Esok paginya Gerdy tidak muncul. Keesokan harinya pun menghilang entah ke mana. Percuma Nadine menunggu sepanjang siang, pemuda itu tak datang-datang tanpa alasan yang jelas. Dia jadi uring-uringan dan majalah yang dibacanya kena sasaran.
"Beraninya banting majalah," ledek Katrin yang menonton infotainment di televisi. "Banting cintamu, berani nggak?'
"Aku kesal sama penculik mahasiswi itu! Bukan koruptor saja diculik! Cuci otaknya biar bersih!"
"Pura-pura! Kangen ya? Salah sendiri. Pulang dari Bali bukan bongkar hati, malah bongkar muatan."
"Ngomong apaan sih?" Nadine pura-pura mengambil majalah yang dibanting dan membacanya lagi.
"Kayak baru pertama kali saja ke Bali. Heboh banget."
"Biarin."
"Gak kuat nahan kangen ya? Mulut jadi dar der dor kayak petasan Lebaran!"
"Sotoy."
"Ada nomernya kan?"
"Dia gak ngasih."
"Kamu juga gak minta, kan? Surya pasti punya."
"Buat apa?"
"Kok buat apa? Ya buat ngebel dia! Bilang terus terang kalau kamu kangen berat. Terus oleh-olehnya mau diambil nggak? Jangan lihat harganya. Suvenir itu dibeli dengan rasa cinta."
"Terus deh bully!"
"Aku tahu kamu dan Gerdy saling jatuh cinta, cuma terlalu sombong untuk mengakui."
"Kamu cocok jadi peramal."
"Sekarang gantian kamu bolak-balik ke rumahnya kalau tidak mau kehilangan dia."
"Memangnya selama aku pergi ke Bali, dia sering datang ke mari?" Akhirnya Nadine terpancing juga, menoleh ke arah kakaknya.
Katrin menggoda, "Bener kan kangen sama Gerdy?"
"Kepo!"
"Habis kamu kayak anak kecil. Lain kali, kalau bepergian, pamit dulu, cipika cipiki dulu. Kasihan dia."
Jadi itu sebabnya, pikir Nadine muram. Dia marah padaku. Kenapa? Karena aku pura-pura tidak rindu padanya? Pura-pura tidak melihat senandung merdu di matanya?
Dia kecewa tidak memperoleh sambutan yang diharapkan, padahal sudah sepuluh hari menunggu. Tapi Nadine malah menyuguhi dengan cerita yang membosankan. Cerita yang sebenarnya tak pernah terjadi!
Di Bali, dia lebih suka merenung seorang diri daripada pergi berenang ke pantai. Dia lebih senang menghabiskan malam-malamnya di kamar hotel daripada clubbing bersama temannya. Dan dia tahu apa sebabnya. Dia tahu mengapa begitu malas mengisi hari-harinya di sana. Karena rindu pada Gerdy!
Nadine masih ingat kejadian di tepi telaga itu. Kejadiannya cuma sekilas memang. Bukan pertama kali pula. Tapi baru pertama kali ada debaran indah di jantungnya saat seorang laki-laki menyentuh bibirnya!
Dan dia sakit hati ketika tahu Gerdy melakukannya tanpa cinta! Pemuda itu mencium bibir perempuan seperti mencium bau parfumnya!
Sekarang aku harus bagaimana, keluh Nadine bingung. Dia tak biasa mengejar laki-laki. Pantaskah dawai cintanya berdenting sementara Gerdy belum memetiknya?
Tapi kalau berharap pemuda itu melakukannya, sampai kiamat tidak akan terjadi! Dia terlalu sombong untuk mengakui kalau mereka sudah terjebak dalam pesona masa lalu!
"Sudah dua hari Gerdy tidak datang." Papi muncul dari dalam kamar sambil menghisap cerutu. "Ada apa?"
Nadine bangkit hendak pergi, tapi Katrin menegurnya dengan lembut, "Duduk manis kalau orang tua ngajak bicara, betapapun tidak berharganya di matamu."
Nadine terpaksa duduk lagi di sofa.
"Kesempatan emas datangnya cuma satu kali," kata Papi tenang. "Jika tak pandai memanfaatkan, kamu akan menyesal seumur hidup."
"Kayak Papi?" sindir Nadine pedas. "Peluang sekecil apapun jadi kesempatan emas kalau dimanfaatkan baik-baik."
"Maka itu kamu tak boleh melakukan kesalahan yang sama."
Nadine tidak sudi membuang-buang kesempatan seperti ayahnya. Konyol namanya, kalau bukan sebuah kebodohan besar.
