LAGU CINTA DI LOLOBATA
Aku membolak-balikan tubuhku di atas tempat tidur kayu. Kreeet, kayu tempat tidurku berbunyi ketika aku menggulingkan tubuhku ke kanan.
Kreeet, derit kayu itu bersuara lagi ketika aku kembali menggulingkan tubuhku dengan kasar ke sisi sebelah kiri. Aku heran dengan perasaanku sendiri.
Mengapa begini? Bayang-bayang senyumnya tak mau lepas dari ingatanku. Aku gundah ingin melihatnya lagi. Lengkung bibirnya seperti mengandung teluh yang langsung masuk menguasai jantung, hati dan otakku tanpa kendali. Padahal sungguh, aku sama sekali tak menginginkan itu. Aku seperti tak bisa menguasai diriku sendiri.
Sial. Perasaan macam apa ini. Kesalahan apa yang pernah kubuat hingga perasaanku tersiksa seperti ini? Tuhan, tolong. Apa yang harus kulakukan untuk membunuh perasaan ini?
Malam semakin larut. Lampu telah kumatikan. Seharusnya suasana sepi dan gelap membuatku cepat tertidur lelap. Kali ini gelap dan tubuh lelahku tak bisa memaksaku tertidur. Padahal aku sudah mencoba memejamkan mata sejak berjam-jam yang lalu. Aku juga sudah melafalkan doa tidur dan berusaha keras untuk menghalau ingatanku tentang dia. Tapi upaya kerasku tak membuahkan hasil.
Pikiranku terus melayang membayangkan senyumnya dan segala peristiwa yang terjadi pada kami pada hari itu.
“Kamu tak bisa tidur, Fifa?” Mama melongok kamarku yang hanya tertutup tirai. Mungkin terganggu dengan gerakan dan bunyi tempat tidur yang berderit.
Bingung. Aku harus jawab apa?
Mama melangkah masuk, menyalakan lampu, lalu duduk di tepi tempat tidurku. Aku tambah bingung harus bagaimana. Kegelisahanku telah membuat mama terbangun dari tidurnya. Aku jadi merasa sangat bersalah.
“Masih sedih memikirkan burung nuri itu?” tanya mama dengan suara lembut.
Aku memang masih sedih dengan kematian burung nuri kesayanganku. Tapi bukan itu yang sebenarnya membuatku susah tidur. Haruskah aku bicara pada mama tentang hal memalukan ini? Tentu saja tidak. Lebih baik aku mengangguk saja.
“Apa kita perlu cari burung yang serupa untuk mengobati kesedihanmu?”
“Bagaimana mencarinya?” Aku malah bertanya dengan pertanyaan bodoh. Padahal aku tahu ada orang yang berburu dan memperjualkan burung nuri di kampung kami. Mungkin mama berpikir akan mendapatkan nuri pengganti dari orang itu.
Mama mengernyitkan kening, “Mungkin ada orang yang mau menjual nuri peliharaannya.”
Aku menggeleng, “Tidak. Kata bapak polisi hutan, nuri adalah burung langka dan dilindungi. Fifa tak mau pelihara Nuri.”
Mama mengerti posisi nuri itu tak kan tergantikan. Nuri itu bukan hewan peliharaanku, melainkan burung liar yang biasa hinggap di pohon kenari sebelah rumah lama peninggalan ayahku. Nuri itu sudah bersahabat denganku bertahun-tahun lamanya. “Maaf. Mama hanya tak mau melihatmu sedih, Fifa.”
“Fifa baik-baik saja, Ma.”
“Tapi kamu sering susah tidur seperti ini.”
“Mungkin belum terbiasa tinggal di rumah ini.” Aku mendapatkan satu jawaban tepat yang mungkin bisa menjawab pertanyaan mama kenapa aku sering tak bisa tidur di malam hari.
“Kamu tidak nyaman karena tirai ini?”
Tidak juga, tapi aku memutuskan untuk mengangguk. Selama ini aku terbiasa tinggal sendirian di gubuk peninggalan ayah kandungku. Ada risih juga ketika harus tinggal dengan mama yang kini telah menikah dengan orang lain. Meski bapak tiriku jarang ada di rumah, tapi rasanya akan lebih baik jika kamarku diberi pintu seperti kamar Fifi adikku. Lebih nyaman buat privasiku.
