BUCIN (BUDAK CINTA)

BUCIN (BUDAK CINTA)

Bab 1

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Sibuk berkemas seisi rumah, kemudian terjun ke dapur mempersiapkan sarapan. Tepat sebelum pukul enam, semua sudah tertata rapih. Makanan tersaji dengan aroma menggoda di balik tudung saji. Saat itu pula terdengar derit daun pintu terbuka perlahan. Pasti Om Bram baru bangun dan keluar dari kamar tidurnya. Ketika melewati ruang makan, aku sengaja bersembunyi di balik tembok pembatas dapur. Mengintip sejenak sampai sosok laki-laki itu hilang di balik pintu kamar mandi.

Baguslah, dia tak sempat masuk ke dapur untuk mengambil air minum. Biasanya itu yang dilakukan pertama kali kala baru bangun tidur. Meneguk air putih segelas, kemudian bergegas mandi. Untungnya kali ini tidak. Jadi aku bisa leluasa menuntaskan sisa pekerjaan tanpa diketahui siapa pun. Om Bram dan juga Della, anaknya, sekaligus sahabat yang setiap saat selalu bersama.

Secangkir kopi dicampur susu bubuk, dengan sedikit tambahan gula. Minuman kegemaran Om Bram menjelang keberangkatannya ke tempat kerja. Ramuan favorit papah Della, hasil pengamatanku selama beberapa pekan belakangan ini.

"Alya .... " Suara itu tiba-tiba menghentak konsentrasiku di saat asyik mengaduk isi cangkir untuk dipersembahkan pada Om Bram.

"Ya Tuhan!" Jantungku berdetak kencang. Kaget bukan kepalang. "Om?" Laki-laki itu sedang berdiri persis dibelakangku.

"Kamu lagi ngapain sepagi ini?" tanyanya dengan kondisi masih bertelanjang dada. Hanya terbalut lilitan handuk sebatas perut hingga hampir menyentuh lutut. Sempat kulirik sekilas rimbunan bulu-bulu halus yang menghiasi hampir separuh tubuh bagian depan dia. Lengkap dengan aroma sabun yang melekat hingga melenakan alam pikir ini.

"Om bikin kaget Alya aja, deh, ah," seruku seraya membuang pandangan ke arah cangkir kopi. Kembali mengaduk perlahan dengan jari gemetar.

"Kamu suka ngopi juga?" Terdengar kekehan kecil dan sedikit hempasan napasnya menghujam tengkukku. Hangat dan begitu wangi menyentuh hingga ke pori-pori.

"Enggak, Om. Ini sengaja Alya buatkan untuk Om," kataku seraya membalik badan dengan cangkir di tangan, lalu menyerahkannya pada Om Bram. "Cobalah, Om. Maaf, kalo rasanya tak sesuai dengan kesukaan Om."

"Serius?" tanya laki-laki berpostur sekitar 175 sentimeter itu tak percaya. Dia menatapku dengan pandangan heran.

"Iyalah ... beneran, Om," jawabku setelah cangkir kopi berpindah tangan.

"Om coba, ya?" Dia mereguk sedikit demi sedikit. Di saat itulah kembali aku mencuri pandang, menatap gumpalan otot lengan berbulu terangkat dengan indah. Masih terlihat kencang di usia yang sudah lebih dari kepala empat. Putih terawat walau sekian lama tak tersentuh jemari istrinya, ditinggal mati waktu Della masih berusia sepuluh tahun. Bertahan dalam kesendirian demi kebahagiaan anak perempuan semata wayang. Bukan karena tak ada yang mau. Om Bram sendiri yang memutuskan untuk tak berumah tangga dulu, sampai Della dewasa.

Mustahil tak ada perempuan yang tertarik pada laki-laki itu. Berbekal wajah flamboyan serta rimbunan brewok halus, rasanya dia masih bisa mendapatkan sosok istri yang jauh lebih muda. Contohnya seperti aku ....

"Eh, kenapa, Om?" tanyaku kaget untuk kedua kali begitu lengan Om Bram mengibas tepat di depan wajah.

"Kok, malah melamun?" tanya dia sambil menatap perut sendiri. Tepatnya pada ujung arah pandangku saat melamun tadi. "Della belum bangun?"

"Dia ada di kamarnya, Om. Mungkin masih tidur," jawabku seraya mengalihkan pandang ke arah lain, dengan kulit wajah yang mendadak terasa panas.

"Ya, sudah. Om ke atas dulu, ya? Bangunin Della," kata laki-laki itu seusai mereguk habis isi cangkir yang kuberikan tadi.

Sepontan aku mencegah, "Gak usah, Om. Biar Alya sendiri yang bangunin." Aku bergegas menuju kamar Della yang ada di lantai atas. Sekaligus ingin segera menyembunyikan raut wajah yang kian menyengat. "Kalo Om mau sarapan, itu sudah Alya siapkan di atas meja."

Om Bram melongo. "Kamu masak juga, Alya?"

Aku hanya tersenyum sambil menapaki anak tangga. Berharap agar tatapan mata laki-laki itu segera beralih dariku. Terutama wajah ini.

Tiba di depan pintu kamar Della, kuketuk perlahan sambil memanggil namanya. "Del! Bangun, Del! Udah pagi!"

Hening sejenak sampai kemudian kenob pintu kamar berputar dari arah dalam. Gadis itu tampak kusut dengan rambut terurai acak-acakan. "Jam berapa, sih?"

"Jam berapa, sih? Udah mau siang, Non. Kita ada matkul jam delapan hari ini," seruku tergelak memperhatikan kondisi Della. "Cepetan cuci muka, gih. Kita sarapan dulu bareng bokap elu."

"Sarapan?" tanya Della heran sambil mengucek-ngucek mata. "Sepagi ini elu udah beli makanan, Lya?"

"Gue masak, Cuy!" jawabku santai.

"Masak? Gak salah lu?" Della masih tak percaya. Bibirnya sampai ikut monyong beberapa senti.

Aku tertawa. "Iya. Makanya cepetan turun. Nyobain hasil masakan gue. Yuk, ah."

"Ya Tuhan! Keajaiban apa, ya, hari ini di rumah gue?" seloroh Della mengikuti tarikan jemariku.

"Jangan ngejek, deh. Gini-gini juga gue bisa masak. Emangnya elo?" timpalku tak mau kalah.

Di ruang makan Om Bram sedang menikmati sarapan. Dia sudah berganti pakaian, rupanya. Mengenakan busana necis, rapih, serta tatanan rambut yang tersisir ke belakang lengkap dengan kilauan minyaknya. Ah, gagah sekali laki-laki itu, kataku dalam hati. Tapi sayang, acara sarapan pagi ini tak akan diwarnai pemandangan indah lainnya. Bulu dada serta gumpalan otot seperti tadi saat di dapur.

"Serius elu yang masak, Lya? How can it be, Cuy?" Della masih juga tak percaya.

"Udah, gak usah banyak komen. Kita nikmati yang ada di depan kita sekarang ini. Oke, Del?" Aku menyodorkan piring kosong ke arah Della.

"Masakannya enak, lho, Del. Ternyata ... Alya jago masak juga, ya?" Om Bram ikut bersuara sembari menatapku. Kagum.

"Ah, Om bisa aja. Ini juga hasil nyontek dari internet, Om," balasku dengan perasaan tak menentu. Semoga saja raut wajah ini tak kembali memanas seperti tadi.

"Ups, sorry, Pah. Forgot to say ... selamat pagi," Della menyela.

"Pagi juga, Sayang," balas Om Bram. "Makanlah. Mumpung masih anget."

Della menyicip sedikit hasil olahanku. Disusul senyumnya yang mengembang. "Enak juga, Cuy," puji gadis itu diiringi anggukan beberapa kali.

"Pagi ini Alya juga bikinin kopi kesukaan Papah, lho, Del. Rasanya pas dan mantap," ujar Om Bram kemudian. Semakin membuat hatiku bergetar tak menentu.

"O, iya? Serius?" tanya Della dengan suara cemprengnya. "Tiap hari aja kayak gini. Jadi irit, dong, gak usah beli makanan ke warung depan. Hahaha."

"Del .... " Om Bram mendelik.

Buru-buru Della menghentikan tawanya. "Sorry, Cuy. Just kidding."

Aku tersenyum. "Gak apa-apa, kok, Om, Del. Alya seneng banget bisa ikut ngebantu di sini. Sekalian balas budi atas kebaikan yang Om berikan, mengijinkan Alya tinggal di sini."

"Tapi gak sampe ngejadiin elo pembokat di sini juga kale, Cuy," timpal Della tiba-tiba.

"Del .... " Om Bram kembali mendelik.

"Tapi bener, kan, Pah?" Della melirik ke arah papahnya. "Lagian Alya tinggal di sini juga atas permintaan Della sendiri, kok. Daripada buang-buang duit buat bayar kost yang jauh dari kampus. Belum lagi elu kudu ngeluarin duit buat ongkos angkot. Mendingan di sini ama gue. Elu, kan, sahabat gue sendiri, Cuy."

Aku tersenyum kembali. "Iya, gue paham itu, kok, Del. Terus kalo gue pengen ikut bantu-bantu di rumah ini, apa itu salah?"

"Asal jangan dalam rangka elu mau merebut hati bokap gue yang keren ini aja, deh, Cuy. Hahaha." Gelak Della kembali pecah.

Kali ini aku tak bisa tersenyum. Sisa nasi yang sedang kutelan tiba-tiba terasa berhenti begitu saja. Menyumbat lubang pernapasan, hingga batuk berulang-ulang.

"Della! Kamu makin ngaco aja, deh, Sayang," seru Om Bram seraya menyodorkan segelas air putih padaku. "Minum dulu, Lya."

"Terima kasih, Om," jawabku usai mereguk air. Tenggorokan kembali lega. Batuk pun ikut berhenti.

"Kamu ini kalo ngomong asal ceplos aja, Sayang. Lihat, tuh, sahabatmu sampai merah begitu mukanya," tambah Om Bram sambil memperhatikanku.

"Gak apa-apa, Om. Della emang begitu. Alya udah terbiasa, kok." Aku berusaha menghindari tatapan mata tajam itu. Hati ini seakan luluh tak berdaya jika laki-laki itu sudah menatap sedemikian rupa.

"Abis makan, bagian gue yang nyuci piring, ya," kata Della setelah beberapa saat semua terdiam. Menikmati sarapan hingga ludes tak tersisa.

"Biar gue aja, Del. Sekalian nyari keringat sebelum mandi entar," cegahku sambil beranjak dari kursi.

"Gak bisa! Gue yang nyuci piring. Elu, kan, udah masak, Cuy."

"Gue aja."

"Gue!"

"Gue!"

Terdengar tepukan tangan keras sekali diiringi suara membahana, "Oke, ladies! Saat ini juga Papah atau Om permisi pamit, berangkat kerja. Kalo mau berantem silakan dilanjut, tapi jangan sampe bikin seisi rumah ini ancur. Oke, guys?"

Aku dan Della terdiam. Gadis itu menghambur peluk dan menyalami papahnya. "Hati-hati di jalan, Pah."

Sempat merinding dan membayangkan jika pada saat posisi berpelukan itu tadi adalah aku dengan Om Bram. Tapi itu tak mungkin dilakukan, karena aku bukanlah siapa-siapa laki-laki itu. Dia hanya melambai sesaat sambil tersenyum. "Om berangkat dulu, ya, Alya. Terima kasih atas masakannya."

Hanya sebatas itu. Tak ada lanjutan lain. Sampai kemudian, sosok Om Bram menghilang bersama Pajeronya di tikungan jalan depan.

BERSAMBUNG

Terpopuler

Comments

Ida

Ida

Menarik dah blm pernah bc yg cerita nya gini

2020-07-16

0

Wiyanti Purnomo

Wiyanti Purnomo

waaauuuu...coool man...

2020-07-16

0

yulia ari

yulia ari

like bbrp bab dl, jgn lupa mampir y

2020-07-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!