Lima menit menyusuri sungai kecil itu, perbedaan ketinggian aliran sungai mulai terlihat. Sebuah batu besar di sisi kiri sungai menutupi hampir setengah badan sungai sehingga air berbelok ke kanan. Menyuguhkan sebuah air terjun mini yang sangat indah. Sayang jika dilewatkan begitu saja.
“Wah … spot yang bagus nih,” seru Fadhil.
“Selfie yuk, Zah,” ajaknya. Izzah diam saja.
“Ayolah! kapan lagi bisa foto bareng kakakmu yang tampan ini,” bujuk Fadhil ketika Izzah tak menanggapinya.
Izzah memang sering kali menolak kalau diajak berfoto. Ia lebih suka menjadi fotografer dari pada jadi modelnya. Tetapi melihat tatapan Fadhil yang memohon, akhirnya Izzah mau juga walau terkesan enggan.
“Tapi jangan salahkan Izzah ya kalau entar kameranya jadi rusak,” goda Izzah.
“Kan bisa beli lagi pakai uang beasiswa Izzah,” balas Fadhil yang langsung menerima hadiah berupa cubitan kecil di pinggangnya.
Entah sudah berapa pose yang mereka lakukan. Tahu-tahu kamera Fadhil sudah berganti dengan tongsis dan ponsel Izzah.
“Izzah …,” panggil Fadhil. Izzah menoleh.
Klik!
Terdengar suara kamera tanda pengambilan foto selesai bersamaan dengan mendaratnya bibir Fadhil di pipi Izzah. Refleks tangan Izzah menepuk pundak kakaknya lantaran kaget dengan ciuman mendadaknya.
“Aiissh … Kakak nih kebiasaan ya … ngagetin,” Izzah pura-pura kesal sambil mengelap pipinya.
Ekspresi Izzah yang lucu membuat Fadhil semakin gemas sama adiknya. Tentu saja Izzah juga mendapatkan hadiah cubitan kecil di kedua pipinya.
Ihsan yang sedari tadi mengamati kemesraan Fadhil dan Izzah hanya duduk termenung. Tak menyangka kalau akhirnya bisa melihat sisi lain dari Izzah yang sedikit manja, hangat dan ceria. Namun, kali ini hatinya tak lagi terasa nyeri. Sebaliknya, hatinya terasa hangat menyaksikan semua canda dan kemesraan yang dipertontonkan oleh kakak beradik itu. Ah, seandainya ia yang berada di sisi Izzah, bukan Fadhil, pasti akan sangat bahagia. Merasakan cubitan Izzah, mendekapnya bahkan merasakan lembutnya pipi Izzah dengan bibirnya. Waah … senangnya.
“Aw!” jerit Ihsan. Gigitan nyamuk membuyarkan khayalannya.
“Astagfirullah.” Ihsan beristigfar begitu menyadari pikiran kotornya.
“Sempat-sempatnya aku memikirkan hal seperti itu.” Ihsan mengumpat diri sendiri. Menepuk jidat dan menggelengkan kepala kuat-kuat dengan tangan yang masih menempel di kening.
“San, sini! Ikutan foto,” panggil Fadhil begitu menyadari Ihsan duduk tak jauh dari mereka.
Ihsan mendongak. Masih tak bergerak. Matanya menatap Izzah. Takut kalau gadis itu keberatan dengan kehadirannya. Melihat Izzah tak bereaksi, dengan langkah sedikit ragu, Ihsan akhirnya mendekat juga mengikuti lambaian tangan Fadhil.
Izzah pindah ke batu di depannya, memberi ruang untuk Ihsan berdiri di belakangnya bersama Fadhil.
Klik! Selesai.
Fadhil turun dari batu dan berjalan mengambil posisi di depan Izzah. Sementara Izzah telah melipat tongsis dan memasukkan ponsel ke dalam saku jaket. Ihsan mencuci tangannya yang terkena darah nyamuk.
“Zah, San,” panggil Fadhil.
“Foto berdua ya …,” lanjutnya. Tangannya sudah siap menjepret.
Ihsan sudah berdiri di belakang Izzah ketika Izzah tiba-tiba hilang keseimbangan. Sontak Ihsan menumpukan kaki kanannya pada batu yang dipijak Izzah. Tangan kirinya refleks menangkap tangan kiri Izzah, sementara tangan kanannya menopang bahu kanan Izzah. Pada saat bersamaan, terdengar bunyi cekrek dari kamera yang dipegang Fadhil. Ihsan melepaskan Izzah segera setelah Izzah mendapatkan keseimbangannya kembali.
Izzah merasakan seperti sengatan listrik mengaliri tangannya pada saat jari Ihsan menyentuh jarinya. Jantungnya berdegup kencang. Wajahnya tiba-tiba saja terasa panas.
“Ada apa ini?” tanyanya di hati.
"Apakah karena tangan Ihsan yang basah atau karena dia yang terlalu cemas?” Izzah bingung, tak memahami apa yang dialaminya dan kenapa ia merasa seperti itu.
“Aaaargh .…” Izzah menyalahkan dirinya yang kurang hati-hati.
Karena kecerobohannya yang tidak menyadari ujung rok celananya tersangkut pada ranting pohon kering di samping kiri saat melangkahkan kaki tadi, ia hilang keseimbangan. Gelar "Cewek Tomboy Tak Tersentuh" baru saja hilang dari dirinya. Semua itu gara-gara Ihsan. Ia merasa jengkel sekaligus malu sekali.
“Terima kasih,” bisik Izzah pelan seraya meninggalkan Ihsan.
Bagaimanapun, ia harus tetap menghargai kebaikan orang lain. Ihsan tak menjawab, masih bengong. Sepertinya ia juga syok karena peristiwa yang baru saja terjadi di antara mereka.
Bagaimana tidak. Delapan tahun lebih bersahabat, belum pernah sekali pun ia menyentuh Izzah, walau sekadar bersalaman pada hari lebaran. Tetapi hari ini, sebuah insiden kecil telah membuatnya menggenggam tangan Izzah. Ihsan cemas. Jangan-jangan Izzah marah. Bagaimana kalau gara-gara kejadian tadi Izzah jadi menghindar dan tak mau lagi bersahabat dengannya? Ihsan menghempaskan napas berat dan tertunduk lesu.
Ihsan masih berdiri mematung menatap punggung Izzah yang telah melanjutkan perjalanan bersama Fadhil. Pikirannya masih kosong mengingat reaksi tubuhnya saat menolong Izzah tadi. Ia merasakan sengatan listrik yang sangat kuat mengalir dari tangan ke seluruh tubuhnya ketika jari-jarinya yang basah menggenggam tangan Izzah dan menahan bahunya. Jantungnya pun berdetak tak beraturan.
Deg! Deg! Deg!
Bunyi debarannya seolah mengalahkan suara derasnya air yang sedang mengalir. Bahkan, saat sekarang pun detak jantungnya masih belum normal.
“Jangan-jangan kena serangan jantung nih,” pikir Ihsan semakin cemas.
Tangan kanannya masih memegang dada kirinya sambil sesekali mengelusnya. Berulang kali ia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya. Mencoba rileks. Berharap kondisi jantungnya akan segera membaik. Ketika Ihsan tersadar dari lamunannya, Fadhil dan Izzah tak lagi terlihat. Buru-buru ia menyusul agar tak tertinggal jauh.
***
Deru jatuhnya air terjun sayup-sayup mulai terdengar. Bahkan, puncak air terjun itu pun sudah terlihat. Embusan angin membawa terbang sebagian air yang jatuh dari ketinggian itu tanpa sempat menghempaskan diri untuk menciptakan buih putih ketika menyentuh permukaan sungai di bawahnya.
Air yang terbawa angin itu pun beralih rupa menjadi gerimis kecil yang menyirami pucuk-pucuk pepohonan. Menambah kelembapan, bahkan menjadikan suhu udara seperti layaknya berada di dalam kulkas.
“Sudah hampir sampai, Kak. Istirahat bentar ya! Capek nih.”
Fadhil langsung menghentikan langkah mendengar ajakan Izzah, menengadah melihat posisi matahari.
"Masih ada waktu duha," pikirnya.
Tanpa buang waktu, Fadhil segera berwudu. Melihat itu Izzah segera mengeluarkan dua helai sajadah tipis dan menyerahkan salah satunya kepada Fadhil. Izzah pun mengikuti apa yang dilakukan Fadhil setelah membuka sepatu dan kaus kakinya.
Izzah mencari hamparan batu yang cukup luas. Begitu menemukannya, segera dihamparkannya sajadah sesuai petunjuk kompas pada sajadah. Melaksanakan empat rakaat salat duha, dilanjutkan dengan tilawah Alquran.
"Tolooong ...."
Baru saja Izzah menutup mushaf kecilnya. Lamat-lamat terdengar teriakan minta tolong. Izzah menoleh ke sekeliling. Namun, tak menemukan siapa pun kecuali kakaknya yang sedang merebahkan tubuh di atas batu tempat salatnya tadi.
"Ah, pasti aku salah dengar," pikir Izzah.
"Mungkin itu hanya suara gesekan dedaunan karena embusan angin," lanjutnya.
Segera dibereskannya perlengkapan salatnya, lalu menyimpan kembali ke dalam ransel. Namun, ketika hendak berdiri, rintihan minta tolong itu kembali terdengar. Sangat halus. Akan tetapi, kali ini Izzah yakin sekali bahwa itu bukanlah suara desiran angin. Sepertinya suara itu dari bawah. Izzah berjongkok. Matanya menyapu tepian sungai di sebelah kirinya.
Di bawah kerimbunan sebatang pohon kecil dan sedikit terhalang oleh semak berlukar, Ihsan duduk berjongkok menikmati segala aktivitas Izzah. Matanya tak sedetik pun beralih dari gadis itu. Tak mampu menyembunyikan kekagumannya akan sosok misterius Izzah. Sudah lama mereka bersahabat, tetapi Ihsan merasa masih belum
mengenal Izzah sepenuhnya. Ada sisi lain yang selalu ditutupi rapat-rapat oleh gadis itu.
Ihsan berdiri dan berniat mendekati Izzah saat melihat gadis itu seperti kehilangan sesuatu dan sibuk mencarinya. Baru beberapa langkah, ia pun kembali berbalik ke belakang. Percakapan terakhirnya dengan Bunda Izzah melintas seperti tayangan slide di kepalanya.
Malam itu, Ihsan berkunjung ke rumah Izzah. Sayangnya Izzah sedang ujian praktik di sebuah rumah sakit dan tidak pulang. Ihsan pun menghabiskan waktu dengan membantu Bunda Izzah mempersiapkan aneka kuliner pesanan pelanggannya untuk esok hari. Hal seperti itu sudah biasa bagi Ihsan jika tak bisa bertemu Izzah. Kesempatan itu digunakannya untuk mengobrol panjang lebar dengan Bunda Izzah. Berharap akan mendapatkan lebih banyak informasi untuk bisa lebih memahami Izzah.
“Nak Ihsan, kalau memang tidak bisa mengenali Izzah lebih jauh karena dia tak pernah ingin berbagi masalah pribadi dengan orang lain, maka kenalilah dari tindak-tanduknya. Sering kali perbuatan itu lebih nyaring bunyinya
daripada kata-kata.”
Begitu nasihat bijak Bunda Izzah ketika Ihsan mempertanyakan sifat Izzah yang tertutup. Ingatan itu membuat Ihsan memutuskan untuk kembali duduk manis di tempat semula. Tatapannya terus mengawasi Izzah.
Lagi-lagi suara itu terdengar. Kali ini lebih jelas. Izzah melangkahkan kaki menuju sumber suara tersebut. Tak ada orang. Kembali Izzah mengamati setiap incinya dengan lebih teliti. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu bergerak di bawah sebuah ranting sebesar jempol kaki. Sesuatu seperti sayap kupu-kupu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
💐d@€ng🌸
akhirx ada lgi novel yg brCerita diLuar CEO n Pelakor...😊
2020-01-14
1
Knight
Keren. Semangat Thor!
2019-10-13
0