Tak ingin terlalu membahas masalah pribadinya, Medhina memilih bersiap. Sekarang sudah waktunya mini bus dari maskapai penerbangan menjemput mereka dan akan mengantarkannya ke Bandara Internasional Changi. Pagi yang redup, surya pun belum menyapa, tetapi Arsyilla dan cabin crew lainnya sudah bersiap dan akan memandu penerbangan pagi ini.
“Dhina, ingat ya begitu sampai di hotel lagi, kamu harus cerita semuanya sama aku. Masak kamu mau-maunya sih menerima perjodohan di zaman internet seperti sekarang,” ucap Aurel yang masih tidak mengerti kenapa sahabat dan sekaligus rekan kerjanya itu memilih untuk menerima perjodohan yang sudah diatur oleh orang tuanya.
“Fokus, Rel … fokus. Kita memandu penumpang dulu. Gak usah bahas yang macam-macam. Bekerja maksimal dan fokus, berdoa biar mengudara dengan selamat,” kilas Medhina kali ini.
Aurel hanya menghela nafas dan terus berjalan sembari mendorong koper kabin miliknya itu. Namun, Medhina terlihat fokus, dia terus bersemangat dan akan bekerja dengan baik. Sebab, dengan bekerja seperti ini, justru adalah cara bagi Medhina untuk bisa melupakan sosok Andreas. Saking ingin melupakan Andreas, Medhina sampai begitu jarang mengambil cuti. Dia lebih memilih bekerja, terbang tinggi, berteman dengan awan-awan.
Setidaknya dengan bekerja dan produktif, Medhina tidak melewatkan waktunya dengan bersedih, meratap, dan juga menatap pilu pada foto pria bernama lengkap Andreas Saputra itu di handphonenya.
“Selamat datang di penerbangan kami ….”
“Selamat datang, bisa kami lihat tikernya.”
“Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?”
Medhina yang berdiri di depan pintu masuk pesawat, tampak menyapa dan tersenyum dengan ramah kepada satu per satu penumpang yang memasuki pesawat. Dengan mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada, Medhina menyambut dan tersenyum dengan hangat kepada penumpang.
“Selamat pagi … selamat datang,” sapa Medhina kali ini. Wanita itu tersenyum, tetapi sedetik kemudian dia cukup kaget saat melihat orang tua dari Andreas Saputra yang rupanya turut dalam penerbangan pertama pagi itu dari Bandara Internasional Changi, Singapura.
Dada Medhina pun terasa sesak, tidak mengira akan bertemu dengan kedua orang tua kekasihnya yang kini berdiri di depannya.
“Halo, Medhina ….”
Seorang wanita paruh baya menyapanya dengan ramah. Hal itu karena ketika berpacaran, sebenarnya Andreas sudah pernah membawa Medhina pulang dan mengenalkannya kepada Mama dan Papanya.
“Halo Tante Clara dan Om Rafael,” sapa Medhina dengan menundukkan wajahnya.
Tak ingin menghalangi penumpang lain yang hendak memasuki pesawat, Medhina pun harus bersikap profesional. Sekarang waktunya bekerja, bukan waktunya untuk berlarut-larut dengan masalah pribadinya.
“Boleh Dhina lihat di mana nomor tempat duduk Om dan Tante?” tanya Medhina.
Terlihat wanita yang disapa Medhina dengan nama Tante Clara itu pun menunjukkan tiket yang dia miliki.
“Silakan ke nomor 4A dan 4B ya Om dan Tante … selamat menikmati penerbangannya,” balas Medhina dengan sopan.
Rasanya begitu kikuk dan sungkan saat satu penerbangan dengan orang tua Andreas yang tentu sudah dikenal Medhina dengan baik. Sepenuhnya Medhina dan orang tua Andreas tahu bahwa ada jurang yang begitu lebar dan dalam yang memisahkan Andreas dan Medhina saat menjalin kasih, tetapi Om Rafael dan Tante Clara adalah orang tua yang baik dan menghargai Medhina.
Medhina memejamkan matanya perlahan sembari menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, dan menenangkan dirinya sendiri. Harus bersikap professional. Walaupun Om Rafael dan Tante Clara adalah orang tua Andreas, tetapi di sini mereka adalah penumpang yang harus dipandu dan dilayani. Medhina harus menjunjung tinggi standar profesi seorang pramugari.
Berusaha tenang, sampai tidak terasa penerbangan udara nyaris dua jam pun terlampaui, dan Medhina kembali berdiri di depan pintu pesawat, mempersilakan para penumpang untuk keluar.
"Kami duluan ya Dhina," sapa Tante Clara begitu hendak keluar dari pesawat.
"Baik Tante dan Om, Hati-hati …."
Rasanya Medhina ingin hari ini cepat berlalu, terlebih usai bertemu dengan orang tua Andreas. Hanya saja masih ada beberapa rute penerbangan yang harus dia jalani hari ini. Sampai malam tiba, Medhina merebahkan tubuhnya di atas ranjang di dalam kamar hotel. Begitu letih rasanya. Hanya saja ada Aurel yang kali ini sekamar dengannya dan meminta penjelasan dari Medhina.
"Dhin, jangan tidur dulu … loe hutang penjelasan ke gue," ucap Aurel.
"Penjelasan apa lagi?" tanya Medhina.
"Perjodohan loe itu. Enggak bisa dibatalkan?" tanya Aurel yang mendesak Medhina.
"Enggak bisa," sahut Medhina. Suaranya terdengar pasrah. Seakan tak mampu lagi untuk melawan.
"Si Andreas memang gak ada kabar?" tanya Aurel.
Sebagai seorang teman, tentu saja Aurel pernah beberapa kali bertemu Andreas. Kisah cinta Medhina dan Andreas pun sedikit banyak Aurel mengetahuinya.
"Loe emangnya bisa jatuh cinta lagi dengan pria lain selain Andreas?" tanya Aurel kini.
Ada helaan nafas yang terasa berat, dan juga Medhina memijit pelipisnya yang terasa pening.
"Gue gak tahu, mungkinkah gue jatuh cinta lagi atau tidak? Hanya saja gue bisa menjalani pernikahan ini sebagai kompromi," balas Medhina.
Jika memang menjalani pernikahan tanpa berlandaskan cinta, maka Medhina mungkin bisa mengupayakan untuk menjalani pernikahan hanya sebatas sebuah kompromi belaka. Sebab, Medhina pun tidak tahu mungkinkah dia bisa jatuh cinta kepada pria lain lagi selain Andreas Saputra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 341 Episodes
Comments
Gina Savitri
Ketemu sama orang tuanya knp gak minta waktu sebentar buat nanyain andreas, gak ada salahnya kali tapi klo hubungan mereka karna beda agama ya nggak bisa di paksa sih
Apalagi klo ortunya medina gak setuju 😣
2022-10-06
0
Adelia Rahma
udahlah dhin jgn buat hidupmu susah dgn masih mengingat nya
2022-10-01
0
🅶🆄🅲🅲🅸♌ᶥⁱᵒⁿ⚔️⃠
ortunya ga ngomong apa² ke.medhina
2022-10-01
0