Bergaul dengan Luki tidak ada manfaatnya untuk perkara maksiat sekalipun. Sarannya kontroversial untuk setiap persoalan. Barangkali karena cara pandang mereka berbeda dalam mengarungi kehidupan bebas.
Gerdy berhubungan intim karena kebutuhan, sedangkan Luki karena rasa bangga bisa menunggangi setiap perempuan. Untung mereka tidak satu gedung apartemen. Jadi kuping tidak bising.
"Ke mana kamu?" tanya Luki melihat Gerdy meninggalkan bangku taman apartemen.
"Ceramahmu tidak bermutu, bikin bete."
"Butuh sepeda baru nggak? Teman adikku macan habis."
Gerdy berhenti dan menoleh. "Mantan kamu? Mendingan aku main ular tangga sekalian."
"Justru itu aku tidak mampu membuat dia jadi kuda pacu. Makanya aku serahkan sama kamu. Buktikan kalau dirimu pejuang kelamin nomor wahid di kota ini. Malam nanti ada party dance di acara ultah adikku. Dia datang."
Gerdy tidak tertarik. "Siang ini aku pulang."
"Ayolah, men. Lupakanlah sejenak pacarmu yang tidak jelas itu."
"Kamu tahu hari ini adalah hari mudik nasional. Malam Minggu aku wajib ada di rumah."
Gerdy tidak mau cari perkara dengan ibunya. Dia siap menuruti segala perintah. Berkahnya, anggaran bertambah lumayan besar.
Hari ini Gerdy tidak pergi ke Jakarta. Nadine pulang karena ibunya sakit. Sejak pertengkaran dengan ayahnya, dia tidak pernah pulang. Hatinya luluh manakala ibunya hampir setiap jam menanyakan; kapan pulang?
Kepulangan Nadine mendatangkan sedikit masalah baginya. Dia harus memberi tahu lebih dulu tentang perjodohan ini sebelum tahu dari orang lain, karena masyarakat sudah banyak yang tahu.
Dia butuh Karlina untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya supaya Nadine lebih percaya. Tapi gadis itu ada kegiatan ekskul di sekolah dan baru pulang menjelang Maghrib.
Gerdy tidak bisa menunggu selama itu. Persoalan akan jadi besar kalau terlambat memberi informasi. Nadine bisa menjadikannya alasan untuk pergi ke pangkuan Bradley.
Kalau Nadine harus pergi bukan karena kesalahan dirinya, tapi karena pilihannya sendiri. Dia tidak mau memaksanya untuk tetap setia. Dia bukan pengemis cinta.
Maka itu Gerdy meminta Nadine untuk bertemu di kafe langganan mereka di kota satelit. Dia langsung mampir dari Bandung, tidak pulang dulu ke rumah.
"Jadi aku menunggumu cuma untuk mendengar kabar ini?" geram Nadine marah. "Biadab kamu. Aku menjaga setiaku malahan kamu kotori dengan cerita sampah."
"Jangan marah dulu," kata Gerdy sabar. "Dengarkan penjelasanku. Aku terpaksa menerima perjodohan itu karena semua fasilitas akan disita. Mereka sengaja membuat diriku tidak berkutik. Tapi perjodohan itu cuma berlaku di depan mereka."
Nadine mencoba meredakan amarahnya. "Maksud kamu?"
"Setelah aku dapat gelar sarjana, giliran aku memberi ultimatum. Aku akan membawamu pergi kalau orang tuaku tidak menerima dirimu sebagai menantu."
Nadine merasa terhibur mendengar itu, kemarahannya mencair. "Yakin berani?"
"Ketakutan aku justru ada pada dirimu. Aku takut kamu tidak mau dibawa pergi."
Nadine tersenyum manis. "Aku akan ikut ke mana pun kamu pergi."
"Aku senang mendengarnya."
"Bagaimana dengan orang tua Karlina? Mereka pasti tidak menerima keputusan ini."
"Itu urusan Karlina."
"Urusan kamu juga. Mereka pasti mempertanyakan orang tuamu yang tidak bisa mengurus anak."
"Mereka sama-sama tidak bisa mengurus anak. Karlina sendiri tidak menghendaki perjodohan itu. Disaat yang sama dia akan melakukan pemberontakan."
"Karlina masih hijau. Bisa apa dia?"
"Dia akan menikah muda dengan pacarnya supaya bisa diboyong ke California."
"Kelihatannya seperti mudah. Bagaimana kalau kalian dipaksa menikah sebelum lulus sekolah?"
"Kemungkinannya kecil sekali. Mereka tidak akan tega mengorbankan masa depan anaknya."
"Perjodohan itu terjadi karena ibumu sangat membenci aku. Bagaimana kalau dia tahu kita masih menjalin hubungan? Kamu bisa saja dipaksa menikah sebelum lulus kuliah."
