Sampai saat ini aku masih menyimpan dendam dan rasa penasaran pada siapa yang menancapkan anak panah beracun di dada baba. Tak ada saksi mata yang melihat. Baba sedang berada di ladang sendirian pagi itu. Ditemukan tewas oleh warga kampung yang ladangnya berbatasan dengan ladang kami. Setahuku baba tak pernah bermasalah dengan suku togutil atau suku-suku rimba lain yang mendiami kawasan hutan Lolobata ini. Baba juga tak pernah punya masalah serius dengan kepala kampung dan warga kampung lainnya. Kecurigaanku cenderung mengarah pada orang asing yang tiba-tiba datang menguasai lahan ladang kami tak lama setelah meninggalnya baba. Sayangnya aku sama sekali tak punya bukti untuk menuduh siapapun.
“Tara mungkin orang asing itu yang bunuh ngana pe baba, Fa.” Arfa membantah dugaanku sambil melirik lalu kembali membelah kayu.
Aku mencibir lalu kembali membereskan kayu yang telah dibelah Arfa lalu meletakannya pada gudang penyimpanan kayu bakar.
“Iya, tara mungkin itu.” Deya mengangguk-angguk membenarkan ucapan Arfa. Muak aku melihatnya. Deya tak pernah punya prinsip sendiri, apapun yang keluar dari mulut Arfa selalu dianggap benar.
“Kenapa tidak?” tantangku dengan suara garang.
Suara tegasku berhasil menghentikan Arfa dari kegiatannya membelah kayu dan menatapku dengan intens.
Aku melengos. Tak ingin baku tatap dengan lelaki itu. Sikap pria berbadan tegap yang terdepan dalam berlari itu tak seperti paras dan gaya bicaranya yang menggebu-gebu. Arfa seorang yang berhati lembut. Dia tak henti menasehatiku buat bersabar dan menerima nasib. Lelah sudah telingaku mendengar nasehatnya. Buatku, aku sudah cukup sabar. Aku juga tak pernah mengeluh dengan nasibku. Kalaupun aku punya dendam dan rasa penasaran, kupikir itu wajar. Kenapa? Karena babaku meninggal dibunuh dan setelah beberapa tahun berlalu tak ada yang tahu siapa yang membunuh dan atas alasan apa orang itu mengambil nyawa baba.
“Mereka itu orang modern. Mereka bisa mengusir kita dengan selembar kertas yang isinya surat ijin konsesi pertambangan dari pemerintah pusat. Tara perlu bunuh ngana pe baba. Lagipula mereka baru mulai beroperasi setelah ngana pe baba wafat.” Arfa menjawab dengan tenang. Senyum mengambang begitu saja..
Deya menatapku dengan tatapan yang penuh api cemburu. Gadis hitam manis itu segera duduk menyejajari Arfa di atas akar pohon kenari tua yang menyembul besar di atas tanah.
Kali ini aku tak punya kata untuk menyanggah. Arfa benar. Orang asing itu sangat kaya. Memang mudah buat mereka mengusir orang kampung untuk pergi dari ladangnya dengan sedikit uang. Kalaupun ada yang membangkang mereka pasti memilih menodongkan senapan, bukan dengan senjata tradisional panah beracun. Buktinya tak perlu waktu lama bapak kepala kampung memilih menerima sedikit uang lalu memindahkan rumah keluarga dan warganya ke dalam hutan di luar lahan yang diklaim menjadi konsesi milik perusahaan tambang itu.
Sejauh ini orang-orang asing itu tak pernah memaksa dengan jalan kekerasan. Sebagian warga masih boleh tetap tinggal di kampung. Perusahaan juga membuka kesempatan bagi warga yang mencoba peruntungan dengan melamar menjadi pekerja kasar dan operator alat berat. Salah satunya adalah Arfa yang merasa beruntung sekali mendapatkan pekerjaan di perusahaan itu. Baginya itu adalah pencapaian besar yang membanggakan. Meski tidak mengenyam pendidikan formal Arfa bisa membaca. memiliki fisik yang kuat dan bersedia belajar hingga ia diterima sebagai pekerja di perusahaan yang membabat habis hutan untuk mencari logam yang katanya laris digunakan sebagai bahan baku peralatan masyarakat modern.
Aku menyudahi obrolan itu. Percuma. Arfa sekarang pekerja di perusahaan yang menurutku telah merusak hutan Lolobata. Jelas, ia pasti akan berpihak pada majikannya. Dasar pemikiran kami telah berbeda.
“Baba ngana sudah tenang di surga. Ikhlaskan saja. Yang perlu dipikirkan adalah masa depan ngana sendiri yang masih hidup.”
“Betul.” Lagi-lagi Deya membenarkan apa kata Arfa.
“Masa depanku berada di sini. Aku akan tetap di sini jaga makam baba sampai kaka Salman pulang,” tegasku.
“Tak baik perempuan sendirian. Ngana tara mau menikah?”
Aku menggeleng pasti
“Aku sudah bahagia dengan hidupku sekarang.”
“Tapi menikah itu sunah nabi. Baba pasti lebih senang di surga kalau ngana menikah."
“Kau sajalah dulu yang menikah. Deya akan dengan senang hati menerima lamaranmu. Bukan begitu Deya?”
Deya tersipu malu.
“Saya mau tunggu ngana saja, Fa.”