Ketika Mami mendapat warisan sebidang tanah, bukan diurus. Malah dijual karena menginginkan uang yang lebih besar. Pasang kupon gelap. Setiap makam keramat didatangi untuk memperoleh angka jitu. Dan angka itu benar-benar jitu memperdaya dirinya! Sampai sekarang Papi masih nekat pasang togel dengan modus arisan online!
Jadi ketua RW tak bedanya ketua rampok. Dipilih karena uang, jabatan jadi hitung-hitungan dagang. Bagaimana mengembalikan modal dalam waktu singkat dan dapat untung. Rakyat jadi sapi perahan.
Sampah masyarakat adalah harga yang pantas untuknya.
"Kamu harus bisa mengambil hatinya," ujar Papi.
"Gerdy beda sama teman-teman aku yang lain," sanggah Nadine.
"Semua laki-laki sama, kelemahannya adalah wanita. Dan kamu punya kemampuan untuk membuktikan itu."
"Cinta tak bisa dipaksa."
"Cinta? Apa itu cinta? Apa kakakmu menikah karena cinta? Apa artinya cinta yang berkobar-kobar kalau kehidupannya padam? Tapi Papi percaya Gerdy memiliki keduanya."
"Dengar, Papi," geram Nadine. "Berhentilah memperburuk citra keluarga kita. Perlakukan kami sebagai anak-anak Papi, bukan barang dagangan!"
"Jangan dengarkan omongan tetangga," dengus Papi tidak senang. "Kalau kita sengsara, mereka juga tidak mendengarkan keluhan kita."
"Aku tidak mendengarkan omongan tetangga," bantah Nadine tegas. "Aku melihat kelakuan Papi yang membuat keluarga kita tidak ada harga di masyarakat."
"Itu artinya kamu melihat tetangga, mendengar gunjingan mereka yang sok suci."
"Mereka bukan so suci, Papi yang kotor!"
Nadine bangkit dengan jengkel. Percuma bersitegang dengan papinya. Dia sudah terlanjur lelap dalam mimpinya, dan tak ada satu kekuatan pun yang sanggup membangunkan.
Katrin mengikuti adiknya menaiki anak tangga menuju ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar.
"Aku sudah tidak tahan lagi." Nadine menghempaskan tubuhnya dengan kesal ke kasur. Dia hidupkan televisi pakai remote dan menonton sambil berbaring. "Lama-lama aku bisa gila tinggal di rumah ini."
Katrin menegur dengan halus, "Pelankan sedikit volumenya. Telingamu bisa rusak."
"Bodo."
"Foto model masa kupingnya rusak?"
"Kalau tuli, aku tidak mendengar kata-kata Papi."
"Kamu juga tidak bisa mendengar kata-kata cinta dari Gerdy kalau kupingmu rusak." Katrin tahu kalau adiknya marah tidak bisa dikasari, mesti dibujuk. Lama-lama emosinya reda sendiri. "Papi tidak perlu didengarkan kalau kata-katanya tidak cocok dengan hatimu."
"Semua kata-kata Papi menyebalkan bagiku. Mendingan aku tidak pulang sekalian."
"Kamu ingin membuat Mami sakit lagi? Kamu tidak kasihan sama Mami?"
Tentu saja Nadine sayang kepada ibunya. Dia tidak pulang seminggu saja hampir tiap jam dibel. Tapi Papi sudah membuat rumah ini jadi neraka!
Nadine jadi meleleh hatinya kalau ingat Mami.
"Aku bahagia kamu sudah bisa mandiri," kata Katrin lembut. "Tapi bukan berarti boleh pergi dari rumah ini. Aku ada untuk kalian."
"Lalu Papi ada untuk siapa?"
"Untuk membuat kita semakin dewasa dalam berpikir. Papi setiap hari menciptakan masalah dan kita setiap hari mencari solusi. Pikiran kita jadi matang karenanya."
"Lama-lama jadi gosong," canda Nadine.
"Asal jangan cintamu jadi gosong. Aku tahu Gerdy adalah lelaki pertama yang ada di hatimu sejak kamu mengenal cinta."
Nadine tersenyum lugu. "Aku itu sejak kecil bermimpi jadi istrinya karena ingin hidup seperti keluarga raja-raja."
"Mimpimu ketinggian. Aku pesimis kamu bisa jadi penghuni istana itu. Tapi aku optimis kamu bisa memiliki Gerdy."
Nadine tidak paham, dia bertanya, "Bagaimana ceritanya? Aku bisa memiliki Gerdy kalau aku jadi nyonya muda di istana itu."
"Memiliki Gerdy bukan berarti kamu jadi nyonya muda."
"Maksudnya kawin lari?"
"Aku tidak bilang begitu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments