Bab 4. Pasar Hewan

Aku menatap sebal Mas Natan. Lelaki di hadapanku ini, sedang tersenyum lebar karena mendapat apa yang ia mau. Setelah kami bahas bersama tadi pagi, aku kembali harus mengalah.

Suamiku tetap meminta uang belanjaku bulan ini untuk membeli burung elang. Akan tetapi, aku hanya mau memberinya 200 ribu. Dia menyetujuinya dan kami berdamai.

"Makasih, ya, Dik." Mas Natan tersenyum lebar, dan berhasil membuatku luluh.

Ah, sebodoh inikah aku karena cinta? Se-bucin inikah aku? Aku benar-benar membenci diriku yang seperti ini. Harus menekan egoku sendiri demi menyenangkan orang lain.

Namun, bukankah suamiku itu bukan orang lain? Toh, dia sudah berjanji untuk tidak mengambil uang belanjaku kedepannya. Aku akan mempertaruhkan jiwa dan raga untuk mendapatkan hakku agar tetap utuh.

"Jadi, kapan Mas ambil burungnya?"

"Nanti sore, Dik. Diantar ke sini kok sama Gatot."

"Mas istirahat dulu, gih." Aku mau bersih-bersih. Aku beranjak dari sofa dan melangkah menuju dapur. Berniat membereskan perabot dan peralatan makan.

Sebelum mulai mengerjakan semua, aku meraih gelas dari rak dan mengisinya dengan air putih. Aku berharap bisa melarutkan seluruh kekecewaanku bersama air yang kutelan.

Setelah selesai mengerjaan pekerjaanku di dapur, aku masuk ke kamar. Kulihat Mas Natan sudah terlelap dengan dengkuran yang lumayan keras. Suara dengkuran yang telah menghilang itu kembali.

Namun, rasanya aku begitu kesal dengannya. Kenapa masih sulit melupakan keegoisan Mas Natan dua hari lalu? Kalimat yang ia ucapkan terakhir kali, masih terngiang jelas di telingaku. Mata duitan? Aku mata duitan?

Kurasa bukan mata duitan namanya, aku hanya ingin uang bulananaku tidak dikurangi untuk hal lain yang tidak penting. Rasanya tidak rela saja. Aku dengan senang hati akan memberikan uang itu untuk kebutuhan mendesak, untuk biasa berobat atau servis motor misalnya.

Aku tersenyum miring kemudian kembali beranjak meraih kenop pintu kamar mandi. Kubersihkan diri dari keringat dengan mengguyur air yang masih terasa dingin. Ketika selesau mandi, terdengar suara pintu kamar mandi diketuk.

Aku bergegas mengeringkan tubuh dengan handuk, lalu keluar dari kamar mandi. Mas Natan tersenyum lebar sambil menatapku lembut. Sontak aku mengerutkan dahi, karena heran dengan tingkah suamiku ini.

Perasaan baru saja Mas Natan terlelap, tetapi kenapa sekarang tampak begitu segar? Aku keluar dari kamar mandi, lalu menutup kembali pintunya.

"Ada apa, Mas?" tanyaku heran.

"Mau ikut Mas, nggak?"

"Ke mana?" tanyaku sembari terus melangkah menuju lemari.

Terdengar suara langkah kaki Mas Natan yang mengikutiku. Ketika sampai di depan lemari, dia memeluk dari belakang dan menyandarkan dagunya pada bahuku. Pasti dia kembali akan meminta sesuatu.

"Temenin Mas beli kandang, mau?" tanya Mas Natan sambil tersenyum lebar.

Aku bisa melihatnya dari pantulan cermin lemari senyum manisnya itu. Akhirnya aku mengangguk dan melepaskan diri dari pelukan Mas Natan. Aku merangkum wajah tampannya, kemudian ikut tersenyum lembut.

"Mas, jangan lupa dengan persyaratan yang aku ajukan. Aku memperbolehkanmu memelihara elang tapi dengan syarat, tidak mengurangi jatah belanja."

"Iya, Sayang. Kamu tenang saja. Kalau perlu, Mas bakalan ngojek buat tambahan pemasukan."

Kalimat terakhir Mas Natan membuatku tersentuh, sekaligus sedikit sebal. Tersentuh karena dia akan berjuang lebih untuk mendapatkan uang tambahan, tetapi kesal sebab uang tersebut digunakan untuk keperluan burung yang akan ia pelihara.

Coba kalau dia seperti itu dari dulu! Mungkin sekarang kami bisa mengambil KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Namun, aku berusaha menepiskan dan mengesampingkan pikiran itu. Aku harus sedikit lebih bersabar menghadapi Mas Natan. Siapa tahu setelah ini akan ada banyak hal baik yang terjadi di dalam rumahtangga kami?

...****************...

Suasana riuh Pasar Burung Depok menyapa kami siang itu. Kios-kios yang menjual berbagai macam burung dan juga kandang berjajar di pasar dua lantai tersebut.

Aku dan Mas Natan saling menautkan jemari sembari melihat-lihat kios yang menjual sangkar burung. Tiga puluh menit berlalu, tetapi Mas Natan belum menemukan kandang yang ia cari.

"Mas, aku capek," rengekku kemudian berjongkok di depan sebuah kios yang menjual berbagai macam hamster.

"Kamu tunggu di sini, nanti Mas balik lagi ke sini. Mas mau lihat di lantai atas."

"Jangan lama-lama ya, Mas?"

Mas Natan tersenyum tipis lalu mulai menaiki anak tangga. Aku terus memerhatikan suamiku hingga tubuhnya tak lagi terlihat pandangan. Tak lama setelah Mas Natan pergi, seorang lelaki menghampiriku. Wajahnya terlihat begitu garang dengan kumis tebal dan juga tato di sekujur lengannya.

Aku menelan ludah berkali-kali karena berpikir lelaki itu akan memalakku. Lelaki itu terus mendekat. Ketika tepat berada di depanku, tiba-tiba dia menyodorkan sesuatu. Aku langsung menunduk ketakutan.

"Ampun, Mas! Aku lupa nggak bawa dompet. Nggak punya apapun yang bisa dipalak!" seruku sembari terus menunduk dan menangkupkan kedua telapak tangan di atas kepala.

"Ha? Itu ... saya cuma mau menawari Mbak e ini, loh!"

Perlahan aku mengangkat wajah. Lelaki itu menunjukkan seekor hamster kecil berwarna putih. Hewan pengerat itu tampak begitu lucu, sekan mengeluarkan sihir sehingga membuatku terpana.

"Murah Mbak, 23 ribu aja!"

Aku berdiri tegak, lalu menatap sang penjual. Benar-benar di luar dugaan! Lelaki berpenampilan garang itu auranya langsung berubah ketika tersenyum dan berbicara. Dia terlihat begitu baik dan bersahabat.

"Sebentar, ya, Mas? Aku ijin suamiku dulu, boleh nggak." Aku tersenyum manis.

"Iya, Mbak. Boleh lihat-lihat dulu, mari!"

Lelaki itu tersenyum ramah dan menggiringku masuk ke kios. Di dalam kios ada berbagai macam hewan pengerat. Tak hanya hamster, dia juga menjual kelinci dan chinchilla.

"Yang ini ... harganya berapa, Mas?" Aku menunjuk sepasang chinchilla yang sedang terdiam sambil menatapku di dalam kandang.

Chinchilla itu memiliki tubuh seperti kelinci, tetapi telinganya lebih bulat dan lebar layaknya tikus. Ekor binatang lucu itu lebih panjang dari kelinci pada umumnya, dengan bulu super lebat dan halus. Kulihat penjual menggaruk kepalanya.

"Chinchilla itu harganya umayan mahal, Mbak." Lelaki itu tersenyum canggung.

"Iya, Mas. Tanya dulu, siapa tau nanti punya rejeki lebih buat pelihara dia."

"Yang itu harganya 8 juta seekornya. Kalau mau beli sepasang, bolehlah kukasih potongan harga. Jadi 15 juta saja."

"Li-lima belas juta?" tanyaku tergagap sambil terbelalak.

Bibirku menganga lebar, yang benar saja hewan pengerat mirip tikus ini memiliki harga selangit! Bisa untuk membeli 1 unit motor Honda Beat! Kalau ada uang segitu, mending buat tambah uang muka kredit perumahan!

"Beli aja, Dik."

Sontak aku terbelalak mendengar ucapan Mas Natan. Aku berdiri tegap kemudian balik badan. Aku menatap tak percaya pada suamiku itu. Tidak menyangka saja, dia memberiku ijin membeli hewan mahal tersebut. Senang sekali rasanya, tapu pastinya aku tidak akan se-gila itu. Membeli seekor hewan pengerat dengan harga super mahal.

Terpopuler

Comments

Ainisha_Shanti

Ainisha_Shanti

biar betul c Nathan tu? berlagak kaya apa dia tu?

2022-08-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!