"Kemarin kenapa ke luar negeri nggak bilang sama aku?"
Gilang yang sudah bersiap untuk mandi, urung masuk ke kamar mandi setelah mendengar pertanyaan dari Belva yang masih bergelung di bawah selimut.
"Malah Mama yang tau kak Gilang ke Sidney. Mama pakai nitip tas segala lagi," lanjutnya lagi. Namun matanya fokus pada handphonenya. Entah apa yang dia lihat.
"Kamu mau tas juga, Bel?"
"Ih, kok, malah tanya mau tas apa enggak, sih? Orang yang jadi masalah kenapa Kak Gilang nggak ngomong sama aku kalau Kak Gilang mau keluar negeri."
Gilang terkekeh pelan. Mendekati Belva yang mulai mengerucutkan bibirnya dengan manja. Belva yang dulu sudah kembali lagi, pikir Gilang.
"Harusnya Papa yang ke sana, Bel. Cuma karena papa nggak enak badan, jadinya kakak yang pergi ke sana. Berangkatnya mendadak banget."
"Terus kenapa Mama bisa tau kalau kak Gilang di luar negeri?"
"Waktu itu teleponan sama Papa kamu bahas pekerjaan. Mama dengar kalau kakak di Sidney. Ya udah Mama nitip tas sekalian katanya."
"Itu kakak bisa telepon Papa. Kok, nggak bisa telpon aku?"
"Waktu itu kuotanya langsung habis, Bel."
"Jangan ngarang, deh! Kak Gilang mana mungkin kehabisan kuota."
Gilang tertawa lagi. Sejak dini hari tadi, sepertinya dia sudah terlalu banyak tertawa di depan Belva.
Masih berusaha mengontrol dirinya agar tak mudah menyentuh Belva seenaknya. Memang sudah haknya. Tapi Gilang tak ingin terburu-buru.
Apalagi saat ini Belva masih datang bulan. Ah, sudahlah. Kepalanya mendadak pening membayangkannya. Lebih baik dia segera mandi dan pergi ke kantor sebelum nanti sore mengantar Belva pulang ke Surabaya.
"Kakak mandi dulu, Bel. Mau ke kantor sebentar. Paling sampai jam sepuluhan. Nanti di rumah dulu sama Mbok, ya?"
"Memangnya Mama kemana?"
"Tadi Mama kirim pesan kalau sudah berangkat ke bandara tadi jam enam. Mau ke Singapura dengan pesawat paling pagi karena sore nanti sudah pulang."
Belva menghembuskan napas pelan. Tadinya dia ingin selalu berada di dekat Gilang. Ikut ke kantor Gilang, misalnya. Tapi dia sadar bahwa pernikahan mereka belum diumumkan. Jadi Belva tak mungkin ikut ke kantor Gilang.
"Ya udah, deh," ucap Belva dengan sedikit kesal.
"Sabar, ya. Cuma sebentar ke kantornya."
Belva mengangguk mengiyakan. Setelahnya Gilang baru bisa pergi mandi dan bersiap ke kantor.
***
"Sering-sering ke sini, Non. Ibu itu suka sekali kalau anak-anaknya pada kumpul. Kemarin aja waktu Non Belva belum ke sini, beliau selalu meminta Den Gilang buat ngajak Non Belva ke sini," ucap Mbok Surti sambil mengulek sambal bawang permintaan Belva.
"Iya, ya, Mbok?"
"Iya. Ibu itu senang sekali waktu Den Gilang akhirnya mau menikah lagi setelah bercerai dengan Non Mikha. Tapi kemarin setau Mbok yang harusnya menikah sama Den Gilang itu bukan Non Belva ini loh. Tapi ya ndak apa-apa. Namanya juga jodoh, nggak ada yang tau."
Belva tersenyum canggung. Memang seharusnya bukan dia yang menjadi menantu Anton dan Yunita. Tapi karena suatu keadaan yang hanya Gilang dan keluarga Belva yang tau, jadilah Belva yang menjadi istri Gilang.
"Ini, Non. Sambalnya sudah jadi. Makan yang banyak, ya. Tadi Den Gilang pesannya gitu. Non Belva suruh makan yang banyak."
Tawa kecil Belva keluar dari bibirnya. Perhatian-perhatian kecil dari Gilang sudah dia rasakan.
Termasuk hal seperti ini. Begini saja hatinya sudah sangat bahagia. Hubungannya dengan Gilang sudah selangkah lebih baik lagi.
Walaupun sejak kecil hidup sudah serba ada. Mau makan apa saja bisa. Entah makanan yang mahal ataupun murah, semua bisa Belva rasakan.
Tapi lidah Belva memang lidah asli Indonesia meskipun memiliki darah Belanda. Kesukaannya sambal bawang, lalapan, dan tempe goreng atau lauk yang lainnya.
Belva justru kurang suka dengan makanan-makanan luar negeri yang sering dikonsumsi orang kaya lainnya.
Beruntung asisten rumah tangga di rumah Anton berasal dari Jawa Timur juga. Jadi rasa masakan yang Belva minta rasanya sangat cocok dengan lidahnya.
"Dulu kak Mikha juga tinggal di sini, Mbok, waktu masih jadi istri Kak Gilang?"
"Ndak, Non. Dulu mereka tinggal di rumah sendiri. Tapi ya gitu, ternyata hanya untuk menutupi keadaan rumah tangga mereka yang sebenarnya. Mbok, sih, ndak banyak tau, ya, Non. Setau Mbok mereka itu nggak saling cinta. Tapi tetap dijodohkan. Alhasil gagal juga karena Den Gilang yang main perempuan, Non Mikha malah jatuh cinta sama kakak iparnya sendiri. Ah, Mbok malah jadi ngegosip, to? Ndak enak jadinya."
Belva tertawa kecil. "Tenang aja, Mbok. Belva nggak akan bilang ke siapa-siapa, kok, kalau kita ghibahin mereka."
Keduanya lantas tertawa bersama. "Tapi Non Belva nggak perlu khawatir. Setelah bercerai dari Non Mikha, Den Gilang sudah berubah lebih baik lagi. Mbok bisa lihat dari sikapnya, sudah mau sholat lagi, tertib pula. Bahkan kalau subuh kadang mau ke masjid. Mbok senang lihatnya."
Mereka menghentikan obrolan mereka karena terdengar suara mobil yang masuk ke halaman rumah Anton.
Belva melihat jam dinding yang menempel di ruang makan. Sudah jam sepuluh, mungkin itu Gilang yang baru saja pulang dari kantornya. Tadi dia mengatakan kalau akan pulang di jam sepuluh.
"Mbok, tolong lihatin siapa yang datang. Kalau kak Gilang, bilang Belva di sini, ya."
"Baik, Non."
Setelah beberapa saat, Gilang menghampiri Belva yang masih berada di meja makan. Asyik makan tempe mendoan dicocolkan ke sambal bawang yang masih tersisa di mangkuk kecil.
"Makan apa, Bel? Ih, sambalnya merah amat itu. Kakak ngeri lihatnya."
Belum juga Belva menjawab, Gilang sudah mengomentari sambal yang dimakan oleh Belva.
"Enak tau, Kak. Mau cobain enggak?" Belva hampir menyuapi Gilang dengan secuil mendoan yang sudah dicocolkan ke sambal.
Tapi Gilang segera menghindar. "Enggak, ah. Pedes banget itu. Kakak nggak terlalu suka makan pedes," ucap Gilang.
"Yah, padahal enak tau, Kak."
"Kamu jangan banyak-banyak makan pedes gitu, Bel. Nggak baik buat kesehatan."
"Selama ini aku aman-aman aja, Kak, makan pedes."
"Aman sekarang. Lama-lama juga bahaya loh. Dikurangi sedikit-sedikit, ya. Ini udah aja makannya. Kakak aja nggak tahan lihatnya sama cium bau cabainya. Mending jalan-jalan aja, yuk, sebentar."
"Jalan-jalan ke mana, kak?"
"Nanti juga tau. Sekarang cuci tangan dulu."
Seperti memperlakukan anak kecil. Gilang menuntun Belva sampai ke wastafel, lalu mencuci tangan Belva dengan sabun. Sampai bersih, sampai di rasa tidak ada bau sambal yang menempel pada jari-jari tangan Belva.
***
Belva tak banyak bertanya Gilang akan membawanya kemana. Karena selama berada di dekat Gilang, pasti Belva akan aman.
Belva tak banyak tau daerah Jakarta. Semua tempat terasa asing karena Belva jarang datang ke Jakarta.
Tak sampai satu jam perjalanan, Gilang membelokkan mobilnya untuk memasuki gerbang sebuah gerbang rumah mewah berlantai tiga.
Lengkap dengan halaman yang luas. Entah halaman depan, belakang atau samping kanan dan kiri.
"Rumah siapa, Kak?"
"Rumah kita, Bel."
"Kita?"
Gilang mengangguk pasti. "Iya. Rumah kita."
"Bukan rumah yang dulu kakak tempati sama Kak Mikha, kan?" Mendadak Belva menyesali ucapannya.
Setelah Gilang diam beberapa saat dan membuat hati Belva ketar-ketir, takut Gilang akan marah, Gilang tertawa kecil. Saat itu juga Belva baru bisa menghembuskan napas lega karena tawa Gilang pertanda bahwa dia tak marah saat Belva menyinggung masa lalunya dengan Mikha.
"Rumah itu sudah kakak jual, Bel. Uangnya buat beli tanah ini dan kakak bangun rumah masa depan ini."
"Jadi ini rumah udah lama dibangun?"
"Baru jadi sekitar dua bulan yang lalu. Dalamnya masih kosong belum ada furniturenya. Nanti kita isi sama-sama. Semua pilihan kamu juga nggak apa-apa. Yang penting kamu nyaman tinggal di dalamnya."
"Kan, aku kuliah di Surabaya, kak. Kesini juga paling berapa Minggu sekali."
"Ya selama kamu ke Jakarta juga kita tinggalnya di sini, Bel. Kalau sudah berkeluarga, enaknya tinggal sendiri begini kalau sudah mampu. Meskipun sebenarnya Mama dan Papa tidak keberatan kalau kita tinggal di rumah mereka. Tapi dengan kita tinggal sendiri seperti ini, kita akan lebih mandiri. Apa-apa tidak bergantung pada Mama dan Papa. Lebih bebas juga nantinya."
Belva mengangguk paham. Rasanya terharu saat Gilang menyerahkan semua isi rumah ini pada Belva. Meskipun awalnya rumah ini dibuat entah untuk siapa, tapi pada akhirnya Belva yang menempatinya dan mengurus semuanya.
"Bebas ngapain, Kak?"
Gilang mendadak salah tingkah. Kesalahan dia berkata seperti itu. Belva ternyata belum paham apa itu "lebih bebas". Nasibnya menikahi wanita yang baru lulus SMA.
Belum bisa nyambung jika diajak membahas hal seperti ini.
♥️♥️♥️
Entah kesambet apa aku bisa up dua bab hari ini. 🤣🤣
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Metro Kdw
🤭🤭
2023-09-09
0
Tavia Dewi
waduh sinyal mintah jatah,,,istri harus patuh.
2023-09-09
0
Zulfiana
bebas bercocok tanam bel...😄
2023-08-15
0