Indahnya Cinta
Biasanya Papi segera menutup pintu kalau ada pemuda bertamu memakai sendal jepit dan jalan kaki. Modal dengkul ingin bergaul dengan anaknya. Tidak tahu diri. Modal motor saja ditolak. Takut masuk angin.
Tapi pemuda yang satu ini disambutnya dengan hangat. Meski siang ini berkunjung cuma mengenakan celana pendek kargo short dan kaos crew neck, dia tahu pakaian itu bermerek.
"Nak Gerdy!" seru Papi gembira, seluruh wajahnya tersenyum. "Kirain siapa?"
Gerdy adalah anak orang terkaya di kota kecil ini. Ayahnya pemilik perkebunan buah yang jumlahnya ratusan hektar. Rumahnya bagaikan istana. Mobil berderet. Jet pribadi parkir di bandara terdekat.
Gerdy mengangguk hormat, lalu bertanya, "Nadine ada?"
Sudah ganteng, kaya, dermawan pula. Di tangannya ada satu kotak cerutu dan beberapa dus martabak telor. Kurang apa lagi? Putrinya betul-betul tahu bagaimana membahagiakan orang tua!
"Ada," jawab Papi gesit sambil menerima bingkisan. "Silakan masuk."
"Terima kasih." Gerdy mengambil amplop cukup tebal dari kantong celana. "Ini ada uang sedikit untuk ijin bertamu selama liburan, di luar cerutu dan martabak telor setiap hari. Kalau kurang, ngomong saja."
"Cukup, cukup." Mata Papi bergelimang cahaya melihat isi amplop. Bergegas dia pergi ke ruang dalam memanggil putrinya, seolah sang tamu membawa urusan sangat penting.
Padahal Gerdy hanya iseng. Tidak ada teman nongkrong. Dari kecil sahabatnya cuma dua, Nadine dan Surya. Play boy receh itu lagi sibuk membantu ayahnya di bengkel.
Sambil duduk tumpang kaki, mata Gerdy kelayapan ke seluruh ruangan, dan hinggap pada foto yang terpampang di meja kecil di sudut ruangan. Tiga anak kecil berseragam SD. Warnanya agak kabur. Rupanya Nadine masih menyimpan foto kenangan itu.
Foto itu diperoleh dari hasil menipu tukang foto keliling, mereka bilang disuruh orang tua. Ketika fotonya diantarkan ke rumah masing-masing, bukan cuma caci maki yang didapat, harganya pun dibayar murah.
"Lama ya nunggu?" Nadine muncul membawa dua cangkir minuman. Satu cangkir diletakkan di hadapan Gerdy, satu lagi untuknya, lalu duduk di sofa. Nampan dipakai untuk menutupi rok mini. "Aku lagi menyiram bunga di belakang."
"Bunga deposito?" canda Gerdy.
"Bunga bangkai," sahut Nadine asal. "Buat kado wisudamu."
"Lulusnya juga kapan tahu."
"Bunga bangkai juga gedenya kapan tahu," senyum Nadine. "Minum."
Gerdy meneguk minuman sedikit, sekedar menghormati saja. Dia biasa minum air mineral. Tapi basa-basi perlu, "Bisa juga bikin minuman. Manisnya pas kayak senyum kamu."
"Bikin kamu klepek-klepek juga bisa," kata Nadine menyepelekan.
"Perempuan tidak pernah membuat aku jadi pecundang," ujar Gerdy, dan memang begitu faktanya. Perempuan tidak ada yang berani mengakhiri hubungan dengannya, dan tidak ada cerita balikan lagi kalau dia sudah pergi.
"Kusiram pakai air jeruk, terus ditampar pakai nampan, apa nggak bikin kamu klepek-klepek?"
Gerdy mengangkat sudut bibirnya sedikit. Sinar matanya sangat merendahkan. Tapi Nadine tidak tersinggung, karena ia juga menganggap lelaki demikian.
"Fotomu masih ada," komentar Gerdy. "Kolektor barang antik juga ya?"
"Cuma itu kenangan manis yang tersisa."
"Saat kupeluk kamu?"
"Peluk apaan? Kamu cekik aku sampai gak bisa nafas!"
"Pelukan play boy cilik begitu."
Sejak kecil Gerdy sudah berani memproklamirkan diri sebagai play boy. Dia sangat percaya diri dengan pesona yang dimiliki. Banyak gadis SD yang jadi korban cinta monyetnya.
Foto Gerdy sendiri langsung dirobek ibunya saat itu juga. Sejak kecil dia dilarang bergaul dengan Nadine dan Surya. Dia bosan bermain sendiri. Dia belajar jadi anak nakal dari mereka.
Rumah Nadine dulu sederhana sekali. Kehidupan mereka meningkat drastis sejak kakaknya jadi istri muda CEO sebuah perusahaan bonafid.
