Beberapa jam kemudian.
Dea segera kembali ke kamar setelah Susi mengizinkannya pergi dari ruangan itu. Ia bergegas menuju kamar mandi yang terletak di samping kamar dan menghabiskan waktunya cukup lama di ruangan itu. Dengan air mata yang masih bercucuran, Dea mencoba membersihkan dirinya dengan menggunakan sabun yang sangat banyak.
Walaupun busa sabun tersebut melimpah ruah, tetapi hal itu tidak membuat Dea merasakan bahwa tubuhnya sudah bersih. Ia tetap merasa kotor dan menjijikkan. Selain itu, Dea juga terlihat beberapa kali memukul serta mencakar tubuhnya sendiri.
"Ya Tuhan! Aku jijik, aku benar-benar sangat jijik!" gumam Dea sambil terus menyakiti dirinya sendiri.
Sementara itu di luar kamar mandi, atau yang lebih tepatnya di ruang dapur sekaligus ruang makan keluarga kecil tersebut.
"Di mana Dea? Apakah dia masih berada di dalam kamar mandi?" tanya Susi kepada Herman, suaminya yang kini duduk di meja makan dengan wajah murung.
Herman tidak menjawab, tetapi anggukkan kepala dari lelaki itu sudah cukup menjelaskan kepada Susi bahwa Dea masih berada di kamar mandi.
"Ya, ampun! Apa yang dia lakukan di dalam sana? Tidur?" kesal Susi sambil membuang napas kasar. Ia menghampiri pintu kamar mandi kemudian menggedornya dengan keras.
"Heh, Dea! Apa yang kamu lakukan di dalam sana, ha? Tiduran? Cepat keluar, aku ingin bicara padamu!" titah Susi dengan bertolak pinggang di depan kamar mandi.
"Sudahlah, Susi. Apa kamu masih belum puas menceramahi Dea?" sahut Herman yang kini menatap Susi.
"Tidak akan, Mas! Aku tidak akan pernah puas memberikan Adikmu itu pelajaran. Apa kamu tahu, ini semua salah kamu!" ketus Susi seraya membalas tatapan Herman.
"Loh, kenapa kamu malah menyalahkan aku sih, Sus?" tanya Herman heran.
"Ya, ini memang salahnya kamu kok, Mas. Coba saja dulu kamu ikuti perintahku untuk bersikap keras kepada Dea, tidak mungkin Dea menjadi gadis pembangkang seperti ini, 'kan?! Sekarang siapa yang rugi? Siapa yang dibuat malu olehnya? Kita juga, 'kan?"
Lagi-lagi Herman terdiam.
Mendengar suara ketus dari kakak iparnya dari luar, Dea pun bergegas menghentikan aktivitasnya di kamar mandi tersebut. Setelah membilas tubuhnya dari bisa sabun, Dea pun segera mengenakan handuk dan melilitkannya ke tubuh polosnya.
Cek lek!
Pintu kamar mandi pun terbuka dan kini tampaklah gadis cantik dengan tubuh memerah dan penuh dengan gores-gores bekas cakaran. Kedua sudut bibirnya pun masih terlihat membiru akibat pukulan Herman, kakak laki-lakinya. Dan satunya lagi akibat pukulan Ervan, lelaki yang ia tendang area pribadinya tadi malam.
Melihat kondisi Dea yang menyedihkan, bukannya iba, Susi malah acuh tak acuh. Wanita itu menarik tangan Dea dan membawanya ke sebuah kursi di meja makan. Di mana Herman masih duduk di sana sambil termenung.
"Duduklah!" titah Susi sembari memaksa Dea untuk duduk di sana.
Setelah gadis itu duduk, Susi pun ikut menjatuhkan diri di sampingnya. Sementara Herman tidak melakukan apa-apa. Ia hanya diam sambil memperhatikan istri dan adik perempuannya itu.
"Ingat, Dea! Bersikaplah dengan sewajarnya, sama seperti hari-hari sebelumnya. Jangan tampakkan wajah murungmu kepada siapapun, termasuk Julian! Apa kamu mengerti?" ucap Susi kemudian. Wanita itu menatap Dea dengan mata membulat sempurna.
Dea mengangguk pelan. Walaupun sebenarnya dia tidak tahu apakah ia akan sanggup untuk kembali bersikap seperti sediakala, seolah tak terjadi apapun terhadapnya. Kejadian itu benar-benar menghancurkan jiwa dan raganya secara keseluruhan.
"Bagus! Jangan sampai cerita ini ketahuan oleh siapapun termasuk Julian, kecuali kalian sudah sah menjadi suami istri. Dan aku harap semoga saja kalian berdua bisa menyelesaikannya dengan baik," lanjut Susi.
Sejenak ruangan itu menjadi hening. Tak ada yang membuka suaranya termasuk Susi si mulut cabe rawit tersebut. Hingga akhirnya Dea pun memilih pamit. Ia ingin berpakaian dan melakukan tugas-tugasnya di rumah itu, sama seperti sebelumnya.
Sesakit apa pun, sehancur apa pun hatinya saat itu, Susi tidak mungkin membiarkan Dea diam dan meringkuk dalam kamar sambil menangisi nasib tragisnya. Bahkan mungkin jika nyawanya berada di ujung tanduk pun, Susi pasti akan tetap meminta gadis itu melakukan pekerjaan rumah sama seperti biasanya.
"Aku mau ke kamar dulu, Kak." Dea bangkit dari posisi duduknya. Namun, sebelum gadis itu melangkahkan kakinya, Susi kembali membuka suara.
"Ingat, pakaian kotor dan cucian piring sudah menumpuk! Hari ini aku masih berbaik hati! Tapi, kalau sampai hal ini terjadi lagi, aku tidak akan segan-segan mengusirmu dari rumah ini. Camkan itu!"
"Baik, Kak." Dea pun segera masuk ke dalam kamarnya untuk berpakaian.
"Aku harus pergi," ucap Herman tiba-tiba. Lelaki yang tadinya hanya diam seribu bahasa, kini melenggang pergi. Bahkan teriakan Susi pun tidak dihiraukan oleh lelaki itu.
"Mas Herman, kamu mau kemana?" tanya Susi dengan alis yang saling bertaut menatap punggung Herman yang semakin menjauh darinya.
Namun, Herman lagi-lagi tak menggubrisnya. Ia terus melangkah hingga menghilang di balik pintu ruangan tersebut.
"Dasar, aneh! Tidak Kakaknya, tidak adiknya, mereka sama-sama menyusahkan saja," gerutu Susi.
Ternyata Herman ingin mencari tahu soal ketiga laki-laki yang sudah berani merampas kesucian Adiknya. Ia mulai bertanya-tanya kepada warga sekitar soal laki-laki pendatang yang berkemah di sekitar kampung mereka.
"Pak Adhi, apa Anda ada mendengar soal tiga orang laki-laki yang berkemah di pinggir pantai tadi malam?" tanya Herman kepada ketua RT yang sedang asik menata ikan untuk dijemur.
"Eh, Mas Herman." Pak Adhi menghentikan aktivitasnya kemudian berdiri di hadapan Herman. "Maaf, saya urang tahu. Tapi kata anak-anak di sekitar sini, kemarin ada sebuah mobil mewah yang memasuki desa kita. Ya, mungkin saja pemilik mobil itu yang Mas Herman maksud?"
"Entahlah, saya kurang tahu juga, Pak Adhi. Yang saya tahu ada tiga laki-laki yang berkemah di pinggir pantai tadi malam dan saya butuh informasi tentang ketiganya," jawab Herman.
"Baiklah, kalau nanti saya punya informasi tentang tiga laki-laki tersebut, saya pasti akan mengabarimu, Mas Herman," sahut Pak Adhi. "Oh ya, kalau boleh saya tahu memangnya kenapa Mas Herman membutuhkan informasi tentang mereka? Apa mereka membuat masalah kepada Mas Herman?"
Herman menggelengkan kepalanya pelan. "Ehm, untuk sekarang saya tidak bisa menjelaskannya. Namun, jika Pak Adhi sudah mendapatkan informasi tentang mereka, tolong sampaikan kepada saya," jawab Herman sambil tersenyum kecut.
"Baik, Mas. Tentu saja," sahut Pak Adhi.
Setelah selesai bicara bersama Pak Adhi, ketua RT setempat. Herman pun memutuskan untuk kembali melanjutkan langkahnya. Ia bertanya prihal ketiga lelaki tersebut kepada siapapun yang ia temui di perjalanannya. Baik laki-laki, perempuan, tua, muda maupun anak-anak.
Namun, sayangnya tak satu pun di antara mereka yang tahu tentang informasi tersebut.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
Kooki
menurutku mndidik adik atau anak2 gk harus dg cara yg keras.malah lbih mnjur jika dgn klmbutan dan kasih syg.tp mngkin beda2 x y
2022-10-04
1
Kendarsih Keken
nyesekkk bngt , miris bngttt hidup nya Dea 😪😪😪
2022-09-25
1
Wan Bai
terlalu emosi ai
cukup sampe sini...bye
2022-09-22
0