Ihsan berjalan santai dengan kedua tangan bersembunyi di saku celana. Sesekali tersenyum ramah membalas sapaan beberapa cewek yang berpapasan dengannya. Tiba-tiba matanya menangkap sosok Izzah yang berjalan dari arah berlawanan sambil membaca buku. Ihsan tersenyum penuh arti. Izzah terlihat sangat fokus dengan apa yang dibacanya. Perlahan Ihsan mengayunkan kaki, mengambil posisi lurus berlawanan dengan Izzah.
“Hello, Can!" sapanya, tersenyum manis.
Izzah refleks menghentikan langkah dan mendongakkan kepala untuk melihat siapa yang telah memecah konsentrasinya.
Di depannya kini berdiri seorang cowok dengan wajah baby face. Rambutnya sedikit ikal dan terlihat sangat cocok dengan wajah ovalnya. Ditambah senyumnya yang menawan. Benar-benar cakep. Tidak mengherankan jika cowok yang tengah berdiri di hadapannya ini menjadi salah satu cowok yang digandrungi oleh cewek-cewek di sekolahnya.
“Bisa berteman denganmu?” tanya Ihsan tanpa basa-basi seraya mengibaskan tangan di depan wajah Izzah, menebar pesona.
“Hei!” teriaknya lagi ketika menyadari Izzah masih saja terlihat bengong dan tak merespons salam dan pertanyaannya.
Izzah sedikit kaget. Sesaat ia celingukan melihat sekeliling, mencari murid lain di sekitarnya. Ketika tak menemukan siapa pun selain dirinya, diarahkannya telunjuk kanannya ke dirinya sendiri dengan ekspresi penuh tanya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Melihat itu, Ihsan menganggukkan kepala.
“Iyalah … memangnya ada cewek lain lagi di sini selain kamu, Macan?” lanjutnya dengan nada sedikit bercanda.
“Namaku Izzah, bukan Macan!” jawab Izzah dingin dan ketus. Mengalahkan dinginnya es di kutub utara dan ledakan meriam di zaman Belanda.
“Oh … nama yang bagus. Tapi buat aku, kamu tetap Macan,” balas Ihsan serius.
Izzah mengernyitkan kening menatap Ihsan. Merasa aneh seakan-akan ada yang tidak beres dengan cowok di depannya itu.
“Aku lihat kok apa yang kamu lakukan di depan kelas tadi,” lanjut Ihsan santai seolah bisa membaca pikiran Izzah.
Ia berusaha menyejajarkan langkah dengan Izzah. Izzah cuma tersenyum tipis.
"Ah, ternyata itu penyebabnya dia memanggilku Macan," pikir Izzah.
“Suka-suka kamu sajalah,” ujar Izzah setengah berbisik. Entah didengar Ihsan atau tidak, Izzah tak peduli. Tangannya kembali membuka buku, mengabaikan Ihsan yang berjalan di sampingnya.
“Benar-benar cuek nih cewek,” batin Ihsan sambil melirik Izzah.
“Tapi … maniiis .…” lanjutnya di hati, senyum-senyum sendiri.
“Hei, Can, namaku Ihsan!” teriak Ihsan ketika mereka berpisah.
Izzah tetap cuek dan langsung belok kiri. Sementara Ihsan terus menyeberangi lapangan basket untuk kembali ke kelasnya. Sejenak Ihsan menghentikan langkah dan menoleh ke arah Izzah. Namun, gadis itu tetap fokus pada buku yang dibacanya.
Suara salam dan langkah kaki yang kian mendekat memaksa Izzah membuka mata. Membalasnya dengan bisikan lembut, sekadar cukup didengar telinganya sendiri. Dua orang teman lelakinya, Yudha dan Johny, tahu-tahu sudah duduk terenyak di teras rumahnya.
“Sorry, tadi kami beli minuman dan cemilan dulu buat bekal,” ucap Yudha minta maaf atas keterlambatan mereka.
Tanpa merespons ucapan Yudha, Izzah langsung berdiri, membenahi jilbab yang terlihat sedikit kusut, lalu bergerak mengambil ransel yang tergeletak di lantai dekat tiang teras rumah itu.
“Ini biar aku yang bawa,” kata Ihsan sambil menyambar tas kecil berisi cemilan yang akan diambil Izzah.
Izzah dan ketiga temannya siap untuk berangkat. Hari ini, rencananya mereka akan mengeksplorasi sebuah air terjun tujuh tingkat yang terletak di tengah hutan tak jauh dari sebuah desa kecil di kaki bukit. Dua buah motor sudah menunggu di tepi jalan.
“Bunda, Izzah berangkat dulu ya …,” pamit Izzah kepada ibunya begitu seorang wanita paruh baya keluar untuk melepas kepergian anak gadisnya itu. Izzah mencium tangan ibunya takzim.
“Iya. Hati-hati ya, Nak! Jaga dirimu baik-baik!” pesan ibunya.
