NovelToon NovelToon

LAGU CINTA DI LOLOBATA

AWAL KISAHKU

Aku membolak-balikan tubuhku di atas tempat tidur kayu. Kreeet, kayu tempat tidurku berbunyi ketika aku menggulingkan tubuhku ke kanan.

Kreeet, derit kayu itu bersuara lagi ketika aku kembali menggulingkan tubuhku dengan kasar ke sisi sebelah kiri. Aku heran dengan perasaanku sendiri.

Mengapa begini? Bayang-bayang senyumnya tak mau lepas dari ingatanku. Aku gundah ingin melihatnya lagi. Lengkung bibirnya seperti mengandung teluh yang langsung masuk menguasai jantung, hati dan otakku tanpa kendali. Padahal sungguh, aku sama sekali tak menginginkan itu. Aku seperti tak bisa menguasai diriku sendiri.

Sial. Perasaan macam apa ini. Kesalahan apa yang pernah kubuat hingga perasaanku tersiksa seperti ini? Tuhan, tolong. Apa yang harus kulakukan untuk membunuh perasaan ini?

Malam semakin larut. Lampu telah kumatikan. Seharusnya suasana sepi dan gelap membuatku cepat tertidur lelap. Kali ini gelap dan tubuh lelahku tak bisa memaksaku tertidur. Padahal aku sudah mencoba memejamkan mata sejak berjam-jam yang lalu. Aku juga sudah melafalkan doa tidur dan berusaha keras untuk menghalau ingatanku tentang dia. Tapi upaya kerasku tak membuahkan hasil.

Pikiranku terus melayang membayangkan senyumnya dan segala peristiwa yang terjadi pada kami pada hari itu.

“Kamu tak bisa tidur, Fifa?” Mama melongok kamarku yang hanya tertutup tirai. Mungkin terganggu dengan gerakan dan bunyi tempat tidur yang berderit.

Bingung. Aku harus jawab apa?

Mama melangkah masuk, menyalakan lampu, lalu duduk di tepi tempat tidurku. Aku tambah bingung harus bagaimana. Kegelisahanku telah membuat mama terbangun dari tidurnya. Aku jadi merasa sangat bersalah.

“Masih sedih memikirkan burung nuri itu?” tanya mama dengan suara lembut.

Aku memang masih sedih dengan kematian burung nuri kesayanganku. Tapi bukan itu yang sebenarnya membuatku susah tidur. Haruskah aku bicara pada mama tentang hal memalukan ini? Tentu saja tidak. Lebih baik aku mengangguk saja.

“Apa kita perlu cari burung yang serupa untuk mengobati kesedihanmu?”

“Bagaimana mencarinya?” Aku malah bertanya dengan pertanyaan bodoh. Padahal aku tahu ada orang yang berburu dan memperjualkan burung nuri di kampung kami. Mungkin mama berpikir akan mendapatkan nuri pengganti dari orang itu.

Mama mengernyitkan kening, “Mungkin ada orang yang mau menjual nuri peliharaannya.”

Aku menggeleng, “Tidak. Kata bapak polisi hutan, nuri adalah burung langka dan dilindungi. Fifa tak mau pelihara Nuri.”

Mama mengerti posisi nuri itu tak kan tergantikan. Nuri itu bukan hewan peliharaanku, melainkan burung liar yang biasa hinggap di pohon kenari sebelah rumah lama peninggalan ayahku. Nuri itu sudah bersahabat denganku bertahun-tahun lamanya. “Maaf. Mama hanya tak mau melihatmu sedih, Fifa.”

“Fifa baik-baik saja, Ma.”

“Tapi kamu sering susah tidur seperti ini.”

“Mungkin belum terbiasa tinggal di rumah ini.” Aku mendapatkan satu jawaban tepat yang mungkin bisa menjawab pertanyaan mama kenapa aku sering tak bisa tidur di malam hari.

“Kamu tidak nyaman karena tirai ini?”

Tidak juga, tapi aku memutuskan untuk mengangguk. Selama ini aku terbiasa tinggal sendirian di gubuk peninggalan ayah kandungku. Ada risih juga ketika harus tinggal dengan mama yang kini telah menikah dengan orang lain. Meski bapak tiriku jarang ada di rumah, tapi rasanya akan lebih baik jika kamarku diberi pintu seperti kamar Fifi adikku. Lebih nyaman buat privasiku.

“Besok mama akan pesan tukang untuk membuatkan pintu dan memperbaiki tempat tidurmu yang sepertinya sudah reyot.”

“Terima kasih, Ma.” Aku tersenyum manis dan memeluk mamaku dengan pelukan manja.

“Lain kali kalau ada sesuatu yang tak nyaman, bilang sama mama ya.”

“Heem.” Aku mengangguk-angguk menyetujuinya.

“Sekarang berdoa dan berdzikirlah yang banyak supaya jiwamu tenang. Jangan simpan sendiri masalahmu! Mama akan selalu ada buat kamu. Sekecil apapun masalah, tak baik jika dipendam terus-menerus. Tak akan pernah ada solusinya. Bicaralah pada orang lain yang bisa dipercaya, supaya hatimu lega. Kadang orang lain punya pemikiran dan solusi yang lebih baik sebab pikirannya lebih bebas dari emosi dibandingkan orang yang sedang ditimpa masalah. Kalau kita sedang emosi, pikiran kita bisa terkunci."

“Iya, Ma.”

Mama mengelus-elus rambutku sebelum meninggalkan kamar. Tak lama setelah itu kudengar gemericik air. Pasti beliau tak langsung kembali tidur ke kamarnya. Mama mengambil air wudhu untuk shalat malam.

Harusnya aku mengikuti jejak mama, tapi aku tak mampu memaksa tubuhku beranjak dari tempat tidur. Tubuhku terasa lelah dan lemas. Inginnya rebahan saja walaupun tak bisa tidur. Aku tak mampu memaksakan diri untuk wudhu dan shalat malam. Mungkin dalam diriku lebih banyak unsur setannya daripada malaikat hingga aku tak mampu menghalau rasa malasku. Mungkinkah aku benar-benar kena teluh?

Dia adalah salah seorang yang menolongku ketika aku tersesat di hutan tempo hari. Rambutnya lurus, hidungnya mancung dan tubuhnya tegap serta tinggi. Namun yang paling menarik dari dirinya adalah senyumnya yang menawan. Entah teluh apa yang digunakannya untuk membangunkan aku dari pingsan akibat kelelahan, dehidrasi dan kelaparan di hutan. Yang kutahu, ketika bangun aku menjadi seorang gadis gila yang tiba-tiba saja terpesona olehnya. Bayangan senyumnya mengikuti setiap langkahku seolah itu adalah bayanganku sendiri. Aku tak mampu melupakannya meski aku sangat mengingin untuk lupa.

Apakah aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama pada orang asing itu?

“Hai, kau telah sadar rupanya Nona.” Kalimat pertama yang keluar dari bibirnya yang menyungging senyum penuh pesona itu tak pernah luput dari ingatanku. Selalu terngiang-ngiang di telinga bersama dengan memori tentang senyumnya yang membuat jiwaku tak lagi sama.

Mungkin aku harus pergi ke dokter jiwa. Aku sudah gila.

Kalau aku boleh memilih, aku ingin jatuh cinta pada sosok Arfa sahabat kecilku yang selalu mendampingi, membela dan membersamaiku dalam suka maupun duka selama ini. Bukan pada orang asing yang dengan mata kepalaku sendiri tertangkap basah memanah burung nuri kesayanganku.

Anak panah adalah benda yang paling kubenci sebab benda itu telah membuatku kehilangan ayah, pria yang menjadi cinta pertamaku.

“Baba Syarif ditemukan dekat pe ngoni punya ladang. Mati kena panah baracun.” Afra, sahabatku yang berlari paling cepat di antara warga kampung kami memberi kabar yang membuat duniaku terasa hampir runtuh.

Afra datang tergopoh-gopoh dan mengetuk pintu rumah kami keras-keras sampai hampir pekak telinga kami mendengarnya. Keringat bercucuran di tubuhnya. Bicaranya pun sedikit tersenggal.

