B U C I N (5)
Penulis : Daoed Soelaeman Shobari
Alunan tembang Another Day in Paradise milik Phill Collins menggema memenuhi ruang interior kendaraan. Bram mengikuti lirik demi lirik lagu tersebut dengan fasih, di belakang kemudi. Di sebelahnya ada Della, terpejam dengan lubang telinga tertutup rapat earpieces. Tertidurkah atau memang sengaja menutup mata sambil menikmati dendang lain? Sementara aku lebih banyak terdiam, duduk di deretan kursi belakang. Mempermainkan jemari di atas layar ponsel. Sesekali mata ini menatap lurus mirror tengah, memperhatikan wajah Bram yang ceria.
"Della, Sayang," panggil Bram seraya melirik putri semata wayangnya. Gadis itu tak merespon. Mungkin benar tertidur, bisa jadi suara laki-laki itu kalah keras dengan volume headsetnya. "Del .... " Bram mengulangi sekali lagi. Della tetap tak bergeming.
Seketika mata Bram beralih mengintipku melalui pantulan cermin kendaraan. Bersamaan dengan buangan arah mata ini ke tempat lain. Sialan, ketahuan juga aku tengah mencuri pandang.
"Alya .... " panggil Bram kemudian. "Eh, iya, Om," jawabku gugup tersipu. Semoga wajah ini tak berubah mirip udang rebus. Sorot mata tajam itu masih menatap memperhatikanku.
"Kamu lapar? Kita mampir dulu, ya, di restoran depan sana," ucap Bram diiringi senyumnya. Hhmmm ... aku tak kuasa menjawab. Menikmati seringai menawan di depanku itu saja, rasanya cukup membuat sirna rasa perih perut ini. Ya, Tuhan. Entah mengapa tiap kali berada di sekitar laki-laki itu, gemuruh di dadaku tak pernah berhenti membuncah.
"Kok, diam? Kamu gak lagi sariawan, kan, Alya?" goda Bram kembali mengintipku dengan seksama. "Oh, iya, Om." Hanya kalimat itu yang sanggup terucap disertai getaran jemari mengusap-usap badan ponsel. Hampir saja terlepas dari genggaman, jika tak segera kuayunkan ke atas pangkuan.
Ah, benar-benar sulit kumengerti. Entah sihir apa yang dimiliki sosok berbrewok tipis di depan itu. Alam sadar serta kontrol hati ini seringkali tak berfungsi, begitu pesonanya menghujam titik rasaku. Gemetar, gugup, sulit berbicara, bahkan panas-dingin yang menyiksa kerap datang melanda. Seumur hidup tak pernah merasakan hal demikian, terhadap laki-laki mana pun. Namun aura Om Bram? Ya, Tuhan. Semoga aku mampu mengontrol serta menahan diri.
Mungkin aku tipe perempuan yang sulit sekali jatuh hati. Semenjak mengenal dunia baligh dan mengenal lawan jenis, sama sekali belum pernah merasakan hentakan sedahsyat ini. Maksudnya seperti saat melihat Om Bram. Bramanditya Satriadireja, nama lengkap dia. Laki-laki berusia dua kali lipat lebih dari umurku, berambut ikal tipis, postur tinggi dengan berat badan ideal, serta hiasan bulu-bulu di beberapa bagian tubuhnya itulah yang sering membuatku seolah meleleh begitu saja.
Jujur, banyak dari teman-teman lelakiku memiliki ciri-ciri yang hampir mirip dengan Om Bram, namun tak ada yang sanggup menggetarkan hati ini. Bahkan seorang Andre sekali pun yang memiliki kontaminasi darah bule, bagiku biasa terasa saja. Padahal dengan modal wajah tampan serta kulit putih kemerahan layaknya turis Erofa, aku harus berjejer dalam antrian panjang jika ingin mendapatkan perhatiannya.
Entahlah, aku lebih menyukai pria matang, jauh lebih tua namun berpenampilan modis, kharismatik, bersuara berat, postur semampai, dan 'berumput' hitam. Kriteria itu benar-benar nyata ada dalam tubuh Bram, papahnya Della. Laki-laki yang katanya memilih jomlo hampir sepuluh tahunan semenjak ditinggal mati sang istri. Ah, agak sangsi sekali, jika dalam kurun waktu selama itu, dia sanggup menahan diri dari gemerlap wanita-wanita dunia yang penuh pesona. Di luar sana mungkin dia mempunyai simpanan. Meragukan bila ada dari kaumku yang tak ikut luluh melihat kesempurnaan fisik seorang Bram. Perempuan itu salah satunya aku.
Mungkinkah karena sedari usia sepuluh tahun dulu, aku tak pernah lagi merasakan sentuhan kasih sayang seorang bapak? Lalu kini terobsesi untuk menambal kekuranganku itu pada sosok laki-laki yang sudah benar-benar matang. Empat puluh tahun, adalah saat di mana hampir semua kaum pejantan memuncaki masa-masa sebenarnya sebagai seorang lelaki. Dewasa dan mampu mengayomi sepenuh hati. Memahami apa yang sebenarnya diperlukan oleh pasangannya. Wanita.
Salahkah jika karena hal-hal demikian itu, yang mendasari aku sampai ingin bertekuk lutut menyerahkan diri sepenuhnya pada sosok seperti Bram? Fakta yang harus kuhadapi saat ini adalah laki-laki itu bapak kandung sahabatku sendiri. Seorang anak perempuan pencemburu dan tak segan-segan mendepak siapa pun yang berani mendekati papahnya. Sama sekali tak ingin ada wanita lain ikut menjadi kompetitor untuk mendapatkan kasih sayang dari Bram seorang. Lalu bagaimana denganku? Akankah rasa ini hanya akan menjadi penghias, sekaligus penyiksa batin seumur hidup selama aku berada di tengah-tengah mereka? Persahabatan yang abadi atau melabuhkan kesempatan impian yang hanya sekali?
Mungkinkah mampu membiaskan rasa ini dengan menerima ungkapan hati Andre beberapa waktu yang lalu? Ya, laki-laki berwajah oriental itu pernah menyatakan ketertarikannya padaku.
"Aku menyukai kamu, Lya," ucap Andre kala itu di saat aku duduk sendiri di taman kampus, menunggu Della yang tengah menghadap dosen. "Semula aku mencoba berpikir dan menelaah, mungkin rasaku ini bersifat semu. Sebatas cinta yang tiba-tiba mampir sejenak karena kita sering bertemu. Tapi semakin lama, aku tidak ingin menahannya. Aku yakin bahwa perasaanku ini murni karena aku ... menyukai kamu, Lya."
Aku terdiam. Sama sekali tak ingin memberikan respon maupun jawaban saat itu. Membiarkan Andre duduk di sebelah sambil berceloteh mengurai semua isi hati, demi mendapatkan apa yang dia harapkan.
"Gimana, Lya? Kamu mau, kan, menerima kehadiranku?" tanya Andre meminta kepastian. Aku tak ingin menoleh, menatap mata laki-laki itu. Tidak. Khawatir timbul rasa lain yang tak ingin mengecewakannya.
Aku tahu, ada sosok perempuan lain yang berharap dia menjadi kekasihnya. Tak lain adalah Della. Di balik ke-apatis-an gadis itu terhadap Andre, aku yakin dia menyimpan rasa suka. Sorot mata serta sikap berbeda yang dibalut gelak tawa maupun celoteh ganjil, itu tak bisa disembunyikan dari radar batinku. Della menyukai Andre.
"Terima kasih atas kejujuranmu, Ndre. Tapi .... " Aku berhenti sejenak untuk berpikir, khawatir kalimat berikutnya akan melukai dia. "Aku sedang tak ingin berpikir ke arah itu dulu. Aku ingin fokus pada pendidikan, Ndre."
"Emang apa salahnya kalo sambil dijalani bersama-sama, Lya? Belajar dalam kuliah dan belajar memahami karakter serta perasaan kita satu sama lain." Andre mencoba berdiplomasi.
"Justru sekarang kamu juga sedang mempelajari prinsipku, Ndre. Aku orangnya keras kepala," jawabku bertahan. "Lagipula, kenapa harus aku? Masih banyak perempuan cantik lainnya yang bisa kamu dapatkan. Della, misalnya."
Andre tersenyum kecut. "Lya ... Lya .... Ini masalah hati. Bukan tentang selera yang bisa setiap saat berubah-ubah."
Ya, aku paham itu. Sama halnya dengan rasa ini yang belum juga mau luntur dari sosok Bram. Aku tak yakin dengan kehadiran Andre kelak, akan mampu mengikis sedemikian rupa hasrat yang kerap menggelora. Tapi ... apa salahnya dicoba? Lalu bagaimana dengan Della? Haruskah kukandaskan harapan gadis itu untuk dekat dengan Andre?
"Gimana, Lya? Kamu mau, kan, menerima aku?" Lagi-lagi Andre menekanku.
"Beri aku waktu berpikir, Ndre. Tak semudah dan tak harus secepat itu mengambil keputusan. Aku ini perempuan, Ndre," jawabku sambil melihat-lihat sekitar. Khawatir sosok Della tiba-tiba muncul di antara kami.
Andre mengangguk-angguk beberapa kali. "Ya, aku paham itu. Berapa lama?"
"Aku tak bisa memastikannya, Ndre."
"Kenapa?"
"Ya, Tuhan. Kamu masih harus banyak mempelajari sifat-sifat kaum perempuan, Ndre. Aku bilang juga tak semudah itu." Aku menggeser bokong menjauhi Andre yang semakin mepet.
Laki-laki baru menyadari kekonyolannya. Dia turut bergeser agak menjauh dari tempat dudukku. "O, iya. Maaf."
"Aku akan menunggu jawabanmu, Lya. Sampai kapan pun," lanjut Andre kemudian. Aku tak menjawab.
"Lya .... "
Aku masih tetap diam.
"Lya!"
"Andre! Kamu .... " Aku terperangah. Mana pemuda itu? Lho ... kok, menghilang? Dia ... dia ....
"Lya .... "
"Om Bram," gumamku setelah tersadar sepenuhnya dari lamunan. Laki-laki setengah baya itu tersenyum di antara dahi yang mengerut. "Siapa itu Andre? Pacarmu?" tanyanya tanpa jeda.
Aku kelimpungan. "Bukan, Om. Cuma teman biasa. Teman kuliah."
"Beneran?" Mata Bram menyelidik. Aku mengangguk. "Oke, mau pesan makanan apa?"
Aku terkesiap. "Makan? Bukankah kita .... " Kutepuk jidat dengan keras. Ini sudah berada di dalam restoran. Kapan tibanya?
"Kamu sampai tak sadar jalan dari depan ke dalam sini, Lya? Kamu jalan sendiri, lho. Bukan Om gendong," ujar Bram bermaksud berkelakar.
Aku menarik napas panjang. Benar-benar lamunanku tadi membutakan semua. "Della mana, Om?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Bram tersenyum. "Dia ke toilet," jawabnya sambil mengambil daftar menu di atas meja. "Mau makan apa?"
"Idem sama Om aja, deh."
"Beneran?"
"Iya, Om."
Bram mulai memilih satu per satu. "Kamu jangan makan makanan yang mengandung lemak, ya?"
Aku menoleh sejenak ke arah laki-laki itu dari pandangan atas layar ponsel. "Memangnya kenapa, Om? Aku .... "
Mata Bram menatap lekat tubuhku yang tengah duduk berhadapan. "Kamu masih muda. Tubuhmu bagus dengan kulit eksotis. Wajahmu juga cantik."
"Aih, Om Bram." Mendadak wajahku membara panas. Diikuti detak jantung yang semula normal, kini mulai bergemuruh kembali.
"Kamu harus pandai merawat diri, Lya," ujar Bram menambahkan.
Jejak kakiku terasa tak menapak. Terayun hingga membumbung tinggi. Apalagi ... apalagi ... Tuhanku! Sekilas aku seperti melihat mata kiri laki-laki itu mengedip diiringi senyum manisnya. Nyatakah itu? Atau sekedar halusinasi atas rasa yang tengah membakar seisi dada ini?
Ah, semakin tak menentu rasanya dalam kondisi seperti ini. Bingung harus berkata apa, namun berharap agar Della tak secepatnya kembali bergabung di antara kami. Lho?
Pramusaji datang mencatat pesanan. Tak lama kemudian bergegas meninggalkan kami. Seketika hening pun menyelimuti. Sampai Bram berucap, "Andre itu beneran bukan siapa-siapa kamu, Lya?"
Aku mengangkat wajah. "Iya, Om?"
"Andre."
"Kenapa dengan Andre, Om?" Aku masih belum paham. Tadi fokus menjawab beberapa pesan instan di ponsel. "Laki-laki itu, beneran hanya teman biasa kamu?"
Aku tersentak. Tak menduga kalau Bram akan bertanya tentang Andre lagi.
Sedikit gugup, aku berusaha menjawab, "Bukan, Om. Hanya teman kuliah Alya saja."
"Ooohh .... "
Della tiba-tiba muncul. Dia menatap kami berdua. Terutama aku. "Ada apa, nih? Kok, diem-dieman?" tanyanya dengan gaya cuek. "Muka elu juga, Cuy. Kayak kepiting rebus gitu."
Aku mengusap wajah. Masih terasa panas. "Gerah, Del. Duh .... " Aku mengipas-ngipaskan jemari.
"Gila! Ruangan segini dingin, masa masih panas? Sakit lu, ya?" Della beralih menatap wajah papanya yang pura-pura sibuk mengusap-usap layar ponsel. "Beneran gak ada apa-apa waktu Della gak di sini, Pah?"
Bram mengangkat wajah. "Eeumm? Gak tahu. Papah dari tadi sibuk buka e-mail, Sayang."
Della cemberut. Kemudian ikut menundukkan kepala, membuka layar ponsel di atas pangkuannya. Aku melirik sejenak. Mengintip Della, juga Om Bram. Kebetulan laki-laki itu pun tengah melakukan hal yang sama. Saat tatapan kami beradu, Bram mengedipkan mata kirinya.
PRAK!
"Aduh!"
"Kenapa, Cuy?"
"HP-ku jatuh!" Aku merunduk ke bawah meja, memungut ponsel yang tergeletak tak jauh dari kakiku. Juga kaki Bram. Sesaat sebelum bangkit berdiri, Tuhan ... ampunilah, ujung mata ini menyempatkan melirik ke arah pangkal paha Om Bram. Seketika darahku berdesir kencang menuju kepala dan ....
DUK!
Aku terantuk bagian bawah meja. "Aduh!"
"Alya!" Om Bram dan Della serentak ikut melongok ke bawah.
Aku terkekeh sambil mengusap-usap kepala. Lumayan, pening!
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Ida
Waduh nih kyk nya papa della juga ada sesuatu nih
2020-07-16
0
Bundanya Naz
kayaknya papa dela jg...
2020-07-15
0
Kautsar Soraya
dag dig dug...
2020-07-13
0