“Ya, Bunda,” jawab Izzah sambil mencium pipi ibunya. Kebiasaan yang tak pernah terlewatkan setiap kali ia akan melangkah sebelum meninggalkan ibunya.
“Tenang saja, Bunda, kami semua akan menjaga Izzah dengan baik,” ucap Yudha meyakinkan Bunda Izzah dan diamini oleh Ihsan dan Johny. Mereka pun satu per satu menyalami Bunda Izzah.
“Terima kasih. Bunda percaya sama kalian,” jawab Bunda Izzah tersenyum ramah. Ia sudah menganggap senior Izzah sejak SMP itu seperti anaknya sendiri.
Yudha sudah duduk manis di atas motornya, “John, kamu bonceng sama aku atau Ihsan nih?”
Belum sempat Johny menjawab pertanyaan Yudha, sebuah teriakan mengagetkan mereka.
“Awaaas … aku yang sama Yudha. Johny sama Ihsan saja,” ucap seorang gadis muncul tiba-tiba dan langsung bergerak menuju motor Yudha setelah menarik Johny menjauh dari situ.
Johny dan Ihsan saling lempar senyum. Sementara Izzah cuma menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Yudha menunduk lesu. Tak tahu bagaimana gadis yang bernama Riris itu mendadak muncul bagai hantu di permainan jelangkung. Datang tak diundang.
“Ya Tuhan … mimpi apa aku semalam sampai-sampai pagi ini harus ketemu sama si putri salah kaprah ini,” rutuk Yudha dalam hati.
Ketika melirik teman-temannya, semua kompak mengedikkan bahu dan merentangkan kedua tangan sebagai tanda tak tahu-menahu.
“Kalau Riris sama Yudha dan aku sama Ihsan, terus Izzah sama siapa dong?” tanya Johny khawatir.
“Sama akulah …,” jawab seorang cowok lantang begitu menghentikan motornya berhadapan dengan motor Yudha.
Saat helmnya terbuka, Izzah tampak semringah. Tanpa buang-buang waktu, ia pun segera mendarat manis di jok belakang.
“Wah … Kak Fadhil ikut juga nih? Dari mana tadi kak, kok muncul dari arah situ?” tanya Yudha sok akrab.
“Ya dong. Pengawal pribadi Putri Izzah harus selalu siap ke mana pun tuan putri pergi, tapi sebelumnya harus nge-full tank dulu tadi,” jawabnya panjang lebar seraya menoleh ke belakang dengan senyum menggoda tanpa memedulikan tatapan Ihsan yang sulit dipahami.
“Oke. Kita cabut!” Yudha memberi komando. Tiga motor itu pun melaju beriringan.
Lima belas menit perjalanan, medan yang ditempuh mulai sulit. Jalanan yang mendaki dan tebing yang curam serta sisa-sisa hujan kemarin malam membuat jalanan yang belum diaspal itu terasa licin. Harus berkendara dengan ekstra hati-hati agar tidak terpeleset dan jatuh. Sungguh sebuah keputusan yang tepat memilih pakai motor alih-alih menggunakan mobil.
“Pegangan yang kuat ya, Zah! Aku enggak mau kena semprot Bunda gara-gara kamu jatuh,” instruksi Fadhil dan langsung dilaksanakan Izzah tanpa ragu.
Di belakang mereka, Ihsan mendadak menghentikan motornya dan menepi.
“Kok berhenti, San? Macet?” tanya Johny, lalu turun dan memeriksa ban belakang motor Ihsan. Khawatir jika bannya kempis.
“Enggak tahu nih, sepertinya tanganku sedikit kram,” jawab Ihsan berbohong sambil menggerakkan jemarinya seolah berusaha membuat jari-jarinya kembali rileks.
Entah kenapa ia merasa tak nyaman ketika tadi sempat menyaksikan tangan Izzah melingkar di pinggang Fadhil. Hatinya kecut dan terasa perih. Tak habis pikir bagaimana mungkin Izzah yang selama ini dikenalnya tak pernah bersentuhan dengan cowok walau hanya sekadar bersalaman sekali pun, hari ini melingkarkan tangannya memeluk pinggang cowok yang ada di depannya. Andai Ihsan mendengarnya dari cerita orang lain, ia tak akan pernah percaya. Akan tetapi, melihat semua itu dengan mata kepala sendiri sungguh membuat Ihsan terganggu.
“Ah, sebenarnya siapa sih cowok itu?” tanyanya di hati.
Setelah motor yang ditumpangi Izzah menghilang dari pandangan, Ihsan pun kembali menghidupkan motornya menyusul mereka.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Mus Limah
sudah ku baca berkali2 tp nda ada bosennya,ku tunggu karya selanjutnya thor
2022-02-02
0
Ema Lubis
nnti aku mampir thor
2020-04-22
0
Ayunina Sharlyn
semangat ya thor...
ikut promo.. mampir thor ke novel
- hati putih melati
- the hendrick's family
- Yuana stay with me
seru juga 🌼🙏☺❤
2020-04-11
1