“Besok mama akan pesan tukang untuk membuatkan pintu dan memperbaiki tempat tidurmu yang sepertinya sudah reyot.”
“Terima kasih, Ma.” Aku tersenyum manis dan memeluk mamaku dengan pelukan manja.
“Lain kali kalau ada sesuatu yang tak nyaman, bilang sama mama ya.”
“Heem.” Aku mengangguk-angguk menyetujuinya.
“Sekarang berdoa dan berdzikirlah yang banyak supaya jiwamu tenang. Jangan simpan sendiri masalahmu! Mama akan selalu ada buat kamu. Sekecil apapun masalah, tak baik jika dipendam terus-menerus. Tak akan pernah ada solusinya. Bicaralah pada orang lain yang bisa dipercaya, supaya hatimu lega. Kadang orang lain punya pemikiran dan solusi yang lebih baik sebab pikirannya lebih bebas dari emosi dibandingkan orang yang sedang ditimpa masalah. Kalau kita sedang emosi, pikiran kita bisa terkunci."
“Iya, Ma.”
Mama mengelus-elus rambutku sebelum meninggalkan kamar. Tak lama setelah itu kudengar gemericik air. Pasti beliau tak langsung kembali tidur ke kamarnya. Mama mengambil air wudhu untuk shalat malam.
Harusnya aku mengikuti jejak mama, tapi aku tak mampu memaksa tubuhku beranjak dari tempat tidur. Tubuhku terasa lelah dan lemas. Inginnya rebahan saja walaupun tak bisa tidur. Aku tak mampu memaksakan diri untuk wudhu dan shalat malam. Mungkin dalam diriku lebih banyak unsur setannya daripada malaikat hingga aku tak mampu menghalau rasa malasku. Mungkinkah aku benar-benar kena teluh?
Dia adalah salah seorang yang menolongku ketika aku tersesat di hutan tempo hari. Rambutnya lurus, hidungnya mancung dan tubuhnya tegap serta tinggi. Namun yang paling menarik dari dirinya adalah senyumnya yang menawan. Entah teluh apa yang digunakannya untuk membangunkan aku dari pingsan akibat kelelahan, dehidrasi dan kelaparan di hutan. Yang kutahu, ketika bangun aku menjadi seorang gadis gila yang tiba-tiba saja terpesona olehnya. Bayangan senyumnya mengikuti setiap langkahku seolah itu adalah bayanganku sendiri. Aku tak mampu melupakannya meski aku sangat mengingin untuk lupa.
Apakah aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama pada orang asing itu?
“Hai, kau telah sadar rupanya Nona.” Kalimat pertama yang keluar dari bibirnya yang menyungging senyum penuh pesona itu tak pernah luput dari ingatanku. Selalu terngiang-ngiang di telinga bersama dengan memori tentang senyumnya yang membuat jiwaku tak lagi sama.
Mungkin aku harus pergi ke dokter jiwa. Aku sudah gila.
Kalau aku boleh memilih, aku ingin jatuh cinta pada sosok Arfa sahabat kecilku yang selalu mendampingi, membela dan membersamaiku dalam suka maupun duka selama ini. Bukan pada orang asing yang dengan mata kepalaku sendiri tertangkap basah memanah burung nuri kesayanganku.
Anak panah adalah benda yang paling kubenci sebab benda itu telah membuatku kehilangan ayah, pria yang menjadi cinta pertamaku.
“Baba Syarif ditemukan dekat pe ngoni punya ladang. Mati kena panah baracun.” Afra, sahabatku yang berlari paling cepat di antara warga kampung kami memberi kabar yang membuat duniaku terasa hampir runtuh.
Afra datang tergopoh-gopoh dan mengetuk pintu rumah kami keras-keras sampai hampir pekak telinga kami mendengarnya. Keringat bercucuran di tubuhnya. Bicaranya pun sedikit tersenggal.
Aku yang menyambutnya hanya bisa mematung. Tak bisa berkata apapun.
Kualihkan padanganku pada mama dan Fifi adikku yang baru berumur 10 tahun. Keduanya sama terpaku dengan wajah kebingungan. Mereka saling berpandangan. Tak percaya.
“Baba tak mungkin meninggalkan kami. Apalagi mama tengah mengandung calon adik baru kami. Tidak. Baba pasti akan pulang,” jeritku tanpa suara.
Hatiku langsung menolak berita itu. Arfa bohong. Baba tidak mati. Baba hanya pergi ke ladang dan akan pulang sebentar lagi untuk mengimami shalat jum’at di mushola kecil kami.
Aku menggeleng. “Kau gila, Arfa. Babaku belum mati.”
“Dorang su bawa mayatnya pulang ka mari. Ayo basiap-siap kita pulasara.”
“TIDAK!” Aku memekik kuat-kuat sambil menutup telinga. Kudorong tubuh Arfa sambil membelalakan mata. Lelaki itu oleng, hampir terjerembab jatuh. Aku benci berita ini. Arfa, si pembawa berita buruk tiba-tiba berubah menjadi setan bertanduk merah di mataku.
“Baba akan pulang sebentar lagi untuk mengimami shalat jum’at.” Aku terus memekik dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Sementara dadaku semakin sesak sebab jantung yang berdetak bagai diburu kuda. Otakku mendidih. Tapi aku tak mampu meluapkan rasa yang menghimpit dada dan kepalaku. Tidak bisa teriak lagi. Menangis pun tak keluar air mata.
Arfa mendekat dan merangkul bahuku.
“Maafkan saya, Fifa.” ucap lelaki muda berambut ikal itu dengan wajah yang penuh gurat penyesalan. Matanya menatapku dengan sendu. Agaknya ia baru saja menyadari kebodohannya menyampaikan kabar buruk itu dengan terburu-buru hingga membuatku sangat tertekan. Suaranya terdengar sangat rendah.
Aku berusaha untuk menetralisir detak jantungku agar dapat berpikir lebih jernih. Tapi tak bisa.
“Ngana boleh manangis saya pe kefe,” katanya pelan sambil menepuk-nepuknbahu. Tangan kuatnya membawa kepalaku bersandar pada bahunya dengan lembut dan perlahan. Aku pasrah. Biasanya aku merasa lebih nyaman saat bisa bersadar manja dibahu baba. Mungkin bahu Arfa dapat menggantikannya.
Para wanita kampung datang berduyun-duyun. Kebanyakan mereka heboh bertanya ada apa dan kenapa baba mati. Dengan cekatan mama Geza menuntun mama yang tubuhnya melunglai agar duduk di bale kayu depan rumah kami. Mama Tiya menggendong Fifi masuk ke dalam rumah. Para pria yang datang karena teriakan salah seorang warga langsung sibuk mencari batang pisang, berdiskusi tentang rencana pemulasaraan jenazah dan sigap mengambil cangkul dan sekop guna menyiapkan lubang makam di samping rumah.
Sementara aku semakin linglung. Diam terpaku tanpa tahu harus berbuat apa. Benarkah babaku telah pergi? Apa yang bisa kulakukan tanpa baba?
“Ngana harus kuat, Fifa. Ngana harus sabar.” Arfa menepuk-nepuk pelan pundakku.
Aku melotot.
Apa kau bilang? Harus Kuat? Harus Sabar? Enak saja kau bilang begitu. Kau tak tahu bagaimana perasaanku. Orang lain boleh mati atau hilang, tapi tidak dengan babaku.
Amarah dan kesedihan membuat kepalaku semakin pening. Dadaku semakin sesak. Nafas makin pendek. Pandangan mataku perlahan mulai kabur. Aku menepis tangan Arfa, menghempaskannya, lalu pergi ke dalam rumah dan berbaring di lantai kayu. Aku tak ingat lagi apa yang terjadi setelah itu.
Arfa masih di sisiku ketika aku membuka mata. Bau minyak kayu putih menguar di udara. Mungkin aroma itu yang digunakan mama mama yang berada di sekelilingku untuk menyadarkanku. Melihatku sadar, dengan isyarat matanya Arfa meminta beberapa mama keluar dari gubuk kecil kami agar kami tidak terasa sesak. Tinggal Arfa, Deya dan mama Tiya yang tertinggal menemani dalam gubukku.
