Dari kejauhan tampak motor Yudha dan Fadhil sudah terparkir di sisi kanan halaman sebuah rumah kecil di ujung desa yang menjadi tujuan mereka. Rumah itu terlihat asri meski tanpa pagar. Hanya dikelilingi tanaman bluntas dibentuk rapi. Tanaman itulah yang difungsikan sebagai pagar. Di sisi kiri halaman rumah itu terdapat sebuah kolam kecil yang indah. Bentuknya seperti sebuah pulau dikelilingi undakan bebatuan yang disusun dengan sangat rapi. Di beberapa sudut kolam dihiasi dengan beberapa jenis bunga hutan yang cantik. Entah apa nama bunga-bunga itu. Yang jelas, pengaturan dekorasi kolam itu menunjukkan bahwa si pemilik rumah memiliki kemampuan artistik yang luar biasa. Kalau si pemilik rumah itu tinggal di kota, bisa jadi desainer eksterior terkenal nih.
Yudha langsung menghentikan obrolannya begitu melihat Ihsan memarkir motornya. Jhony segera bergabung dan duduk di sebelah pemilik rumah yang menyambut ramah.
“Kenapa lama sekali, San?” tanya Yudha dengan nada sedikit khawatir. “Ada kendala ya?”
“Enggak kok. Sengaja santai biar bisa menikmati pemandangan selama di perjalanan.”
Lagi-lagi Ihsan berbohong. Padahal yang sebenarnya, ia tak tahan memandang kemesraan Izzah dan Fadhil. Mengingat itu, hati Ihsan kembali berdenyut sakit. Johny pura-pura tak mendengar jawaban Ihsan dan memilih terlibat aktif mengobrol dengan pemilik rumah, Pak Burhan.
“Syukurlah kalau begitu. Seandainya dalam sepuluh menit tadi kamu dan Johny tidak muncul juga, aku sudah berencana mau berbalik arah menjemput kamu,” jelas Yudha.
“Benar banget. Sama Izzah juga,” timpal Riris mendukung Yudha sambil mencomot pisang goreng di atas meja.
“What?” Izzah kaget.
Ia tak pernah mengatakan hal seperti itu. Nyaris saja buku yang dipegangnya jatuh. Benar-benar si kutu buku. Kapan saja dan di mana saja, hanya buku yang ada di pikirannya. Seperti sekarang ini, di saat yang lain asyik mengobrol, eeeh ... ia malah tetap saja bergelut dengan buku. Sungguh motto hidup tuh anak, tiada hari tanpa buku. Pantas saja masih bertahan menyandang predikat jomlo akut meski sudah kuliah di akhir tahun ketiga. Pacaran sama buku terus sih … hahaha .…
“Ya jelaslah Zah … di antara kita kan cuma kamu yang calon dokter,” lanjut Riris santai dan tak memperhatikan wajah Izzah yang sedikit bersemu merah ketika tanpa sengaja matanya beradu pandang dengan mata Ihsan.
Cepat-cepat Izzah mengalihkan tatapannya kembali ke buku, sementara Ihsan cuma tersenyum tipis dan ikut duduk di sebelah Johny setelah mengucapkan terima kasih atas perhatian teman-temannya. Jantungnya berdesir kencang.
Setelah obrolan santai dan sedikit wejangan dari Pak Burhan, mereka siap-siap untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
“Amen udi bi sapei nak bendungan be, dak mi deu uleak au … men crito tun tuei bloo, nakdi o penan ne bidadari mendei*)” Pak Burhan kembali mengingatkan.
“Au, Wan**)” jawab Yudha dan Johny hampir bersamaan.
Di antara mereka berenam, hanya mereka berdua yang seratus persen asli penduduk lokal. Jadi, wajar saja kalau dari tadi merekalah yang mendominasi obrolan dengan Pak Burhan. Meskipun demikian, Izzah dan yang lainnya mengerti maksud perkataan Pak Burhan. Tak lupa mereka menyalami Pak Burhan sebelum meninggalkan pekarangan rumah itu.
***
Mentari mulai naik sepenggalan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit. Jika tak ada halangan selama perjalanan, mereka akan sampai di air terjun sebelum pukul sepuluh. Jalan setapak yang dilalui masih sedikit basah dan harus tetap berjalan dengan hati-hati. Yudha berada di posisi paling depan, berperan sebagai komandan pasukan.
Semakin jauh melangkah, semakin terjal pula jalan setapak yang dilalui. Udara makin lembap dan kian dingin. Pepohonan yang tinggi menjulang kian rapat, membatasi masuknya cahaya matahari. Namun demikian, pendar cahaya yang menyelinap di celah ranting dan rimbunnya dedaunan, menjadi lukisan alam yang sangat indah.
Izzah mengancingkan jaketnya agar dapat memberi kehangatan lebih untuk melawan hawa dingin yang menyerang. Sesekali tangannya sibuk memainkan ponsel untuk mengabadikan keindahan alam yang membuatnya terpesona.
Sementara di kejauhan sering kali terdengar rengekan manja Riris, ditimpali omelan ketus Yudha. Namun, tetap saja akan berakhir dengan Yudha yang mengalah. Ya … begitulah. Yudha adalah tipe cowok yang tidak pernah tega melihat cewek menderita. Ia sangat menyayangi dan berbakti kepada ibunya. Karena itulah ia juga selalu bersikap lembut dan hangat kepada cewek, kecuali Riris.
Keributan-keributan kecil itu membuat Izzah tertawa geli di hati. Mengingat Riris adalah cewek manja yang selalu berusaha mati-matian dan rela melakukan apa saja demi menaklukkan Yudha. Meskipun Yudha terus menghindar dan tak pernah memberinya harapan, Riris tak pernah menyerah. Kasihan banget Si Riris. Semangat!
Johny yang berjalan di belakang Yudha dan Riris tidak peduli dengan semua tingkah mereka. Entah benar-benar tidak peduli karena tidak ingin menjadi orang ketiga di antara Yudha dan Riris atau karena headset yang menutupi
telinganya hingga tidak bisa mendengar segala keributan di sekitarnya. Tampaknya ia hanya fokus pada jalan yang dilaluinya dengan kedua tangan disembunyikan di saku jaket.
Fadhil menikmati setiap langkah dengan memanjakan matanya melihat aneka pepohonan dan flora unik yang ditemuinya. Sesekali ia berhenti untuk melihat lebih dekat tanaman-tanaman tersebut, lalu mengabadikan keindahan dan keunikan mereka dengan kameranya. Kadangkala ia juga berhenti dan melihat ke belakang untuk
memastikan bahwa Izzah tetap mengikuti jejaknya. Adakalanya pula ia rehat sejenak menunggu kemunculan Izzah.
Ihsan yang selalu memilih berjalan di belakang Izzah setiap kali berwisata, masih tetap setia mengawasi Izzah dari belakang. Diam-diam ia selalu berada di jarak aman dan memastikan diri untuk selalu siaga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada Izzah.
***
Kerapatan pepohonan mulai berkurang. Cahaya mentari pun dengan leluasa menerangi hutan yang mereka jelajahi. Lamat-lamat terdengar suara gemercik air. Menghadirkan ketenangan. Meresap ke seluruh jiwa. Mengusir segala kepenatan dan beban pikiran karena rutinitas harian yang melelahkan dan membuat jenuh. Seiring dengan semakin jelasnya suara gemercik air itu, di hadapan mereka kini terpampang bentangan sungai yang sangat jernih di sisi kiri jalan setapak. Ah, tanpa terasa mereka sudah sampai di bendungan. Ya, air sungai jernih inilah yang dipakai untuk mengairi daerah persawahan masyarakat desa kecil yang mereka singgahi tadi.
“Waah … Keren!” teriak Riris penuh semangat.
Buru-buru ia melepaskan sepatu, lalu sekejap kemudian sudah duduk manis di atas sebuah batu sambil memainkan kakinya dalam air sungai bening itu.
“Ransel kamu nih! Dasar cewek tukang bikin repot!” omel Yudha sambil melempar ransel Riris.
“Hei! Yang benar dong. Kalo sampai ranselku kecebur, aku enggak bakal maafin kamu,” semprot Riris.
Nyaris saja ransel itu meluncur dari batu tempatnya mendarat dan nyemplung ke sungai kalau saja tangannya tak segera menyambarnya. Riris kesal.
“Bodoh amat!” balas Yudha cuek. Ia baru saja hendak mendekati Izzah ketika Riris kembali memanggilnya.
“Yudha … bukain dooong …,” rengek Riris manja sambil mengulurkan sebungkus potato chips pedas ke arah Yudha.
“Buka saja sendiri!” jawab Yudha ketus tanpa menoleh sedikit pun.
Kakinya terus melangkah mendekati Izzah. Sepertinya ia mulai hilang kesabaran menghadapi sikap manja Riris selama di perjalanan tadi.
***
PS.
*) Amen udi bi sapei nak bendungan be, dak mi deu uleak au… Men crito tun tuei bloo, nakdi o penan ne bidadari mendei = Kalau kalian sudah sampai di bendungan nanti, jangan banyak ulah ya… Menurut cerita orang tua dulu, di sana tempatnya bidadari mandi
**) Au, Wan = Ya, Paman
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments