Riris tampak sangat kesal. Akhirnya ia menyerah dan meletakkan potato chips itu di atas ranselnya setelah berulang kali gagal membukanya. Mungkin tangannya licin karena basah. Johny berinisiatif membantu Riris.
Setelah menerima potato chips yang terbuka dan mengucapkan terima kasih pada Johny, Riris mencibir ke arah Yudha. Yudha tak peduli. Ia membuka cemilan yang dibawanya dan bermaksud memberikannya pada Izzah yang berdiri membelakanginya.
Namun, niat itu diurungkannya begitu melihat Ihsan telah berdiri di hadapan Izzah dan menyerahkan sebotol air mineral dengan tutup yang sudah terbuka. Diam-diam Yudha mundur dan menghempaskan pantatnya di atas sebuah batu tidak jauh dari Izzah.
Setelah melepas dahaga, Izzah mengeluarkan tisu dari kantong jaketnya. Mengambil beberapa lembar lalu mencelupkannya ke dalam sungai dan sedikit memerasnya. Pelan-pelan ia mulai membersihkan sepatu tanpa melepasnya.
“Benar-benar kotor. Tapi paling tidak, ini bisa membuatnya sedikit lebih bersih,” pikir Izzah.
“Yaelah Zah, percuma saja kali dibersihkan. Entar juga kotor lagi,” goda Yudha sambil terus mengunyah cemilannya.
Nada suaranya terdengar agak sumbang. Saking sibuknya membersihkan sepatu, Izzah tidak menyadari keberadaan Yudha.
“Percuma saja kamu makan, Yud, entar juga lapar lagi,” jawab Izzah melihat sekilas ke arah Yudha, lalu kembali melanjutkan kegiatannya.
Serangan balik. Skakmat. Yudha terbatuk mendengar ucapan Izzah. Untung tidak tersedak. Kaki kirinya langsung nyemplung ke sungai.
“Ya … basah juga deh!” keluh Yudha dengan nada kecewa.
Dari tadi ia menghindari menginjak air dan memilih duduk di atas sebuah batu besar dekat Izzah sambil menaikkan kedua kakinya.
“Syukurin!” ejek Riris kesal melihat Yudha sibuk memeras kaki celananya yang basah.
Selesai membersihkan sepatu, Izzah mengamati sekeliling sungai, mencari posisi duduk yang nyaman.
Ia tersenyum tipis begitu matanya menemukan dua buah batu yang saling berdekatan dengan ukuran yang berbeda, menghadap ke sungai. Tanpa buang waktu, Izzah duduk di atas batu yang lebih besar dan menjadikan batu dengan ukuran yang lebih kecil sebagai tempat tumpuan kaki.
Sesaat Izzah hanya duduk diam. Matanya berkelana menyusuri aliran dan tepian sungai. Di bagian hulu tampak undakan batu membentang di sepanjang sungai. Aliran sungai yang mengalir melewatinya membentuk sebuah tirai air terjun yang sangat Indah.
Tepat di sebelah utara undakan itu, beberapa kuntum bunga kamboja sedang mekar. Warna pink-nya terlihat mencolok di tengah hijaunya tumbuhan lain.
"What? Kamboja?" batin Izzah.
"Itu benaran kamboja? Bagaimana bisa dia tumbuh di situ? Bukannya tuh bunga biasa tumbuh di pemakaman ya?" tanya Izzah pada diri sendiri, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Ah, mungkin cuma mirip." Izzah mendebat pikirannya sendiri.
Tepat di bawah aliran air terjun buatan itu, sekelompok anak lelaki usia sekolah dasar terlihat asyik mandi-mandi. Kedalaman kolam kecil di sepanjang undakan itu hampir mencapai dada mereka. Izzah tidak tahu sejak kapan gerombolan anak lelaki itu menemani mereka.
Tidak jauh dari anak-anak itu, Riris nampak sibuk ber-selfie ria. Cekrak-cekrek ke sana kemari berganti posisi dan pose. Terlihat konyol, menurut Izzah. Tanpa sadar Izzah pun tersenyum. Puas klik sana klik sini dan tebar pesona, Riris memberikan sisa potato chips-nya kepada anak-anak itu, lalu duduk berselonjor kaki di samping Johny.
Johny sama sekali tak menggubris Riris, seakan terhipnotis oleh lagu-lagu yang mengaliri gendang telinganya melalui headset. Kepalanya ikut bergoyang seirama lagu, sementara tangannya tetap aktif memasukkan cemilan ke dalam mulut.
Izzah menyingkap lengan bajunya untuk melihat jam. Lima belas menit sudah mereka rehat di sana. Itu sudah cukup untuk mengisi kembali energi yang tadi terkuras.
Izzah segera berdiri, lalu menggerakkan pinggangnya ke kiri dan ke kanan layaknya orang melakukan pemanasan. Ihsan yang memperhatikan gerak-gerik Izzah menghentikan obrolannya dengan Fadhil dan Yudha. Ikut berdiri dan segera menyandang kembali ranselnya.
“Saatnya melanjutkan perjalanan, Guys!” teriaknya mengambil alih komando dari Yudha.
“Yaah … sebentar lagi dong. Masih betah nih,” rengek Riris.
Yudha menghela napas dan geleng-geleng kepala. "Ini anak benar-benar sumber masalah," gumamnya.
“Memangnya tadi kamu rencananya mau kemana sih, Ris?” tanya Izzah datar.
Ihsan dan Yudha senyum dikulum mendengar pertanyaan Izzah. Mereka sudah bisa menebak kelanjutannya.
“Air terjun,” jawab Riris polos. Sepertinya ia tidak mengerti maksud sesungguhnya dari pertanyaan Izzah.
“Tetap fokus pada tujuan, oke?” Izzah memberi peringatan.
Ia segera beranjak meninggalkan tepian sungai diikuti yang lain. Riris mencekal tangan Izzah begitu Izzah akan melewatinya.
“Sebentaaar saja .... ya, ya, ya …,” bujuk Riris, sengaja memasang tampang memelas.
Izzah menghela napas panjang dan menghempaskannya kuat-kuat sebelum berujar.
“Riris … persinggahan memang membuat nyaman. Ketika merasa lelah dalam mencapai tujuan, maka rehatlah. Tapi cukup sejenak, sekedar melepas kelelahan itu dan kembali mengumpulkan tenaga. Kalau kamu terlena dengan kenyamanan itu dan menghabiskan waktu di tempat persinggahanmu, maka kamu tidak akan pernah mencapai tujuanmu. Paham?” petuah Izzah dengan nada tegas dan bergegas pergi.
“Lagian dari awal kan memang enggak ada yang ngajak kamu, Ris," lanjut Izzah, tetapi cuma dalam hati.
“Hahahahaha .…”
Keempat cowok itu kompak tertawa melihat Riris berusaha menyandang kembali ranselnya dengan wajah cemberut. Bibir monyongnya terlihat lucu.
Daripada ditinggal sendiri, mending manut saja sama ucapan Izzah. Izzah mah memang begitu orangnya. Kalau sudah bilang A, tak akan berubah B dan tak ada yang bisa memengaruhinya. Bravo, Izzah! The Strict Commander!
***
Seiring mentari yang makin meninggi. Rombongan Izzah pun kian dekat ke tujuan. Di depan mereka terbentang sebuah aliran sungai dangkal memotong jalan setapak yang dilalui. Tak ada jembatan penghubung antara kedua tepi sungai. Hanya barisan batu-batu tak beraturan.
Jejak sepatu terpatri jelas di atas bebatuan itu. Pertanda bahwa Yudha, Johny dan Riris telah melewatinya. Fadhil melepas sepatu dan menggulung celananya hingga lutut, lalu berjalan mendahului Izzah. Siap menuntunnya melewati bebatuan itu.
“Kak, gimana kalau kita mengikuti aliran sungai ini saja. Lebih cepat loh sampainya,” saran Izzah begitu Fadhil berdiri di sampingnya.
“Ah, yang benar? Tahu dari mana?” tanya Fadhil penuh selidik.
“Ya tahulah, Kak. Kan Izzah sudah pernah ke sini waktu SMP. Nah, pas pulang dari air terjun, Izzah ngikutin aliran sungai saja. Ternyata lebih hemat waktu. Terus jalannya juga nggak terlalu menanjak,” jelas Izzah.
Fadhil cuma manggut-manggut, serius mendengar penjelasan Izzah. Ini nih yang paling Izzah suka dari kakaknya, ia selalu mendengarkan setiap omongan Izzah dengan penuh perhatian. Berasa dihargai banget.
“Yakin?” lanjut Fadhil mengonfirmasi.
“Haqqul yakin,” balas Izzah mantap sambil menganggukkan kepala.
“Dan satu hal lagi, pemandangannya juga bagus loh,” bisik Izzah di telinga Fadhil seraya tangan kanannya menggandeng lengan kiri Fadhil.
Fadhil hanya membelalakkan matanya menatap Izzah, tanda penasaran dan ingin membuktikan kebenaran ucapan Izzah. Sementara di belakang mereka, Ihsan hanya berdiri mematung menyaksikan semua itu. Nada bicara Izzah sungguh berbeda.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Ema Lubis
wauwww
2020-04-22
0