Bab 4

Mataku masih terpejam. Alam pikiran dalam kondisi kelam. Namun sentuhan-sentuhan itu terasa begitu mencengkeram. Membangunkan asa terdalam yang selama ini terpendam. Tubuh ini menggelinjang disertai rintih di bawah cahaya lampu temaram. Desis lembut bercampur napas menghentak kuat mirip suara menggeram. Ah, ini mimpi ataukah sekedar halusinasi antara dua alam yang mencekam.

Lengan berbulu itu tiba-tiba bergelayut erat mengalungi leherku. Menarik kuat ke belakang hingga tak kuasa berontak melepas diri. Sapuan panas napas menggelitik ujung daun telinga, membara diiringi parutan brewok kasar menyentuh kulit wajahku.

"Om .... " erangku enggan membuka mata. Berharap semua tak akan sirna begitu kelopak ini terkuak. Mungkin juga dengan cara seperti itu, sensasi menggelora akan semakin meniti lebih tinggi dan jauh. Menggetarkan setiap sendi-sendi gairah sekujur badan. "Om Bram .... "

Sosok laki-laki itu tak menjawab. Dia merebahkan tubuhku dan perlahan mengusap area dada ini. Bukan dengan jemarinya, namun melalui sebidang dada kekar berjeruji rusuk kuat, penuh ditumbuhi bulu-bulu halus nan lebat.

"Om ... aku ... " Hampir saja kubelalakan mata ini, menatap wajah klimis dibasahi peluh dengan brewoknya yang baru tumbuh. Lagi-lagi ketakutan itu membisiki, agar tak melakukan hal bodoh tersebut kalau tak ingin semua segera sirna.

"Alya .... " bisik laki-laki flamboyan bertubuh padat itu. Begitu dekat hingga dengkusan angin parunya menampar bibirku. "Alya .... "

"Om ... apa yang Om lakukan?" tanyaku setengah sesak menahan himpitan beban tubuhnya.

"Alya .... "

"Om .... "

"Cuy! Bangun, woy!"

"Om Bram?"

TOK! TOK! TOK!

Suara itu makin keras terdengar. Memaksaku membuka mata secepat kilat. "Om Bram?" Netra ini berputar-putar mencari sosok yang tiba-tiba menghilang. Kosong. Hanya temaram mengelilingi hingga akhirnya tersadar bahwa ....

"Alya! Elu udah bangun, kan? Buka pintu ngapa, Cuy?" Itu suara Della berteriak-teriak di luar kamar.

Aku mengucek-ngucek mata sebentar. Berharap bias penglihatan ini segera normal kembali. "Iya, Del. Aku udah bangun," jawabku seraya menghempaskan selimut tebal berbahan sintesis yang tadi 'menyetubuhi'. Sialan! Rupanya itu yang sempat kusangka bulu-bulu halus ... Om Bram.

"Buka pintu ngapa, Cuy!" seru Della sambil mengetuk-ketuk pintu.

"Iya, sebentar, Del," jawabku sambil mengenakan kaos T-shirt tanpa penyangga dada. Entah di mana upwear yang semalam masih terpasang utuh itu. Mungkinkah ... ah, sudahlah. Terlalu lama berpikir, gadis 'cablak' di luar kamar itu akan semakin keras berteriak memanggil.

"Lama amat, sih, elu buka pintunya?" tanya Della begitu daun pintu terbuka.

"Aku pules banget tidurnya, Del. Semalem bergadang sampai jelang pagi. Jadinya agak pusing .... " ucapku beralasan.

"Elu sakit?" Della memperhatikan wajahku. "Mata elu .... "

"Kenapa mataku? Mata panda, ya?" Aku meraba-raba kedua kelopak mata.

Della cekikikan. "Mata elu ada beleknya, Cuy. Hahaha."

"Ih, kamu. Dasar!" Cepat-cepat aku memburu kamar mandi. Ada di lantai atas. Hanya beberapa langkah dari kamarku dan Della. Di bawah juga ada, tapi biasanya khusus digunakan oleh Om Bram. Semenjak tinggal di rumah itu, belum pernah sekali pun menengok isi ruang sanitasi laki-laki itu.

"Elu gak mandi?" tanya Della begitu aku kembali dari kamar mandi. Gadis itu tengah duduk di tepi tempat tidur kamarku.

"Nanti agak siangan, mungkin?" jawabku seadanya. "Lagian libur kuliah ini, kan?"

Della cengengesan. Kemudian matanya lekat menatap kaos yang kukenakan. "Elu gak pake daleman?"

Eh, sempat-sempatnya dia memperhatikan kostumku pagi ini. Segera berbalik membelakanginya. "Emang kenapa?"

"Jangan coba-coba berpakaian gitu di depan bokap gue, ya, Cuy. Bahaya!" ujarnya disertai cemberut khas yang menjadi ciri karakter gadis itu kalau sedang merasa tidak suka. Bukan marah, namun begitulah dia. Semakin hari, makin kukenal sifat-sifat Della.

Aku tersenyum kecut. "Iya, Del, aku paham. Lagian Om Bram, kan, lagi tugas luar kota. Cuma ada kita di rumah ini. Sesama perempuan. Ndak apa, toh?"

Della terdiam. Sementara aku sibuk mengumpulkan pakaian kotor yang teronggok di dalam wadah khusus.

"Elu mau ngapain sekarang?" tanya Della begitu aku bersiap-siap membawa wadah tersebut ke ruang belakang. "Nyuci pakaianlah, Del. Mumpung libur. Sekalian, deh, punya kamu juga, siniin. Biar aku cuci juga."

Della tertawa keras. Matanya sampai menyipit. "Ngapain? Sebentar lagi ada Bi Mamas ke sini. Nyuci baju dan juga masak."

Aku mengernyitkan dahi. Berpikir heran. "Kenapa harus Bi Mamas? Kan, ada aku, Del. Biarin semua .... "

"Alya! Gue itu ngajak elu tinggal di sini bukan buat ngejadiin elu pembokat. Gimana, sih, lu?" ujar Della setelah tawanya reda.

"Emang sebelumnya kamu ndak punya pembantu atau asisten rumah tangga, gitu?" Aku semakin penasaran. Rumah besar, pemiliknya tajir, tampan ... eh, mengapa kata terakhir itu sempat terpikir, ya? Hhmmm ... tak punya pegawai pribadi?

Della tertawa kembali. "Semua orang yang pernah kerja di rumah ini, gue usir-usirin."

"Kenapa?"

Della mencibir. "Mereka sering ketahuan ama gue. Mencoba merayu-rayu bokap gue."

"Merayu bagaimana, Del?" Aku tambah penasaran.

"Naksir papah gue! Lama-lama ganjen dan caper di depan bokap. Gue paling gak suka itu!" jawab Della kali ini tanpa senyuman maupun tawa yang biasa dia lakukan.

Tiba-tiba aku seperti tersentak. Kata-kata Della barusan seperti sebuah ancaman. Berlaku untuk semua makhluk bernyawa yang merasakan 'hal lain' saat melihat sosok Om Bram. Termasuk ....

"Alya! Ngapa elu ngelamun?" Suara Della membuyarkan lamunanku.

"Eh, ndak. Tadi mikir anu ... eh, maksudnya cucian ini. Mulai sekarang biar aku yang nyuci sama masak, deh. Hitung-hitung bayar kosan di sini, Del," kataku terpatah-patah.

"Enggak! Elu gak boleh ngelakuin itu semua," ujar Della terdengar tegas. "Elu itu sahabat gue. Satu-satunya orang yang gue percaya, selain bokap gue. Apa yang gue dapetin, elu juga harus terima."

"Maksudnya?"

Della bangkit dari duduknya. Berjalan menghampiriku. "Alya ... papah gue pengen menganggap elu sebagai anak kandung sendiri. Sama kayak gue."

Ya, Tuhan! Rasanya ini seperti mimpi. Benarkah itu? Aku menjadi anak angkat Om Bram. Walaupun bahagia, tapi sejujurnya aku berharap ....

Della melanjutkan ucapannya. "Sekarang hidup elu, menjadi tanggung jawab bokap gue. Bukannya elu pernah cerita kalo elu udah gak punya orangtua?"

Ya, beberapa waktu lalu, memang pernah bercerita tentang kehidupanku pada Della. Bapak meninggal dunia saat aku berusia sepuluh tahun, di saat sedang haus akan kasih sayang dan belaian sosok yang dicinta. Tinggal sebatang kara dengan Mbok yang hanya sebagai petani biasa. Kemudian beliau pun menyusul ke alam baka, beberapa hari menjelang pengumuman kelulusan sekolah tingkat akhirku.

Sempat bingung dan frustasi hidup tanpa sandaran dari orang-orang sedarahku. Apalagi sebagai anak semata wayang dalam keluarga. Hanya ada Mbak Darmi, anak Pak Le Sunyoto, yang menjadi tempat pengaduan getir ini. Kepada perempuan itu pula, aku mempercayakan seluruh harta waris yang diterima dikelola olehnya.

"Ya, sudah. Kalo kamu bersikukuh melanjutkan pendidikanmu ke kota, Mbak hanya bisa mendukung dan turut mendoakanmu, Alya," ucap Mbak Darmi suatu ketika. "Mengenai tanah warisan yang mau kamu jual itu, biar Mbak yang ngurus. Kamu tenang saja dan fokus belajar di kota. Nanti tiap bulan Mbak kirimi kamu uang buat kebutuhanmu."

Aku percaya pada Mbak Darmi. Tak ada lagi orang yang bisa kuandalkan, selain dia. Maka berbekal uang hasil penjualan tanah warisan itulah, tekad ini sudah bulat untuk pergi melanjutkan jenjang pendidikan. Tak semuanya dibawa, karena separuh dari uang tersebut digunakan Mbak Darmi berniaga. Itu berjalan hingga sekarang, namun belum mengetahui keadaanku yang kini sudah berpindah ke rumah keluarga Om Bram. Gratis.

"Alya .... "

"Eh, Del." Lamunanku kembali tersentak. "Iya, ada apa?"

"Elu ngehalu lagi?" tanya gadis itu seraya memperhatikan kedua mataku.

Aku menunduk. Menghindari tatapan Della, tentunya. "Aku hanya ... tiba-tiba teringat Mbak Darmi."

Della mengangguk-angguk. "Kenapa?"

"Aku belum kasih kabar perihal kepindahanku ke sini, Del."

"Menurut gue, sih, gak usah," timpal Della.

"Lho, kenapa?" Aku heran.

Della berpikir sejenak. "Biarin aja dia menganggap elu masih tinggal di kontrakan. Biar dia ngirim duit buat elu tiap bulan. Nah, duit itu elu tabung di bank buat persiapan elu masa depan. Sederhana, kan?"

Aku menggeleng perlahan. "Tapi aku tak biasa berbohong, Del."

Tak biasa berbohong? Lalu tentang rasaku pada papah Della selama ini? Eh, rasa apa, ya?

"Cuy, jadi orang jangan terlalu polos. Berpikirlah. Gunain otak elu. Ini sebagai antisipasi buat hidup elu sendiri," jawab Della serius.

"Antisipasi dari apa? Maksudnya gimana, sih? Aku ndak paham, lho, Del."

Della menggeleng-geleng. "Entar aja, deh, gue ceritain. Sekarang elu mandi, gih. Hari ini bagian gue masak. Biar Bi Mamas nyuci aja. Oke?"

"Del .... "

"Apalagi?"

Aku terdiam sejenak. "Betulkah Om Bram berkata seperti itu?"

"Yang mana?"

Aku menepuk lengan gadis itu perlahan. "Menganggap aku sebagai anak Om Bram."

Bibir Della perlahan terbuka, lalu gelaknya segera membahana. "Terus ... mau elu dianggap apaan?"

"Dih, ditanya malah nanya." Kembali tepukanku mendarat dibahunya.

Della tak menjawab. Dia bergegas ke ruang bawah setelah memberiku senyuman manis. Hhmmm ... baru kali ini bukan tawa keras. Tapi senyuman. Apakah itu berarti Della berkata jujur?

Aku diangkat sebagai anak Om Bram. Laki-laki paruh baya penuh pesona itu.

Ya, Tuhan!

BERSAMBUNG

Terpopuler

Comments

Ida

Ida

Waduh alya uda halu ja baru ketemu sm om bram 🤣🤣🤣🤣

2020-07-16

0

Alya_Kalyarha

Alya_Kalyarha

semangat nulisnya kk, udah aku like ya
kalau sempat mampir baliklah ke karyaku "love miracle" dan "berani baca" tinggalkan like dan komen ya makasih

2020-07-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!