"Jangan sering-sering datang ke rumahnya." Suara Umi menghentikan langkah Gerdy di pintu keluar. "Nanti ketularan."
Gerdy memutar tubuh dan memandang ibunya. "Ketularan apa?"
"Aku tahu kamu mau pergi ke mana."
"Aku mau ke rumah Surya."
"Alasan."
"Sejak kapan Umi tidak percaya sama aku?"
"Sejak kamu pacaran dengan si Betadine!"
"Aku tidak pacaran."
"Terus buat apa datang ke rumahnya kalau tidak pacaran? Main kartu atau pesta minuman?"
Gerdy menghela nafas. Umi masih saja curiga, padahal kepikiran saja tidak untuk main ke rumahnya. Kebersamaan mereka putus dengan sendirinya.
"Umi cuma mengingatkan. Kalau sampai tergoda rayuannya, itu petaka buat masa depanmu. Bisa-bisa studimu putus di tengah jalan."
"Aku sudah belajar baik-baik, dan mencapai hasil yang baik."
"Nah, pilihlah gadis baik-baik! Agar masa depanmu baik!"
Gerdy menatap ibunya dengan sinar mata protes. "Kenapa sih Umi jadi peduli sama kuliah aku? Padahal dulu Umi memaksaku supaya tidak melanjutkan sekolah, disuruh membantu Abi mengurus perkebunan."
"Ayahmu sudah berubah pikiran. Dia menginginkan dirimu sekolah S2 di Netherland, supaya usaha perkebunan lebih berkembang lagi. Jadi bisa lebih banyak menyerap tenaga kerja, sehingga pemuda tidak meninggalkan daerahnya untuk cari kerja."
"Abi mau mencalonkan diri jadi walikota? Buat apa? Ingin merasakan seragam hijau dari KPK?"
"Ayahmu itu tokoh masyarakat! Tokoh agama! Sudah sewajarnya berpartisipasi meningkatkan kesejahteraan warga!"
Dalam musyawarah kemarin Abi terpilih jadi ketua paguyuban masyarakat kota. Dia sebelumnya sudah menjabat ketua DKM kota dan tidak tergantikan. Sebuah jabatan yang sebenarnya kurang pantas dipikul Abi karena banyak para kyai! Apa karena ayahnya orang berduit?
Gerdy melihat jam dinding sekilas. Pukul delapan lewat. Kasihan Surya terlalu lama menunggu. Malam ini mereka akan menghadiri tabligh akbar di masjid kelurahan.
"Bawa orang rumah," tegas Umi melihat anaknya membuka pintu depan untuk pergi. "Security atau pelayan."
Gerdy tidak jadi melangkah ke luar, ia menoleh dan bertanya, "Buat mata-mata?"
"Itu syaratnya kalau ingin diijinkan pergi!"
"Umi yakin mereka bisa menjalankan tugas dengan baik? Aku ini tuan mudanya."
Benar juga, pikir Umi. Mereka bisa bersekongkol. Security pasti takut dan tunduk pada perintahnya.
"Kalau begitu kamu bawa adikmu." Umi masuk ke ruang dalam memanggil Wisnu.
Gerdy terpaksa menunggu di ambang pintu. Minta anak itu mengawal sama saja memberi daging segar ke harimau lapar!
Selama ini jam malam Wisnu sampai pukul sepuluh, tak kecuali liburan. Kalau dilanggar berat hukumannya, menjalani tahanan rumah selama satu minggu. Tentu saja kesempatan langka ini tidak disia-siakan.
Persetan dengan tugas yang diemban. Pokoknya dapat jam bebas. Kebetulan pacarnya lagi suntuk. Mereka bisa dugem sepuasnya.
"Yakin nih kakak mau menghadiri tabligh akbar?" tanya Wisnu separuh meledek, begitu mobil yang dikendarainya tiba di depan rumah Surya. Dia tahu Gerdy cuma pencitraan, menjaga nama baik keluarga di mata masyarakat. Lagi buat apa Abi jadi ketua paguyuban segala? Malah banyak keluar duit buat sosialita! "Gak pengen pergi clubbing?"
"Cerewet."
"Jemput di mana nanti?"
"Di sini! Masa di depan hidung Umi?"
Lokasi tabligh akbar tidak jauh dari rumah Surya. Mereka bisa menempuhnya dengan jalan kaki.
"Jam berapa?"
"Jangan lebih dari jam satu."
Gerdy turun. Mobil Wisnu melesat kembali membelah malam.
Surya muncul dari dalam rumah. Tapi tidak sendirian, di belakang menyusul Nadine. Gerdy tertegun. Mau apa gadis itu ada di sini?
"Bidadarimu nongol sendiri," bisik Surya di telinganya. "Dia kayak punya indera keenam kalau kita mau pergi ke tabligh akbar."
"Indera keenamnya pasti kamu."
Surya tertawa lembut. "Habis nanyain kamu terus. Kau hebat, Ger. Waktu kecil, kau buat dia setengah mati karena gendengmu. Sekarang kau buat dia setengah mati karena cintamu!"
"Makanya jadilah orang kaya dan ganteng."
Surya mendengus sinis. "Betah ya cewek pacaran sama kamu? Ngomong saja kayak beduk, tidak dipukul tidak bunyi. Tangguh dalam pertempuran kali ya? Pejuang kelamin?"
"Air tenang menghanyutkan."
Jujur Surya suka mempunyai sahabat seperti Gerdy. Tidak banyak omong, jaga image, pelit senyum. Tapi royal, itu yang penting. Pergi dengannya perut terjamin.
Malam ini Nadine tampil beda. Dia tidak mengenakan pakaian yang mempromosikan keindahan tubuhnya. Yang memetakan dengan jelas di mana kelemahan laki-laki. Penampilannya tertutup. Tapi kelihatan jauh lebih cantik dan anggun.
Nadine memandang Gerdy berbalut rindu. "Apa kabar?"
Tiba-tiba saja Nadine merasa seperti gadis pingitan di hadapan pemuda itu. Salah tingkah. Senandung rindu di hati membuat dirinya kehilangan kata-kata terbaiknya. Pertanyaan itu standar banget.
"Baik," sahut Gerdy pendek.
Sekali ini Nadine mengagumi sikapnya yang demikian tenang. Gerdy mampu menjaga perasaan dengan ekspresi seperti biasa. Padahal dia tahu hatinya bergemuruh seperti dirinya.
"Tidak dikawal adikmu?" tanya Gerdy. "Biasanya kalian kayak truk dan gandengan kalau keluar malam."
Bercandanya seperti biasa, agak kering. Tapi malam ini terasa sangat pecah. Barangkali karena di hatinya bermekaran bunga-bunga cinta.
Nadine tersenyum. Manis sekali. "Prilly sama brengseknya dengan adikmu, menyelewengkan tugas yang diemban."
"Namanya kerja sama yang saling menguntungkan."
"Tapi aku takut Prilly diapa-apain cowoknya."
"Aku juga takut Wisnu ngapa-ngapain ceweknya. Tapi aku tidak biasa pergi sama adikku."
"Biasanya sama siapa?"
Gerdy melihat ada lecutan dalam bola mata yang indah itu. Dia pura-pura menoleh ke arah lain dan menemukan Surya sudah tak ada di tempatnya. "Kata Surya, Linmas di pos itu galak-galak. Ayo kita pergi sebelum kena pajak."
"Aku datang ke sini sebetulnya bukan untuk menghadiri tabligh akbar."
"Kalau mau dugem, seharusnya dari tadi ngomong. Kita bisa pergi sama Wisnu."
"Aku bisa pergi sama Prilly kalau ingin dugem."
"Terus?"
"Aku ingin ketemu kamu."
"Sekarang sudah."
"Kamu ini tidak mengerti apa pura-pura bodoh?" keluh Nadine jengkel. "Pikirmu buat apa aku datang jauh-jauh ke rumah Surya? Malam-malam pula? Aku rindu kamu! Cinta kamu!"
Gerdy tidak menyangka gadis itu berani terbuka, meski sudah tahu dari Surya. Dia sendiri pikir-pikir nembak seorang betina. Lagi pula, dia tidak pernah menyatakan cinta lebih dulu!
"Kenapa?" tatap Nadine sejurus. "Tidak boleh aku jujur? Tidak boleh aku keluar dari kebiasaan gadis di kelurahan ini? Mengungkapkan isi hati lebih dulu? Kalau nunggu kamu, sampai kiamat aku jadi jomblo! Yang kamu ributkan cuma masa lalu! Seolah cuma kita yang pernah jadi anak kecil!'
"Itu kan akal laki-laki," sahut Gerdy dengan gaya yang menyebalkan. "Bagaimana supaya bisa berduaan."
Nadine mendelik, bola matanya bersinar indah. "Jadi selama ini kamu mempermainkan aku?"
"Memangnya kamu mau dipermainkan?"
Nadine mencubit pinggangnya dengan gemas. Gerdy balas memijit hidungnya. Dan mereka terpukau. Tahu-tahu di hadapan mereka berdiri dua orang Linmas berwajah galak!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments