Sungai itu berkelok-kelok seperti ular raksasa. Musim kemarau airnya dangkal. Banyak endapan pasir bercampur lumpur. Biasanya ada aktivitas penambang pasir di sekitar sungai. Barangkali mereka tinggalkan karena sudah tercemar. Tampak limbah kimia mengalir membentuk pita panjang.
"Beruntung kita lahir lebih awal," kata Nadine. "Bisa berenang di kolam renang terpanjang di dunia."
Di jaman mereka dulu, sungai adalah barometer kenakalan anak-anak. Pulang sekolah, langsung berenang sampai lupa waktu.
Sekarang cuci tangan saja takut kena penyakit.
"Masih suka renang?" tanya Nadine.
"Bukan di sungai," sahut Gerdy.
"Bukan pula di kolam renang."
"Kok tahu?"
"Matamu terlalu terbuka untuk melihat yang tertutup."
"Dan matamu tidak tertutup untuk melihat yang terbuka."
"Aku tidak sebobrok kamu."
"Tapi seorang betina."
"Surya cerita?"
"Untuk tahu perempuan aku tidak butuh cerita dari orang lain."
"Apa yang kau tahu?"
"Tidak ada lagi yang perlu kutahu tentang dirimu. Dari ujung kaki sampai ujung rambut, aku sudah hapal lekuk-lekuknya."
"Sekarang tentu beda."
"Beda apanya?"
"Apa-apanya."
"Apa-apanya itu apa?"
"Apa yang termasuk apa-apanya."
"Muter-muter. Takut sama Kominfo ya?"
"Surya benar."
"Apa katanya?"
"Kau pejantan liar."
"Betina datang sendiri mengantarkan cinta."
"Kayak loket stadion menerima siapa saja yang masuk. Tante-tante juga?"
"Aku lebih suka down grade."
Nadine memandang tak percaya. "Gadis SMA? OMG! Aku harus menjaga adikku baik-baik!"
Mantan Gerdy kebanyakan gadis SMA. Dia sangat menikmati manjanya gadis putih abu-abu. Dia segera pindah berlabuh jika sudah puas menikmati keremajaannya dan meninggalkan cek dengan nominal cukup besar.
"Adikmu bukan seleraku," kata Gerdy. "Badannya tipis banget kayak papan tripleks."
"Jadi aku seleramu?"
"Jangan kepedean."
"Memangnya kamu saja yang boleh kepedean?"
"Aku bicara fakta. Gadis seusia kamu ada di antrian terakhir."
"Kamu suka ABG karena mereka gampang ditipu."
"Tidak ada tipu-tipu dalam cintaku. Semua atas dasar suka sama suka."
"Gak tahu malu."
"Hidupku mungkin lurus-lurus saja kalau tahu malu. Padahal dunia luas dan kenikmatan bertebaran di mana-mana."
"Sebobrok apapun manusia, rasa malu harus ada. Manusia loh?"
"Jadi kau punya rasa malu dengan penampilan seperti itu? Kau suguhi mata-mata lugu dengan pemandangan yang tidak biasa. Kau tidak dengar tadi pas di jalan? Bapak-bapak sampai istighfar melihat kamu."
"Tidak ada yang salah dengan penampilan aku."
"Jangan jadikan kota kecil ini sebagai panggung catwalk."
"Maka itu banyak nonton televisi biar tidak ketinggalan jaman."
"Mereka nonton televisi bukan untuk melihat yang aneh-aneh, tapi untuk melihat acara yang sesuai dengan kearifan lokal."
"Kok kamu jadi membela mereka?" protes Nadine. "Pak Lurah bukan apa bukan."
Nadine tampil modis karena kebiasaan di metropolis. Dia ingin membuka wawasan mereka tentang tren fashion. Tidak sedikit gadis lokal yang salah memilih gaya, sehingga menutup pesona alami yang seharusnya jadi sebuah kelebihan.
"Kalau aku jadi Pak Lurah, aku mendukung kamu jadi foto model," ujar Gerdy. "Untuk membuktikan tidak semua cewek daerah itu katrok."
"Itu profesi yang kujalani sekarang."
Tidak mengejutkan kalau Nadine jadi foto model. Lagi pula, tidak ada kabar tentang perempuan yang membuat Gerdy terkejut. Gadis itu memiliki pesona alami yang sangat fotogenik. Teman kuliahnya sampai operasi plastik untuk tampil sempurna di depan kamera.
"Sales alat kecantikan juga," kata Nadine.
"Separuh waktu?"
"Ya."
"Separuh waktu lagi sales om-om?"
"Ngarang."
"Papi bagaimana?"