Sekarang tubuhku terasa lemas dan detak jantungku sangat lamban. Tak ada semangat untuk bangkit. Aku tak berdaya ketika Deya dan Arfa membantuku duduk dan menyodorkan gelas bambu berisi air bening.
“Tarima kasih.”
Aku menyodorkan kembali gelas bambu yang telah habis isinya.
Arfa mengangguk. Deya memelukku dalam diam.
Terdengar orang-orang melafalkan doa jenasah di luar sana. Apakah babaku sedang dishalatkan?
Aku mengambil banyak oksigen lalu membuangnya dengan perlahan. Kuatur lagi nafasku agar lebih teratur dan jantungku berdetak normal. Kurasa tubuhku terasa lemas seperti cacing tak bertulang.
“Baba?”
Arfa memilih diam dan mengangguk pelan. Dia tampak kebingungan bagaimana harus menjawab pertanyaan singkat dan tatapan mataku. Lelaki itu mungkin takut salah memilih kata yang mungkin saja malah membuatku semakin bersedih. Dia teman baikku selama ini. Aku tahu dia pun turut bersedih untukku.
“Baba sudah pulang?”
Arfa mengangguk saja.
Baba sudah pulang. Apapun keadaannya aku harus bisa bangkit menyambutnya.
Percuma melawan takdir. Kalau memang baba benar-benar telah tiada, aku harus melihat jasad baba untuk terakhir kalinya.
Tubuhku terlalu lemah untuk bisa bangkit sendiri. Bersama Deya, Arfa membimbingku berjalan menuju bale di halaman rumah yang terbuat dari batang pisang dimana jenasah baba dibaringkan. Terdengar pidato bapak kepala kampung sebagai penghormatan terakhir.
“Baba Syarif orang baik. Beliau mati syahid dan meninggal pada hari baik. Insya Allah husnul khatimah.” Kalimat bapak kepala kampung menyuntikan energi positif buat tubuhku.
“Husnul khatimah.” Burung nuri yang sering hinggap di dahan pohon kenari sebelah mushola itu mengulangi kata terakhir yang diucapkan bapak kepala kampung. Suara burung paruh bengkok itu terdengar lebih parau dari biasanya. Seperti habis menangis.
Aku menatap burung Nuri itu dan membesarkan hatiku sendiri dengan senyum sebagai ucapan terima kasih atas kesaksiannya. Aku harus ikhlas. Aku tak boleh memberatkan beban baba dengan tangis dan air mata. Insya Allah baba husnul khatimah.
Baba dianggap mati syahid dan meninggal pada hari baik. Dalam hati aku mengulang-ulang kalimat yang diucapkan bapak kepala kampung juga kesaksian burung nuri itu serta sebagian besar warga kampung kami. Semua berasal dari Allah dan akan kembali padaNya. Semua makhluk pasti akan mati. Bahagialah orang yang mati dalam keadaan baik. Baba adalah salah satu orang yang mendapat kesempatan baik itu, husnul khatimah.
Kualihkan pandanganku menatap jasad babaku yang tampak tenang dan damai. Wajahnya bersih. Terlihat sama seperti saat baba tidur setiap harinya. Bibirnya menyungging senyum seolah ingin mengatakan padaku bahwa ia telah menuntaskan tugasnya di muka bumi ini dengan baik. Orang-orang kampung kami memutuskan untuk tidak memandikan dan mengkafani jenasahnya. Mereka menganggap baba mati syahid. Baba dikuburkan dengan pakaiannya yang masih bersimbah darah itu.
Baba telah pergi ke surga, tempat yang jauh lebih indah daripada bumi. Ikhlaskanlah! Jangan berati langkahnya dengan tangis. Aku pasti kuat. Aku pasti bisa meneruskan perjuangan baba sekuat tenaga. Toh pada hakekatnya kematian itu pasti terjadi dan aku hanya tinggal menunggu kapan giliranku bertemu baba di surga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
bieb
baru mulai baca kak...
2022-10-24
0
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
aku mampir thor,,br tau ad novel barumu,,terakhir baca cak riza,mas indra dan dian 😄
2022-09-03
1
bieb
lanjut👍👍
2022-07-02
2