"Betah banget tinggal di kota kembang." Nadine mengambil inisiatif obrolan. Gerdy jarang ngomong duluan kalau tidak penting-penting banget. Dia hanya meladeni, selebihnya asyik main gadget. "Pulang cuma enam bulan sekali, padahal bisa tiap minggu."
Gerdy justru enggan untuk pulang kalau tidak diancam ayahnya. Kota Bandung begitu memanjakan hidupnya. Dia dipaksa untuk belajar mengelola perkebunan, dan kesempatan cuma ada pada liburan semester.
"Banyak cewek cakep di kota besar jadi lupa tanah kelahiran," sindir Nadine. "Lupa pada apa yang tersisa dari masa kecil."
"Tentu saja aku ingat," tukas Gerdy. "Di kota kecil juga banyak cewek cakep. Buktinya ada di depanku."
"Aku bukan cewek gampang dipuji."
Apalagi sama kamu, sambung Nadine dalam hati. Pujianmu mengandung racun.
"Dan aku bukan cowok yang gampang memuji," sahut Gerdy tak mau kalah.
Bodo, batin Nadine. Lagian apa untungnya dipuji seorang play boy? Yang ada siaga satu!
"Aku bukan kacang lupa kulitnya." Nadine melempar sindiran.
"Aku kacang tidak punya kulit," kelit Gerdy.
"Kacang busuk saja punya kulit."
"Kacang goreng."
Ketenangan sikapnya ini membuat Nadine kagum. Gerdy tidak mudah tersinggung, padahal kata-kata yang dilontarkan lumayan pedas. Ekspresinya tidak berubah saat menerima pujian atau bullying.
"Aku ingin menengok masa kecil," kata Gerdy. "Anggaplah kacang ingin menemukan kulitnya."
Nadine tersenyum kecut. "Kirain mau ngajak ngedance."
"Musiknya kaleng rombeng?"
"Di pusat kota ada diskotik dan kafe baru buka."
"Oh ya?"
"Lumayan juga view-nya."
Wajah Gerdy terlihat bersinar. "Jadi ada nyawa aku hidup di kota ini. Boleh kita coba."
"Gak bisa ya sehari saja tanpa clubbing?"
"Tentu saja bisa, kalau lagi di rumah."
Gerdy memang brengsek. Dia berubah jadi muslim taat kalau di depan orang tua. Begitu adzan berkumandang, langsung pergi ke mesjid. Padahal di Bandung mana pernah ingat shalat? Waktunya habis untuk dugem dan perempuan.
Tapi Gerdy bukan peminum dan pemakai, karena merusak kemampuan berpikir. Dia tidak mau sekedar lulus kuliah, mesti berprestasi. Gelar sarjana adalah impian sejak kecil.
Sebenarnya Abi mengharapkan Gerdy mengelola perkebunan selepas SMA. Sekolah tinggi-tinggi ujungnya cari duit juga. Lagi pula, dia bukan kuliah di jurusan agrikultura. Ilmunya tidak terpakai.
Ketika IPK Gerdy sangat memuaskan, Abi justru paling heboh, pamer ke warga kalau anaknya mampu mengemban amanat orang tua, dan tak sungkan mendompleng sebuah hadits; tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Padahal menuntut ilmu ke Bandung saja keberatan!
Abi berencana mengirimnya ke Netherland untuk mengikuti program pasca sarjana agrikultura di Wageningen University & Research.
"Besok-besok saja deh clubbing-nya," kata Nadine berubah pikiran. "Hari ini aku capek banget, banyak kesibukan. Kamu juga baru pulang kan? Aku siap kalau cuma menengok masa kecil, sungainya kan dekat."
"Tahu kenapa aku ingin pergi ke sungai?"
Nadine tersenyum masam. "Pasti kangen mandi bersama. Otak kotormu sudah terbaca."
Entah benar atau tidak tebakannya, barangkali ini yang membuat perempuan bertekuk lutut. Gerdy demikian cool, ibarat air danau yang sangat tenang, padahal banyak ikan buas di dalamnya.
"Habiskan dulu minumannya," pinta Nadine.
"Cukup," tolak Gerdy.
"Gak suka yang manis-manis ya?"
"Cukup lihat kamu."
"Bentar ya, aku rapikan dulu."
Nadine membereskan cangkir dan membawanya ke belakang. Di ruang dalam dia bertemu dengan ayahnya yang menguping pembicaraan mereka.
"Kenapa tidak mau jalan-jalan ke pusat kota?" tegur Papi tidak senang. "Kapan lagi dapat kesempatan emas seperti ini?"
"Alah, paling-paling pulang minta martabak telor sama cerutu," dengus Nadine sinis.
"Cetek banget pikiranmu, cuma sampai martabak sama cerutu!"
"Terus mau dikuras isi dompetnya?"
"Dompetnya tidak akan kering biar dikuras tiap hari!"
Nadine pergi dengan jengkel. Ngomong sama Papi bikin emosi. Di kepalanya cuma ada duit!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments