki, malam ini aku boleh dong meminta hakku?" tanya Ravendra dengan menatap wajah Medhina.
Mendengar pertanyaan dari Ravendra membuat Medhina merasa takut. Mungkinkah pria itu akan benar-benar meminta haknya. Namun, di dalam hatinya Medhina tidak mencintai Ravendra. Jika pernikahan terjadi tanpa cinta, untuk apa pria itu meminta haknya? Medhina terdiam dan dia sama sekali enggan untuk menatap Ravendra. Dia membiarkan pikirannya yang mendominiasi dan meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa pernikahan ini hanya sebatas status.
"Untuk pernikahan yang terjalin tanpa cinta, mengapa meminta hak malam pertama?" jawab Medhina.
"Aku tidak mau, aku tidak mau kamu sentuh," ucapan itu lolos begitu saja dari bibir Medhina.
Ravendra sudah mengira sebelumnya bahwa Medhina akan menolaknya, untuk itu Ravendra menguatkan dirinya sendiri. Tidak akan mengambil pusing ucapan Medhina, karena memang dia memiliki tujuan sendiri.
Medhina yang kala itu duduk di sofa yang berada di dalam kamar hotel tampak diam dan mulai merasa tidak nyaman dengan Ravendra. Terlebih saat Ravendra juga turut duduk di sofa itu dan duduk bersisian dengan Medhina.
Tangan Ravendra bergerak dan mencoba menyentuh sisi wajah Medhina. Akan tetapi, Medhina menjauh, memalingkan wajahnya. Sehingga tangan Ravendra hanya melayang di udara saja, tidak bisa menyentuh objek yang ingin dia gapai. Namun, kali ini Ravendra kembali mencoba, tangan itu membelai sisi wajah Medhina perlahan, kali ini telapak tangannya berhasil menyentuh sisi wajah Medhina. Dengan gerakan yang perlahan, tapi pasti tangan Ravendra bergerak dan menyentuh sisi wajah itu.
Satu aktivitas dari Ravendra yang membuat Medhina sontak membolakan kedua matanya, dan refleks menepis tangan Ravendra yang tengah membelai sisi wajahnya itu.
"Tangan kamu, Vendra," ucapnya dengan menghela nafas.
Akan tetapi, Ravendra seolah tak menghiraukan ucapan Medhina. Pria itu justru terus mendekat dan kini bibir pria itu mengecup pundak Medhina.
Chup!
Satu kecupan yang membuat Medhina mengedikkan bahunya. Bibir pria itu bergerak naik, mencumbu dan mengecupi dengan basah leher Medhina.
"Jangan," pinta Medhina lagi.
Medhina sontak saja menjadi gelisah, dan juga refleks untuk menggeser posisi duduknya. Rasanya ingin menghindari dari Ravendra.
Hingga akhirnya, Ravendra menatap wajah Medhina. Pria itu membawa jari telunjuknya di depan bibirnya sendiri, "Ssstttss," ucapnya dengan menatap Medhina dalam-dalam.
"Biarkan aku ... hanya ini saja," ucap Ravendra.
Rupanya, Ravendra kembali melabuhkan bibirnya yang hangat dan basah di leher Medhina. Menggigitnya kecil, kemudian menyesapnya dalam-dalam hingga membuat warna merah menyala di leher Medhina yang berwarna putih.
Saat Ravendra menggigitnya, Medhina menahan nafas dengan memejamkan matanya. Seperti inikah rasanya? Jantungnya berdetak lebih cepat, badannya sontak terasa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Untung saja, Medhina menahan untuk tidak mendesah.
Namun, saat bibir Ravendra kian bergerak, dan satu tangan pria itu mendarat di lekuk pinggangnya, Medhina kian memejamkan matanya. Mengapa sentuhan pria itu seolah membuatnya terhuyung hingga nyaris linglung rasanya. Bahkan sapuan lidah Ravendra yang basah tampak mengeksplorasi leher jenjang itu.
Pria itu menggigit bagian leher Medhina yang lain, dan menggigitnya lagi, menyesapnya dalam-dalam, menghisap dengan sekuat tenaga. Rasa perih yang tercipta benar-benar membuat Medhina menahan nafas.
Ya Tuhan, merasakan bibir dan lidah Ravendra yang menari-nari di lehernya, benar-benar membuat pertahanan Medhina nyaris runtuh. Akan tetapi, sekuat tenaga Medhina masih berusaha bertahan. Terutama wanita itu menggigit bibir bagian dalamnya, supaya dirinya tidak mendesah kali ini.
Usai menyesap leher Medhina, Ravendra pun membawa wajahnya untuk menjauh. Pria itu menatap Medhina dalam senyuman dan kemudian, mengecup satu pipi Medhina.
Cup!
“Sudah, inilah malam pertama kita, setidaknya orang tua kita akan tahu kalau malam ini kita bergumul dengan hebatnya,” ucap Ravendra dengan senyuman dan menatap wajah Medhina yang sudah tampak merah merona di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 341 Episodes
Comments
Nila
sabar dan semangat
2023-06-20
0
Esther Lestari
yg sabar Vendra utk meluluhkan hati Dhina
2023-04-28
0
Henny Haerani
Medina harusnya berkaca dari hubungannya dengan pacarnya yg gk ada keputusan, gimana rasanya ditinggalkn tanpa kata, diabaikn tanpa kejelasan. harusnya itu sudah jd pelajaran buatmu Medina. mungkin seperti itulah perasaan suamimu saat ini atw mungkin lebih sakit lg.
2023-03-05
0