Beberapa waktu setelah Baba dimakamkan, keadaan kampung kami tak lagi damai. Monster-monster besi datang meratakan kawasan hutan dekat ladang kami. Suaranya bising. Tanah yang sebelumnya hutan belantara dalam sekejap berubah menjadi hamparan tanah merah yang lapang tempat aktivitas monster-monster besi yang
bentuknya menakutkan. Kami tak berdaya. Sebagian warga kampung yang tetap menginginkan kedamaian hidup bersama alam sebagaimana hari-hari sebelumnya pergi menyingkir ke dalam hutan belantara yang cukup jauh dari kampung kami. Sementara sebagian lain bersedia dipindahkan ke kampung baru yang didirikan khusus untuk realokasi warga yang sebelumnya mengelola tanah yang masuk dalam wilayah konsesi tambang. Mama yang waktu itu baru saja kehilangan adik bungsuku yang lahir prematur memutuskan untuk ikut pindah ke kampung yang baru didirikan itu.
“Ikutlah dengan mama, Fifa.” ajak mama dengan wajah memelas.
Aku sebenarnya tak sampai hati melihat wajah mama namun kepalaku menggeleng dengan pasti menuruti kata hatiku.
“Tak nyaman lagi tinggal di sini.”
Memang tak nyaman, tapi aku ingin tetap di sini bersama kenangan masa kecilku yang indah. Aku tetap ingin di sini menjaga makam baba dan menjalani hariku di rumah peninggalan baba. Aku terlalu cinta pada gubuk dan mushola
kecil kami. Juga pada burung nuri yang sering hinggap di pohon kenari tua di samping mushola itu. Aku tak ingin kehilangan apa yang selama ini membuatku merasa bahagia. Aku bahkan bertekat memperjuangkannya sampai mati.
“Tanah ini bukan milik kita, Fifa.” lanjut mama dengan suara yang berat seperti ada sekat yang mengganjal di tenggorokan.
“Fifa tahu. Bumi ini milik Allah. Semua yang ada di muka bumi ini milik Allah. Fifa sadar kok kalau hanya numpang tinggal saja selama Fifa hidup.” jawabku enteng.
“Cepat atau lambat mereka akan menggusur rumah ini.”
“Tidak akan.”
“Jangan keras kepala, Fifa. Kita tak punya bukti apapun yang menunjukan kepemilikan lahan itu. Di tempat yang baru pemerintah akan memberikan kita sertifikat kepemilikan tanah. Dengan surat itu tak ada lagi yang bisa mengganggu gugat. Insya Allah kehidupan kita akan menjadi lebih baik. Lagipula suasana di sini tak akan senyaman dulu. Lebih baik kita pindah ke tempat yang nyaman untuk tinggal dan berladang.”
Aku menunduk diam. Tak ingin lagi mendebat mama, tapi tetap bersikukuh dengan keinginanku sendiri.
Berhari-hari mama membujukku untuk pindah ke rumah barunya. Aku tak bergeming. Keteguhanku membuat mama bersedih. Mama mengira keputusanku untuk tetap tinggal di gubuk itu karena tak setuju dengan keputusannya menikahi bapak kepala kampung. Padahal tidak demikian. Aku yakin mama sangat kehilangan sosok baba. Rasa kehilangannya mungkin jauh lebih besar daripada rasa kehilangan yang kurasakan. Aku sering mendapati mama termenung dan menitikan air dalam kamarnya.
Aku paham mama tak berdaya menolak pinangan bapak kepala kampung. Tak ada pilihan lain. Mama membutuhkan perlindungan dan bapak kepala kampung adalah orang yang paling tepat dijadikan tempat bersandar setelah baba tiada. Aku memaklumi keputusan itu. Sebagaimana pemikiran kebanyakan perempuan, terlalu berbahaya bila kami bertiga tetap tinggal di gubuk yang letaknya di pinggir sungai dan hutan belantara tanpa sosok laki-laki. Apalagi dengan kehadiran monster-monster raksasa bertangan besi panjang yang tiap saat bergerak mengeruk tanah dan batu di lahan yang telah terbuka itu. Sementara monster-monster besar lain mengangkut tanah dan batu ke sebuah bangunan besar yang tak kalah menakutkan. Mereka begitu menakutkan. Suaranya sumbang menggetarkan telinga, tak seindah nyanyian burung yang biasa kami dengar tiap pagi.
Orang-orang asing itu mengambil alih ladang milik kami berbekal surat ijin konsesi tambang dari pemerintah pusat. Entah siapa yang disebut pemerintah pusat itu. Orang kampung terpencil seperti kami hanya kenal bapak kepala kampung sebagai pemimpin. Orang asing itu bilang, hirarki kepemimpinan para penguasa bumi itu berlapis-lapis. Pemerintah pusat berada pada hirarki yang jauh lebih tinggi. Status kepala kampung merupakan pemimpin di hirarki yang terendah. Mungkin itu sebabnya bapak kepala kampung menerima tawaran memindahkan pemukiman dan ladang warga kampung ke lahan lain di luar wilayah yang dianggap sebagai konsesi mereka. Apa boleh buat, kami terpaksa terima keputusan itu sebab ketidaktahuan kami akan hak kami sebagai warga negara. Meski begitu aku tetap menolak jika dibilang bodoh.
“Kamu jangan salah mengira, Fifa. Mama menikah dengan bapak kepala kampung bukan karena tidak mencintai baba.” Sekali lagi mama mengatakan kalimat itu dengan mata yang berkaca-kaca.
Tanpa harus membelah dadanya, aku sudah dapat merasakan bagaimana suasana hati mama. Sorot matanya yang sayu itu bisa bicara. Mama masih mencintai baba. Aku tak pernah meragukan itu.
Kuraih kedua tangan mama dan menggenggamnya dengan erat, “Fifa tahu. Fifa percaya keputusan menikah dengan bapak kepala kampung adalah keputusan yang terbaik buat mama.” Aku tersenyum yakin sambil berharap mama mengerti keinginanku sebagaimana aku menghargai keputusannya.
“Lalu apa yang membuat kamu tak mau ikut pindah?”
“Keputusanku tidak ikut pindah bukan karena aku tak setuju dengan pernikahan mama. Aku kan sudah bilang, bapak kepala kampung itu orang baik. Beliau pasti bisa menjaga kita.” Aku sebenarnya sudah berkali-kali berusaha meyakinkan mama kalau keputusanku ini tidak ada hubungannya dengan pernikahannya dengan bapak kepala kampung. Namun mama tetap terlihat gamang.
Mama masih menatapku dengan sorot mata yang berisi penuh permohonan. “Mama tak mungkin tega membiarkan kamu tinggal sendirian di sini.”
Begitulah kasih dan lembutnya hati ibu, tak mungkin tega membiarkan anak perempuannya sendirian. Aku tahu ia pasti sangat mengkhawatirkan aku. Namun aku berusaha mentransfer keyakinan melalui senyum penuh percaya diri, “Mama tenang saja. Fifa akan baik-baik saja. Tak ada malapetaka tanpa ijin dan kehendak Allah. Kata baba, di mana pun kita berada selama berpegang teguh pada keyakinan kita, Allah pasti akan melindungi. Lagipula tak ada orang yang bakal berani ganggu anak kepala kampung. Kalau mama takut, mama bisa bantu Fifa dengan doa agar selalu sehat dan selamat di sini. Kampung baru tak terlalu jauh dari sini. Fifa akan sering-sering berkunjung ke rumah baru mama supaya mama yakin Fifa baik-baik saja. Percayalah, Ma! Fifa sudah
dewasa dan bisa menjaga diri. Fifa bisa kok tinggal sendiri.”
Tentu saja mama tak bisa mengubah tekat dan isi kepalaku. Aku memang kepala batu. Sejak lahir sudah kepala batu. Aku yakin sekali bisa hidup mandiri meski aku seorang perempuan. Dengan berat hati akhirnya mama menyerah. Aku sebenarnya tak ingin membebani pikirannya, tapi aku perlu membuktikan bahwa aku mampu mandiri dan bisa memiliki kebahagiaanku sendiri.
Banyak dilema yang menghantui pikiran mama. Aku sangat memahami itu. Kenyataannya menjadi janda bukanlah hal yang mudah bagi perempuan secantik mama. Sejak baba meninggal, banyak lelaki datang menggoda dan memintanya menjadi istri. Kadang sikap mereka membuat kami merasa jengah. Aku senang, dengan memutuskan menikah dengan bapak kepala kampung tak ada lagi yang berani mengganggu mama maupun kami, anak-anak gadisnya. Satu faktor itu mungkin juga menjadi sebab tak ada orang yang berani menggangguku. Jaminan keamanan dari bapak kepala kampung yang juga merupakan bapak tiriku pada akhirnya membuat mama mau berusaha merelakan aku tinggal sendirian di gubuk peninggalan baba.
Mamaku tak pernah kehilangan kecantikannya meski telah melahirkan beberapa anak. Layaknya vampir, mama seperti tak bisa menua oleh waktu yang telah berputar sekian lama. Mama menikah dengan baba pada awal belasan tahun. Beliau kembang kampung. Selain baba, banyak lelaki yang menyukainya dan bersaing keras untuk mendapatkannya. Konon kabarnya mamaku masih keturunan suku Lingon yang memiliki ciri fisik seperti orang ras kaukasoid. Berambut ikal, kulit putih, hidung mancung dan retina matanya berwana keabu-abuan. Parasnya sedikit berbeda dengan orang kampung kebanyakan yang berkulit sawo matang dan berambut keriting. Kecantikan mama makin bertambah bersinar semenjak menikah dengan baba. Sudah pasti sebabnya karena baba memberinya banyak cinta serta mengajarinya hidup bersih. Baba mengajari kami mandi di sungai dengan menggunakan daun dari tanaman merambat seperti sirih yang saat digosok-gosokan ke kulit menghasilkan buih halus semacam sabun. Khasiat sabun alami itu membuat kulit kami cerah, sehat dan tampak lebih terang daripada kulit warga kampung lainnya.
Mama gemar membersihkan diri dan rutin melulurkan tubuhnya dengan ramuan kunyit dan beras yang ditanam baba di kebun belakang rumah kami. Sesekali mama juga melumuri wajahnya dengan madu. Selain hikayat tentang suku Lingon, kebiasaan itulah yang kupercaya membuat mamaku tampak selalu cantik. Tapi cantik memiliki konsekwensi positif maupun negatif. Semua konsekwensi itu mau tidak mau telah menjadi bagian hidup yang harus diterima mama.
Aku tak bersedia pindah. Tak ada yang bisa mengubah pendirianku kecuali inisiatifku sendiri. Apapun yang terjadi aku ingin tetap di gubuk peninggalan baba.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments