Bab 7. Ketika Semuanya Hampir Baik-baik Saja

Aku langsung melangkah masuk ke kamar. Kubuka laci meja rias, lalu mengeluarkan sebuah buku tebal dengan sampul bermotif batik. Selain itu, aku juga meraih sekumpulan nota dan struk yang sudah kustaples jadi satu.

Aku kembali ke ruang tamu dan menghampiri Mas Natan. Kutatap tajam lelaki yang sebenarnya sangat aku cintai ini. Kulempar kasar buku serta nota tersebut ke arah Mas Natan.

Keduanya mendarat tepat di atas pangkuan Mas Natan. Lelaki itu memalingkan wajah sambil melipat lengan di depan dada. Aku mendekat lalu duduk di sampingnya.

"Apa perlu aku bacakan semua pengeluaran selama dua tahun terakhir? Aku mencatat semua pengeluaran dan nota kukumpulkan jadi satu!"

Mas Natan bungkam. Tidak mau menyentuh buku dan ratusan lembar nota serta struk tersebut. Aku mengusap wajah kasar, kemudian menatap tajam ke arah Mas Natan.

"Mas, uang 2 juta itu kamu pikir udah banyak? Air PAM, listrik, air galon, gas, sembako, lauk pauk itu semua beli dan bayar pake uang, Mas!"

"Aku memang istri yang boros untuk masa depan kita, Mas! Setiap bulan aku menyisihkan 500 ribu dari uang yang mas berikan. Apa Mas nggak pernah berpikir ke arah sana?" Dadaku kembang-kempis menahan amarah dan rasa sedih di waktu yang bersamaan.

"Apa Mas Natan nggak mikir kalau tahun depan kita harus mulai membayar uang kontrakan sendiri? Uang dari mana, Mas? Kalau kita nggak ngumpulin semuanya dari sekarang?"

Pertahananku runtuh. Akhirnya, aku menenggelamkan wajah ke dalam kedua telapak tangan. Bulir bening mulai bercucuran membasahi pipiku, dengan hati yang seakan diremas. Nyeri.

Tak lama kemudian, aku merasakan jemari Mas Natan menarik lengan, lalu memelukku. "Maaf, Dik. Maaf sudah buat kamu nangis. Mas minta maaf, ya? Lain kali Mas nggak akan nanyain lagi soal uang belanja ke kamu. Maaf karena sudah menudingmu boros."

"M-mas, A-adik bahkan sekarang rela nggak rawat diri, nggak ke salon, nggak beli skincare, beli kosmetik yang harga murah, demi memikirkan kelak ke depannya nanti. Malu aku Mas, setiap tahun masih ngrepotin ibu sama Bulik Ontin!"

"Iya, maaf. Mas salah."

Pelukan Mas Natan bisa menenangkanku malam itu, walaupun hanya sedikit. Aku harap setelah ini dia tidak lagi mengungkit masalah uang belanja. Aku merasa diperlakukan layaknya seorang pencuri.

Dituduh melakukan hal yang sama sekali tidak aku lakukan. Rasanya begitu menyakitkan. Aku meluapkan seluruh kekecewaan beriringan dengan air mata yang tumpah membasahi wajah.

...****************...

Sebulan berlalu, kehidupan kami berlanjut seperti biasanya. Ada hikmahnya juga Mas Natan membeli burung. Aku jadi memiliki kegiatan untuk mengisi waktu luang.

"Winter, White, kalian sudah lapar, ya? Nih, Emak kasih camilan," ucapku sambil menyodorkan segenggam biji bunga matahari kepada kedua hamster itu.

Aku tersenyum lebar melihat makhluk kecil ini berebut makanan. Keduanya seperti anak kecil di mataku. Setelah selesai memberi makan hamster, aku melangkah ke dapur untuk mengambil ikan lele.

Kubuka pintu lemari es, lalu mengambil dua ekor kecil ikan lele dan memotongnya menjadi beberapa bagian. Namun, tiba-tiba perutku bergejolak. Aku langsung berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan semua isi perut.

Keringat dingin mulai mengucur membasahi dahi. Lemas sekali rasanya. Aku kembali mengumpulkan kekuatan untuk sekedar berdiri. Kulangkahkan kaki keluar dari kamar mandi.

"Aduh, lemes banget."

Aku terus berjalan menuju ke dapur, sambil bertumpu pada dinding. Sesampainya di dapur, saat melihat potongan ikan lele rasa mual kembali menghampiri. Aku kembali memuntahkan isi perutku.

Kali ini lantai dapur kotor karena isi perutku. Kakiku gemetar begitu juga dengan tangan. Kepalaku seakan berputar dengan pandangan yang mulai kabur.

"Duh, aku kenapa?" Badanku limbung, lalu semua berubah menjadi gelap.

...****************...

Suara Mas Natan berhasil membuat kesadaranku pulih. Nada bicaranya terdengar begitu khawatir. Aku ingin sekali membuka mata, tetapi rasanya begitu berat.

"Dik, Na ... bangun, Na!"

Aku merasa pipiku ditepuk lembut. Aroma minyak kayu putih kini tercium kuat olehku. Bagian antara hidung dan bibirku terasa sedikit perih dan panas.

"Mas ...," ucapku lirih kemudian perlahan mencoba membuka mata.

Saat mataku terbuka lebar, Mas Natan terlihat begitu panik. Tubuhku kini sudah berada di atas ranjang. Aku berusaha untuk bangun dan duduk bersandar pada dinding. Mas Natan membantuku dengan sabar.

"Kamu kenapa, Dik?" tanya Mas Natan khawatir.

"Pusing, mual, Mas. Kok Mas Natan udah pulang?" tanyaku sembari memijat pelipis.

"Ini udah jam 3, Dik. Memangnya kamu terakhir sadar jam berapa?"

"Jam 2-an, Mas."

"Duh, kita ke dokter sekarang! Masa pingsan lama bener! Kamu pingsan apa ketiduran tadi?" tanya Mas Natan sambil sedikit tersenyum jahil.

"Ih, Mas Natan! Masa iya, Nana tiduran di dapur?" Aku mengerucutkan bibir sembari melipat lengan di depan dada.

Sontak Mas Natan terkekeh. Lelaki itu merengkuh tubuhku kemudian mengecup puncak kepalaku. Setelah itu, dia melepaskan pelukan dan membingkai wajahku dengan kedua telapak tangannya.

"Yuk, kita ke dokter. Mas bersihin dulu bekas muntahanmu. Kamu siap-siap, ya?"

Aku mengangguk, kemudian Mas Natan keluar kamar. Aku mulai bersiap berganti pakaian, dan menutup kepalaku dengan jilbab pasmina berwarna hitam.

Setelah selesai, aku melangkah keluar kamar. Mas Natan sudah tidak ada di dapur. Lantai ruangan itu juga sudah bersih.

Aku melangkah keluar rumah, ternyata Mas Natan sedang duduk sambil tertunduk lesu di depan kandang Kaja (burung elang peliharaan kami). Sontak aku mengerutkan dahi. Ketika semakin dekat dengan Mas Natan, aku langsung terbelalak.

Kaja terkulai lemah dengan mata yang terlihat sayu. Burung yang baru genap sebulan kami pelihara itu lemas. Aku mendekati Mas Natan, kemudian duduk di sampingnya.

"Mas, Kaja kenapa?" Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku.

Walaupun di awal aku menentang Mas Natan yang ingin memelihara burung, tetapi seiring berjalannya waktu aku sungguh menyayangi Kaja. Terlebih lagi, lebih banyak aku yang mengurusnya daripada Mas Natan. Aku yang memberinya makan, dan membersihkan kandangnya.

"Kamu apakan dia?" tanya Mas Natan tanpa menatapku.

Suara suamiku itu terdengar sedikit bergetar. Sepertinya dia tengah menahan tangis. Tak lama kemudian, Mas Natan berdiri sambil menggendong Kaja yang terkulai lemas.

"Kamu apakan Kaja!" bentak Mas Natan.

Sakit sekali rasanya mendengar Mas Natan membentakku seperti itu. Mataku berkabut karena air mata. Aku tak melakukan hal buruk pada Kaja, tetapi kenapa Mas Natan memarahiku? Aku ikut berdiri lalu menatap sedih ke arah Mas Natan dan juga Kaja.

"Maksud Mas Natan apa? Adik nggak ngapa-ngapain Kaja."

"Kamu sengaja buat dia seperti ini, 'kan! Kamu sengaja nggak kasih makan dia dan sekarang dia lemas seperti ini!" tuduh Mas Natan.

Hatiku seakan terbakar. Air mataku mulai lolos membasahi pipi. Rasa sesak kini memenuhi dadaku. Tega sekali Mas Natan mengatakan hal itu.

Padahal setiap hari aku rajin memberinya makan, membersihkan kandangnya, mengganti air minumnya ketika kotor. Bahkan rasa sayangku pada Kaja mulai tumbuh. Apa maksud Mas Natan mengatakan hal itu?

Terpopuler

Comments

tata 💕

tata 💕

emosi aku sm natan 😠

2022-08-17

0

Ziepur _ Bae

Ziepur _ Bae

lah si Natan gimana sin. karang pingsan mana bisa kasih makan...😡
lanjut thor .

2022-08-08

1

Iraisa Raisa

Iraisa Raisa

sebanyaknya konflik rumah tangga baru ini aku baca tentang peliharaan ada lucunya, jengkel,

2022-08-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!