“Kitorang hanya cocok menjadi teman dan tetap akan berteman selamanya,” jawabku sambil tersenyum melirik Deya yang terlihat puas dengan jawabanku. Aku merangkum kedua sahabatku dengan kedua tanganku.
Sebenarnya aku tak ingin melihat raut wajah Arfa kecewa. Namun untuk kasus ini aku tak punya pilihan lain. Sudah berkali-kali ia bilang akan melamarku. Bahkan pernah nekat mengutarakannya pada mama dan bapa sambungku. Jawabanku tetap sama. Tak ada seorangpun yang bisa memaksaku. Pertemanan kami kurasa lebih indah daripada ikatan pernikahan. Aku lebih suka Arfa tetap menjadi teman selamanya. Lagipula aku tahu dari dulu Deya menyukai Arfa. Janganlah benih-benih cinta segitiga merusak persahabatan kami yang sudah terjalin sejak kami kecil.
Keduanya sahabat baik dan aku harap semua tak berubah, sebagaimana aku ingin hutan tetap lestari dan ekosistem alam tetap terjaga.
Aku tak ingin perubahan. Mungkin pikiranku terlalu sempit dan statis. Apa itu karena pengetahuanku terbatas? Kadang timbul hasratku untuk pergi bertualang mencari pengalaman dan hal-hal baru yang tidak kutemui di sekitar tempat tinggalku. Tapi setelah dipikirkan kembali, aku lebih memilih mengubur hasrat itu untuk teguh memegang
komitmen pribadi sebagai penjaga tanah peninggalan dan makam baba. Entah mengapa aku merasa Salman masih hidup. Aku yakin suatu saat nanti Salman akan pulang. Aku harus tetap menunggu di sini, di tanah rimba kelahiranku.
Baba bukan warga asli tanah rimba Lolobata. Beliau adalah pendatang asal Bugis yang awalnya ditugaskan oleh sebuah yayasan amal untuk berdakwah di pelosok, termasuk pada orang-orang yang tinggal nomaden di hutan-hutan. Dulu orang-orang kampung kami hidup berpindah-pindah di sekitar sungai. Ladangnya pun berpindah-pindah. Rumah mereka sederhana. Didirikan dari kayu dan beratap anyaman daun sagu. Rumah sederhana mereka berbentuk panggung tak berdinding. Baba adalah orang pertama yang mendirikan rumah kayu berdinding dan mushola kecil di sebelahnya. Baba membangunnya dengan dibantu beberapa orang yayasan saat beliau sudah mulai diterima dan dipercaya sekelompok orang rimba yang hidup di sekitar sungai. Lambat laun beberapa keluarga tertarik mempelajari pengetahuan baru yang dibawa baba. Mereka melihat rutinitas dan kelihaian baba
bercocok tanam dirasa lebih baik daripada hidup sebagai perambah hutan. Mereka pun ikut tinggal menetap sekitar sungai itu, mendirikan rumah kayu berdinding sederhana secara gotong royong, dan mengelola ladang yang telah dibagi-bagi dengan ukuran yang sama rata untuk masing-masing kepala keluarga. Pembentukan kampung itu dipimpin oleh seorang lelaki yang tubuhnya tinggi besar dan disegani seluruh anggota suku. Orang menganggapnya pemimpin. Belakangan, kami memanggilnya dengan sebutan bapak kepala kampung.
Sehari-harinya mushola kecil itu makin ramai dikunjungi warga. Tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk beribadah, mushola juga dijadikan sebagai tempat bercengkrama, bertukar pikiran, dan belajar hal-hal sederhana untuk bertahan hidup. Perlahan baba mengajarkan orang yang tinggal di hutan ini cara membaca, menulis, berhitung, mengaji dan ilmu pertanian sederhana. Orang kampung bertukar pengetahuan praktis tentang tanaman obat dan jenis-jenis tanaman hutan yang bisa dimakan. Karena nenek moyangnya tinggal di hutan, orang kampung kami pandai memanah dan melempar tombak. Mereka pandai melumuri anak panah dengan tanaman beracun untuk berburu dan membela diri. Ada beberapa jenis tanaman racun yang digunakan untuk melumuri anak panah. Efeknya berbeda-beda dan digunakan untuk fungsi yang berbeda pula. Sayangnya menurut tabib ahli racun, jenis
racun yang terdapat pada anak panah yang tertancap di dada baba belum dikenalnya. Itu menguatkan asumsiku bahwa kemungkinan bukan orang kampung ini yang membunuh baba.
Baba mencintai kampung ini. Sebab itulah aku tak ingin keluar kampungku yang berada di tengah belantara. Aku bertekat untuk selalu menjaga makam baba dan meneruskan perjuangannya. Namun kenyataan tak lagi sama. Orang-orang satu persatu pergi meninggalkan kampung ini. Tak ada lagi anak-anak yang belajar menulis dan membaca di sini. Mushola kami pun sudah lama sepi. Sebagian kayunya sudah lapuk. Hanya aku sendiri yang menghidupkan masa lalu kampung ini. Sesekali Arfa dan Deya mengunjungiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
sarisun
sukaa kakkk
2022-12-01
0
Yeni Puspitasari
aq suka karyamu yg menampilkan keindahan dan kearifan wilayah di indonesia, beda dari yg lain. trus up thor, i willbe waiting your new story.
2022-07-04
4
Dora Husien
Belum mudeng alurnya..tp q yakin karyamu ga kan ngecewain..kena aq suka semua karya2mu
2022-07-04
3