Terkadang, apa yang dikatakan oleh seorang perempuan itu berbanding terbalik dengan isi hatinya.
Tidak apa-apa, berarti dia sedang tidak baik-baik saja.
Terserah, berarti seorang laki-laki harus mengikuti apa kemauannya.
Jangan hubungi aku lagi, itu artinya terus hubungi aku, bujuk aku, rayu aku sampai aku tidak ngambek lagi.
Kira-kira seperti itu yang diinginkan Belva. Kekesalannya semakin bertambah saat Gilang tak ada usaha untuk menghubungi Belva. Lewat Vita seperti tadi, mungkin.
Bertanya kenapa Belva tidak bisa dihubungi, minta tolong ke Vita untuk menanyakan hal tersebut kepada Belva seperti yang Gilang lakukan tadi.
Tapi kali ini tidak. Sampai tengah malam, Vita tak masuk ke kamar Belva. Tanda bahwa Gilang tidak mencari Belva lewat mamanya.
"Dasar laki-laki nggak peka!" ucapnya kesal sebelum Belva memutuskan untuk mematikan laptopnya dan bersiap untuk tidur.
***
Sore ini Belva dijemput oleh Pak Bambang. Mobilnya sendiri bannya kempes saat dia akan berangkat ke kampus tadi pagi.
Tak ingin terlambat, Belva memutuskan untuk diantar jemput oleh Bambang. Kembali seperti masa SMA dulu saat Belva belum diperbolehkan membawa mobil sendiri.
Hari ini berjalan sesuai dengan moodnya sendiri yang sedang kesal sejak semalam. Laki-laki itu tak menghubunginya sejak semalam Belva mematika teleponnya.
Bahkan satu pesan pun tak ada yang dikirimkan Gilang untuk dirinya. Sekedar ucapan maaf atau sedikit rayuan agar Belva tak marah lagi padanya.
Hari ini Belva tak banyak bicara. Belva lebih banyak diam dan memandang lurus ke depan saat dosen menjelaskan materi. Namun, pikirannya tetap tertuju pada Gilang yang entah sedang apa dia di sana.
Belva cemburu pada semua orang yang setiap hari bisa melihat Gilang. Belva juga ingin seperti itu. Tapi keadaan membuat mereka terpaksa harus sering berpisah dengan jarak dan waktu sehingga membuat mereka tidak bisa bertemu setiap saat maupun setiap hari.
Di dalam mobil pun Belva lebih banyak diam. Dia lebih banyak melamun hingga saat dia tersadar, dia sudah ada di depan rumah yang Gilang beli untuknya.
"Kok, ke sini, Pak?" tanya Belva.
"Sudah ditunggu Mas Gilang di dalam, Mbak Belva," jawab Bambang yang membuat Belva semakin bingung.
"Jangan ngaco, deh, Pak. Dia di Jakarta juga."
"Dia ada di dalam, Mbak. Yang nyuruh saya bawa Mbak Belva ke sini juga beliau."
"Udah bilang ke Papa sama Mama?"
Bambang menganggukkan kepalanya. "Sudah, Mbak."
"Ck. Ya udah, deh. Makasih, ya, Pak."
"Sama-sama, Mbak. Saya balik ke kantor bapak dulu."
Belva tak menjawab. Dia lebih memilih segera keluar dari mobil.
Gerbang tinggi yang menutupi rumah mewah itu masih tertutup rapat. Sebenarnya dia tak yakin ada Gilang di dalam sana. Tapi sopirnya itu juga tidak mungkin mengerjainya dengan mengantarkan Belva ke rumah ini.
Belva berniat untuk membuka gerbang. Tapi belum sempat Belva menyentuhnya, pintu gerbang sudah terbuka. Menampakkan sosok tubuh tinggi tegap yang begitu dia kenali.
Gilang dengan senyum merekah di bibirnya. Merentangkan kedua tangannya bersiap untuk memeluk Belva. "Selamat sore, Tuan Putri," sambut Gilang.
Alih-alih tersenyum senang dan memeluk Gilang, Belva justru membuang muka. Ada rasa senang tentu saja. Tapi gengsinya lebih besar saat ini.
"Masih ngambek nih?" tanya Gilang dengan mencolek sedikit lengan Belva.
"Apa, sih?" Belva menepisnya dengan kasar. Membuat Gilang semakin tersenyum lebar.
"Marah-marahnya di dalam aja yuk. Nggak enak dilihat orang nanti."
"Dasar nyebelin!" umpatnya kesal sambil berjalan melewati Gilang begitu saja. Mendahului Gilang untuk masuk ke halaman rumah.
Gilang yang sudah mengunci pintu gerbang pun segera berlari mengejar Belva. Langkah kaki kecil Belva tentu kalah dengan lebar Gilang.
Sehingga dengan mudah Gilang mensejajarkan langkahnya dengan Belva. Tapi Gilang lebih memilih memeluk Belva dari belakang. Membuat langkah Belva terhenti dan degup jantungnya bertambah cepat saat itu juga.
"Udah, ya, marahnya? Kakak minta maaf. Bukan maksud kakak mau tebar pesona. Justru kakak yang takut kamu dilirik sama laki-laki lain di kampus. Kamu sempurna, Bel. Kakak rasa siapapun yang melihat kamu pasti langsung naksir," bisik Gilang yang membuat Belva diam-diam menahan senyumnya.
Dasar perempuan, dirayu sedikit saja hatinya langsung berbunga. Tapi tak apa kalau itu dengan suami sendiri.
Belva membalikkan tubuhnya. Masih di dalam pelukan Gilang. Tawa kecil keluar dari bibirnya. "Aku nggak salah dengar, kan, Kak? Coba bilang sama aku, apa alasan kakak nggak mau aku dekat dengan laki-laki lain? Jangan bilang kalau hanya karena aku cantik. Aku bukan barang yang dimiliki kakak, dan kakak akan marah kalau barang kesayangan kakak disentuh oleh orang lain."
Gilang menatap dalam kedua mata Belva. Menyelami sebuah ketulusan yang dia dapatkan dari gadis belia yang menjadi istrinya. "Kamu bukan barang. Tapi istri kesayangan kakak."
Belva menaikkan satu alisnya. Menandakan bahwa apa yang diucapkan Gilang belum cukup untuk membuat hatinya merasa puas.
"Kakak sudah jatuh cinta sama istri kecil kakak yang bawel dan ngambekan ini. Kakak sayang sama kamu, Bel. Kakak nggak mau kamu dekat-dekat dengan lelaki lain."
Mendengarnya, Belva mengembuskan napas dengan lega. "Huh, akhirnya..."
"Akhirnya apa?" tanya Gilang bingung.
"Akhirnya kakak ngaku juga kalau kakak cinta sama aku. Tapi, gini aja nih usahanya buat minta maaf?"
"Maksudnya?" Gilang semakin dibuat bingung.
"Aku pengen juga kali, Kak, kakak minta maaf ke aku pakai bunga mawar banyak banget lewat temen-temen di kampus. Terus diajak berdiri di roof top. Habis itu ada helikopter lewat bahwa tulisan gede banget gitu."
Mendengar ucapan Belva, Gilang jadi teringat akan kejadian beberapa tahun yang lalu. "Darimana kamu tau hal itu, Bel?"
"Jejak digital itu ada, Kak. Kenapa, malu, ya?"
"Awas kamu, Bel!"
Belva tertawa, lantas dia berlari masuk ke dalam rumah dan Gilang pun mengejarnya.
Jadilah adegan kejar-kejaran seperti di film-film India. Belva masih terus berlari menghindari Gilang sedangkan Gilang terus mengejarnya.
Belva melempar tasnya ke atas sofa agar dia bisa lari dengan bebas. Tapi justru kakinya berlari menuju kolam renang sampai akhirnya dia tercebur ke dalamnya.
"Kok, malah masuk kolam, sih, Bel?"
"Kakak, sih, ngejar aku terus."
"Malah nyalahin kakak orang kamu yang mulai. Jadi basah begini, kan? Naik, yuk. Udah sore takut masuk angin nanti."
"Bantuin!" Belva mengulurkan tangannya. Meminta pertolongan pada Gilang.
Tapi saat Gilang juga mengulurkan tangannya untuk membantu Belva naik, Belva justru menarik tangan Gilang sampai Gilang ikut tercebur ke dalam kolam.
Belva tertawa puas melihatnya. Dia tidak basah sendirian sore ini.
"Belvaaa!!!"
Belva menjulurkan lidahnya mengejek Gilang. "Rasain! Emang enak, wleee!!"
"Awas kamu, ya!"
Gilang berhasil menangkap tubuh Belva. Menggelitik pinggangnya hingga Belva tertawa sampai dia minta ampun pada Gilang.
"Kak, geli banget. Haha... Udah, dong."
"Rasain kamu, Bel. Usil banget kamu."
"Hahaha... Kakak udah. Geli tau."
Gilang menghentikan aksinya. Dia peluk pinggang Belva dan keduanya saling bertatapan.
Napas Belva memburu karena terlalu lelah tertawa akibat ulah Gilang yang menggelitik pinggangnya.
Cukup lama keduanya saling bertatapan. Hingga Gilang memberanikan diri untuk mendekatkan wajahnya, hingga hangat napas Belva menerpa wajahnya yang basah.
Jantung Belva berdegup kencang. Matanya secara otomatis terpejam saat Gilang menempelkan bibirnya pada bibir Belva.
Saat dirasa tidak ada penolakan dari Belva, Gilang mulai memancing Belva dengan sedikit ******* bibir Belva.
Senja sore itu menjadi saksi dimana dua insan yang sudah mulai saling mencintai itu berciuman untuk pertama kalinya selama satu bulan lebih usia pernikahan mereka.
🌻🌻🌻
Ciyee yang langsung ngebayangin ada di posisi Belva. 😜😜
Tak kasih yang manis-manis dulu sebelum masuk ke sesi yang menegangkan. eeaaa....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Tavia Dewi
senang y
2023-09-09
0
🏘⃝Aⁿᵘ🦆͜͡ ℛᵉˣℱᵅᵐⁱⳑʸTIK𝐀⃝🥀
akhirnya ketemu juga tu lambe🤭
2023-07-02
0
Norfadilah
Heeemmm...🤣🤣
2023-06-17
0