Bab 3

"Cuy, elu betah tinggal di kontrakan ini?" tanya Della suatu saat ketika bermain ke tempat kosanku.

Aku melirik sejenak sambil merapikan pakaian yang baru saja diangkat dari jemuran. Gadis itu melihat-lihat sekeliling ruangan berukuran 4X4 meter ditambah ruang dapur sempit. Hanya bisa dimasuki seorang saja.

"Aku sudah terbiasa hidup sederhana, Del. Bagiku, ndak masalah walau harus tinggal di mana juga," jawabku santai. "Lagipula, ini kontrakan termurah yang bisa aku tempati di sini. Lumayan untuk belajar hidup hemat."

Della menoleh. "Yang gue tanya elu betah kagak?"

"Lumayan betah, Del."

"Hhmm ... berapa elu bayar sebulannya?" tanya Della kembali.

Aku menarik napas sejenak. "Tak lebih mahal dari uang jajan kamu sebulan. Hehehe."

Della tersenyum kecut. "Dengan fasilitas MCK bersama di luar ruangan itu?"

Aku mengangguk.

"Gila! Pasti elu sering ngantri ama penghuni kamar sebelah, ya?" Della menggeleng beberapa kali.

"Artinya aku harus bangun lebih pagi kalo ndak mau ikut ngantri. Gampang, toh?" jawabku diiringi tawa perlahan.

Della hanya merespon dengan seringai kecutnya. Setelah hening sejenak, kemudian gadis itu berkata, "Padahal kalo elu mau, elu bisa tinggal bareng gue. Gratis, Cuy. Sekalian nemenin gue di rumah."

Aku menghentikan aktivitas, menatap Della yang sedang memainkan ponsel. "Maksud kamu?"

Della mengalihkan pandangan ke arahku. "Ya, pindah. Tinggal di rumah gue," jawabnya dengan gaya cuek. "Gue, kan, anak tunggal. Suatu waktu, sering ditinggal bokap keluar kota. Kalo udah gitu, paling gue minta ditemenin ama tetangga sebelah, Bi Mamas. Dia yang sering gue pintain tolong."

Aku mulai berpikir, tapi rasa ini seperti ingin menolak ajakan Della barusan. Tak enak kalau harus merepotkan orang lain. Bukankah kedatanganku ke kota ini salah satunya untuk belajar mandiri?

"Terima kasih, deh, Del. Aku ndak pernah berpikir sejauh itu. Lagian di sini juga, aku sudah cukup, kok," kataku akhirnya.

"Susah, ya, ngomong sama elu, Lya. Segalanya kudu dipaksa. Sebel!" rutuk Della cemberut.

"Ya, bukannya nampik, tapi segala sesuatu, kan, harus dipikir-pikir dulu, Del," timpalku beralasan.

"Ngapain pake dipikir segala? Udah jelas gue ngasih elu tawaran buat ngebantu elu. Dasar, keras kepala!" kata gadis itu semakin memajukan bibirnya, disambut kekehanku. "Nyengir aja lu! Mikir ngapa, Cuy?"

Kembali aku tertawa. "Aku bisa mengenal kamu seperti ini saja sudah lebih dari cukup, Del. Aku ndak mau berharap lebih, apalagi sampai merepotkan kamu."

"Gue gak repot. Gue sebel aja ama sikap elu yang sok jaim itu. Huh!" kembali Della merutuk. Dia memaling wajah sambil rebahan di atas tempat tidur. Sebentar kemudian membalikkan badan lalu berkata, "Eh, Cuy! Maen ke rumah gue, yuk."

Aku meletakkan pakaian terakhir yang tersusun rapih di dalam wadah. "Ngapain?"

"Ya, ngapain, kek," jawab Della, "karaokean, nonton TV, browsing internet, atau juga ... beresin tugas kuliah kita."

O, iya. Aku ingat, memang masih ada satu tugas lagi yang harus segera dituntaskan. Mencari bahan yang bagus melalui internet, mungkin bisa lebih cepat ketimbang harus membaca-baca berbagai buku. Apalagi waktunya sudah mendesak. "Sekarang?" tanyaku pura-pura bingung.

"Ya, sekaranglah, Cuy. Kapan lagi? Mumpung sore, nih," jawab Della tersenyum merekah. Mungkin kali ini akan berhasil merayuku bertandang ke rumahnya.

"Ya, sudah. Tapi aku mandi dulu, ya? Gerah, nih, Del."

"Gak usah! Elu bisa ngebak di rumah gue sepuasnya. Ayo, ah!" Della bangkit dan menarik tanganku. "Come on."

Terpaksa aku menuruti ajakannya. Setelah merapikan kamar dan membawa peralatan tulis secukupnya dalam tas, kami bergegas keluar kamar. Tak lupa mengunci pintu.

Di pekarangan, terparkir sebuah kendaraan roda empat mungil bercat merah muda. Dengan sigap Della segera masuk ke dalamnya dan duduk di belakang kemudi.

"Sebentar, Del," ucapku sesaat setelah ikut duduk di sebelah Della.

"Ada apalagi, sih?" tanya Della urung menghidupkan mesin kendaraan.

"Itu bukannya Andre?" Della mengikuti arah pandangku ke belakang kendaraan, melalui kaca spion.

"Ngapain tuh cowok datang ke sini?" Della ikut memperhatikan sosok Andre yang datang dengan sepeda motor gedenya. Menggerung-gerungkan mesin sebentar di depan rumah kontrakanku.

Della menurunkan kaca jendela sebelahku, lalu berseru nyaring hingga membuat telinga ini berdenging, "Woy, mau ngapain?"

Andre menoleh ke arah kami. Laki-laki itu segera turun dari atas motor, lalu berjalan menghampiri. "Oh, elu, Del, Lya. Gue kira mobil siapa? Mau pergi?"

Aku menoleh pada Della. Gadis itu mengangkat alisnya. "Aku mau ke rumah Della."

Andre mengangguk-angguk.

"Elu lagi ngapain di sini? Abis dari kontrakan si Alex?" Della bertanya.

Kembali Andre mengangguk perlahan. Matanya menatap tajam ke arahku. "Iya. Sekalian lewat sini."

"Lewat atau sengaja mau ketemu Alya?" tanya Della tiba-tiba. Aku menepuk lengan gadis itu. "Del, apaan, sih?" Aku mendadak grogi. Della merengut.

Andre hanya mesem-mesem, seraya menggaruk kepala.

"Ndre, kita berangkat dulu, ya," kataku tak ingin berlama-lama. Laki-laki itu hanya mengangguk. "Del, kita jalan saja, yuk."

Della segera menghidupkan mesin kendaraan. "Bye, Ndre! Kita capcus, ya."

Andre melambaikan tangan. Tatapan matanya tak bergeming memperhatikanku melalui kaca spion. Kemudian perlahan tertutup kaca jendela hitam.

"Kayaknya dia demen sama elu, Lya." Tiba-tiba Della berucap. Aku langsung terhentak. "Maksud kamu?" tanyaku kaget.

"Si Andre naksir elu. Masa segitu aja kagak ngerasa, sih? Payah. Gak peka amat lu jadi cewek," jawab Della tanpa menoleh sedikit pun padaku.

'Justru aku pikir, kamulah yang menyimpan rasa suka itu, Del' kataku dalam hati.

"Biasa saja, kok, Del. Dia cuma temen. Sama kayak kamu dan yang lainnya." Aku berusaha mengelak. Tak enak jika berbicara masalah itu dengan Della. Apalagi ....

"Jadi cewek jangan polos-polos amat, Cuy," lanjut Della di antara kemudinya. "Hampir tiap kali lihat elu, mata si Andre kayak klepek-klepek gitu. Hihihi."

Aku tersenyum. "Sudah, ah. Aku ndak mau ngomongin masalah begitu. Aku ingin fokus kuliah dulu, Del."

"Masa, sih?" goda Della diiringi gelaknya seperti biasa. Aku menepuk bahu gadis itu.

