Senyumku merekah lebar, mana kala mengingat bahwa ini adalah awal bulan. Saatnya suami gajian, dan dompetku akan kembali dipenuhi oleh uang bergambar pahlawan proklamasi. Pasti akan terlihat begitu indah dan menyenangkan.
Bukan hanya Tuan Krab yang menyukai aroma uang. Sebagai perempuan, tentu saja aku juga senang dengan uang. Akan tetapi, aku tidak tahu apa perempuan lain sama sepertiku atau tidak. Hehehe.
Aku menyiapkan makanan sembari bersenandung riang. Sisa uang belanja yang diberikan suamiku hanya cukup untuk membeli bahan sayur sop, sambal, dan tahu.
"Wah, sudah jam dua! Sebentar lagi Mas Natan pulang!"
Aku menanggalkan celemek yang kugunakan saat memasak, dan langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku tipe perempuan yang enggan berlama-lama di kamar mandi. Lima belas menit, sudah cukup bagiku untuk membersihkan diri dari kotoran dan keringat yang menempel di tubuh.
Setelah selesai mandi, aku mulai merias wajahku agar terlihat sedikit lebih segar. Kusapukan bedak ke seluruh wajah setelah memakai pelembab. Ketika memutar wadah lipstik, aku tersenyum miris.
"Yah, habis! Nanti minta dibelikan sama Mas Natan, ah! Pokoknya hari ini aku mau ngajak Mas Natan jalan-jalan ke Grandmall!" Aku terkekeh lalu mengambil cottonbud, dan menggunakannya untuk mengorek lipstik yang masih tersisa di dalam wadahnya.
Setelah selesai merias wajah, kusemprotkan parfum isi ulang yang harganya sungguh murah meriah muntah. Hanya 10 ribu rupiah untuk kemasan roll-on. Ah, jangan bayangkan aku memakai parfum kelas dunia seperti merk Maison Francis Kurkdjian varian Baccarat Rouge 504. Apalagi Yves Saint Laurent varian Black Opium. Bisa menambahkan aroma tubuh selain dari sabun Harmony saja aku sudah sangat bersyukur.
Sambil menunggu Mas Natan pulang, aku memutuskan untuk membuka akun sosial Instagram. Saat menggulir layar, tanpa sengaja aku melihat teman-teman kerjaku dulu. Mereka terlihat semakin cantik.
"Wah, Layla makin cantik! Lihat wajahnya makin mulus! Kurasa lalat pun bakal kepeleset kalau nempel di wajahnya!" Aku berdecak kagum kemudian terkekeh.
Setelah kembali menggulir layar ponsel, kini giliran wajah cantik Miya yang terpampang. Perempuan itu sedang berdiri di depan sebuah butik, yang kupercaya itu adalah miliknya. Pada keterangan di bawah foto tersebut jelas bahwa Miya sedang mengumumkan ada promo Soft Opening di butik miliknya tersebut.
Aku tergiur untuk datang ke sana. Siapa tahu dia memberiku Harga Teman. Aku tertawa dalam hati. Pemikiranku sungguh berubah drastis semenjak menikah. Terlebih ketika mengetahui gaji suamiku yang tidak seberapa. Sangat pas-pasan untuk kebutuhan harian.
"Miya udah resign juga ternyata. Mapan juga sekarang! Malah punya butik sendiri! Hebat!" Aku menatap kagum foto yang kulihat.
Miya adalah salah satu teman dekatku ketika bekerja dulu. Ke mana-mana kami selalu berdua. Aku dan Miya juga menyewa satu kamar kos untuk ditinggali berdua. Selain itu, kami sering mendapatkan shift kerja yang sama. Jadi, bisa dibilang di mana ada Nana di situ ada Miya.
Ketika sedang asyik melihat-lihat akun Instagram Miya dan Layla, tiba-tiba pintu kontrakan rumahku diketuk. Aku langsung beranjak dari kursi dan membukakan pintu. Sosok Mas Natan tersenyum lebar sembari mengucapkan salam.
"Assalamualaikum," ucap Mas Natan.
"Wa'alaikumsalam, Mas." Aku meraih jemari suamiku itu, lalu mencium punggung tangannya.
"Hari ini masak apa, Dik?" tanya Mas Natan sambil terus berjalan menuju sofa.
"Nana masak sayur sop, sambal kecap, sama tahu goreng, Mas. Mas Natan mau makan sekarang?"
"Boleh, Mas ganti baju dulu, ya?"
Aku benar-benar bersyukur memiliki Mas Natan. Masalah isi perut, lelaki ini tidak banyak menuntut. Dia selalu memakan semua makanan yang aku masak dengan lahap. Dia juga jarang jajan di pabrik.
Aku selalu menyiapkan bekal, demi menghemat pengeluaran. Terlebih lagi, mulai tahun ini aku berniat menabung sedikit demi sedikit untuk membayar sewa rumah yang sekarang aku tinggali ini. Sebelumnya Bulik Ontin menyewakan rumah ini untuk hadiah pernikahanku dengan Mas Natan dua tahun lalu.
Biaya sewa untuk rumah sederhana dua kamar ini lumayan mahal, 11 juta per tahun. Jika aku tidak menyisihkan uang dari sekarang, kemungkinan tahun depan aku akan kesulitan untuk memperpanjang kontrak.
Aku melangkah ke dapur dan menyiapkan makanan untuk suamiku tercinta. Tak lama kemudian, Mas Natan menghampiriku dan memelukku dari belakang. Lelaki itu mengecup pipi dan menyandarkan dagu pada bahuku.
"Dik, habis makan, Mas mau ngomong sesuatu sama kamu."
Aku balik badan, kemudian mengerutkan dahi. Rasa penasaran merasuki hati dan pikiranku saat ini. Mas Natan tersenyum lebar, lalu mengecup puncak kepalaku.
"Iya, ayo makan dulu, Mas!" ajakku.
Kami menikmati makanan hari itu dengan penuh rasa syukur. Selesai makan, adzan Ashar berkumandang. Aku dan Mas Natan menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Aku menyelipkan harapanku agar Allah segera mempercayakan buah hati kepada keluarga kecil kami.
Tak terasa air mataku berlinang mengingat desakan ayah mertuaku yang ingin segera menimang cucu. Pasalnya Mas Natan anak tunggal. Jadi, tak heran jika beliau terus bertanya, kapan punya anak?
"Dik, kok nangis?" tanya Mas Natan.
Tanpa kusadari, ternyata lelaki terbaikku ini telah balik badan dan menatapku iba. Dia mengusap air mata yang membasahi pipiku dengan ujung jempolnya.
"Ada masalah apa? Cerita, sama Mas. Jangan dipendam sendiri. Kamu punya Mas, buat tempat berbagi keluh kesah."
Hatiku sejuk, seakan disiram dengan air es kelapa muda. Aku tersenyum lebar lalu memeluk tubuh tegap suamiku ini. Mas Natan mengusap punggungku sambil terus mengeluarkan kata-kata penyejuk hati.
Setelah tenang, aku melepaskan pelukan dari Mas Natan. Aku mulai bercerita mengenai ganjalan hatiku. Aku menunduk, karena takut menyinggung perasaan suamiku ini.
"Begini, Mas. Adik teringat ucapan bapak setiap kita berkunjung ke rumah beliau." Aku meremas bawahan mukena yang kupakai.
"Ucapan yang mana, Dik?"
"Bapak menginginkan kita untuk segera memiliki anak, Mas. Kita sudah usaha, tapi Allah memang belum berkehendak. Kita bisa apa?"
"Nanti biar Mas bicara pelan-pelan sama bapak, kalau beliau protes lagi. Kamu yang sabar ya, menghadapi bapakku?"
Aku mengangguk mantab sembari tersenyum lebar. Ah, suamiku ini benar-benar hebat dalam menenangkan hatiku. Tiba-tiba aku teringat akan ucapan Mas Natan sepulang kerja tadi.
"Oh, ya. Mas Natan tadi mau ngomong apa? Sepertinya penting sekali?"
"Ah, begini, Dik. Selama ini, 'kan Mas nggak pernah jalan keluar sama temen-temen. Setiap waktu selalu ada buat kamu ...."
Aku masih memerhatikan setiap kata yang keluar dari bibir suamiku. Walaupun penyampaiannya begitu santai dan tenang, aku merasakan ada hal yang buruk akan disampaikan olehnya.
"Mas maubpelihara burung Elang, boleh?"
"Burung Elang?" Aku mengerutkan dahi dan menatap manik mata suamiku.
Kenapa harus burung Elang dari sekian banyak burung? Terlebih lagi, bukankah burung tersebut termasuk burung langka yang dilindungi? Aku tidak berani mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan itu kepada Mas Natan. Aku mencoba terus mendengarkan ucapan Mas Natan dengan sabar.
"Iya, temen Mas nawarin jual murah burungnya itu. Cuma 750 ribu kok, Dik. Nggak mahal."
"Mas, memangnya ada uang buat belinya?"
"Ah, itu ...."
...****************...
Mas Natan terlihat berpikir. Dia saling menggesekkan kedua telapak tangan. Jakun suamiku naik turun. Benar dugaanku, sepertinya Mas Natan ingin mengungkapkan sesuatu yang jelas-jelas tidak akan aku sukai.
Suamiku itu berdeham dua kali. Dia mulai meraih jemariku, kemudian mencium punggung tangan. Mas Natan tersenyum lembut.
"Bulan ini, Mas ambil dari jatah uang belanjamu dulu, ya, Dik? Bulan ini aja, kok."
"Apa?" Aku membulatkan pupil mata.
Istri mana yang tidak terkejut, mendapat kabar bahwa dia harus menerima kenyataan jatah belanjanya dikurangi. Jika saja penyebabnya karena pemotongan gaji, aku bisa memakluminya. Namun, ini penyebabnya hanya karena seekor burung!
Aku menarik napas dalam sembari memejamkan mata. Perlahan kuhembuskan napas, dan mengeluarkan karbondioksisa sisa respirasi dari dalam paru-paruku.
"Mas, sudah memikirkan baik-baik? Uang 2 juta per bulan itu masih mau Mas Natan potong?" Kutatap Mas Natan sedikit tajam.
"Sudah, toh aku baru sekali ini meminta persetujuanmu, Na? Kenapa susah sekali sih, bilang iya?" jawab Mas Natan ketus.
"Mas, bukannya apa-apa ... Aku hanya berpikir bagaimana kedepannya nanti? Bukankah Burung Elang itu pemakan daging? Apa Mas Natan sanggup mengeluarkan biaya lebih untuk itu?"
"Gampang, nanti juga ada rejekinya," jawab Mas Natan enteng.
Aku kembali memejamkan mata. Emosiku sudah sampai di ubun-ubun. Mau meledak rasanya! Aku akhirnya mendengus kesal, dan melepaskan mukena yang menutup tubuh. Aku berjalan cepat keluar dari kamar menuju ruang tengah.
Terdengar derap langkah kaki Mas Natan mengikutiku dari belakang. Aku bersorak dalam hati. Berpikir bahwa Mas Natan mempertimbangkan lagi ucapan terakhirku. Lelaki itu meraih lenganku, dan kini tatapan kami bersiborok. Mas Natan menatapku lembut.
"Boleh, ya? Aku pelihara burung?" Mas Natan tersenyum tipis,
Aku tercengang. Kupikir dia berubah pikiran. Ternyata Mas Natan bermanis-manis agar permintaannya dapat persetujuan dariku. Aku benar-benar melupakan sikap buruk suamiku yang satu ini, egois.
Ya, Mas Natan merupakan lelaki egois jika sudah memiliki suatu keinginan dan niat tertentu. Akhirnya emosiku meledak seketika. Aku mengibaskan lengan Mas Natan kemudian menatapnya tajam.
"Mas, kita saja untuk tiap hari serba pas-pasan! Tapi apa ini? Mas Natan malah meminta ijin mau memelihara burung, yang nantinya membuat pengeluaran kita semakin membengkak!" seruku dengan mata yang mulai memanas, pandanganku mulai kabur karena air mata.
"Suka-suka aku, dong! Uang-uangku sendiri!" Tatapan lembut Mas Natan pun berubah. Kini dia berbicara kepadaku dengan nada tinggi. Sepertinya ingin mengimbangiku yang menolak keinginan konyolnya itu.
"Aku nggak masalah kalau hidup kita berkecukupan! Kamu saja kasih aku uang belanja pas-pasan, kadang kurang! Lalu gimana ke depannya nanti? Mas Natan juga larang aku buat kerja! Kalau pelihara burung ini, apa Mas Natan masih bisa mencukupi kebutuhan rumahtangga kita?"
Tiba-tiba suamiku melayangkan lengannya ke udara. Agaknya dia ingin mendaratkan telapak tangannya ke pipiku. Aku memalingkan wajah sebelum Mas Natan menamparku. Setelah kutunggu beberapa detik, tak sampai juga tamparan itu.
Perlahan aku mengangkat lagi wajah. Mas Natan terlihat memalingkan muka sembari berkacak pinggang. Jakun lelaki itu naik turun, dan sedetik kemudian Mas Natan mengusap wajah kasar.
"Aku mau ke rumah bapak!" Mas Natan melangkah menuju kamar.
Aku mengekor di belakangnya, untuk melihat apa yang akan ia lakukan. Mas Natan memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam tas. Aku mendengus sebal.
Terakhir kali dia begini, saat kami masih pengantin baru. Kala itu dia memintaku keluar dari tempat kerja. Meninggalkan jabatan Manager Toko, demi fokus mengurus dia dan juga rumah.
Awalnya aku menolak. Gajiku sangat lumayan untuk ukuran daerah tempatku tinggal. Aku digaji 5 juta setiap bulannya. Jika kami sama-sama bekerja, pasti akan lebih cepat memiliki rumah impian. Toh, kami juga masih sama-sama muda, dan memutuskan untuk menunda memiliki momongan.
"Mau di sana berapa lama?" tanyaku dengan suara dingin.
Mas Natan membisu, dia terus sibuk dengan kegiatannya. Tak lama kemudian, Mas Natan mengeluarkan dompetnya. Kulihat dia menghitung beberapa lembar rupiah, lalu mengeluarkannya dari benda berwarna hitam tersebut.
Kalian tahu, apa yang Mas Natan lakukan selanjutnya? Dia melempar uang seratus ribuan itu ke wajahku. Aku hanya bisa terdiam, terbelalak, melihat apa yang Mas Natan lakukan kepadaku.
Bibirku seakan terkunci rapat. Mataku berkaca-kaca merasakan nyeri dalam hati. Kenapa dia tega memperlakukanku seperti ini? Apa maksud suamiku ini? Ternyata dia tega melakukan hal tersebut kepada istrinya sendiri. Perempuan yang harusnya mendapat kasih sayang dan perlakuan lembut darinya.
"Aku tidak jadi mengambil uang belanjamu! Ambil saja semuanya! Dasar mata duitan!" seru Mas Natan kemudian keluar dari kamar dan membanting pintu kasar.
Hatiku seakan diremas. Kakiku seperti kehilangan pijakan. Kini tubuhku merosot ke atas lantai. Aku menangis sejadi-jadinya.
Setelah dua tahun pernikahan, baru kali ini Mas Natan bersikap kasar kepadaku. Dia memang tidak memukulku dengan lengan kokohnya. Namun, kalimat yang barusan ia lontarkan sukses membuat hatiku hancur seketika.
...****************...
[Na, kamu baik-baik saja? Perasaan ibu nggak enak. Udah lama kamu nggak mengunjungi ibu. Ibu mau main ke rumahmu, boleh?]
Aku menatap nanar pesan Whatsapp dari ibu. Sungguh, batin seorang ibu tidak bisa dibohongi. Jariku gemetar ketika membalas pesan dari ibu. Aku enggan menceritakan semuanya.
Sudah dua hari Mas Natan tidak pulang ke rumah. Aku tidak bisa mengijinkan ibu datang, dan mengetahui kondisi rumahtanggaku yang sedang kacau hanya karena seekor burung.
[Aku lagi nginap sama Mas Natan di rumah bapak, Bu.]
Aku mengetik kalimat tersebut dengan cucuran air mata. Pasti di akhirat nanti, aku akan mendapatkan hukuman berat. Para malaikat akan memotong jemariku karena telah mengetikkan suatu kebohongan dengannya.
Tak lama kemudian sebuah panggilan masuk. Ibu meneleponku. Aku menghapus air mata, lalu mengatur napas untuk menghilangkan suaraku yang bergetar karena sisa tangis. Kugeser tombol hijau ke atas, lalu mengucapkan salam.
"Assalamualaikum, Bu."
"Waalaikusalam, kok lama balas pesannya?"
"Ah, tadi Nana ke toilet, Bu. Oh ya, ibu apa kabar?" bohongku.
Ingin sekali rasanya aku menggigit lidahku sendiri sampai putus, karena sudah berani berbohong kepadanya. Suara ibu kembali menyapa pendengaranku.
"Na, kamu baik-baik saja 'kan?"
"Iya, Bu. Nana baik-baik saja."
Aku melangkah keluar rumah, lalu duduk di teras. Aku tertunduk lesu menatap ujung-ujung jari kakiku. Kami terus mengobrol hingga aku melihat sepasang kaki yang kini sudah berada di depanku.
Aku mendongak, dan seketika terbelalak. Bibirku menganga lebar tak bisa berkata-kata lagi. Bibirku gemetar, begitu juga jemariku. Ponselku sampai jatuh ke lantai karena melihat siapa yang ada di hadapanku saat ini.
"Kenapa kamu bohong sama Ibu?" Suara ibu terdengar dingin dan menusuk di telingaku.
"I-ibu datang ke sini sama siapa?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Na, kamu belum jawab pertanyaan Ibu!" bentak ibu, membuatku tersentak.
Aku tertunduk lesu, meremas rok panjang yang membalut tubuh bagian bawah. Ibu berjongkok di depanku. Tatapannya berubah sendu. Ibu meraih jemariku, sehingga aku baru berani menatap matanya.
"Na, kamu ada masalah apa? Cerita sama ibu."
"Kita masuk dulu, ya, Bu? Sudah mulai magrib." Aku meraih ponsel yang masih tergeletak di lantai, lalu masuk ke rumah.
Ibu duduk di sofa, sedangkan aku menuju dapur untuk menyiapkan teh dan juga beberapa camilan. Setelah selesai membuat teh, aku meletakkannya ke atas nampan dan membawanya ke ruang tamu.
Aku bisa melihat dari kejauhan, ibu tampak tak tenang. Beliau memijat pelipis sambil menyandarkan punggung pada sofa. Aku menelan ludah kasar dan kembali melangkah mendekati ibu. Kupindahkan cangkir teh beserta beberapa toples makanan ringan ke meja.
"Diminum, Bu. Tehnya, keburu dingin." Aku berusaha berbicara dengan nada setenang mungkin.
"Makasih." Ibu meraih cangkir, kemudian meniup air teh dan menyesapnya perlahan.
Aku kembali meremas rok. Sudah pasti setelah ini, ibu akan mencecarku dengan berbagai pertanyaan. Ibu meletakkan kembali cangkir teh ke atas meja. Kini tubuh perempuan di hadapanku ini duduk tegak.
"Kenapa kamu bohong sama ibu, Na?"
Aku tidak bisa menjawab, bimbang antara harus berterus terang yang artinya mengungkap aib Mas Natan. Namun, jika berbohong pasti akan lebih sakit hati ketika mengetahui masalah yang aku alami dari orang lain.
Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Kutatap ibu dengan tatapan sendu. Aku memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada beliau.
"Bu, sudah 2 hari ini Mas Natan nggak pulang ke rumah."
"Loh, kenapa?" Ibu terbelalak.
"Karena kami bertengkar." Aku kembali tertunduk lesu, menatap ujung jari kaki.
"Masalahnya apa sampai kalian bisa bertengkar?"
"Gara-gara burung, Bu."
"Burung? Apa dia macam-macam pakai burungnya? Kalau iya, sini biar kupotong sekalian! Biar tahu rasa!" teriak ibu.
"Bukan burung yang ituuu, Bu." Aku sempat terkekeh mendengar dugaan perempuan paruh baya di depanku ini.
"Lalu, burung yang mana?" tanya ibuku sambil melipat lengan di depan dada.
"Jadi, Mas Natan minta ijin buat pelihara burung elang, Bu."
"Oalah ... Hla terus?"
"Nana nggak ijinin, soalnya Mas Natan mau potong uang belanja buat belinya, Bu. Terus Nana mikirnya itu nanti setelah punya burung itu, ngopeni-nya gimana?" Aku kembali menghela napas kasar.
"Ibu tahu, 'kan kalau burung elang itu pemakan daging? Butuh biaya banyak buat kasih makan. Aku pusing mikirinnya, Bu."
"Telepon bojomu itu sekarang! Ibu mau ngomong."
"Iya, Bu."
Aku langsung meraih ponsel yang tergeletak di atas meja, lalu mencari nomor Whatsapp Mas Natan. Kutekan tombol hijau, dan mulai menghubunginya. Tak ada jawaban. Seingatku, hari ini Mas Natan masuk shift malam. Namun, kenapa panggilanku diabaikan?
"Gimana?" tanya ibu.
"Nggak diangkat, Bu." Aku melirik ibu sekilas lalu kembali fokus pada panggilan.
Sudah genap sepuluh kali aku mencoba menelepon Mas Natan. Lelaki itu tidak mengangkatnya sekali pun. Bahkan panggilan terakhirku ditolak. Akhirnya aku memutuskan untuk mengiriminya pesan. Kutulis deretan kata lalu mengirimkannya pada Mas Natan.
[Mas, ibu mau ngomong. Tolong angkat teleponnya]
Sedetik, dua detik, tiga detik, tak ada balasan masuk. Bahkan pesanku hanya dibaca. Sedari tadi status Whatsapp suamiku online. Kepalaku hampir meledak karena sikap Mas Natan.
"Nggak mau balas pesanku, Bu."
Aku melempar kasar ponsel yang pinggir layarnya sedikit retak itu ke atas meja. Kuusap wajah kasar lalu menghempaskan kepala ke pangkuan ibu. Ibu mulai mengusap lembut puncak kepalaku.
"Na, boleh ibu minta sesuatu? Turunkan sedikit egomu. Pikirkan sedikit saja kesenangan suamimu. Toh, cuma burung, Na? Daripada dia hobi main cewek?"
"Iya, sih, Bu. Tapi masalahnya keadaan ekonomi kami itu pas-pasan. Aku nggak bakal mempermasalahkan ini kalau kami hidup berkecukupan."
Kesal sekali rasanya karena ibu malah membela Mas Natan. Namun, ketika dipikir lagi ada benarnya juga apa yang dikatakan ibu. Aku kembali duduk , lalu menyandarkan tubuhku pada ibu.
"Nanti, bilang saja kalau kamu mengijinkannya. Tapi, kasih dia persyaratan. Ngerti 'kan maksud ibu?"
Akhirnya aku menurunkan ego. Aku kembali meraih ponsel dan mengetik pesan untuk Mas Natan. Aku berharap kali ini dia mau membalasku.
[Mas, pulanglah. Kita bicarakan semua baik-baik.]
Aku mendengus kesal kemudian kembali meletakkan ponsel ke atas meja. Malam ini ibu berniat untuk menginap di rumah kontrakanku, dan akan pulang besok pagi. Malam itu kami berbagi cerita mengenai banyak hal.
...****************...
Keesokan harinya, aku terbangun karena suara ketukan pintu. Sudah bisa ditebak siapa yang ada di balik pintu saat ini. Aku turun dari ranjang kemudian melangkah menuju ruang tamu. Ketika membuka pintu, sosok Mas Natan dengan wajah datarnya menyapaku.
"Assalamualaikum," ucapnya dingin.
"Walaikumsalam, Mas." Aku berusaha mengukir senyum hangat di bibir, meski sebenarnya hatiku terasa begitu kesal.
Wajah Mas Natan terlihat begitu masam. Tak ada senyum hangat seperti biasa. Tak ada lagi tegur sapa. Aku kembali menurunkan egoku, dan mencoba membuka percakapan.
"Mas mau mandi dulu atau langsung sarapan?"
"Mandi," jawabnya singkat.
Mas Natan masuk ke kamar dan menutup pintu. Aku mengikat asal rambut dengan karet gelang, bekas nasi bungkus semalam. Kubuka lemari pendingin makanan, dan mengeluarkan sayuran, telur, dan sosis.
Aku akan membuat nasi goreng untuk sarapan kami. Tak lama kemudian, ibu keluar dari kamar tamu. Mata beliau tampak sembab, seperti habis menangis.
"Ibu kenapa? Habis nangis, ya?" tanyaku.
"Nggaklah, Ibu semalam tidur kemalaman jadi masih ngantuk ini. Masak apa? Biar ibu bantu."
"Nggak usah, Bu. Ibu siap-siap saja, tadi Hilda WA kalau bentar lagi nyamperin ke sini."
"Baiklah, Ibu mandi dulu, ya?" Ibu masuk ke kamar mandi, dan aku kembali sibuk dengan urusanku di dapur.
Tiga puluh menit berlalu. Kini kami semua sudah duduk di meja makan, dan menikmati makanan dalam diam. Sampai akhirnya ibu berdeham dua kali.
"Nat, boleh Ibu ngomong sesuatu?"
Mas Natan hanya mengangguk. Aku semakin kesal melihat tingkahnya. Sungguh tidak menghargai ibuku. Bahkan Mas Natan tetap makan tanpa menatap ibu yang sedang berbicara.
"Ibu sudah tahu semuanya dari Yesha. Kamu mau pelihara burung, benar?"
Lagi-lagi Mas Natan hanya mengangguk. Aku meletakkan asal sendok yang kugenggam, hingga terdengar suara dentingan yang lumayan keras. Sontak Mas Natan mendongak dan menatapku tajam.
Aku langsung membuang muka lalu melipat lengan di depan dada. Dari ujung mata, aku bisa melihat Mas Natan meraih segelas air putih dan meneguknya perlahan. Setelah itu dia baru buka suara.
"Iya, aku berniat memelihara burung elang. Rencananya mau kutangkar supaya tidak lekas punah, Bu."
"Itu artinya nanti kamu akan membeli sepasang burung elang?"
"Iya, Bu. Tapi lihat-lihat nantilah."
"Kalau boleh Ibu tahu, apa alasanmu sampai mau memelihara burung elang?"
"Ingin membantu menjaga populasinya, Bu."
Jawaban Mas Natan membuatku tersenyum kecut. Heran saja dengan pemikiran bodoh suamiku ini. Menjaga populasi katanya? Aku rasa itu hanya alibi saja. Bukan begitu cara menjaga populasi hewan langka.
Mengambilnya dari alam, lalu memperjualbelikannya? Astaga kalau ketahuan bisa kena hukum pidana! Apa suamiku tidak menyadari hal ini?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!