NovelToon NovelToon

BUCIN (BUDAK CINTA)

Bab 1

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Sibuk berkemas seisi rumah, kemudian terjun ke dapur mempersiapkan sarapan. Tepat sebelum pukul enam, semua sudah tertata rapih. Makanan tersaji dengan aroma menggoda di balik tudung saji. Saat itu pula terdengar derit daun pintu terbuka perlahan. Pasti Om Bram baru bangun dan keluar dari kamar tidurnya. Ketika melewati ruang makan, aku sengaja bersembunyi di balik tembok pembatas dapur. Mengintip sejenak sampai sosok laki-laki itu hilang di balik pintu kamar mandi.

Baguslah, dia tak sempat masuk ke dapur untuk mengambil air minum. Biasanya itu yang dilakukan pertama kali kala baru bangun tidur. Meneguk air putih segelas, kemudian bergegas mandi. Untungnya kali ini tidak. Jadi aku bisa leluasa menuntaskan sisa pekerjaan tanpa diketahui siapa pun. Om Bram dan juga Della, anaknya, sekaligus sahabat yang setiap saat selalu bersama.

Secangkir kopi dicampur susu bubuk, dengan sedikit tambahan gula. Minuman kegemaran Om Bram menjelang keberangkatannya ke tempat kerja. Ramuan favorit papah Della, hasil pengamatanku selama beberapa pekan belakangan ini.

"Alya .... " Suara itu tiba-tiba menghentak konsentrasiku di saat asyik mengaduk isi cangkir untuk dipersembahkan pada Om Bram.

"Ya Tuhan!" Jantungku berdetak kencang. Kaget bukan kepalang. "Om?" Laki-laki itu sedang berdiri persis dibelakangku.

"Kamu lagi ngapain sepagi ini?" tanyanya dengan kondisi masih bertelanjang dada. Hanya terbalut lilitan handuk sebatas perut hingga hampir menyentuh lutut. Sempat kulirik sekilas rimbunan bulu-bulu halus yang menghiasi hampir separuh tubuh bagian depan dia. Lengkap dengan aroma sabun yang melekat hingga melenakan alam pikir ini.

"Om bikin kaget Alya aja, deh, ah," seruku seraya membuang pandangan ke arah cangkir kopi. Kembali mengaduk perlahan dengan jari gemetar.

"Kamu suka ngopi juga?" Terdengar kekehan kecil dan sedikit hempasan napasnya menghujam tengkukku. Hangat dan begitu wangi menyentuh hingga ke pori-pori.

"Enggak, Om. Ini sengaja Alya buatkan untuk Om," kataku seraya membalik badan dengan cangkir di tangan, lalu menyerahkannya pada Om Bram. "Cobalah, Om. Maaf, kalo rasanya tak sesuai dengan kesukaan Om."

"Serius?" tanya laki-laki berpostur sekitar 175 sentimeter itu tak percaya. Dia menatapku dengan pandangan heran.

"Iyalah ... beneran, Om," jawabku setelah cangkir kopi berpindah tangan.

"Om coba, ya?" Dia mereguk sedikit demi sedikit. Di saat itulah kembali aku mencuri pandang, menatap gumpalan otot lengan berbulu terangkat dengan indah. Masih terlihat kencang di usia yang sudah lebih dari kepala empat. Putih terawat walau sekian lama tak tersentuh jemari istrinya, ditinggal mati waktu Della masih berusia sepuluh tahun. Bertahan dalam kesendirian demi kebahagiaan anak perempuan semata wayang. Bukan karena tak ada yang mau. Om Bram sendiri yang memutuskan untuk tak berumah tangga dulu, sampai Della dewasa.

Mustahil tak ada perempuan yang tertarik pada laki-laki itu. Berbekal wajah flamboyan serta rimbunan brewok halus, rasanya dia masih bisa mendapatkan sosok istri yang jauh lebih muda. Contohnya seperti aku ....

"Eh, kenapa, Om?" tanyaku kaget untuk kedua kali begitu lengan Om Bram mengibas tepat di depan wajah.

"Kok, malah melamun?" tanya dia sambil menatap perut sendiri. Tepatnya pada ujung arah pandangku saat melamun tadi. "Della belum bangun?"

"Dia ada di kamarnya, Om. Mungkin masih tidur," jawabku seraya mengalihkan pandang ke arah lain, dengan kulit wajah yang mendadak terasa panas.

"Ya, sudah. Om ke atas dulu, ya? Bangunin Della," kata laki-laki itu seusai mereguk habis isi cangkir yang kuberikan tadi.

Sepontan aku mencegah, "Gak usah, Om. Biar Alya sendiri yang bangunin." Aku bergegas menuju kamar Della yang ada di lantai atas. Sekaligus ingin segera menyembunyikan raut wajah yang kian menyengat. "Kalo Om mau sarapan, itu sudah Alya siapkan di atas meja."

Om Bram melongo. "Kamu masak juga, Alya?"

Aku hanya tersenyum sambil menapaki anak tangga. Berharap agar tatapan mata laki-laki itu segera beralih dariku. Terutama wajah ini.

Tiba di depan pintu kamar Della, kuketuk perlahan sambil memanggil namanya. "Del! Bangun, Del! Udah pagi!"

Hening sejenak sampai kemudian kenob pintu kamar berputar dari arah dalam. Gadis itu tampak kusut dengan rambut terurai acak-acakan. "Jam berapa, sih?"

"Jam berapa, sih? Udah mau siang, Non. Kita ada matkul jam delapan hari ini," seruku tergelak memperhatikan kondisi Della. "Cepetan cuci muka, gih. Kita sarapan dulu bareng bokap elu."

"Sarapan?" tanya Della heran sambil mengucek-ngucek mata. "Sepagi ini elu udah beli makanan, Lya?"

"Gue masak, Cuy!" jawabku santai.

"Masak? Gak salah lu?" Della masih tak percaya. Bibirnya sampai ikut monyong beberapa senti.

Aku tertawa. "Iya. Makanya cepetan turun. Nyobain hasil masakan gue. Yuk, ah."

"Ya Tuhan! Keajaiban apa, ya, hari ini di rumah gue?" seloroh Della mengikuti tarikan jemariku.

"Jangan ngejek, deh. Gini-gini juga gue bisa masak. Emangnya elo?" timpalku tak mau kalah.

Di ruang makan Om Bram sedang menikmati sarapan. Dia sudah berganti pakaian, rupanya. Mengenakan busana necis, rapih, serta tatanan rambut yang tersisir ke belakang lengkap dengan kilauan minyaknya. Ah, gagah sekali laki-laki itu, kataku dalam hati. Tapi sayang, acara sarapan pagi ini tak akan diwarnai pemandangan indah lainnya. Bulu dada serta gumpalan otot seperti tadi saat di dapur.

"Serius elu yang masak, Lya? How can it be, Cuy?" Della masih juga tak percaya.

"Udah, gak usah banyak komen. Kita nikmati yang ada di depan kita sekarang ini. Oke, Del?" Aku menyodorkan piring kosong ke arah Della.

"Masakannya enak, lho, Del. Ternyata ... Alya jago masak juga, ya?" Om Bram ikut bersuara sembari menatapku. Kagum.

"Ah, Om bisa aja. Ini juga hasil nyontek dari internet, Om," balasku dengan perasaan tak menentu. Semoga saja raut wajah ini tak kembali memanas seperti tadi.

"Ups, sorry, Pah. Forgot to say ... selamat pagi," Della menyela.

"Pagi juga, Sayang," balas Om Bram. "Makanlah. Mumpung masih anget."

Della menyicip sedikit hasil olahanku. Disusul senyumnya yang mengembang. "Enak juga, Cuy," puji gadis itu diiringi anggukan beberapa kali.

"Pagi ini Alya juga bikinin kopi kesukaan Papah, lho, Del. Rasanya pas dan mantap," ujar Om Bram kemudian. Semakin membuat hatiku bergetar tak menentu.

"O, iya? Serius?" tanya Della dengan suara cemprengnya. "Tiap hari aja kayak gini. Jadi irit, dong, gak usah beli makanan ke warung depan. Hahaha."

"Del .... " Om Bram mendelik.

Buru-buru Della menghentikan tawanya. "Sorry, Cuy. Just kidding."

Aku tersenyum. "Gak apa-apa, kok, Om, Del. Alya seneng banget bisa ikut ngebantu di sini. Sekalian balas budi atas kebaikan yang Om berikan, mengijinkan Alya tinggal di sini."

"Tapi gak sampe ngejadiin elo pembokat di sini juga kale, Cuy," timpal Della tiba-tiba.

"Del .... " Om Bram kembali mendelik.

"Tapi bener, kan, Pah?" Della melirik ke arah papahnya. "Lagian Alya tinggal di sini juga atas permintaan Della sendiri, kok. Daripada buang-buang duit buat bayar kost yang jauh dari kampus. Belum lagi elu kudu ngeluarin duit buat ongkos angkot. Mendingan di sini ama gue. Elu, kan, sahabat gue sendiri, Cuy."

Aku tersenyum kembali. "Iya, gue paham itu, kok, Del. Terus kalo gue pengen ikut bantu-bantu di rumah ini, apa itu salah?"

"Asal jangan dalam rangka elu mau merebut hati bokap gue yang keren ini aja, deh, Cuy. Hahaha." Gelak Della kembali pecah.

Kali ini aku tak bisa tersenyum. Sisa nasi yang sedang kutelan tiba-tiba terasa berhenti begitu saja. Menyumbat lubang pernapasan, hingga batuk berulang-ulang.

"Della! Kamu makin ngaco aja, deh, Sayang," seru Om Bram seraya menyodorkan segelas air putih padaku. "Minum dulu, Lya."

"Terima kasih, Om," jawabku usai mereguk air. Tenggorokan kembali lega. Batuk pun ikut berhenti.

"Kamu ini kalo ngomong asal ceplos aja, Sayang. Lihat, tuh, sahabatmu sampai merah begitu mukanya," tambah Om Bram sambil memperhatikanku.

"Gak apa-apa, Om. Della emang begitu. Alya udah terbiasa, kok." Aku berusaha menghindari tatapan mata tajam itu. Hati ini seakan luluh tak berdaya jika laki-laki itu sudah menatap sedemikian rupa.

"Abis makan, bagian gue yang nyuci piring, ya," kata Della setelah beberapa saat semua terdiam. Menikmati sarapan hingga ludes tak tersisa.

"Biar gue aja, Del. Sekalian nyari keringat sebelum mandi entar," cegahku sambil beranjak dari kursi.

"Gak bisa! Gue yang nyuci piring. Elu, kan, udah masak, Cuy."

"Gue aja."

"Gue!"

"Gue!"

Terdengar tepukan tangan keras sekali diiringi suara membahana, "Oke, ladies! Saat ini juga Papah atau Om permisi pamit, berangkat kerja. Kalo mau berantem silakan dilanjut, tapi jangan sampe bikin seisi rumah ini ancur. Oke, guys?"

Aku dan Della terdiam. Gadis itu menghambur peluk dan menyalami papahnya. "Hati-hati di jalan, Pah."

Sempat merinding dan membayangkan jika pada saat posisi berpelukan itu tadi adalah aku dengan Om Bram. Tapi itu tak mungkin dilakukan, karena aku bukanlah siapa-siapa laki-laki itu. Dia hanya melambai sesaat sambil tersenyum. "Om berangkat dulu, ya, Alya. Terima kasih atas masakannya."

Hanya sebatas itu. Tak ada lanjutan lain. Sampai kemudian, sosok Om Bram menghilang bersama Pajeronya di tikungan jalan depan.

BERSAMBUNG

Bab 2

Beberapa tahun lalu, aku menginjakkan kaki di tanah asing. Sebuah kota besar yang dipenuhi ragam manusia dari berbagai latar. Bangunan tinggi menjulang serta sesaknya gas kentut bermacam jenis kendaraan. Berlalu-lalang hampir tiada henti sepanjang waktu. Malam yang seharusnya hening melenakan, justru semakin riuh dengan kesibukan manusia-manusia pencari kemilau dunia. Aku, gadis kampung yang terbiasa hidup di tempat asri penuh peradaban, harus belajar beradaptasi sedikit demi sedikit, agar bisa bertahan untuk sebuah harapan. Melanjutkan jenjang pendidikan atas dasar tekad serta impian.

Berbekal uang tabungan hasil penjualan beberapa petak tanah warisan orangtua, kini aku menetap di sebuah tempat terasing di pinggiran kota. Tinggal di rumah sederhana dengan sedikit ruang kecil dan pembatas ala kadarnya. Hanya ada dua. Ruang depan yang biasa digunakan untuk tidur sekaligus menerima kunjungan kawan, serta dapur sempit dan pengap. Betah? Sejujurnya tidak. Biaya sewa terjangkau, itu alasan utama mengapa aku masih bertahan di sana. Di samping karena jarak terdekat ke kampus, tempat menggantungkan asa untuk masa depan.

Della, seorang gadis mandiri dari keluarga berada, memang bukan orang pertama yang kukenal. Sebelumnya hanya sebatas teman sekelas. Tertutup, canggung, cuek, dan terkesan angkuh. Itu kesan awal saat pertama kali melihat sosok yang satu ini. Nyatanya tidak seperti itu. Berbalik penuh kala kami mulai mengenal satu sama lain. Itu pun secara tak sengaja ....

BRAK!

Suara buku tebal dibanting keras ke atas meja mengejutkanku, saat berada di ruang perpustakaan. Terlihat sesosok gadis berkulit putih mulus merengut sambil memijit-mijit kepala, disertai dengkusan napas beberapa kali. Kesal? Mungkin. Aku tak begitu peduli. Lebih memilih melanjutkan bacaan pada buku yang tergenggam. Tentunya setelah menggeleng-geleng atas sebuah konversi rasa di balik dada ini.

TRAK!

Kali ini suara pensil yang menghentak permukaan meja, terayun cepat dari jemari lentik berkuku cat warna merah. Berasal dari arah sama seperti tadi. Gadis berkulit mulus.

"Permisi, Mbak. Boleh aku ikut duduk di sini?" tanyaku basa-basi. Menghampiri sosok yang terlihat sedang dirundung kesal itu.

"Silakan," jawabnya tanpa melirik sedikit pun. "Emangnya tempat duduk kamu di sana kenapa? Gak nyaman?"

Aku tersenyum. "Di sana sepi. Ndak ada teman."

Gadis itu menoleh dengan raut muka datar. "Terus saya kudu nemenin kamu, begitu?" Judes amat, pikirku. "Di meja lain masih ada beberapa orang. Kenapa milih di sini?"

Sejenak kutarik napas panjang, mencoba menahan rasa sesak yang tiba-tiba menghentak. "Baiklah. Kalau Mbak ini merasa terganggu, biar aku pindah lagi, ya, Mbak. Permisi," jawabku seraya bersiap bangkit dari kursi.

"Eh, tunggu!" Gadis itu menahan gerakku. "Baperan amat, sih, kamu? Segitu aja udah tersinggung."

"Maaf .... "

"Duduk aja di situ. Santai. Gak bakal gue ganggu lagi, kok," ujarnya kemudian. Mulai mengganti kata 'saya' ke 'gue'. Aku rasa itu karakter yang sebenarnya. Asli.

"Terima kasih, Mbak." Aku kembali menghenyakkan bokong. Batal berpindah tempat, menuruti keinginan gadis itu.

Beberapa saat lamanya hening. Tak ada percakapan susulan. Sampai akhirnya sosok di depan itu berkata, "Gue Della. Kamu siapa?"

Aku segera mengalihkan pandangan dari barisan kalimat yang sedang dibaca. Lalu mengulurkan telapak tangan mengajak salaman. "Aku Alya, Mbak."

"Kamu sekelas ama gue, kan?" tanyanya usai membalas salam.

Aku mengangguk. "Enggih, Mbak."

Senyum kecut menyeruak dari bibir gadis itu. "Panggil nama gue aja. Della. Gak usah pake 'mbak' gitu."

"Aku ndak terbiasa, Mbak. Ndak sopan."

"Gak apa-apa, kok. Gue jadi ngerasa lebih tua dari kamu kalo dipanggil 'mbak' gitu." Gadis bernama Della itu tertawa. Disambut beberapa pengunjung perpustakaan dengan memberikan kode melalui suitan kecil disertai telunjuk yang melintang di depan bibir mereka. "Sorry, guys!" ujar Della disertai kekehan pelan. "Kamu dari jawa, ya?"

"Enggih, Mbak. Eh .... "

Della mendecak. Entah kesal ataukah protes atas sapaanku barusan. "Gue sering lihat kamu lebih banyak ngabisin waktu istirahat di perpus, ketimbang di tempat lain. Kantin, misalnya?"

Aku tersenyum. Malu? Mungkin. Karena ruang perpustakaan, bagiku, adalah sarana tepat untuk mencari tambahan ilmu, di samping sebagai tempat untuk mengalihkan rasa lapar di waktu istirahat. Makan siang itu sesuatu yang tabu. Biasa, efesiensi biaya hidup kaum indekosan selama menetap di perantauan.

"Aku sedang mencari bahan makalah untuk mengerjakan tugas mata kuliah, Mbak. Eh, Del," jawabku memberi alasan. Agak sedikit menyesal karena untuk pertama kali memanggil orang yang baru dikenal dengan namanya langsung.

"Kelihatannya kamu gape (pintar) juga, Lya. Di kelas pun kamu termasuk siswa yang paling menonjol," kata Della. Menatapku tajam. Seakan tengah menguliti sekujur tubuh ini dengan sayatan bias bola matanya.

