Burung Suamiku Meresahkan

Burung Suamiku Meresahkan

Bab 1. Ijin Memelihara Burung

Senyumku merekah lebar, mana kala mengingat bahwa ini adalah awal bulan. Saatnya suami gajian, dan dompetku akan kembali dipenuhi oleh uang bergambar pahlawan proklamasi. Pasti akan terlihat begitu indah dan menyenangkan.

Bukan hanya Tuan Krab yang menyukai aroma uang. Sebagai perempuan, tentu saja aku juga senang dengan uang. Akan tetapi, aku tidak tahu apa perempuan lain sama sepertiku atau tidak. Hehehe.

Aku menyiapkan makanan sembari bersenandung riang. Sisa uang belanja yang diberikan suamiku hanya cukup untuk membeli bahan sayur sop, sambal, dan tahu.

"Wah, sudah jam dua! Sebentar lagi Mas Natan pulang!"

Aku menanggalkan celemek yang kugunakan saat memasak, dan langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku tipe perempuan yang enggan berlama-lama di kamar mandi. Lima belas menit, sudah cukup bagiku untuk membersihkan diri dari kotoran dan keringat yang menempel di tubuh.

Setelah selesai mandi, aku mulai merias wajahku agar terlihat sedikit lebih segar. Kusapukan bedak ke seluruh wajah setelah memakai pelembab. Ketika memutar wadah lipstik, aku tersenyum miris.

"Yah, habis! Nanti minta dibelikan sama Mas Natan, ah! Pokoknya hari ini aku mau ngajak Mas Natan jalan-jalan ke Grandmall!" Aku terkekeh lalu mengambil cottonbud, dan menggunakannya untuk mengorek lipstik yang masih tersisa di dalam wadahnya.

Setelah selesai merias wajah, kusemprotkan parfum isi ulang yang harganya sungguh murah meriah muntah. Hanya 10 ribu rupiah untuk kemasan roll-on. Ah, jangan bayangkan aku memakai parfum kelas dunia seperti merk Maison Francis Kurkdjian varian Baccarat Rouge 504. Apalagi Yves Saint Laurent varian Black Opium. Bisa menambahkan aroma tubuh selain dari sabun Harmony saja aku sudah sangat bersyukur.

Sambil menunggu Mas Natan pulang, aku memutuskan untuk membuka akun sosial Instagram. Saat menggulir layar, tanpa sengaja aku melihat teman-teman kerjaku dulu. Mereka terlihat semakin cantik.

"Wah, Layla makin cantik! Lihat wajahnya makin mulus! Kurasa lalat pun bakal kepeleset kalau nempel di wajahnya!" Aku berdecak kagum kemudian terkekeh.

Setelah kembali menggulir layar ponsel, kini giliran wajah cantik Miya yang terpampang. Perempuan itu sedang berdiri di depan sebuah butik, yang kupercaya itu adalah miliknya. Pada keterangan di bawah foto tersebut jelas bahwa Miya sedang mengumumkan ada promo Soft Opening di butik miliknya tersebut.

Aku tergiur untuk datang ke sana. Siapa tahu dia memberiku Harga Teman. Aku tertawa dalam hati. Pemikiranku sungguh berubah drastis semenjak menikah. Terlebih ketika mengetahui gaji suamiku yang tidak seberapa. Sangat pas-pasan untuk kebutuhan harian.

"Miya udah resign juga ternyata. Mapan juga sekarang! Malah punya butik sendiri! Hebat!" Aku menatap kagum foto yang kulihat.

Miya adalah salah satu teman dekatku ketika bekerja dulu. Ke mana-mana kami selalu berdua. Aku dan Miya juga menyewa satu kamar kos untuk ditinggali berdua. Selain itu, kami sering mendapatkan shift kerja yang sama. Jadi, bisa dibilang di mana ada Nana di situ ada Miya.

Ketika sedang asyik melihat-lihat akun Instagram Miya dan Layla, tiba-tiba pintu kontrakan rumahku diketuk. Aku langsung beranjak dari kursi dan membukakan pintu. Sosok Mas Natan tersenyum lebar sembari mengucapkan salam.

"Assalamualaikum," ucap Mas Natan.

"Wa'alaikumsalam, Mas." Aku meraih jemari suamiku itu, lalu mencium punggung tangannya.

"Hari ini masak apa, Dik?" tanya Mas Natan sambil terus berjalan menuju sofa.

"Nana masak sayur sop, sambal kecap, sama tahu goreng, Mas. Mas Natan mau makan sekarang?"

"Boleh, Mas ganti baju dulu, ya?"

Aku benar-benar bersyukur memiliki Mas Natan. Masalah isi perut, lelaki ini tidak banyak menuntut. Dia selalu memakan semua makanan yang aku masak dengan lahap. Dia juga jarang jajan di pabrik.

Aku selalu menyiapkan bekal, demi menghemat pengeluaran. Terlebih lagi, mulai tahun ini aku berniat menabung sedikit demi sedikit untuk membayar sewa rumah yang sekarang aku tinggali ini. Sebelumnya Bulik Ontin menyewakan rumah ini untuk hadiah pernikahanku dengan Mas Natan dua tahun lalu.

Biaya sewa untuk rumah sederhana dua kamar ini lumayan mahal, 11 juta per tahun. Jika aku tidak menyisihkan uang dari sekarang, kemungkinan tahun depan aku akan kesulitan untuk memperpanjang kontrak.

Aku melangkah ke dapur dan menyiapkan makanan untuk suamiku tercinta. Tak lama kemudian, Mas Natan menghampiriku dan memelukku dari belakang. Lelaki itu mengecup pipi dan menyandarkan dagu pada bahuku.

"Dik, habis makan, Mas mau ngomong sesuatu sama kamu."

Aku balik badan, kemudian mengerutkan dahi. Rasa penasaran merasuki hati dan pikiranku saat ini. Mas Natan tersenyum lebar, lalu mengecup puncak kepalaku.

"Iya, ayo makan dulu, Mas!" ajakku.

Kami menikmati makanan hari itu dengan penuh rasa syukur. Selesai makan, adzan Ashar berkumandang. Aku dan Mas Natan menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Aku menyelipkan harapanku agar Allah segera mempercayakan buah hati kepada keluarga kecil kami.

Tak terasa air mataku berlinang mengingat desakan ayah mertuaku yang ingin segera menimang cucu. Pasalnya Mas Natan anak tunggal. Jadi, tak heran jika beliau terus bertanya, kapan punya anak?

"Dik, kok nangis?" tanya Mas Natan.

Tanpa kusadari, ternyata lelaki terbaikku ini telah balik badan dan menatapku iba. Dia mengusap air mata yang membasahi pipiku dengan ujung jempolnya.

"Ada masalah apa? Cerita, sama Mas. Jangan dipendam sendiri. Kamu punya Mas, buat tempat berbagi keluh kesah."

Hatiku sejuk, seakan disiram dengan air es kelapa muda. Aku tersenyum lebar lalu memeluk tubuh tegap suamiku ini. Mas Natan mengusap punggungku sambil terus mengeluarkan kata-kata penyejuk hati.

Setelah tenang, aku melepaskan pelukan dari Mas Natan. Aku mulai bercerita mengenai ganjalan hatiku. Aku menunduk, karena takut menyinggung perasaan suamiku ini.

"Begini, Mas. Adik teringat ucapan bapak setiap kita berkunjung ke rumah beliau." Aku meremas bawahan mukena yang kupakai.

"Ucapan yang mana, Dik?"

"Bapak menginginkan kita untuk segera memiliki anak, Mas. Kita sudah usaha, tapi Allah memang belum berkehendak. Kita bisa apa?"

"Nanti biar Mas bicara pelan-pelan sama bapak, kalau beliau protes lagi. Kamu yang sabar ya, menghadapi bapakku?"

Aku mengangguk mantab sembari tersenyum lebar. Ah, suamiku ini benar-benar hebat dalam menenangkan hatiku. Tiba-tiba aku teringat akan ucapan Mas Natan sepulang kerja tadi.

"Oh, ya. Mas Natan tadi mau ngomong apa? Sepertinya penting sekali?"

"Ah, begini, Dik. Selama ini, 'kan Mas nggak pernah jalan keluar sama temen-temen. Setiap waktu selalu ada buat kamu ...."

Aku masih memerhatikan setiap kata yang keluar dari bibir suamiku. Walaupun penyampaiannya begitu santai dan tenang, aku merasakan ada hal yang buruk akan disampaikan olehnya.

"Mas maubpelihara burung Elang, boleh?"

"Burung Elang?" Aku mengerutkan dahi dan menatap manik mata suamiku.

Kenapa harus burung Elang dari sekian banyak burung? Terlebih lagi, bukankah burung tersebut termasuk burung langka yang dilindungi? Aku tidak berani mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan itu kepada Mas Natan. Aku mencoba terus mendengarkan ucapan Mas Natan dengan sabar.

"Iya, temen Mas nawarin jual murah burungnya itu. Cuma 750 ribu kok, Dik. Nggak mahal."

"Mas, memangnya ada uang buat belinya?"

"Ah, itu ...."

...****************...

Terpopuler

Comments

Ainisha_Shanti

Ainisha_Shanti

cerita yang bagus

2022-08-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!