Mentari masih mengintip malu-malu dari balik bukit. Semburat keemasannya menghangatkan kristal bening yang bertengger di dedaunan. Perlahan kristal bening itu mulai mengangkasa bersama lembutnya belaian angin timur. Nyanyian burung menambah ceria suasana pagi. Siap menyambut rutinitas para pemimpi yang telah terjaga dari lelapnya. Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan?
Seorang gadis merentangkan kedua tangannya, menarik napas panjang dengan sedikit menengadah sambil memejamkan mata. Berjuang memenuhi rongga dadanya dengan bersihnya udara pagi. Entah berapa kali ia menikmati proses menarik dan membuang napas sebelum akhirnya kembali membuka mata dan tersenyum simpul
seraya menurunkan kedua tangannya.
“Selamat datang pagi yang indah,” gumamnya pada diri sendiri.
Termangu di pojok kiri halaman rumah itu, seorang cowok memperhatikan segala aktivitas si gadis dengan tatapan tak berkedip. Punggungnya bersandar pada pohon rambutan yang rindang. Sebelah kakinya terangkat dengan telapak kaki bertumpu pada batang tempatnya bernaung. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Entah melawan hawa dingin yang masih tersisa atau hanya sekadar mencari posisi nyaman agar bisa menikmati pemandangan di kejauhan yang membuatnya terpesona.
“Ah, seandainya aku bisa melihat senyum itu setiap hari .…” Ia membatin tanpa menyelesaikan kalimatnya. Perlahan ia mulai melangkahkan kaki mendekati si gadis, sahabat terbaiknya sejak mereka duduk di sekolah menengah pertama.
"Hai, Can!” sapa si cowok mengagetkan begitu si gadis berdiri setelah mengikat tali sepatunya.
“Astagfirullah!” Gadis itu nyaris melompat saking kagetnya dengan kemunculan si cowok yang tiba-tiba.
"Kebiasaan jelek masih saja dipelihara!” lanjut si gadis dengan nada dingin dan perasaan jengkel.
Ia tak habis pikir kenapa cowok tersebut masih saja memanggilnya “Macan”. Meskipun ia memang gadis yang sama yang telah dikenalnya lama, sekarang ia sudah berubah. Harusnya cowok itu juga mengubah panggilannya.
"Huh, sebel! Memangnya enggak bisa manggil Izzah seperti teman-teman lainnya?"
Izzah terus menggerutu seraya berjalan menuju teras rumah, lalu menghempaskan pantatnya di kursi rotan, seolah menyalurkan kekesalannya. Sementara si cowok mengekor di belakang Izzah dan ikut duduk di kursi sebelahnya.
Izzah hanya diam. Menyandarkan kepala di kursi, menyatukan kedua tangannya di pangkuan dan memejamkan mata. Pikirannya menerawang kembali ke masa silam, saat pertama kali berkenalan dengan cowok itu.
Bel istirahat baru saja berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas. Izzah bergegas merapikan buku pelajarannya dan mengeluarkan buku kumpulan puisi dari tas sekolahnya.
Seperti biasa, Izzah selalu memilih menjadi yang terakhir keluar dari kelas karena tak ingin berdesak-desakan di tengah pintu. Izzah pun akan selalu menunggu kantin sepi jika ingin ke sana.
Akan tetapi, hari ini Izzah sedang tidak ingin ke kantin. Ia lebih memilih berdiri dan bersandar di sebuah tiang di depan kelasnya. Sesaat diperhatikannya segerombolan siswa yang tengah asyik bermain basket dan disoraki cewek-cewek genit dari tepi lapangan. Mencari perhatian para pemain basket. Izzah tersenyum sinis seraya menggeleng kepala.
“Kurang kerjaan tuh cewek-cewek,” ujarnya nyaris tak terdengar.
Segera diputarnya topi sekolah yang bertengger di kepalanya hingga bagian depan kini berada di belakang. Tangannya segera membuka lembaran buku yang dari tadi digenggamnya. Dalam sekejap, ia pun larut dalam bacaannya dan tak lagi peduli dengan sekitar.
Namun, tiba-tiba konsentrasinya terganggu. Ia segera membalikkan tubuh dan melihat topinya sudah berpindah ke tangan seorang cowok yang menatapnya dengan senyum menggoda.
Izzah memicingkan mata menatap cowok itu. Berusaha mengontrol emosinya. Ia tahu cowok itu adalah seniornya yang terkenal sebagai kasanova. Kalau tidak salah namanya Rendy.
"Silakan ambil kalau bisa!” tantang Rendy sambil mengangkat topi itu tinggi-tinggi.
Rendy memang sering kali bersikap usil kepada cewek-cewek yang menjadi targetnya. Sepertinya anak itu selalu terobsesi untuk menaklukkan cewek yang dianggapnya cantik dan menarik. Sialnya, hari ini Izzah yang menjadi korbannya.
Izzah hanya diam. Mata bulatnya menatap Rendy tajam.
“Kembalikan topiku!” ucap Izzah dengan nada datar dan tanpa ekspresi.
Rendy hanya menggoyangkan tangan. Bibirnya masih saja menyunggingkan senyuman nakal dan seakan semakin menantang Izzah. Izzah menghela napas dalam.
“Kembalikan topiku selagi aku memintanya dengan baik! Jangan sampai aku menghitung sampai tiga!” ujar Izzah masih dengan nada datar dan memberi tekanan pada kalimat terakhir.
“Wow! Kamu galak juga ternyata,” balas Rendy sambil tertawa.
“Ambillah sendiri!” lanjutnya lagi, semakin menantang Izzah.
“Oke. Aku hitung sampai tiga. Kalau kamu tetap tidak mengembalikannya. Jangan salahkan aku jika terjadi sesuatu setelahnya,” balas Izzah seraya menggulung buku yang tadi dibacanya dan memasukkan buku itu ke dalam saku roknya.
Ia bergerak mendekati Rendy. Tangan kanannya terulur dengan posisi meminta. Matanya menatap tajam tak berkedip ke arah topi yang berada di tangan Rendy.
“Satu … dua .…” Izzah mulai menghitung, tetapi Rendy masih saja menggoyangkan topi itu dengan tangan terangkat.
Ia merasa berada di atas angin karena lebih tinggi dari Izzah. Bersamaan dengan hitungan ketiga, tangan kanan Izzah melayangkan tinju ke perut Rendy.
Mendapat serangan mendadak, Rendy merunduk sambil meringis menahan sakit. Di saat bersamaan, tangan kiri Izzah menyambar topinya dari tangan Rendy, lalu berjalan santai meninggalkan Rendy seolah tak terjadi apa-apa. Rendy hanya menatap punggung Izzah.
“Dasar cewek aneh!” gumamnya sambil mengelus perutnya yang masih terasa sakit.
Ia tak percaya ada gadis seperti Izzah. Bagaimana mungkin gadis seimut dan semanis itu memiliki temperamen yang buas? Bahkan, menyamai ganasnya seekor macan betina.
Mata Rendy makin berkilat. Ia seperti tertantang untuk bisa menaklukan Izzah.
“Awas saja, Izzah! Akan kubuat kau jatuh cinta padaku!” Rendy kembali mengelus perutnya yang masih menyisakan rasa sakit.
“Hei, Bro … kamu baik-baik saja?” tanya salah satu dari dua orang teman dekat Rendy. Keduanya tiba-tiba menghampiri dengan bibir mencebik, tersenyum sedikit mengejek.
“Sepertinya sudah saatnya kamu tobat, Bro! Lagian, masih SMP juga sudah mau jadi kasanova. Kena batu deh sekarang. Hahaha ....” timpal yang lainnya sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Mereka berdua meninggalkan Rendy yang masih saja menatap punggung Izzah hingga gadis itu menghilang di ujung koridor menuju kantin.
Tepat di depan sebuah kelas di seberang lapangan basket, seorang cowok tersenyum puas melihat ending dari tontonan yang sempat membuatnya sedikit kesal. Dialah Ihsan. Anggota OSIS yang menjadi koordinator bidang olahraga itu memang sudah bosan dengan sepak terjang teman sekelasnya itu.
“Akhirnya tuh kasanova mendapat karmanya,” ujarnya, menarik napas lega.
“Siapa tuh cewek?” tanya Ihsan pada diri sendiri.
Hatinya mulai tergelitik untuk mendekati hingga tanpa sadar ia melangkahkan kaki ke arah di mana tadi Izzah menghilang.
***
Author's note:
Hai sobat readers ...
Ini novel pertama May di NT. Mohon dukungannya ya dengan cara mengklik tombol ❤ dan nulis komentar (beri tips juga boleh 🤭)
Dan May akan sangat berterima kasih bila sobat readers mau mengklik dan menonton iklan yang ditampilkan pada akhir bab. Cuma beberapa detik doang kok. May doakan semoga rezeki sobat readers semakin lancar. Aamiin.
Semoga sobat readers suka dan terhibur. Love you 💞
Ihsan berjalan santai dengan kedua tangan bersembunyi di saku celana. Sesekali tersenyum ramah membalas sapaan beberapa cewek yang berpapasan dengannya. Tiba-tiba matanya menangkap sosok Izzah yang berjalan dari arah berlawanan sambil membaca buku. Ihsan tersenyum penuh arti. Izzah terlihat sangat fokus dengan apa yang dibacanya. Perlahan Ihsan mengayunkan kaki, mengambil posisi lurus berlawanan dengan Izzah.
“Hello, Can!" sapanya, tersenyum manis.
Izzah refleks menghentikan langkah dan mendongakkan kepala untuk melihat siapa yang telah memecah konsentrasinya.
Di depannya kini berdiri seorang cowok dengan wajah baby face. Rambutnya sedikit ikal dan terlihat sangat cocok dengan wajah ovalnya. Ditambah senyumnya yang menawan. Benar-benar cakep. Tidak mengherankan jika cowok yang tengah berdiri di hadapannya ini menjadi salah satu cowok yang digandrungi oleh cewek-cewek di sekolahnya.
“Bisa berteman denganmu?” tanya Ihsan tanpa basa-basi seraya mengibaskan tangan di depan wajah Izzah, menebar pesona.
“Hei!” teriaknya lagi ketika menyadari Izzah masih saja terlihat bengong dan tak merespons salam dan pertanyaannya.
Izzah sedikit kaget. Sesaat ia celingukan melihat sekeliling, mencari murid lain di sekitarnya. Ketika tak menemukan siapa pun selain dirinya, diarahkannya telunjuk kanannya ke dirinya sendiri dengan ekspresi penuh tanya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Melihat itu, Ihsan menganggukkan kepala.
“Iyalah … memangnya ada cewek lain lagi di sini selain kamu, Macan?” lanjutnya dengan nada sedikit bercanda.
“Namaku Izzah, bukan Macan!” jawab Izzah dingin dan ketus. Mengalahkan dinginnya es di kutub utara dan ledakan meriam di zaman Belanda.
“Oh … nama yang bagus. Tapi buat aku, kamu tetap Macan,” balas Ihsan serius.
Izzah mengernyitkan kening menatap Ihsan. Merasa aneh seakan-akan ada yang tidak beres dengan cowok di depannya itu.
“Aku lihat kok apa yang kamu lakukan di depan kelas tadi,” lanjut Ihsan santai seolah bisa membaca pikiran Izzah.
Ia berusaha menyejajarkan langkah dengan Izzah. Izzah cuma tersenyum tipis.
"Ah, ternyata itu penyebabnya dia memanggilku Macan," pikir Izzah.
“Suka-suka kamu sajalah,” ujar Izzah setengah berbisik. Entah didengar Ihsan atau tidak, Izzah tak peduli. Tangannya kembali membuka buku, mengabaikan Ihsan yang berjalan di sampingnya.
“Benar-benar cuek nih cewek,” batin Ihsan sambil melirik Izzah.
“Tapi … maniiis .…” lanjutnya di hati, senyum-senyum sendiri.
“Hei, Can, namaku Ihsan!” teriak Ihsan ketika mereka berpisah.
Izzah tetap cuek dan langsung belok kiri. Sementara Ihsan terus menyeberangi lapangan basket untuk kembali ke kelasnya. Sejenak Ihsan menghentikan langkah dan menoleh ke arah Izzah. Namun, gadis itu tetap fokus pada buku yang dibacanya.
Suara salam dan langkah kaki yang kian mendekat memaksa Izzah membuka mata. Membalasnya dengan bisikan lembut, sekadar cukup didengar telinganya sendiri. Dua orang teman lelakinya, Yudha dan Johny, tahu-tahu sudah duduk terenyak di teras rumahnya.
“Sorry, tadi kami beli minuman dan cemilan dulu buat bekal,” ucap Yudha minta maaf atas keterlambatan mereka.
Tanpa merespons ucapan Yudha, Izzah langsung berdiri, membenahi jilbab yang terlihat sedikit kusut, lalu bergerak mengambil ransel yang tergeletak di lantai dekat tiang teras rumah itu.
“Ini biar aku yang bawa,” kata Ihsan sambil menyambar tas kecil berisi cemilan yang akan diambil Izzah.
Izzah dan ketiga temannya siap untuk berangkat. Hari ini, rencananya mereka akan mengeksplorasi sebuah air terjun tujuh tingkat yang terletak di tengah hutan tak jauh dari sebuah desa kecil di kaki bukit. Dua buah motor sudah menunggu di tepi jalan.
“Bunda, Izzah berangkat dulu ya …,” pamit Izzah kepada ibunya begitu seorang wanita paruh baya keluar untuk melepas kepergian anak gadisnya itu. Izzah mencium tangan ibunya takzim.
“Iya. Hati-hati ya, Nak! Jaga dirimu baik-baik!” pesan ibunya.
“Ya, Bunda,” jawab Izzah sambil mencium pipi ibunya. Kebiasaan yang tak pernah terlewatkan setiap kali ia akan melangkah sebelum meninggalkan ibunya.
“Tenang saja, Bunda, kami semua akan menjaga Izzah dengan baik,” ucap Yudha meyakinkan Bunda Izzah dan diamini oleh Ihsan dan Johny. Mereka pun satu per satu menyalami Bunda Izzah.
“Terima kasih. Bunda percaya sama kalian,” jawab Bunda Izzah tersenyum ramah. Ia sudah menganggap senior Izzah sejak SMP itu seperti anaknya sendiri.
Yudha sudah duduk manis di atas motornya, “John, kamu bonceng sama aku atau Ihsan nih?”
Belum sempat Johny menjawab pertanyaan Yudha, sebuah teriakan mengagetkan mereka.
“Awaaas … aku yang sama Yudha. Johny sama Ihsan saja,” ucap seorang gadis muncul tiba-tiba dan langsung bergerak menuju motor Yudha setelah menarik Johny menjauh dari situ.
Johny dan Ihsan saling lempar senyum. Sementara Izzah cuma menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Yudha menunduk lesu. Tak tahu bagaimana gadis yang bernama Riris itu mendadak muncul bagai hantu di permainan jelangkung. Datang tak diundang.
“Ya Tuhan … mimpi apa aku semalam sampai-sampai pagi ini harus ketemu sama si putri salah kaprah ini,” rutuk Yudha dalam hati.
Ketika melirik teman-temannya, semua kompak mengedikkan bahu dan merentangkan kedua tangan sebagai tanda tak tahu-menahu.
“Kalau Riris sama Yudha dan aku sama Ihsan, terus Izzah sama siapa dong?” tanya Johny khawatir.
“Sama akulah …,” jawab seorang cowok lantang begitu menghentikan motornya berhadapan dengan motor Yudha.
Saat helmnya terbuka, Izzah tampak semringah. Tanpa buang-buang waktu, ia pun segera mendarat manis di jok belakang.
“Wah … Kak Fadhil ikut juga nih? Dari mana tadi kak, kok muncul dari arah situ?” tanya Yudha sok akrab.
“Ya dong. Pengawal pribadi Putri Izzah harus selalu siap ke mana pun tuan putri pergi, tapi sebelumnya harus nge-full tank dulu tadi,” jawabnya panjang lebar seraya menoleh ke belakang dengan senyum menggoda tanpa memedulikan tatapan Ihsan yang sulit dipahami.
“Oke. Kita cabut!” Yudha memberi komando. Tiga motor itu pun melaju beriringan.
Lima belas menit perjalanan, medan yang ditempuh mulai sulit. Jalanan yang mendaki dan tebing yang curam serta sisa-sisa hujan kemarin malam membuat jalanan yang belum diaspal itu terasa licin. Harus berkendara dengan ekstra hati-hati agar tidak terpeleset dan jatuh. Sungguh sebuah keputusan yang tepat memilih pakai motor alih-alih menggunakan mobil.
“Pegangan yang kuat ya, Zah! Aku enggak mau kena semprot Bunda gara-gara kamu jatuh,” instruksi Fadhil dan langsung dilaksanakan Izzah tanpa ragu.
Di belakang mereka, Ihsan mendadak menghentikan motornya dan menepi.
“Kok berhenti, San? Macet?” tanya Johny, lalu turun dan memeriksa ban belakang motor Ihsan. Khawatir jika bannya kempis.
“Enggak tahu nih, sepertinya tanganku sedikit kram,” jawab Ihsan berbohong sambil menggerakkan jemarinya seolah berusaha membuat jari-jarinya kembali rileks.
Entah kenapa ia merasa tak nyaman ketika tadi sempat menyaksikan tangan Izzah melingkar di pinggang Fadhil. Hatinya kecut dan terasa perih. Tak habis pikir bagaimana mungkin Izzah yang selama ini dikenalnya tak pernah bersentuhan dengan cowok walau hanya sekadar bersalaman sekali pun, hari ini melingkarkan tangannya memeluk pinggang cowok yang ada di depannya. Andai Ihsan mendengarnya dari cerita orang lain, ia tak akan pernah percaya. Akan tetapi, melihat semua itu dengan mata kepala sendiri sungguh membuat Ihsan terganggu.
“Ah, sebenarnya siapa sih cowok itu?” tanyanya di hati.
Setelah motor yang ditumpangi Izzah menghilang dari pandangan, Ihsan pun kembali menghidupkan motornya menyusul mereka.
***
Dari kejauhan tampak motor Yudha dan Fadhil sudah terparkir di sisi kanan halaman sebuah rumah kecil di ujung desa yang menjadi tujuan mereka. Rumah itu terlihat asri meski tanpa pagar. Hanya dikelilingi tanaman bluntas dibentuk rapi. Tanaman itulah yang difungsikan sebagai pagar. Di sisi kiri halaman rumah itu terdapat sebuah kolam kecil yang indah. Bentuknya seperti sebuah pulau dikelilingi undakan bebatuan yang disusun dengan sangat rapi. Di beberapa sudut kolam dihiasi dengan beberapa jenis bunga hutan yang cantik. Entah apa nama bunga-bunga itu. Yang jelas, pengaturan dekorasi kolam itu menunjukkan bahwa si pemilik rumah memiliki kemampuan artistik yang luar biasa. Kalau si pemilik rumah itu tinggal di kota, bisa jadi desainer eksterior terkenal nih.
Yudha langsung menghentikan obrolannya begitu melihat Ihsan memarkir motornya. Jhony segera bergabung dan duduk di sebelah pemilik rumah yang menyambut ramah.
“Kenapa lama sekali, San?” tanya Yudha dengan nada sedikit khawatir. “Ada kendala ya?”
“Enggak kok. Sengaja santai biar bisa menikmati pemandangan selama di perjalanan.”
Lagi-lagi Ihsan berbohong. Padahal yang sebenarnya, ia tak tahan memandang kemesraan Izzah dan Fadhil. Mengingat itu, hati Ihsan kembali berdenyut sakit. Johny pura-pura tak mendengar jawaban Ihsan dan memilih terlibat aktif mengobrol dengan pemilik rumah, Pak Burhan.
“Syukurlah kalau begitu. Seandainya dalam sepuluh menit tadi kamu dan Johny tidak muncul juga, aku sudah berencana mau berbalik arah menjemput kamu,” jelas Yudha.
“Benar banget. Sama Izzah juga,” timpal Riris mendukung Yudha sambil mencomot pisang goreng di atas meja.
“What?” Izzah kaget.
Ia tak pernah mengatakan hal seperti itu. Nyaris saja buku yang dipegangnya jatuh. Benar-benar si kutu buku. Kapan saja dan di mana saja, hanya buku yang ada di pikirannya. Seperti sekarang ini, di saat yang lain asyik mengobrol, eeeh ... ia malah tetap saja bergelut dengan buku. Sungguh motto hidup tuh anak, tiada hari tanpa buku. Pantas saja masih bertahan menyandang predikat jomlo akut meski sudah kuliah di akhir tahun ketiga. Pacaran sama buku terus sih … hahaha .…
“Ya jelaslah Zah … di antara kita kan cuma kamu yang calon dokter,” lanjut Riris santai dan tak memperhatikan wajah Izzah yang sedikit bersemu merah ketika tanpa sengaja matanya beradu pandang dengan mata Ihsan.
Cepat-cepat Izzah mengalihkan tatapannya kembali ke buku, sementara Ihsan cuma tersenyum tipis dan ikut duduk di sebelah Johny setelah mengucapkan terima kasih atas perhatian teman-temannya. Jantungnya berdesir kencang.
Setelah obrolan santai dan sedikit wejangan dari Pak Burhan, mereka siap-siap untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
“Amen udi bi sapei nak bendungan be, dak mi deu uleak au … men crito tun tuei bloo, nakdi o penan ne bidadari mendei*)” Pak Burhan kembali mengingatkan.
“Au, Wan**)” jawab Yudha dan Johny hampir bersamaan.
Di antara mereka berenam, hanya mereka berdua yang seratus persen asli penduduk lokal. Jadi, wajar saja kalau dari tadi merekalah yang mendominasi obrolan dengan Pak Burhan. Meskipun demikian, Izzah dan yang lainnya mengerti maksud perkataan Pak Burhan. Tak lupa mereka menyalami Pak Burhan sebelum meninggalkan pekarangan rumah itu.
***
Mentari mulai naik sepenggalan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit. Jika tak ada halangan selama perjalanan, mereka akan sampai di air terjun sebelum pukul sepuluh. Jalan setapak yang dilalui masih sedikit basah dan harus tetap berjalan dengan hati-hati. Yudha berada di posisi paling depan, berperan sebagai komandan pasukan.
Semakin jauh melangkah, semakin terjal pula jalan setapak yang dilalui. Udara makin lembap dan kian dingin. Pepohonan yang tinggi menjulang kian rapat, membatasi masuknya cahaya matahari. Namun demikian, pendar cahaya yang menyelinap di celah ranting dan rimbunnya dedaunan, menjadi lukisan alam yang sangat indah.
Izzah mengancingkan jaketnya agar dapat memberi kehangatan lebih untuk melawan hawa dingin yang menyerang. Sesekali tangannya sibuk memainkan ponsel untuk mengabadikan keindahan alam yang membuatnya terpesona.
Sementara di kejauhan sering kali terdengar rengekan manja Riris, ditimpali omelan ketus Yudha. Namun, tetap saja akan berakhir dengan Yudha yang mengalah. Ya … begitulah. Yudha adalah tipe cowok yang tidak pernah tega melihat cewek menderita. Ia sangat menyayangi dan berbakti kepada ibunya. Karena itulah ia juga selalu bersikap lembut dan hangat kepada cewek, kecuali Riris.
Keributan-keributan kecil itu membuat Izzah tertawa geli di hati. Mengingat Riris adalah cewek manja yang selalu berusaha mati-matian dan rela melakukan apa saja demi menaklukkan Yudha. Meskipun Yudha terus menghindar dan tak pernah memberinya harapan, Riris tak pernah menyerah. Kasihan banget Si Riris. Semangat!
Johny yang berjalan di belakang Yudha dan Riris tidak peduli dengan semua tingkah mereka. Entah benar-benar tidak peduli karena tidak ingin menjadi orang ketiga di antara Yudha dan Riris atau karena headset yang menutupi
telinganya hingga tidak bisa mendengar segala keributan di sekitarnya. Tampaknya ia hanya fokus pada jalan yang dilaluinya dengan kedua tangan disembunyikan di saku jaket.
Fadhil menikmati setiap langkah dengan memanjakan matanya melihat aneka pepohonan dan flora unik yang ditemuinya. Sesekali ia berhenti untuk melihat lebih dekat tanaman-tanaman tersebut, lalu mengabadikan keindahan dan keunikan mereka dengan kameranya. Kadangkala ia juga berhenti dan melihat ke belakang untuk
memastikan bahwa Izzah tetap mengikuti jejaknya. Adakalanya pula ia rehat sejenak menunggu kemunculan Izzah.
Ihsan yang selalu memilih berjalan di belakang Izzah setiap kali berwisata, masih tetap setia mengawasi Izzah dari belakang. Diam-diam ia selalu berada di jarak aman dan memastikan diri untuk selalu siaga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada Izzah.
***
Kerapatan pepohonan mulai berkurang. Cahaya mentari pun dengan leluasa menerangi hutan yang mereka jelajahi. Lamat-lamat terdengar suara gemercik air. Menghadirkan ketenangan. Meresap ke seluruh jiwa. Mengusir segala kepenatan dan beban pikiran karena rutinitas harian yang melelahkan dan membuat jenuh. Seiring dengan semakin jelasnya suara gemercik air itu, di hadapan mereka kini terpampang bentangan sungai yang sangat jernih di sisi kiri jalan setapak. Ah, tanpa terasa mereka sudah sampai di bendungan. Ya, air sungai jernih inilah yang dipakai untuk mengairi daerah persawahan masyarakat desa kecil yang mereka singgahi tadi.
“Waah … Keren!” teriak Riris penuh semangat.
Buru-buru ia melepaskan sepatu, lalu sekejap kemudian sudah duduk manis di atas sebuah batu sambil memainkan kakinya dalam air sungai bening itu.
“Ransel kamu nih! Dasar cewek tukang bikin repot!” omel Yudha sambil melempar ransel Riris.
“Hei! Yang benar dong. Kalo sampai ranselku kecebur, aku enggak bakal maafin kamu,” semprot Riris.
Nyaris saja ransel itu meluncur dari batu tempatnya mendarat dan nyemplung ke sungai kalau saja tangannya tak segera menyambarnya. Riris kesal.
“Bodoh amat!” balas Yudha cuek. Ia baru saja hendak mendekati Izzah ketika Riris kembali memanggilnya.
“Yudha … bukain dooong …,” rengek Riris manja sambil mengulurkan sebungkus potato chips pedas ke arah Yudha.
“Buka saja sendiri!” jawab Yudha ketus tanpa menoleh sedikit pun.
Kakinya terus melangkah mendekati Izzah. Sepertinya ia mulai hilang kesabaran menghadapi sikap manja Riris selama di perjalanan tadi.
***
PS.
*) Amen udi bi sapei nak bendungan be, dak mi deu uleak au… Men crito tun tuei bloo, nakdi o penan ne bidadari mendei = Kalau kalian sudah sampai di bendungan nanti, jangan banyak ulah ya… Menurut cerita orang tua dulu, di sana tempatnya bidadari mandi
**) Au, Wan = Ya, Paman
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!