"Soal itu gampang. Aku akan menciptakan skenario seolah Karlina selingkuh. Umi pasti tidak mau punya menantu seperti itu. Kemungkinan lain, aku berjaga-jaga dengan menabung."
Nadine tersenyum renyah. "Keren. Calon suamiku sudah pintar menabung."
"Jumlahnya belum seberapa."
"Boleh tahu berapa?"
"Tiga ratus juta."
"Tiga ratus juta belum seberapa? Sombong banget calon suamiku."
"Uang sebanyak itu belum cukup untuk mengarungi kehidupan dengan kebutuhan kita yang tinggi. Setelah lulus, belum tentu aku langsung kerja."
"Berarti aku jangan berhenti kerja sebelum suamiku dapat kerjaan, atau aku batalkan beli mobil, mumpung belum datang."
"Aku tidak mau jadi beban istri."
"Suamiku kan punya tabungan. Jadi beban apanya?"
"Aku senang kamu percaya padaku. Aku sempat kuatir kamu marah karena aku terlambat memberi tahu tentang perjodohan itu, harusnya dari awal aku ngasih tahu kamu."
"Aku selalu percaya sama calon suamiku karena aku sangat mencintainya."
"Hari ini ada yang beda dari kamu."
"Apa itu?"
"Kamu punya sebutan baru; calon suamiku. Aku tersanjung."
"Karena hari ini aku tahu ada Karlina dalam hidupmu. Jujur itu adalah keraguanku. Kalian sama-sama sudah punya pacar, tapi bukan halangan untuk saling jatuh cinta. Maka itu untuk mengingatkan dirimu, aku sebut calon suamiku, bukan calon suami pilihan ibumu."
"Karlina ada di daftar terbawah untuk jadi istriku. Aku suka pacaran sama gadis SMA. Sekedar pacaran, aku tidak suka punya istri yang usianya lumayan jauh di bawahku. Aku ingin jadi suami bukan guru bimbel."
"Masa?"
"Tanyakan saja sama orangnya. Aku pernah katakan itu sama Karlina."
Nadine berbisik mesra, "Kamu kiss aku kalau bohong."
"Kalau benar?"
"Kamu minta apa?"
"Aku minta kamu mencintai aku untuk selamanya."
"Itu janjiku. Tidak usah dipinta. Minta yang lain."
"Minta apa ya?"
"Minta apa yang sering dilakukan sama Karlina agar kamu tidak minta lagi padanya."
"Aku tidak pernah minta apa-apa darinya," senyum Gerdy kecut. Dia tahu ke mana arah ucapan itu. "Aku menghargai cintamu. Tapi...."
"Tapi apa?"
"Ada Bradley di kehidupan kita."
"Sudah deh jangan bikin suasana tidak nyaman. Aku tidak pernah pergi lagi sejak itu, biar dia angkut semua penghuni pondokan setiap malam."
Nadine menghubungi Karlina lewat video call, beberapa saat kemudian muncul di layar seorang gadis cantik berseragam SMA.
"Halo, Nadine," sapa Karlina ramah.
Nadine pura-pura marah, "Anak kecil panggil nama. Tidak sopan, tahu gak?"
"Bentar lagi aku naik ke kelas dua belas."
"Masih putih abu-abu, kan? Jadi masih anak kecil! Sudah bisa pacaran?"
"Kamu VC cuma mau ngebully aku?"
"Aku mau ngasih tahu kalau saat ini aku lagi ngedate sama calon suami kamu."
"Bodo."
"Gak jealous?"
"Jangan-jangan kamu jealous kalau aku jalan bareng sama Gerdy?"
"Ember."
"Eh, Nad. Kapan-kapan aku kenalkan kamu sama Robby, pacarku. Biar dia tambah yakin."
"Akunya gak yakin."
"Sudah dulu ya, Nad. Aku lagi sibuk di sanggar. Bye-bye."
Mereka mengakhiri VC. Nadine menghabiskan minuman, dan pamit, "Aku duluan. Mami siang ini mau berobat."
"Kita pulang bareng."
"Tidak. Mata-mata ibumu banyak. Aku tidak mau ada masalah baru."
"Kamu naik apa?"
"Ojek."
"Tidak, tidak. Biar aku antar."
Nadine tersenyum. "Takut aku digondol tukang ojek ya?"
"Sudah tahu nanya."
"Tukang ojeknya Surya."
"Tega banget kamu, sahabat sendiri dibilang tukang ojek. Kamu suruh Surya nunggu di luar? Terlalu."
"Itu di pojok."
Gerdy baru sadar kalau di meja pojok ada Surya. Pemuda itu menyapa dengan mengangkat tangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments