A Thousand Flowers
Mentari masih mengintip malu-malu dari balik bukit. Semburat keemasannya menghangatkan kristal bening yang bertengger di dedaunan. Perlahan kristal bening itu mulai mengangkasa bersama lembutnya belaian angin timur. Nyanyian burung menambah ceria suasana pagi. Siap menyambut rutinitas para pemimpi yang telah terjaga dari lelapnya. Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan?
Seorang gadis merentangkan kedua tangannya, menarik napas panjang dengan sedikit menengadah sambil memejamkan mata. Berjuang memenuhi rongga dadanya dengan bersihnya udara pagi. Entah berapa kali ia menikmati proses menarik dan membuang napas sebelum akhirnya kembali membuka mata dan tersenyum simpul
seraya menurunkan kedua tangannya.
“Selamat datang pagi yang indah,” gumamnya pada diri sendiri.
Termangu di pojok kiri halaman rumah itu, seorang cowok memperhatikan segala aktivitas si gadis dengan tatapan tak berkedip. Punggungnya bersandar pada pohon rambutan yang rindang. Sebelah kakinya terangkat dengan telapak kaki bertumpu pada batang tempatnya bernaung. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Entah melawan hawa dingin yang masih tersisa atau hanya sekadar mencari posisi nyaman agar bisa menikmati pemandangan di kejauhan yang membuatnya terpesona.
“Ah, seandainya aku bisa melihat senyum itu setiap hari .…” Ia membatin tanpa menyelesaikan kalimatnya. Perlahan ia mulai melangkahkan kaki mendekati si gadis, sahabat terbaiknya sejak mereka duduk di sekolah menengah pertama.
"Hai, Can!” sapa si cowok mengagetkan begitu si gadis berdiri setelah mengikat tali sepatunya.
“Astagfirullah!” Gadis itu nyaris melompat saking kagetnya dengan kemunculan si cowok yang tiba-tiba.
"Kebiasaan jelek masih saja dipelihara!” lanjut si gadis dengan nada dingin dan perasaan jengkel.
Ia tak habis pikir kenapa cowok tersebut masih saja memanggilnya “Macan”. Meskipun ia memang gadis yang sama yang telah dikenalnya lama, sekarang ia sudah berubah. Harusnya cowok itu juga mengubah panggilannya.
"Huh, sebel! Memangnya enggak bisa manggil Izzah seperti teman-teman lainnya?"
Izzah terus menggerutu seraya berjalan menuju teras rumah, lalu menghempaskan pantatnya di kursi rotan, seolah menyalurkan kekesalannya. Sementara si cowok mengekor di belakang Izzah dan ikut duduk di kursi sebelahnya.
Izzah hanya diam. Menyandarkan kepala di kursi, menyatukan kedua tangannya di pangkuan dan memejamkan mata. Pikirannya menerawang kembali ke masa silam, saat pertama kali berkenalan dengan cowok itu.
Bel istirahat baru saja berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas. Izzah bergegas merapikan buku pelajarannya dan mengeluarkan buku kumpulan puisi dari tas sekolahnya.
Seperti biasa, Izzah selalu memilih menjadi yang terakhir keluar dari kelas karena tak ingin berdesak-desakan di tengah pintu. Izzah pun akan selalu menunggu kantin sepi jika ingin ke sana.
Akan tetapi, hari ini Izzah sedang tidak ingin ke kantin. Ia lebih memilih berdiri dan bersandar di sebuah tiang di depan kelasnya. Sesaat diperhatikannya segerombolan siswa yang tengah asyik bermain basket dan disoraki cewek-cewek genit dari tepi lapangan. Mencari perhatian para pemain basket. Izzah tersenyum sinis seraya menggeleng kepala.
“Kurang kerjaan tuh cewek-cewek,” ujarnya nyaris tak terdengar.
Segera diputarnya topi sekolah yang bertengger di kepalanya hingga bagian depan kini berada di belakang. Tangannya segera membuka lembaran buku yang dari tadi digenggamnya. Dalam sekejap, ia pun larut dalam bacaannya dan tak lagi peduli dengan sekitar.
Namun, tiba-tiba konsentrasinya terganggu. Ia segera membalikkan tubuh dan melihat topinya sudah berpindah ke tangan seorang cowok yang menatapnya dengan senyum menggoda.
Izzah memicingkan mata menatap cowok itu. Berusaha mengontrol emosinya. Ia tahu cowok itu adalah seniornya yang terkenal sebagai kasanova. Kalau tidak salah namanya Rendy.
"Silakan ambil kalau bisa!” tantang Rendy sambil mengangkat topi itu tinggi-tinggi.
Rendy memang sering kali bersikap usil kepada cewek-cewek yang menjadi targetnya. Sepertinya anak itu selalu terobsesi untuk menaklukkan cewek yang dianggapnya cantik dan menarik. Sialnya, hari ini Izzah yang menjadi korbannya.
Izzah hanya diam. Mata bulatnya menatap Rendy tajam.
“Kembalikan topiku!” ucap Izzah dengan nada datar dan tanpa ekspresi.
Rendy hanya menggoyangkan tangan. Bibirnya masih saja menyunggingkan senyuman nakal dan seakan semakin menantang Izzah. Izzah menghela napas dalam.
“Kembalikan topiku selagi aku memintanya dengan baik! Jangan sampai aku menghitung sampai tiga!” ujar Izzah masih dengan nada datar dan memberi tekanan pada kalimat terakhir.
“Wow! Kamu galak juga ternyata,” balas Rendy sambil tertawa.
“Ambillah sendiri!” lanjutnya lagi, semakin menantang Izzah.
“Oke. Aku hitung sampai tiga. Kalau kamu tetap tidak mengembalikannya. Jangan salahkan aku jika terjadi sesuatu setelahnya,” balas Izzah seraya menggulung buku yang tadi dibacanya dan memasukkan buku itu ke dalam saku roknya.
Ia bergerak mendekati Rendy. Tangan kanannya terulur dengan posisi meminta. Matanya menatap tajam tak berkedip ke arah topi yang berada di tangan Rendy.
“Satu … dua .…” Izzah mulai menghitung, tetapi Rendy masih saja menggoyangkan topi itu dengan tangan terangkat.
Ia merasa berada di atas angin karena lebih tinggi dari Izzah. Bersamaan dengan hitungan ketiga, tangan kanan Izzah melayangkan tinju ke perut Rendy.
Mendapat serangan mendadak, Rendy merunduk sambil meringis menahan sakit. Di saat bersamaan, tangan kiri Izzah menyambar topinya dari tangan Rendy, lalu berjalan santai meninggalkan Rendy seolah tak terjadi apa-apa. Rendy hanya menatap punggung Izzah.
“Dasar cewek aneh!” gumamnya sambil mengelus perutnya yang masih terasa sakit.
Ia tak percaya ada gadis seperti Izzah. Bagaimana mungkin gadis seimut dan semanis itu memiliki temperamen yang buas? Bahkan, menyamai ganasnya seekor macan betina.
Mata Rendy makin berkilat. Ia seperti tertantang untuk bisa menaklukan Izzah.
“Awas saja, Izzah! Akan kubuat kau jatuh cinta padaku!” Rendy kembali mengelus perutnya yang masih menyisakan rasa sakit.
“Hei, Bro … kamu baik-baik saja?” tanya salah satu dari dua orang teman dekat Rendy. Keduanya tiba-tiba menghampiri dengan bibir mencebik, tersenyum sedikit mengejek.
“Sepertinya sudah saatnya kamu tobat, Bro! Lagian, masih SMP juga sudah mau jadi kasanova. Kena batu deh sekarang. Hahaha ....” timpal yang lainnya sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Mereka berdua meninggalkan Rendy yang masih saja menatap punggung Izzah hingga gadis itu menghilang di ujung koridor menuju kantin.
Tepat di depan sebuah kelas di seberang lapangan basket, seorang cowok tersenyum puas melihat ending dari tontonan yang sempat membuatnya sedikit kesal. Dialah Ihsan. Anggota OSIS yang menjadi koordinator bidang olahraga itu memang sudah bosan dengan sepak terjang teman sekelasnya itu.
“Akhirnya tuh kasanova mendapat karmanya,” ujarnya, menarik napas lega.
“Siapa tuh cewek?” tanya Ihsan pada diri sendiri.
Hatinya mulai tergelitik untuk mendekati hingga tanpa sadar ia melangkahkan kaki ke arah di mana tadi Izzah menghilang.
***
Author's note:
Hai sobat readers ...
Ini novel pertama May di NT. Mohon dukungannya ya dengan cara mengklik tombol ❤ dan nulis komentar (beri tips juga boleh 🤭)
Dan May akan sangat berterima kasih bila sobat readers mau mengklik dan menonton iklan yang ditampilkan pada akhir bab. Cuma beberapa detik doang kok. May doakan semoga rezeki sobat readers semakin lancar. Aamiin.
Semoga sobat readers suka dan terhibur. Love you 💞
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Adining Wuri Kartika
Hai kak,.mampir juga yuk keceritaku.kisah Alia
2020-05-07
1
Yunita_Ratsa
Hai baca *DUA RANJANG* yuuuk
Ceritanya siap mengaduk-aduk emosimu
❤❤❤❤❤❤❤
2020-05-03
1
Hendienthie Nella Dhafa
awal yg bagus..
semoga aja gk gk garing
2020-03-21
0