Masalah terbesar Nadine adalah papinya. Bukan cuma soal karir, dalam bergaul juga. Banyak pemuda yang mundur teratur karena kurang modal. Jadi pacar belum tentu, keluar duit sudah pasti.
Surya juga pernah kena pajak, padahal Nadine yang menyuruh datang.
Gerdy bersyukur papinya mata duitan. Dia jadi bisa bertemu kapan saja dengan anaknya.
Nadine tidak tahu untuk urusan uang pelicin ini. Jangan harap bisa menemuinya lagi kalau sampai tertangkap tangan.
Gerdy suka perempuan yang memiliki harga diri.
"Sudah lama aku kehilangan figur seorang ayah," keluh Nadine dengan wajah sedikit berkabut. "Dia terbuai mimpi yang disuguhkan kakakku. Aku tidak mau ikut terlena."
"Katrin saudara kandungmu."
"Tapi yang kaya suaminya."
"Sama saja."
"Tentu saja beda."
"Kau merasa jadi orang lain di depan kakakmu? Atau Katrin yang membuat kamu jadi orang lain?"
"Dia justru paling keras melarang aku kerja. Takut ganggu kuliah."
"Takut kena tipu om-om juga."
"Aku tak mau terus-terusan jadi beban. Ingin belajar mandiri."
"Kalau sudah belajar mandiri, mau belajar apa lagi?"
"Belajar menjitak kepalamu!"
"Bukan belajar namanya, balas dendam masa lalu."
Barangkali karena masa lalu juga kalau besoknya mereka kelihatan main ayunan di taman, kejar-kejaran di gedung tua, berperahu di telaga. Tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi waktu anak-anak.
Tapi pandangan Umi tidak hanya sampai di situ! Ini alamat bahaya. Sejak dini dia harus waspada sebelum segalanya terlanjur, Gerdy kehilangan masa depan.
Gadis model begitu cuma pintar menggoda. Tak mampu membangun semangat belajar. Apa yang bisa diharapkan darinya?
Kecantikan memang dia kembangnya. Hidup di kota besar membuatnya tampil beda dengan gadis kebanyakan. Tahu cara berdandan. Tapi cuma itu keunggulannya.
Di kota kecil ini, seorang gadis umumnya pacaran hanya satu kali sebelum melangkah ke pelaminan, hanya mengenal satu laki-laki. Tapi dia, pemuda mana yang belum mencicipi cintanya? Setiap minggu laki-laki hilir mudik ke rumahnya! Pulang cuma untuk tebar pesona!
Ayahnya membiarkan saja kelakuan anaknya begitu. Memang itu yang diharapkan. Memilih-milih mana pemuda yang paling kaya, paling banyak berkorban. Ayah dan anak sama bejatnya.
"Hati-hati kalau bergaul," tegur Umi ketika puteranya baru pulang dari rumah gadis itu. "Salah-salah nanti terjerumus."
Gerdy menoleh tak mengerti. "Maksud Umi?"
"Jangan kira Umi tidak tahu kedekatan kamu sama si Betadine."
"Nadine."
"Peduli apa soal nama? Pokoknya bukan keturunan baik-baik!"
"Papinya mantan aparat kelurahan."
"Biar mantan aparat, kalau tega menjual anaknya, jadi keparat!"
"Katrin bukan dijual."
"Lalu apa namanya kawin cuma untuk bikin anak?" Wajah Umi membentuk lautan cemooh. "Jadi istri kontrak?"
"Kalau jodoh, mau bilang apa? Protes sama Tuhan?"
"Pintar omong kamu! Sudah mulai ketularan si Betadine rupanya!"
"Nadine gadis baik-baik," jelas Gerdy sabar. "Tidak seburuk sangkaan Umi."
"Mata Umi belum buta!"
"Jangan lihat casing, lihat hatinya."
"Gadis seperti itu mana punya hati?" dengus Umi sinis. "Yang ada di kepalanya cuma bagaimana cara menjerat laki-laki! Menguras isi dompetnya!"
Gerdy balik menyindir, "Umi jadi miskin perasaan karena kebanyakan harta, selalu curiga dan penuh prasangka."
"Jangan salah paham!" sambar Umi geram. "Aku bukan melarang pacaran! Tapi pilihlah gadis baik-baik! Bukan gadis yang dijadikan modal usaha!"
"Umi jangan kuatir. Aku tidak tertarik jadi pacar ketiga belas. Gadis cantik di kampus asal mau."
Gerdy jadi berpikir. Baru kelihatan akrab saja, ibunya sudah demikian sengit. Bagaimana kalau mereka benar-benar terjebak dalam jerat cinta?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments