Mas Natan terlihat berpikir. Dia saling menggesekkan kedua telapak tangan. Jakun suamiku naik turun. Benar dugaanku, sepertinya Mas Natan ingin mengungkapkan sesuatu yang jelas-jelas tidak akan aku sukai.
Suamiku itu berdeham dua kali. Dia mulai meraih jemariku, kemudian mencium punggung tangan. Mas Natan tersenyum lembut.
"Bulan ini, Mas ambil dari jatah uang belanjamu dulu, ya, Dik? Bulan ini aja, kok."
"Apa?" Aku membulatkan pupil mata.
Istri mana yang tidak terkejut, mendapat kabar bahwa dia harus menerima kenyataan jatah belanjanya dikurangi. Jika saja penyebabnya karena pemotongan gaji, aku bisa memakluminya. Namun, ini penyebabnya hanya karena seekor burung!
Aku menarik napas dalam sembari memejamkan mata. Perlahan kuhembuskan napas, dan mengeluarkan karbondioksisa sisa respirasi dari dalam paru-paruku.
"Mas, sudah memikirkan baik-baik? Uang 2 juta per bulan itu masih mau Mas Natan potong?" Kutatap Mas Natan sedikit tajam.
"Sudah, toh aku baru sekali ini meminta persetujuanmu, Na? Kenapa susah sekali sih, bilang iya?" jawab Mas Natan ketus.
"Mas, bukannya apa-apa ... Aku hanya berpikir bagaimana kedepannya nanti? Bukankah Burung Elang itu pemakan daging? Apa Mas Natan sanggup mengeluarkan biaya lebih untuk itu?"
"Gampang, nanti juga ada rejekinya," jawab Mas Natan enteng.
Aku kembali memejamkan mata. Emosiku sudah sampai di ubun-ubun. Mau meledak rasanya! Aku akhirnya mendengus kesal, dan melepaskan mukena yang menutup tubuh. Aku berjalan cepat keluar dari kamar menuju ruang tengah.
Terdengar derap langkah kaki Mas Natan mengikutiku dari belakang. Aku bersorak dalam hati. Berpikir bahwa Mas Natan mempertimbangkan lagi ucapan terakhirku. Lelaki itu meraih lenganku, dan kini tatapan kami bersiborok. Mas Natan menatapku lembut.
"Boleh, ya? Aku pelihara burung?" Mas Natan tersenyum tipis,
Aku tercengang. Kupikir dia berubah pikiran. Ternyata Mas Natan bermanis-manis agar permintaannya dapat persetujuan dariku. Aku benar-benar melupakan sikap buruk suamiku yang satu ini, egois.
Ya, Mas Natan merupakan lelaki egois jika sudah memiliki suatu keinginan dan niat tertentu. Akhirnya emosiku meledak seketika. Aku mengibaskan lengan Mas Natan kemudian menatapnya tajam.
"Mas, kita saja untuk tiap hari serba pas-pasan! Tapi apa ini? Mas Natan malah meminta ijin mau memelihara burung, yang nantinya membuat pengeluaran kita semakin membengkak!" seruku dengan mata yang mulai memanas, pandanganku mulai kabur karena air mata.
"Suka-suka aku, dong! Uang-uangku sendiri!" Tatapan lembut Mas Natan pun berubah. Kini dia berbicara kepadaku dengan nada tinggi. Sepertinya ingin mengimbangiku yang menolak keinginan konyolnya itu.
"Aku nggak masalah kalau hidup kita berkecukupan! Kamu saja kasih aku uang belanja pas-pasan, kadang kurang! Lalu gimana ke depannya nanti? Mas Natan juga larang aku buat kerja! Kalau pelihara burung ini, apa Mas Natan masih bisa mencukupi kebutuhan rumahtangga kita?"
Tiba-tiba suamiku melayangkan lengannya ke udara. Agaknya dia ingin mendaratkan telapak tangannya ke pipiku. Aku memalingkan wajah sebelum Mas Natan menamparku. Setelah kutunggu beberapa detik, tak sampai juga tamparan itu.
Perlahan aku mengangkat lagi wajah. Mas Natan terlihat memalingkan muka sembari berkacak pinggang. Jakun lelaki itu naik turun, dan sedetik kemudian Mas Natan mengusap wajah kasar.
"Aku mau ke rumah bapak!" Mas Natan melangkah menuju kamar.
Aku mengekor di belakangnya, untuk melihat apa yang akan ia lakukan. Mas Natan memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam tas. Aku mendengus sebal.
Terakhir kali dia begini, saat kami masih pengantin baru. Kala itu dia memintaku keluar dari tempat kerja. Meninggalkan jabatan Manager Toko, demi fokus mengurus dia dan juga rumah.
Awalnya aku menolak. Gajiku sangat lumayan untuk ukuran daerah tempatku tinggal. Aku digaji 5 juta setiap bulannya. Jika kami sama-sama bekerja, pasti akan lebih cepat memiliki rumah impian. Toh, kami juga masih sama-sama muda, dan memutuskan untuk menunda memiliki momongan.
"Mau di sana berapa lama?" tanyaku dengan suara dingin.
Mas Natan membisu, dia terus sibuk dengan kegiatannya. Tak lama kemudian, Mas Natan mengeluarkan dompetnya. Kulihat dia menghitung beberapa lembar rupiah, lalu mengeluarkannya dari benda berwarna hitam tersebut.
Kalian tahu, apa yang Mas Natan lakukan selanjutnya? Dia melempar uang seratus ribuan itu ke wajahku. Aku hanya bisa terdiam, terbelalak, melihat apa yang Mas Natan lakukan kepadaku.
Bibirku seakan terkunci rapat. Mataku berkaca-kaca merasakan nyeri dalam hati. Kenapa dia tega memperlakukanku seperti ini? Apa maksud suamiku ini? Ternyata dia tega melakukan hal tersebut kepada istrinya sendiri. Perempuan yang harusnya mendapat kasih sayang dan perlakuan lembut darinya.
"Aku tidak jadi mengambil uang belanjamu! Ambil saja semuanya! Dasar mata duitan!" seru Mas Natan kemudian keluar dari kamar dan membanting pintu kasar.
Hatiku seakan diremas. Kakiku seperti kehilangan pijakan. Kini tubuhku merosot ke atas lantai. Aku menangis sejadi-jadinya.
Setelah dua tahun pernikahan, baru kali ini Mas Natan bersikap kasar kepadaku. Dia memang tidak memukulku dengan lengan kokohnya. Namun, kalimat yang barusan ia lontarkan sukses membuat hatiku hancur seketika.
...****************...
[Na, kamu baik-baik saja? Perasaan ibu nggak enak. Udah lama kamu nggak mengunjungi ibu. Ibu mau main ke rumahmu, boleh?]
Aku menatap nanar pesan Whatsapp dari ibu. Sungguh, batin seorang ibu tidak bisa dibohongi. Jariku gemetar ketika membalas pesan dari ibu. Aku enggan menceritakan semuanya.
Sudah dua hari Mas Natan tidak pulang ke rumah. Aku tidak bisa mengijinkan ibu datang, dan mengetahui kondisi rumahtanggaku yang sedang kacau hanya karena seekor burung.
[Aku lagi nginap sama Mas Natan di rumah bapak, Bu.]
Aku mengetik kalimat tersebut dengan cucuran air mata. Pasti di akhirat nanti, aku akan mendapatkan hukuman berat. Para malaikat akan memotong jemariku karena telah mengetikkan suatu kebohongan dengannya.
Tak lama kemudian sebuah panggilan masuk. Ibu meneleponku. Aku menghapus air mata, lalu mengatur napas untuk menghilangkan suaraku yang bergetar karena sisa tangis. Kugeser tombol hijau ke atas, lalu mengucapkan salam.
"Assalamualaikum, Bu."
"Waalaikusalam, kok lama balas pesannya?"
"Ah, tadi Nana ke toilet, Bu. Oh ya, ibu apa kabar?" bohongku.
Ingin sekali rasanya aku menggigit lidahku sendiri sampai putus, karena sudah berani berbohong kepadanya. Suara ibu kembali menyapa pendengaranku.
"Na, kamu baik-baik saja 'kan?"
"Iya, Bu. Nana baik-baik saja."
Aku melangkah keluar rumah, lalu duduk di teras. Aku tertunduk lesu menatap ujung-ujung jari kakiku. Kami terus mengobrol hingga aku melihat sepasang kaki yang kini sudah berada di depanku.
Aku mendongak, dan seketika terbelalak. Bibirku menganga lebar tak bisa berkata-kata lagi. Bibirku gemetar, begitu juga jemariku. Ponselku sampai jatuh ke lantai karena melihat siapa yang ada di hadapanku saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Ziepur _ Bae
siapa ya... sampai handphone nya jatuh.... aduh sayang banget itu Nana ...
buat othor semangat ya...💪💪💪💪💪
2022-08-03
1
Ainisha_Shanti
siapakah gerangan pemilik kaki itu, apakah itu Cincin ibunya Nana?
2022-08-03
2
Ainisha_Shanti
nasib baik mas Nathan tak suruh kau Nana hantar dia balik rumah mak bapa nya 😂😂😂
2022-08-03
1