Bab 5. Kebohongan Mas Natan

Aku menatap heran Mas Natan setelah mendengar ucapannya. Aku tak menyangka dia mengijinkanku membeli chinchilla dengan harga di luar akal sehatku itu. Apa karena aku juga mengijinkannya untuk memelihara burung?

"Beneran, Mas?" tanyaku kembali memastikan ucapan Mas Natan.

"Iya, beli aja kalau kamu mau hamster! Hamsternya, loh, ya? Bukan chinchillanya." Mas Natan tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan gigi putihnya.

Aku tersenyum geli. Ternyata aku terlalu percaya diri. Mas Natan ternyata masih punya akal sehat. Kupikir dia akan memaksaku membeli seekor chinchilla hanya karena aku suka.

"Boleh, aku pelihara, Mas?" tanyaku penuh harap.

"Boleh, asalkan tanggungjawab. Siapa tahu dari pelihara hamster, nanti Allah jadi yakin buat memberi kita keturunan."

Ah, aku meleleh mendengar ucapan Mas Natan. Manis sekali ucapannya, sehingga membuatku melupakan kekesalanku beberapa jam yang lalu. Setelah menyelesaikan pembayaran, aku menenteng kandang dengan sepasang hamster itu menuju motor.

Akhirnya aku membawa pulang dua ekor hamster winter white shapire. Mas Natan pun mendapatkan apa yang ia mau. Seorang lelaki yang tadi menjual sangkar mengikuti kami dari belakang dengan sebuah mobil pickup. Ukuran kandang elang itu tidak bisa dibawa dengan motor, jadi si penjual menawarkan untuk mengantarnya dengan mengganti ongkos bensin saja.

Sesampainya di rumah, Mas Natan meminta si penjual untuk meletakkan kandang besar itu di teras rumah. Suamiku itu menatap bahagia sangkar yang masih kosong tersebut. Aku tersenyum sekilas, lalu masuk ke rumah dan meletakkan kandang hamster di meja ruang tamu.

Tak lupa aku menuangkan biji bunga matahari ke tempat pakan, dan juga mengisi tempat minumnya dengan air galon. Aku tersenyum melihat tingkah gemas dua hamster, yang sedang sibuk memakan biji bunga matahari. Makhluk kecil itu berdiri sambil menatapku, ketika menikmati makanannya.

Saat sedang asyik memerhatikan dua hewan tersebut, Mas Natan memanggilku dari teras dengan suara lantang. "Dik, tolong bikinin kopi, ya!"

Aku kembali melangkah keluar ruang tamu. Ternyata Mas Gatot (teman suamiku) sudah sampai sambil membawa seekor burung elang yang nantinya akan dipelihara Mas Natan. Aku tersenyum ramah sambil mengangguk.

"Iya," kataku kemudian kembali ke dalam, dan berjalan menuju dapur.

Setelah selesai membuat dua cangkir kopi, aku kembali ke teras dan menyajikannya ke atas meja. Selain kopi, aku juga meletakkan dua toples makanan ringan dan beberapa bolu pandan untuk teman ngopi suamiku dan Mas Gatot.

"Monggo, Mas, diminum. Maaf seadanya, ya?"

"Iya, Na. Makasih."

Aku masuk ke ruang tamu, kemudian kembali sibuk memerhatikan dua hamster yang baru saja kubeli. Sesekali kudengar suamiku dan Mas Gatot berbincang ringan mengenai burung tersebut. Sampai akhirnya suara keduanya menghilang.

Aku mendadak mengerutkan dahi dan juga menajamkan pendengaran. Sayup kudengar mereka mengobrol dengan suara setengah berbisik.

"Duitnya besok aku transfer, ya? 1,2 juta, 'kan? Ini yang dua ratus ribu. Sisanya besok."

Astaga, aku kembali dibuat hampir meledak karena kebohongan suamiku. Burung itu ternyata semahal itu! Sumpah, rasanya ingin kucakar wajah Mas Natan detik itu juga. Namun, aku berusaha menahan diri.

Kuatur napas agar emosiku tak meledak. Aku terus mendengarkan percakapan keduanya sambil berpura-pura main game dan memasang earphone pada telingaku.

Satu lagi fakta mengejutkan yang kuketahui. Mungkin mereka mengira aku benar-benar sedang mendengarkan musik. Kini Mas Natan dan Gatot berbicara lumayan keras.

"Jadi selama ini kamu nggak bilang kalau gaji plus uang lemburmu naik?" tanya Gatot.

"Nggaklah! Istriku mata duitan, Bro! Kalau aku kasih tahu berapa gajiku sebenarnya, bisa foya-foya dia. Boros banget orangnya! Masa sebulan kukasih 2 juta selalu habis tak bersisa? Padahal makan juga cuma telor, tahu, tempe, sama sayur aja! Jarang masak ikan atau ayam, apalagi daging!"

Sialan! Suamiku ternyata sepelit itu! Pantas saja aku tidak pernah melihat slip gajinya! Dia selalu memberiku dua juta rupiah setiap bulan. Sesuai emas kawin yang ia sebutkan saat ijab kabul.

Namun, bukankah 2 juta itu seharusnya nafkah untukku saja? Uang belanja tentu saja seharusnya beda lagi. Aku rasanya ingin berteriak saat itu juga. Menampar wajah Mas Natan dan memakinya habis-habisan.

Aku tak tahan lagi mendengar obrolan mereka. Tensiku sepertinya akan langsung meroket jika tetap berada di sana. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke kamar dan tidur.

...****************...

"Dek, bangun. Sudah sore, Mas lapar. Masak, gih." Suara lembut Mas Natan membangunkanku dari tidur.

Perlahan aku mengerjapkan mata lalu menguceknya untuk memfokuskan pandangan. Di hadapanku kini terlihat jelas Mas Natan sedang tersenyum lebar.

"Kita makan di luar, yuk, Mas."

Raut wajah Mas Natan mendadak berubah. Senyumnya lenyap seketika. Suamiku itu terdiam dan terlihat berpikir.

"Dek, bukankah kita harus berhemat? Kalau makan di luar ...."

"Sesekali doang, Mas. Ya ...." Aku memotong ucapan Mas Natan kemudian memeluk tubuh tegapnya.

Suamiku itu sepertinya sedang menahan amarah. Terdengar jelas dia mengembuskan napas kasar, kebiasaannya ketika kesal selalu begitu. Aku tersenyum puas.

Aku berniat membuatnya kesal dengan sengaja, tetapi dengan cara perlahan. Ketika dia meledak, aku akan membalikkan keadaan, dan membongkar semua kebohongannya yang sudah kuketahui.

"Baiklah, sana mandi dulu. Terus ganti baju." Mas Natan tersenyum lembut lalu mengusap puncak kepalaku.

"Baik, Mas."

Tanpa menunggu lama, aku langsung beranjak dari kasur dan bergegas mandi. Setelah selesai bersiap, aku langsung menyusul Mas Natan yang sudah berada di teras sambil memanasi motor.

"Udah, Dik?" tanya Mas Natan sambil tersenyum lebar.

"Udah, Mas. Yuk! Mas Natan turun, ya? Aku yang bawa motor."

"Eh, kok tumben, Dik?" tanya Mas Natan sembari menatapku heran.

"Iya, Mas. Pengen aja sesekali gantian boncengin Mas Natan. Nggak apa-apa, 'kan?" tanyaku sambil terkekeh.

"Yaaa nggak pa-pa, sih." Mas Natan mundur ke jok belakang dan aku langsung naik ke motor, lalu memakai helm.

Aku terus memutar tuas gas menuju sebuah tempat yang pasti akan membuat Mas Natan semakin kesal. Aku menghentikan motor di sebuah restoran makanan Korea dengan konsep All You Can It.

Sesuai dugaanku. Mas Natan langsung protes. Wajahnya berubah masam. Dia mencekal lenganku dan menatap tajam.

"Dik, kok malah ke sini? Nggak ke angkringan atau susu segar Mas Be aja?" tanya Mas Natan.

"Nggak, Mas. Kita ke sini saja. Sudah biasa 'kan makan di sana? Kalau di sini jarang. Terus kita kan jarang makan DAGING?" Aku sengaja menekankan kata daging untuk melihat ekspresi Mas Natan.

Aku ingin tahu sampai mana Mas Natan mampu menahan emosinya. Apakah suamiku ini mampu menekan emosinya demi memenuhi keinginanku? Sama seperti yang aku lakukan ketika berusaha menyetujui keinginannya?

Terpopuler

Comments

Ainisha_Shanti

Ainisha_Shanti

dasar suami durhakim 😠😠😠.

kalau Aini berada di posisi Nana, ntah macam mana lah Aini nak control emosi.

2022-08-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!