"Ah, ndak juga, Del. Biasa saja, kok." Mendadak wajahku terasa panas. "Mbak Del juga sedang mencari bahan makalah?"

Della tersenyum kecut. "Pusing gue, Lya. Otak gue gak bisa diajak kompromi kalo udah ngadepin mata kuliah yang satu ini. Rempong ... tahu gak?"

"Itu sebabnya Mbak Del banting-banting buku dan pensil ke atas meja tadi?" tanyaku tiba-tiba ingin menggodanya.

"Dari tadi elu merhatiin gue?" Bukan bernada membentak atau galak, tapi lebih ke perasaan malu jadi bahan perhatian atas ulahnya, pikirku.

"Maaf, Mbak Del. Ndak sengaja."

"Mbak Del ... Mbak Del .... " ujar Della menirukan sapaanku barusan. "Udah gue bilang jangan manggil gue 'mbak'. Gimana, sih, lu?"

"Woy! Berisik!" seru salah seorang pengunjung perpustakaan memberi peringatan.

"Sorry!" jawab Della sambil merengut. "Eh, makan siang, yuk. Gue yakin elu pasti belum makan, kan?" ajak gadis itu padaku.

Berpikir sejenak, lalu kujawab, "Terima kasih, deh, Del. Aku di sini aja. Masih nyari bahan."

Della memaksa. "Udah! Ayo, makan. Gue traktir elu, deh. Tenang aja."

"Bukan masalah itu, tapi .... "

"Rejeki gak boleh ditolak, Non! Let's go!" Della menarik lenganku. Terpaksa menurut. Mengikuti langkah gadis itu menuju ruang kantin. "Elu pesen sendiri, deh. Terserah," kata Della begitu tiba di tempat tujuan.

"Aku .... "

"Gak usah mikir lamhay. Gue yang bayar!" Gelak tawa Della kembali membahana. Kali ini tak akan ada yang protes. Semua bebas bersuara keras, tak seperti saat berada di ruangan perpustakaan tadi.

"Aku juga punya uang, kok, Del. Bisa bayar sendiri," kataku mencoba berdiplomasi. " ... atau sekalian aku bayarin makananmu juga, cukup uangnya."

Della tertawa. "Iya, gue percaya elu punya duit, Cuy. Tapi gue kudu tanggung jawab karena gue yang ngajak elu ke sini. Oke?"

"Terserah kamu saja, deh, Del."

"Nah, begitu, dong. Lebih enak, kan?"

Aneh, hampir di setiap ujung omongan, Della selalu tertawa. Mungkin sudah karakternya seperti itu. Periang. Jauh dari kesan angkuh yang selama ini kusangkakan.

"Ikut gabung, dong!" Satu suara berat datang di sela-sela acara makan siang kami. Milik seorang laki-laki muda perlente berwajah klimis oriental. Mirip bintang-bintang telenovela yang sering menghiasi layar televisi beberapa waktu lalu. Andre, begitu nama yang kutahu tentangnya. Masih teman satu kelas namun tak pernah sekali pun berbincang langsung seperti sekarang ini.

"Ngapain lu ke sini? Tempat lain masih banyak yang kosong," seloroh Della galak.

"Ya, gue pengennya di sini. Sambil ngelihatin elu, Del," jawab Andre menggoda Della.

"Basi!" rutuk gadis di sebelahku, namun dengan ekepresi wajah bersemu. "Bilang aja minta traktiran, Cuy."

"Kurang lebih kayak gitu," balas Andre dilanjutkan dengan tawanya. Sejenak mata laki-laki itu melirik ke arahku. "Elu berdua ... sekarang ... temenan?"

Aku menoleh pada Della.

"Suka-suka guelah. Apa urusan elu pake nanya-nanya? Kayak wartawan infotainmen aja lu," jawab Della masih bernada galak.

Andre tertawa. "Elu yang namanya .... "

"Alya," jawabku setelah beberapa saat menunggu Andre menyebutkan nama.

"Iya, Alya. Gadis asal jawa yang ngekos di daerah Slipi, kan?" Andre mencoba menebak. Aku dan Della saling berpandangan.

"Kok, elu tahu?" tanya Della heran. "Beneran elu tinggal di sana, Lya?" Aku mengangguk.

"Gue, kan, sering maen ke sana. Itu tempat kosannya si Alex. Makanya gue tahu," jawab Andre sambil mencomot makanan di piring Della. Gadis itu segera menepisnya.

"Jorok lu!"

Andre mengekeh.

Selanjutnya obrolan pun berjalan begitu saja. Santai penuh keakraban. Saat itu pula aku mulai mengenal Della, sekaligus Andre.

Jalinan pertemanan di antara kami kian terikat kuat. Terutama aku dengan Della. Hampir setiap berada di area kampus, tak pernah saling berjauhan. Tak sungkan-sungkan dia meminta bantuan mengerjakan tugas kuliah. Dengan senang hati kulakukan. Bahkan beberapa kali gadis itu sengaja berkunjung ke tempat kos, hanya sekedar berbagi curhatan. Tidur dan makan bersama sudah bukan sesuatu yang aneh.

Di waktu bersamaan, seiring dengan semakin akrabnya aku dengan Della, diam-diam Andre melakukan hal senada. Sapaan basa-basi hingga ajakan jalan-jalan bersama pun sering dia ungkapkan. Aku merasa ada perhatian berlebih dari laki-laki blasteran Spanyol itu padaku, ketimbang sama Della. Entahlah, apakah hanya perasaan saja ataukah memang benar begitu adanya. Yang jelas, bias mata Della setiap kali bertemu Andre pun terlihat lain. Suka? Aku tak tahu. Sementara di balik dada ini tak ada rasa sama sekali terhadap Andre, kecuali hanya menganggapnya sebatas sahabat biasa.

BERSAMBUNG

Bab 3

"Cuy, elu betah tinggal di kontrakan ini?" tanya Della suatu saat ketika bermain ke tempat kosanku.

Aku melirik sejenak sambil merapikan pakaian yang baru saja diangkat dari jemuran. Gadis itu melihat-lihat sekeliling ruangan berukuran 4X4 meter ditambah ruang dapur sempit. Hanya bisa dimasuki seorang saja.

"Aku sudah terbiasa hidup sederhana, Del. Bagiku, ndak masalah walau harus tinggal di mana juga," jawabku santai. "Lagipula, ini kontrakan termurah yang bisa aku tempati di sini. Lumayan untuk belajar hidup hemat."

Della menoleh. "Yang gue tanya elu betah kagak?"

"Lumayan betah, Del."

"Hhmm ... berapa elu bayar sebulannya?" tanya Della kembali.

Aku menarik napas sejenak. "Tak lebih mahal dari uang jajan kamu sebulan. Hehehe."

Della tersenyum kecut. "Dengan fasilitas MCK bersama di luar ruangan itu?"

Aku mengangguk.

"Gila! Pasti elu sering ngantri ama penghuni kamar sebelah, ya?" Della menggeleng beberapa kali.

"Artinya aku harus bangun lebih pagi kalo ndak mau ikut ngantri. Gampang, toh?" jawabku diiringi tawa perlahan.

Della hanya merespon dengan seringai kecutnya. Setelah hening sejenak, kemudian gadis itu berkata, "Padahal kalo elu mau, elu bisa tinggal bareng gue. Gratis, Cuy. Sekalian nemenin gue di rumah."

Aku menghentikan aktivitas, menatap Della yang sedang memainkan ponsel. "Maksud kamu?"

Della mengalihkan pandangan ke arahku. "Ya, pindah. Tinggal di rumah gue," jawabnya dengan gaya cuek. "Gue, kan, anak tunggal. Suatu waktu, sering ditinggal bokap keluar kota. Kalo udah gitu, paling gue minta ditemenin ama tetangga sebelah, Bi Mamas. Dia yang sering gue pintain tolong."

Aku mulai berpikir, tapi rasa ini seperti ingin menolak ajakan Della barusan. Tak enak kalau harus merepotkan orang lain. Bukankah kedatanganku ke kota ini salah satunya untuk belajar mandiri?

"Terima kasih, deh, Del. Aku ndak pernah berpikir sejauh itu. Lagian di sini juga, aku sudah cukup, kok," kataku akhirnya.

"Susah, ya, ngomong sama elu, Lya. Segalanya kudu dipaksa. Sebel!" rutuk Della cemberut.

"Ya, bukannya nampik, tapi segala sesuatu, kan, harus dipikir-pikir dulu, Del," timpalku beralasan.

"Ngapain pake dipikir segala? Udah jelas gue ngasih elu tawaran buat ngebantu elu. Dasar, keras kepala!" kata gadis itu semakin memajukan bibirnya, disambut kekehanku. "Nyengir aja lu! Mikir ngapa, Cuy?"

Kembali aku tertawa. "Aku bisa mengenal kamu seperti ini saja sudah lebih dari cukup, Del. Aku ndak mau berharap lebih, apalagi sampai merepotkan kamu."

"Gue gak repot. Gue sebel aja ama sikap elu yang sok jaim itu. Huh!" kembali Della merutuk. Dia memaling wajah sambil rebahan di atas tempat tidur. Sebentar kemudian membalikkan badan lalu berkata, "Eh, Cuy! Maen ke rumah gue, yuk."

Aku meletakkan pakaian terakhir yang tersusun rapih di dalam wadah. "Ngapain?"

"Ya, ngapain, kek," jawab Della, "karaokean, nonton TV, browsing internet, atau juga ... beresin tugas kuliah kita."

O, iya. Aku ingat, memang masih ada satu tugas lagi yang harus segera dituntaskan. Mencari bahan yang bagus melalui internet, mungkin bisa lebih cepat ketimbang harus membaca-baca berbagai buku. Apalagi waktunya sudah mendesak. "Sekarang?" tanyaku pura-pura bingung.

"Ya, sekaranglah, Cuy. Kapan lagi? Mumpung sore, nih," jawab Della tersenyum merekah. Mungkin kali ini akan berhasil merayuku bertandang ke rumahnya.

"Ya, sudah. Tapi aku mandi dulu, ya? Gerah, nih, Del."

"Gak usah! Elu bisa ngebak di rumah gue sepuasnya. Ayo, ah!" Della bangkit dan menarik tanganku. "Come on."

Terpaksa aku menuruti ajakannya. Setelah merapikan kamar dan membawa peralatan tulis secukupnya dalam tas, kami bergegas keluar kamar. Tak lupa mengunci pintu.

Di pekarangan, terparkir sebuah kendaraan roda empat mungil bercat merah muda. Dengan sigap Della segera masuk ke dalamnya dan duduk di belakang kemudi.

"Sebentar, Del," ucapku sesaat setelah ikut duduk di sebelah Della.

"Ada apalagi, sih?" tanya Della urung menghidupkan mesin kendaraan.

"Itu bukannya Andre?" Della mengikuti arah pandangku ke belakang kendaraan, melalui kaca spion.

"Ngapain tuh cowok datang ke sini?" Della ikut memperhatikan sosok Andre yang datang dengan sepeda motor gedenya. Menggerung-gerungkan mesin sebentar di depan rumah kontrakanku.

Della menurunkan kaca jendela sebelahku, lalu berseru nyaring hingga membuat telinga ini berdenging, "Woy, mau ngapain?"

Andre menoleh ke arah kami. Laki-laki itu segera turun dari atas motor, lalu berjalan menghampiri. "Oh, elu, Del, Lya. Gue kira mobil siapa? Mau pergi?"

Aku menoleh pada Della. Gadis itu mengangkat alisnya. "Aku mau ke rumah Della."

Andre mengangguk-angguk.

"Elu lagi ngapain di sini? Abis dari kontrakan si Alex?" Della bertanya.

Kembali Andre mengangguk perlahan. Matanya menatap tajam ke arahku. "Iya. Sekalian lewat sini."

"Lewat atau sengaja mau ketemu Alya?" tanya Della tiba-tiba. Aku menepuk lengan gadis itu. "Del, apaan, sih?" Aku mendadak grogi. Della merengut.

Andre hanya mesem-mesem, seraya menggaruk kepala.

"Ndre, kita berangkat dulu, ya," kataku tak ingin berlama-lama. Laki-laki itu hanya mengangguk. "Del, kita jalan saja, yuk."

Della segera menghidupkan mesin kendaraan. "Bye, Ndre! Kita capcus, ya."

Andre melambaikan tangan. Tatapan matanya tak bergeming memperhatikanku melalui kaca spion. Kemudian perlahan tertutup kaca jendela hitam.

"Kayaknya dia demen sama elu, Lya." Tiba-tiba Della berucap. Aku langsung terhentak. "Maksud kamu?" tanyaku kaget.

"Si Andre naksir elu. Masa segitu aja kagak ngerasa, sih? Payah. Gak peka amat lu jadi cewek," jawab Della tanpa menoleh sedikit pun padaku.

'Justru aku pikir, kamulah yang menyimpan rasa suka itu, Del' kataku dalam hati.

"Biasa saja, kok, Del. Dia cuma temen. Sama kayak kamu dan yang lainnya." Aku berusaha mengelak. Tak enak jika berbicara masalah itu dengan Della. Apalagi ....

"Jadi cewek jangan polos-polos amat, Cuy," lanjut Della di antara kemudinya. "Hampir tiap kali lihat elu, mata si Andre kayak klepek-klepek gitu. Hihihi."

Aku tersenyum. "Sudah, ah. Aku ndak mau ngomongin masalah begitu. Aku ingin fokus kuliah dulu, Del."

"Masa, sih?" goda Della diiringi gelaknya seperti biasa. Aku menepuk bahu gadis itu.

Sepanjang perjalanan kemudian, hanya diisi dengan obrolan ringan biasa. Seputar kehidupanku di kampung, keluarga, serta rencana setelah usai kuliah. Sesekali Della juga bercerita tentang dirinya. Dari sanalah, aku mengetahui tentang gadis itu. Anak semata wayang dari seorang laki-laki bernama Bram, yang lama ditinggal istrinya meninggal dunia karena sakit.

"Hai, Pah," sapa Della setiba di rumah dan langsung menyapa seorang laki-laki paruh baya namun masih kelihatan segar serta menarik. "Hai, Sayang. Dari mana kamu?" tanyanya sambil membalas pelukan hangat Della. "Dari kontrakan Alya. O, iya. Kenalkan, Pah, ini Alya. Teman kuliahku."

"Hai, Alya. Senang sekali kamu bisa dekat dengan Della. Saya Bram, papahnya Della," ucapnya seraya mengajak salaman. Suara besar dan berat, namun terdengar kharismatik. Sangat lelaki sekali, pikirku. "Hai, Pak Bram. Namaku Alya."

Bram tersenyum ramah. Cekalan jemarinya begitu kuat, menghentak persendianku hingga hampir terasa luluh lantak. Apalagi sepanjang lengan laki-laki itu dipenuhi bulu-bulu halus. Ah, mengapa jantungku tiba-tiba berdebar?

"Panggil saja Om Bram. Jangan pake 'pak', ya? Nanti saya dikira sudah tua," ujarnya masih lekat menggenggam jemariku dengan kuat. Aku berharap memang demikian.

"Pah .... " Della menyela melihat ulah usil papahnya. "O, iya. Saya senang kalo kamu mau bertahan berteman dengan Della. Dia memang jarang punya teman dekat. Kecuali Bi Mamas, tetangga kami sebelah," lanjut Bram diiringi kekehannya.

"Pah! Mulai, deh!" Della protes.

"Iya, Om. Tapi .... " Aku merasa tak enak hati. "Iya, Lya. Ada apa?" tanya Bram menatap tajam mataku. "Tangannya dilepas dulu, Om," jawabku terbata-bata.

Bram baru tersadar. Lalu segera melepaskan jabat tangannya. "Oh, maaf. Saya lupa."

Aku menunduk malu. Mendadak wajah ini terasa panas. Ah, semoga saja tak sampai berubah warna.

Ya, Tuhan! Mengapa hentakkan jantung ini belum juga normal? Rasanya tulang rusuk pun sampai ngilu. Entah apa yang merasukiku? Hingga tak sadar beberapa kali Della memanggil-manggil, tak jua bisa menyadarkan.

"Eh, iya. Ada apa, Del?" tanyaku akhirnya diujung lamunan.

"Elu ini kenapa, sih? Gue panggil-panggil dari tadi diam aja," semprot Della kesal.

"O, iya, Om. Aku juga senang bisa menjadi teman Della, Om," kataku gugup dengan wajah masih terasa panas.

Della melongo. "Woy! Bokap gue udah dari tadi pergi ke belakang!" seru Della heran. Aku terkejut. "Oh, maaf, Om. Eh, Del. Aduh ... eh!"

"Elu kenapa, sih, Cuy? Kesambet?" Della tertawa. Dia menarik lenganku. "Yuk, ke kamar gue!"

"Di mana?" Aku masih belum sepenuhnya sadar. "Lantai atas. Di mana lagi?" Della mengajakku menuju kamar tidurnya.

"Oh, iya, Del." Akhirnya dengan perasaan bingung, aku mengikuti langkah gadis itu meniti anak tangga satu per satu.

Besar juga rumah keluarga ini. Mewah menurut ukuranku yang terbiasa hidup di kampung. Ada beberapa ruangan serta perabotan terpajang di sana. Tertata dengan rapi dan bersih. Sempat menyapu seisi ruang, sambil mencari-cari sosok tadi yang sempat membuatku linglung. Om Bram.

BERSAMBUNG

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!