Bab 3. Sidang Pagi

"Kenapa kamu bohong sama Ibu?" Suara ibu terdengar dingin dan menusuk di telingaku.

"I-ibu datang ke sini sama siapa?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Na, kamu belum jawab pertanyaan Ibu!" bentak ibu, membuatku tersentak.

Aku tertunduk lesu, meremas rok panjang yang membalut tubuh bagian bawah. Ibu berjongkok di depanku. Tatapannya berubah sendu. Ibu meraih jemariku, sehingga aku baru berani menatap matanya.

"Na, kamu ada masalah apa? Cerita sama ibu."

"Kita masuk dulu, ya, Bu? Sudah mulai magrib." Aku meraih ponsel yang masih tergeletak di lantai, lalu masuk ke rumah.

Ibu duduk di sofa, sedangkan aku menuju dapur untuk menyiapkan teh dan juga beberapa camilan. Setelah selesai membuat teh, aku meletakkannya ke atas nampan dan membawanya ke ruang tamu.

Aku bisa melihat dari kejauhan, ibu tampak tak tenang. Beliau memijat pelipis sambil menyandarkan punggung pada sofa. Aku menelan ludah kasar dan kembali melangkah mendekati ibu. Kupindahkan cangkir teh beserta beberapa toples makanan ringan ke meja.

"Diminum, Bu. Tehnya, keburu dingin." Aku berusaha berbicara dengan nada setenang mungkin.

"Makasih." Ibu meraih cangkir, kemudian meniup air teh dan menyesapnya perlahan.

Aku kembali meremas rok. Sudah pasti setelah ini, ibu akan mencecarku dengan berbagai pertanyaan. Ibu meletakkan kembali cangkir teh ke atas meja. Kini tubuh perempuan di hadapanku ini duduk tegak.

"Kenapa kamu bohong sama ibu, Na?"

Aku tidak bisa menjawab, bimbang antara harus berterus terang yang artinya mengungkap aib Mas Natan. Namun, jika berbohong pasti akan lebih sakit hati ketika mengetahui masalah yang aku alami dari orang lain.

Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Kutatap ibu dengan tatapan sendu. Aku memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada beliau.

"Bu, sudah 2 hari ini Mas Natan nggak pulang ke rumah."

"Loh, kenapa?" Ibu terbelalak.

"Karena kami bertengkar." Aku kembali tertunduk lesu, menatap ujung jari kaki.

"Masalahnya apa sampai kalian bisa bertengkar?"

"Gara-gara burung, Bu."

"Burung? Apa dia macam-macam pakai burungnya? Kalau iya, sini biar kupotong sekalian! Biar tahu rasa!" teriak ibu.

"Bukan burung yang ituuu, Bu." Aku sempat terkekeh mendengar dugaan perempuan paruh baya di depanku ini.

"Lalu, burung yang mana?" tanya ibuku sambil melipat lengan di depan dada.

"Jadi, Mas Natan minta ijin buat pelihara burung elang, Bu."

"Oalah ... Hla terus?"

"Nana nggak ijinin, soalnya Mas Natan mau potong uang belanja buat belinya, Bu. Terus Nana mikirnya itu nanti setelah punya burung itu, ngopeni-nya gimana?" Aku kembali menghela napas kasar.

"Ibu tahu, 'kan kalau burung elang itu pemakan daging? Butuh biaya banyak buat kasih makan. Aku pusing mikirinnya, Bu."

"Telepon bojomu itu sekarang! Ibu mau ngomong."

"Iya, Bu."

Aku langsung meraih ponsel yang tergeletak di atas meja, lalu mencari nomor Whatsapp Mas Natan. Kutekan tombol hijau, dan mulai menghubunginya. Tak ada jawaban. Seingatku, hari ini Mas Natan masuk shift malam. Namun, kenapa panggilanku diabaikan?

"Gimana?" tanya ibu.

"Nggak diangkat, Bu." Aku melirik ibu sekilas lalu kembali fokus pada panggilan.

Sudah genap sepuluh kali aku mencoba menelepon Mas Natan. Lelaki itu tidak mengangkatnya sekali pun. Bahkan panggilan terakhirku ditolak. Akhirnya aku memutuskan untuk mengiriminya pesan. Kutulis deretan kata lalu mengirimkannya pada Mas Natan.

[Mas, ibu mau ngomong. Tolong angkat teleponnya]

Sedetik, dua detik, tiga detik, tak ada balasan masuk. Bahkan pesanku hanya dibaca. Sedari tadi status Whatsapp suamiku online. Kepalaku hampir meledak karena sikap Mas Natan.

"Nggak mau balas pesanku, Bu."

Aku melempar kasar ponsel yang pinggir layarnya sedikit retak itu ke atas meja. Kuusap wajah kasar lalu menghempaskan kepala ke pangkuan ibu. Ibu mulai mengusap lembut puncak kepalaku.

"Na, boleh ibu minta sesuatu? Turunkan sedikit egomu. Pikirkan sedikit saja kesenangan suamimu. Toh, cuma burung, Na? Daripada dia hobi main cewek?"

"Iya, sih, Bu. Tapi masalahnya keadaan ekonomi kami itu pas-pasan. Aku nggak bakal mempermasalahkan ini kalau kami hidup berkecukupan."

Kesal sekali rasanya karena ibu malah membela Mas Natan. Namun, ketika dipikir lagi ada benarnya juga apa yang dikatakan ibu. Aku kembali duduk , lalu menyandarkan tubuhku pada ibu.

"Nanti, bilang saja kalau kamu mengijinkannya. Tapi, kasih dia persyaratan. Ngerti 'kan maksud ibu?"

Akhirnya aku menurunkan ego. Aku kembali meraih ponsel dan mengetik pesan untuk Mas Natan. Aku berharap kali ini dia mau membalasku.

[Mas, pulanglah. Kita bicarakan semua baik-baik.]

Aku mendengus kesal kemudian kembali meletakkan ponsel ke atas meja. Malam ini ibu berniat untuk menginap di rumah kontrakanku, dan akan pulang besok pagi. Malam itu kami berbagi cerita mengenai banyak hal.

...****************...

Keesokan harinya, aku terbangun karena suara ketukan pintu. Sudah bisa ditebak siapa yang ada di balik pintu saat ini. Aku turun dari ranjang kemudian melangkah menuju ruang tamu. Ketika membuka pintu, sosok Mas Natan dengan wajah datarnya menyapaku.

"Assalamualaikum," ucapnya dingin.

"Walaikumsalam, Mas." Aku berusaha mengukir senyum hangat di bibir, meski sebenarnya hatiku terasa begitu kesal.

Wajah Mas Natan terlihat begitu masam. Tak ada senyum hangat seperti biasa. Tak ada lagi tegur sapa. Aku kembali menurunkan egoku, dan mencoba membuka percakapan.

"Mas mau mandi dulu atau langsung sarapan?"

"Mandi," jawabnya singkat.

Mas Natan masuk ke kamar dan menutup pintu. Aku mengikat asal rambut dengan karet gelang, bekas nasi bungkus semalam. Kubuka lemari pendingin makanan, dan mengeluarkan sayuran, telur, dan sosis.

Aku akan membuat nasi goreng untuk sarapan kami. Tak lama kemudian, ibu keluar dari kamar tamu. Mata beliau tampak sembab, seperti habis menangis.

"Ibu kenapa? Habis nangis, ya?" tanyaku.

"Nggaklah, Ibu semalam tidur kemalaman jadi masih ngantuk ini. Masak apa? Biar ibu bantu."

"Nggak usah, Bu. Ibu siap-siap saja, tadi Hilda WA kalau bentar lagi nyamperin ke sini."

"Baiklah, Ibu mandi dulu, ya?" Ibu masuk ke kamar mandi, dan aku kembali sibuk dengan urusanku di dapur.

Tiga puluh menit berlalu. Kini kami semua sudah duduk di meja makan, dan menikmati makanan dalam diam. Sampai akhirnya ibu berdeham dua kali.

"Nat, boleh Ibu ngomong sesuatu?"

Mas Natan hanya mengangguk. Aku semakin kesal melihat tingkahnya. Sungguh tidak menghargai ibuku. Bahkan Mas Natan tetap makan tanpa menatap ibu yang sedang berbicara.

"Ibu sudah tahu semuanya dari Yesha. Kamu mau pelihara burung, benar?"

Lagi-lagi Mas Natan hanya mengangguk. Aku meletakkan asal sendok yang kugenggam, hingga terdengar suara dentingan yang lumayan keras. Sontak Mas Natan mendongak dan menatapku tajam.

Aku langsung membuang muka lalu melipat lengan di depan dada. Dari ujung mata, aku bisa melihat Mas Natan meraih segelas air putih dan meneguknya perlahan. Setelah itu dia baru buka suara.

"Iya, aku berniat memelihara burung elang. Rencananya mau kutangkar supaya tidak lekas punah, Bu."

"Itu artinya nanti kamu akan membeli sepasang burung elang?"

"Iya, Bu. Tapi lihat-lihat nantilah."

"Kalau boleh Ibu tahu, apa alasanmu sampai mau memelihara burung elang?"

"Ingin membantu menjaga populasinya, Bu."

Jawaban Mas Natan membuatku tersenyum kecut. Heran saja dengan pemikiran bodoh suamiku ini. Menjaga populasi katanya? Aku rasa itu hanya alibi saja. Bukan begitu cara menjaga populasi hewan langka.

Mengambilnya dari alam, lalu memperjualbelikannya? Astaga kalau ketahuan bisa kena hukum pidana! Apa suamiku tidak menyadari hal ini?

Terpopuler

Comments

Ainisha_Shanti

Ainisha_Shanti

hobi Nathan memang meresahkan

2022-08-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!