Sepanjang perjalanan kemudian, hanya diisi dengan obrolan ringan biasa. Seputar kehidupanku di kampung, keluarga, serta rencana setelah usai kuliah. Sesekali Della juga bercerita tentang dirinya. Dari sanalah, aku mengetahui tentang gadis itu. Anak semata wayang dari seorang laki-laki bernama Bram, yang lama ditinggal istrinya meninggal dunia karena sakit.

"Hai, Pah," sapa Della setiba di rumah dan langsung menyapa seorang laki-laki paruh baya namun masih kelihatan segar serta menarik. "Hai, Sayang. Dari mana kamu?" tanyanya sambil membalas pelukan hangat Della. "Dari kontrakan Alya. O, iya. Kenalkan, Pah, ini Alya. Teman kuliahku."

"Hai, Alya. Senang sekali kamu bisa dekat dengan Della. Saya Bram, papahnya Della," ucapnya seraya mengajak salaman. Suara besar dan berat, namun terdengar kharismatik. Sangat lelaki sekali, pikirku. "Hai, Pak Bram. Namaku Alya."

Bram tersenyum ramah. Cekalan jemarinya begitu kuat, menghentak persendianku hingga hampir terasa luluh lantak. Apalagi sepanjang lengan laki-laki itu dipenuhi bulu-bulu halus. Ah, mengapa jantungku tiba-tiba berdebar?

"Panggil saja Om Bram. Jangan pake 'pak', ya? Nanti saya dikira sudah tua," ujarnya masih lekat menggenggam jemariku dengan kuat. Aku berharap memang demikian.

"Pah .... " Della menyela melihat ulah usil papahnya. "O, iya. Saya senang kalo kamu mau bertahan berteman dengan Della. Dia memang jarang punya teman dekat. Kecuali Bi Mamas, tetangga kami sebelah," lanjut Bram diiringi kekehannya.

"Pah! Mulai, deh!" Della protes.

"Iya, Om. Tapi .... " Aku merasa tak enak hati. "Iya, Lya. Ada apa?" tanya Bram menatap tajam mataku. "Tangannya dilepas dulu, Om," jawabku terbata-bata.

Bram baru tersadar. Lalu segera melepaskan jabat tangannya. "Oh, maaf. Saya lupa."

Aku menunduk malu. Mendadak wajah ini terasa panas. Ah, semoga saja tak sampai berubah warna.

Ya, Tuhan! Mengapa hentakkan jantung ini belum juga normal? Rasanya tulang rusuk pun sampai ngilu. Entah apa yang merasukiku? Hingga tak sadar beberapa kali Della memanggil-manggil, tak jua bisa menyadarkan.

"Eh, iya. Ada apa, Del?" tanyaku akhirnya diujung lamunan.

"Elu ini kenapa, sih? Gue panggil-panggil dari tadi diam aja," semprot Della kesal.

"O, iya, Om. Aku juga senang bisa menjadi teman Della, Om," kataku gugup dengan wajah masih terasa panas.

Della melongo. "Woy! Bokap gue udah dari tadi pergi ke belakang!" seru Della heran. Aku terkejut. "Oh, maaf, Om. Eh, Del. Aduh ... eh!"

"Elu kenapa, sih, Cuy? Kesambet?" Della tertawa. Dia menarik lenganku. "Yuk, ke kamar gue!"

"Di mana?" Aku masih belum sepenuhnya sadar. "Lantai atas. Di mana lagi?" Della mengajakku menuju kamar tidurnya.

"Oh, iya, Del." Akhirnya dengan perasaan bingung, aku mengikuti langkah gadis itu meniti anak tangga satu per satu.

Besar juga rumah keluarga ini. Mewah menurut ukuranku yang terbiasa hidup di kampung. Ada beberapa ruangan serta perabotan terpajang di sana. Tertata dengan rapi dan bersih. Sempat menyapu seisi ruang, sambil mencari-cari sosok tadi yang sempat membuatku linglung. Om Bram.

BERSAMBUNG

Terpopuler

Comments

Ida

Ida

Baru kenalan uda keder ya lya

2020-07-16

0

yulia ari

yulia ari

semangattt

2020-07-16

0

Yhu Nitha

Yhu Nitha

like 👍

2020-07-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!