Wajah kusut Papi serentak berubah ceria saat tahu siapa tamu yang datang. Matanya yang gelap langsung bercahaya melihat kotak cerutu dan martabak telor kesukaannya.
"Wah, Nadinenya tidak ada," senyum Papi lebar. "Tapi masuk saja. Kita ngobrol di dalam."
Nadine sungguh laris, keluh Gerdy dalam hati. Tiap hari pasti ada yang ngajak pergi. Kota ini betul-betul kekurangan gadis cantik. Atau cuma dia yang berani open house?
"Pergi sama siapa?" tanya Gerdy sambil menyerahkan bingkisan yang dibawanya. Dia sudah buru-buru berangkat dari rumah. Siang ini mau mengajak Nadine lunch di kafe. Ternyata kalah cepat. Kalau gadis itu sudah pergi, jangan harap pulang sebelum matahari tergelincir.
"Sendiri," jawab Papi. Seandainya pergi berdua juga pasti jawabannya begitu.
Ada perasaan lega di hati Gerdy. Entah kenapa. Barangkali karena teman Nadine kadal semua. Apalagi anak juragan sapi itu. Cuma traktir lobster minta macam-macam. Tidak mau rugi. Maka itu Nadine memblokir namanya dari daftar kontak.
Anak bandar buah yang bawa duren montong satu pick up saja tidak berani main paksa. Dia sudah bangga bisa makan malam bersama gadis secantik Nadine.
"Ke mana?" selidik Gerdy penasaran.
"Jakarta. Mana lagi?"
Gerdy menatap heran. "Ada keperluan apa? Katanya pemotretan lagi break?"
"Piknik sama teman kuliah. Memangnya tidak ngomong sama nak Gerdy?"
Kalau bilang buat apa bertanya, gerutu Gerdy dalam hati. Dia tahu Nadine merasa tak perlu pamit. Gadis itu meninggalkan laki-laki seperti meninggalkan baju kotor di keranjang pakaian.
Gerdy sebenarnya tersinggung, tapi Nadine bukan pacarnya. Jadi apa haknya untuk tersinggung?
"Berapa hari?" tanya Gerdy.
"Satu minggu."
Lama betul, pikir Gerdy tanpa gairah. Pasti pergi ke tempat yang jauh. Pantai mana yang dituju? Bali atau Lombok?
Papi tersenyum seakan tahu isi pikirannya. "Sebentar kok, nak Gerdy. Minggu depan juga bertemu lagi."
Biarpun cuma satu minggu, Gerdy tidak sabar menunggu. Dia merasa seolah satu abad lamanya. Belum pernah hatinya begini galau ditinggal pergi seorang gadis. Padahal Nadine bukan siapa-siapa.
Mula-mula dikiranya karena rasa kesepian. Bosan jalan-jalan sendiri. Ketika batas waktu yang ditunggu-tunggu tiba, Nadine belum pulang juga, Gerdy bukan cuma tidak sabar.
"Bel saja," saran ayah gadis itu. "Kalau sama Papi, pasti tidak diangkat."
Padahal tidak mau rugi. Untuk kepentingan sendiri saja pinjam sama teman Nadine. Kalau mereka pelit, berarti ijin tidak keluar. Apalagi ini keperluan orang lain. Jadi yang bersangkutan wajib keluar modal. Enak saja dibantu. Lagi pula, apalah artinya pulsa belasan ribu bagi anak miliarder itu.
Masalahnya Gerdy tidak biasa. Nanti dulu kalau ngebel. Nadine bisa besar kepala. Bertambah satu penggemarnya.
Kalau sekarang Gerdy bolak-balik ke rumahnya, demi kenyamanan belaka. Nadine tidak mungkin datang ke rumahnya, tidak disiram air got saja sudah bagus. Di Bandung, mana pernah Gerdy berkunjung ke rumah perempuan!
"Siapa tahu sudah berada di pondokan," kata Papi. "Belum sempat pulang."
Boleh jadi. Nadine masih lelah untuk pulang ke rumah. Tapi boleh jadi pula masih berada di lokasi wisata. Dan membayangkan bagaimana romantisnya kehidupan di sana, ada selarik perasaan tak enak di dadanya.
Gerdy seharusnya gembira Nadine berkumpul bersama teman kuliahnya, yang salah seorang pemudanya mungkin pacar tetapnya, sehingga tertutup pintu untuk jatuh cinta. Tapi kenapa hatinya justru merasa ... cemburu?
Sejak semula Gerdy tidak yakin dengan hatinya. Dia hapal siapa dirinya. Gadis itu terlalu menarik untuk jadi bagian dari masa lalu. Terlalu mempesona untuk dibiarkan berlalu dari hidupnya.
Atau Nadine marah dengan kejadian di tepi telaga itu? Dia tidak mau lagi bertemu dengannya?
"Brengsek," maki Nadine saat rebahan di rumput hijau diam-diam Gerdy mengecup bibirnya. "Jangan samakan aku dengan gadis-gadismu."
"Laki-laki lain minta ijin kalau mencium kamu?"
"Mereka tidak kurang ajar seperti kamu!"
"Aku tak percaya pacar-pacar kamu belum pernah menyentuh bibirmu."
"Aku tidak minta kamu percaya! Tapi aku tahu kalau pacarku mau mencium aku!"
"Nah, karena aku bukan pacarmu, jadi kamu tak perlu tahu, tak perlu minta ijin."
Nadine diam cemberut. Di mata Gerdy justru kelihatan makin menggoda. Dia tahu gadis itu tidak marah, tapi tidak pula menikmati ciumannya. Ciuman laki-laki tak bedanya lipstik yang tiap hari menempel di bibirnya!
Keesokan harinya Gerdy berusaha menahan diri untuk pergi ke rumah Nadine. Kelihatan sekali kalau dia mengharapkan kepulangan gadis itu. Di mana harga dirinya?
Sepanjang hari Gerdy berada di perkebunan sampai Abi heran. Anaknya belum pernah serajin itu belajar tentang pemeliharaan tanaman, padahal Gerdy cuma ingin menghalau keresahan hatinya.
Dia baru datang lagi ke rumah Nadine ketika mendapat kabar dari Surya kalau gadis itu sudah pulang dari Bali. Dia sebenarnya malas pergi, tapi keinginan hatinya sulit dibendung.
"Rencananya satu minggu," jelas Nadine. "Teman-teman minta tambah. Sebagai panitia, aku oke saja asal mereka bayar ekstra."
Ada seleret kecewa menyapu dada Gerdy. Sepuluh hari mereka tidak bertemu, tapi sedikit pun gadis itu tidak menunjukkan rasa rindunya.
Gerdy tahu seperti apa laki-laki di matanya. Tak ada yang istimewa. Setiap laki-laki bisa pergi bersamanya dan bisa ditinggal pergi seenaknya. Saat dia diperlakukan sama, ada sakit hati yang tak mau hilang di dadanya.
"Teman-temanku sangat betah di Kuta," kata Nadine. "Banyak pemandangan yang tidak sepantasnya dipandang."
"Kalau cuma kepingin lihat pemandangan vulgar, tak perlu ke Bali," sahut Gerdy hambar. Semangat yang menggebu-gebu untuk berjumpa dengan gadis itu langsung mencair dengan sendirinya. "Di internet juga banyak."
Nadine seolah tidak curiga dengan perubahan di wajahnya. Dia terlampau asyik dengan pengalaman liburannya. "Teman-temanku sempat tertipu dengan taman kupu-kupu di Tabanan. Mereka kira tempat kupu-kupu kertas atau kupu-kupu malam."
"Tolong bikin chat story saja," potong Gerdy dingin. "Nanti aku baca."
"Kamu nggak tertarik mendengar ceritaku?"
"Kepanjangan."
"Ceritaku bikin bete ya?"
Gerdy tidak tahu harus menjawab apa. Dan kemunculan anak bandar duren di ambang pintu membuat nafasnya lega.
"Ke mana?" tegur Nadine melihat Gerdy bangkit.
"Belum tidur siang."
"Bentar." Nadine tidak tahu kalau Gerdy hanya pura-pura menguap. "Ada oleh-oleh buat kamu."
Nadine pergi ke kamarnya. Ketika kembali lagi ke ruang tamu, Gerdy sudah tak ada di tempatnya.
Sinar mata gadis itu berubah layu.
"Kok aku ditinggal pergi?" tegur anak bandar duren melihat Nadine berjalan ke ruang dalam.
"Aku panggil Papi buat menemani kamu," jawab Nadine kesal.
"Aku ingin ketemu kamu, bukan Papi."
"Kamu bawa duren, kan?"
"Satu pick up."
"Yang suka duren itu Papi sama si Mimin. Aku sudah bilang nggak suka duren dan nggak suka kamu bawa duren. Jadi lain kali kamu ketemu Papi atau si Mimin, tidak usah ketemu aku lagi."
Pemuda itu bengong.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments