Bab 2

Beberapa tahun lalu, aku menginjakkan kaki di tanah asing. Sebuah kota besar yang dipenuhi ragam manusia dari berbagai latar. Bangunan tinggi menjulang serta sesaknya gas kentut bermacam jenis kendaraan. Berlalu-lalang hampir tiada henti sepanjang waktu. Malam yang seharusnya hening melenakan, justru semakin riuh dengan kesibukan manusia-manusia pencari kemilau dunia. Aku, gadis kampung yang terbiasa hidup di tempat asri penuh peradaban, harus belajar beradaptasi sedikit demi sedikit, agar bisa bertahan untuk sebuah harapan. Melanjutkan jenjang pendidikan atas dasar tekad serta impian.

Berbekal uang tabungan hasil penjualan beberapa petak tanah warisan orangtua, kini aku menetap di sebuah tempat terasing di pinggiran kota. Tinggal di rumah sederhana dengan sedikit ruang kecil dan pembatas ala kadarnya. Hanya ada dua. Ruang depan yang biasa digunakan untuk tidur sekaligus menerima kunjungan kawan, serta dapur sempit dan pengap. Betah? Sejujurnya tidak. Biaya sewa terjangkau, itu alasan utama mengapa aku masih bertahan di sana. Di samping karena jarak terdekat ke kampus, tempat menggantungkan asa untuk masa depan.

Della, seorang gadis mandiri dari keluarga berada, memang bukan orang pertama yang kukenal. Sebelumnya hanya sebatas teman sekelas. Tertutup, canggung, cuek, dan terkesan angkuh. Itu kesan awal saat pertama kali melihat sosok yang satu ini. Nyatanya tidak seperti itu. Berbalik penuh kala kami mulai mengenal satu sama lain. Itu pun secara tak sengaja ....

BRAK!

Suara buku tebal dibanting keras ke atas meja mengejutkanku, saat berada di ruang perpustakaan. Terlihat sesosok gadis berkulit putih mulus merengut sambil memijit-mijit kepala, disertai dengkusan napas beberapa kali. Kesal? Mungkin. Aku tak begitu peduli. Lebih memilih melanjutkan bacaan pada buku yang tergenggam. Tentunya setelah menggeleng-geleng atas sebuah konversi rasa di balik dada ini.

TRAK!

Kali ini suara pensil yang menghentak permukaan meja, terayun cepat dari jemari lentik berkuku cat warna merah. Berasal dari arah sama seperti tadi. Gadis berkulit mulus.

"Permisi, Mbak. Boleh aku ikut duduk di sini?" tanyaku basa-basi. Menghampiri sosok yang terlihat sedang dirundung kesal itu.

"Silakan," jawabnya tanpa melirik sedikit pun. "Emangnya tempat duduk kamu di sana kenapa? Gak nyaman?"

Aku tersenyum. "Di sana sepi. Ndak ada teman."

Gadis itu menoleh dengan raut muka datar. "Terus saya kudu nemenin kamu, begitu?" Judes amat, pikirku. "Di meja lain masih ada beberapa orang. Kenapa milih di sini?"

Sejenak kutarik napas panjang, mencoba menahan rasa sesak yang tiba-tiba menghentak. "Baiklah. Kalau Mbak ini merasa terganggu, biar aku pindah lagi, ya, Mbak. Permisi," jawabku seraya bersiap bangkit dari kursi.

"Eh, tunggu!" Gadis itu menahan gerakku. "Baperan amat, sih, kamu? Segitu aja udah tersinggung."

"Maaf .... "

"Duduk aja di situ. Santai. Gak bakal gue ganggu lagi, kok," ujarnya kemudian. Mulai mengganti kata 'saya' ke 'gue'. Aku rasa itu karakter yang sebenarnya. Asli.

"Terima kasih, Mbak." Aku kembali menghenyakkan bokong. Batal berpindah tempat, menuruti keinginan gadis itu.

Beberapa saat lamanya hening. Tak ada percakapan susulan. Sampai akhirnya sosok di depan itu berkata, "Gue Della. Kamu siapa?"

Aku segera mengalihkan pandangan dari barisan kalimat yang sedang dibaca. Lalu mengulurkan telapak tangan mengajak salaman. "Aku Alya, Mbak."

"Kamu sekelas ama gue, kan?" tanyanya usai membalas salam.

Aku mengangguk. "Enggih, Mbak."

Senyum kecut menyeruak dari bibir gadis itu. "Panggil nama gue aja. Della. Gak usah pake 'mbak' gitu."

"Aku ndak terbiasa, Mbak. Ndak sopan."

"Gak apa-apa, kok. Gue jadi ngerasa lebih tua dari kamu kalo dipanggil 'mbak' gitu." Gadis bernama Della itu tertawa. Disambut beberapa pengunjung perpustakaan dengan memberikan kode melalui suitan kecil disertai telunjuk yang melintang di depan bibir mereka. "Sorry, guys!" ujar Della disertai kekehan pelan. "Kamu dari jawa, ya?"

"Enggih, Mbak. Eh .... "

Della mendecak. Entah kesal ataukah protes atas sapaanku barusan. "Gue sering lihat kamu lebih banyak ngabisin waktu istirahat di perpus, ketimbang di tempat lain. Kantin, misalnya?"

Aku tersenyum. Malu? Mungkin. Karena ruang perpustakaan, bagiku, adalah sarana tepat untuk mencari tambahan ilmu, di samping sebagai tempat untuk mengalihkan rasa lapar di waktu istirahat. Makan siang itu sesuatu yang tabu. Biasa, efesiensi biaya hidup kaum indekosan selama menetap di perantauan.

"Aku sedang mencari bahan makalah untuk mengerjakan tugas mata kuliah, Mbak. Eh, Del," jawabku memberi alasan. Agak sedikit menyesal karena untuk pertama kali memanggil orang yang baru dikenal dengan namanya langsung.

"Kelihatannya kamu gape (pintar) juga, Lya. Di kelas pun kamu termasuk siswa yang paling menonjol," kata Della. Menatapku tajam. Seakan tengah menguliti sekujur tubuh ini dengan sayatan bias bola matanya.

"Ah, ndak juga, Del. Biasa saja, kok." Mendadak wajahku terasa panas. "Mbak Del juga sedang mencari bahan makalah?"

Della tersenyum kecut. "Pusing gue, Lya. Otak gue gak bisa diajak kompromi kalo udah ngadepin mata kuliah yang satu ini. Rempong ... tahu gak?"

"Itu sebabnya Mbak Del banting-banting buku dan pensil ke atas meja tadi?" tanyaku tiba-tiba ingin menggodanya.

"Dari tadi elu merhatiin gue?" Bukan bernada membentak atau galak, tapi lebih ke perasaan malu jadi bahan perhatian atas ulahnya, pikirku.

"Maaf, Mbak Del. Ndak sengaja."

"Mbak Del ... Mbak Del .... " ujar Della menirukan sapaanku barusan. "Udah gue bilang jangan manggil gue 'mbak'. Gimana, sih, lu?"

"Woy! Berisik!" seru salah seorang pengunjung perpustakaan memberi peringatan.

"Sorry!" jawab Della sambil merengut. "Eh, makan siang, yuk. Gue yakin elu pasti belum makan, kan?" ajak gadis itu padaku.

Berpikir sejenak, lalu kujawab, "Terima kasih, deh, Del. Aku di sini aja. Masih nyari bahan."

Della memaksa. "Udah! Ayo, makan. Gue traktir elu, deh. Tenang aja."

"Bukan masalah itu, tapi .... "

"Rejeki gak boleh ditolak, Non! Let's go!" Della menarik lenganku. Terpaksa menurut. Mengikuti langkah gadis itu menuju ruang kantin. "Elu pesen sendiri, deh. Terserah," kata Della begitu tiba di tempat tujuan.

"Aku .... "

"Gak usah mikir lamhay. Gue yang bayar!" Gelak tawa Della kembali membahana. Kali ini tak akan ada yang protes. Semua bebas bersuara keras, tak seperti saat berada di ruangan perpustakaan tadi.

"Aku juga punya uang, kok, Del. Bisa bayar sendiri," kataku mencoba berdiplomasi. " ... atau sekalian aku bayarin makananmu juga, cukup uangnya."

Della tertawa. "Iya, gue percaya elu punya duit, Cuy. Tapi gue kudu tanggung jawab karena gue yang ngajak elu ke sini. Oke?"

"Terserah kamu saja, deh, Del."

"Nah, begitu, dong. Lebih enak, kan?"

Aneh, hampir di setiap ujung omongan, Della selalu tertawa. Mungkin sudah karakternya seperti itu. Periang. Jauh dari kesan angkuh yang selama ini kusangkakan.

"Ikut gabung, dong!" Satu suara berat datang di sela-sela acara makan siang kami. Milik seorang laki-laki muda perlente berwajah klimis oriental. Mirip bintang-bintang telenovela yang sering menghiasi layar televisi beberapa waktu lalu. Andre, begitu nama yang kutahu tentangnya. Masih teman satu kelas namun tak pernah sekali pun berbincang langsung seperti sekarang ini.

"Ngapain lu ke sini? Tempat lain masih banyak yang kosong," seloroh Della galak.

"Ya, gue pengennya di sini. Sambil ngelihatin elu, Del," jawab Andre menggoda Della.

"Basi!" rutuk gadis di sebelahku, namun dengan ekepresi wajah bersemu. "Bilang aja minta traktiran, Cuy."

"Kurang lebih kayak gitu," balas Andre dilanjutkan dengan tawanya. Sejenak mata laki-laki itu melirik ke arahku. "Elu berdua ... sekarang ... temenan?"

Aku menoleh pada Della.

"Suka-suka guelah. Apa urusan elu pake nanya-nanya? Kayak wartawan infotainmen aja lu," jawab Della masih bernada galak.

Andre tertawa. "Elu yang namanya .... "

"Alya," jawabku setelah beberapa saat menunggu Andre menyebutkan nama.

"Iya, Alya. Gadis asal jawa yang ngekos di daerah Slipi, kan?" Andre mencoba menebak. Aku dan Della saling berpandangan.

"Kok, elu tahu?" tanya Della heran. "Beneran elu tinggal di sana, Lya?" Aku mengangguk.

"Gue, kan, sering maen ke sana. Itu tempat kosannya si Alex. Makanya gue tahu," jawab Andre sambil mencomot makanan di piring Della. Gadis itu segera menepisnya.

"Jorok lu!"

Andre mengekeh.

Selanjutnya obrolan pun berjalan begitu saja. Santai penuh keakraban. Saat itu pula aku mulai mengenal Della, sekaligus Andre.

Jalinan pertemanan di antara kami kian terikat kuat. Terutama aku dengan Della. Hampir setiap berada di area kampus, tak pernah saling berjauhan. Tak sungkan-sungkan dia meminta bantuan mengerjakan tugas kuliah. Dengan senang hati kulakukan. Bahkan beberapa kali gadis itu sengaja berkunjung ke tempat kos, hanya sekedar berbagi curhatan. Tidur dan makan bersama sudah bukan sesuatu yang aneh.

Di waktu bersamaan, seiring dengan semakin akrabnya aku dengan Della, diam-diam Andre melakukan hal senada. Sapaan basa-basi hingga ajakan jalan-jalan bersama pun sering dia ungkapkan. Aku merasa ada perhatian berlebih dari laki-laki blasteran Spanyol itu padaku, ketimbang sama Della. Entahlah, apakah hanya perasaan saja ataukah memang benar begitu adanya. Yang jelas, bias mata Della setiap kali bertemu Andre pun terlihat lain. Suka? Aku tak tahu. Sementara di balik dada ini tak ada rasa sama sekali terhadap Andre, kecuali hanya menganggapnya sebatas sahabat biasa.

BERSAMBUNG

Terpopuler

Comments

Ida

Ida

Semakin menarik kalimat nya lugas jelas engga bertele tele,,,

2020-07-16

1

yulia ari

yulia ari

yuhuuu

2020-07-16

0

Bundanya Naz

Bundanya Naz

menarik..aq suka thor

2020-07-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!