Aku yang menyambutnya hanya bisa mematung. Tak bisa berkata apapun.

Kualihkan padanganku pada mama dan Fifi adikku yang baru berumur 10 tahun. Keduanya sama terpaku dengan wajah kebingungan. Mereka saling berpandangan. Tak percaya.

“Baba tak mungkin meninggalkan kami. Apalagi mama tengah mengandung calon adik baru kami. Tidak. Baba pasti akan pulang,” jeritku tanpa suara.

Hatiku langsung menolak berita itu. Arfa bohong. Baba tidak mati. Baba hanya pergi ke ladang dan akan pulang sebentar lagi untuk mengimami shalat jum’at di mushola kecil kami.

Aku menggeleng. “Kau gila, Arfa. Babaku belum mati.”

“Dorang su bawa mayatnya pulang ka mari. Ayo basiap-siap kita pulasara.”

“TIDAK!” Aku memekik kuat-kuat sambil menutup telinga. Kudorong tubuh Arfa sambil membelalakan mata. Lelaki itu oleng, hampir terjerembab jatuh. Aku benci berita ini. Arfa, si pembawa berita buruk tiba-tiba berubah menjadi setan bertanduk merah di mataku.

“Baba akan pulang sebentar lagi untuk mengimami shalat jum’at.” Aku terus memekik dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Sementara dadaku semakin sesak sebab jantung yang berdetak bagai diburu kuda. Otakku mendidih. Tapi aku tak mampu meluapkan rasa yang menghimpit dada dan kepalaku. Tidak bisa teriak lagi. Menangis pun tak keluar air mata.

Arfa mendekat dan merangkul bahuku.

“Maafkan saya, Fifa.” ucap lelaki muda berambut ikal itu dengan wajah yang penuh gurat penyesalan. Matanya menatapku dengan sendu. Agaknya ia baru saja menyadari kebodohannya menyampaikan kabar buruk itu dengan terburu-buru hingga membuatku sangat tertekan. Suaranya terdengar sangat rendah.

Aku berusaha untuk menetralisir detak jantungku agar dapat berpikir lebih jernih. Tapi tak bisa.

“Ngana boleh manangis saya pe kefe,” katanya pelan sambil menepuk-nepuknbahu. Tangan kuatnya membawa kepalaku bersandar pada bahunya dengan lembut dan perlahan. Aku pasrah. Biasanya aku merasa lebih nyaman saat bisa bersadar manja dibahu baba. Mungkin bahu Arfa dapat menggantikannya.

Para wanita kampung datang berduyun-duyun. Kebanyakan mereka heboh bertanya ada apa dan kenapa baba mati. Dengan cekatan mama Geza menuntun mama yang tubuhnya melunglai agar duduk di bale kayu depan rumah kami. Mama Tiya menggendong Fifi masuk ke dalam rumah. Para pria yang datang karena teriakan salah seorang warga langsung sibuk mencari batang pisang, berdiskusi tentang rencana pemulasaraan jenazah dan sigap mengambil cangkul dan sekop guna menyiapkan lubang makam di samping rumah.

Sementara aku semakin linglung. Diam terpaku tanpa tahu harus berbuat apa. Benarkah babaku telah pergi? Apa yang bisa kulakukan tanpa baba?

“Ngana harus kuat, Fifa. Ngana harus sabar.” Arfa menepuk-nepuk pelan pundakku.

Aku melotot.

Apa kau bilang? Harus Kuat? Harus Sabar? Enak saja kau bilang begitu. Kau tak tahu bagaimana perasaanku. Orang lain boleh mati atau hilang, tapi tidak dengan babaku.

Amarah dan kesedihan membuat kepalaku semakin pening. Dadaku semakin sesak. Nafas makin pendek. Pandangan mataku perlahan mulai kabur. Aku menepis tangan Arfa, menghempaskannya, lalu pergi ke dalam rumah dan berbaring di lantai kayu. Aku tak ingat lagi apa yang terjadi setelah itu.

Arfa masih di sisiku ketika aku membuka mata. Bau minyak kayu putih menguar di udara. Mungkin aroma itu yang digunakan mama mama yang berada di sekelilingku untuk menyadarkanku. Melihatku sadar, dengan isyarat matanya Arfa meminta beberapa mama keluar dari gubuk kecil kami agar kami tidak terasa sesak. Tinggal Arfa, Deya dan mama Tiya yang tertinggal menemani dalam gubukku.

Sekarang tubuhku terasa lemas dan detak jantungku sangat lamban. Tak ada semangat untuk bangkit. Aku tak berdaya ketika Deya dan Arfa membantuku duduk dan menyodorkan gelas bambu berisi air bening.

“Tarima kasih.”

Aku menyodorkan kembali gelas bambu yang telah habis isinya.

Arfa mengangguk. Deya memelukku dalam diam.

Terdengar orang-orang melafalkan doa jenasah di luar sana. Apakah babaku sedang dishalatkan?

Aku mengambil banyak oksigen lalu membuangnya dengan perlahan. Kuatur lagi nafasku agar lebih teratur dan jantungku berdetak normal. Kurasa tubuhku terasa lemas seperti cacing tak bertulang.

“Baba?”

Arfa  memilih diam dan mengangguk pelan. Dia tampak kebingungan bagaimana harus menjawab pertanyaan singkat dan tatapan mataku. Lelaki itu mungkin takut salah memilih kata yang mungkin saja malah membuatku semakin bersedih. Dia teman baikku selama ini. Aku tahu dia pun turut bersedih untukku.

“Baba sudah pulang?”

Arfa mengangguk saja.

Baba sudah pulang. Apapun keadaannya aku harus bisa bangkit menyambutnya.

Percuma melawan takdir. Kalau memang baba benar-benar telah tiada, aku harus melihat jasad baba untuk terakhir kalinya.

Tubuhku terlalu lemah untuk bisa bangkit sendiri. Bersama Deya, Arfa membimbingku berjalan menuju bale di halaman rumah yang terbuat dari batang pisang dimana jenasah baba dibaringkan. Terdengar pidato bapak kepala kampung sebagai penghormatan terakhir.

“Baba Syarif orang baik. Beliau mati syahid dan meninggal pada hari baik. Insya Allah husnul khatimah.”  Kalimat bapak kepala kampung menyuntikan energi positif buat tubuhku.

“Husnul khatimah.” Burung nuri yang sering hinggap di dahan pohon kenari sebelah mushola itu mengulangi kata terakhir yang diucapkan bapak kepala kampung. Suara burung paruh bengkok itu terdengar lebih parau dari biasanya. Seperti habis menangis.

Aku menatap burung Nuri itu dan membesarkan hatiku sendiri dengan senyum sebagai ucapan terima kasih atas kesaksiannya. Aku harus ikhlas. Aku tak boleh memberatkan beban baba dengan tangis dan air mata. Insya Allah baba husnul khatimah.

Baba dianggap mati syahid dan meninggal pada hari baik. Dalam hati aku mengulang-ulang kalimat yang diucapkan bapak kepala kampung juga kesaksian burung nuri itu serta sebagian besar warga kampung kami. Semua berasal dari Allah dan akan kembali padaNya. Semua makhluk pasti akan mati. Bahagialah orang yang mati dalam keadaan baik. Baba adalah salah satu orang yang mendapat kesempatan baik itu, husnul khatimah.

Kualihkan pandanganku menatap jasad babaku yang tampak tenang dan damai. Wajahnya bersih. Terlihat sama seperti saat baba tidur setiap harinya. Bibirnya menyungging senyum seolah ingin mengatakan padaku bahwa ia telah menuntaskan tugasnya di muka bumi ini dengan baik. Orang-orang kampung kami memutuskan untuk tidak memandikan dan mengkafani jenasahnya. Mereka menganggap baba mati syahid. Baba dikuburkan dengan pakaiannya yang masih bersimbah darah itu.

Baba telah pergi ke surga, tempat yang jauh lebih indah daripada bumi. Ikhlaskanlah! Jangan berati langkahnya dengan tangis. Aku pasti kuat. Aku pasti bisa meneruskan perjuangan baba sekuat tenaga. Toh pada hakekatnya kematian itu pasti terjadi dan aku hanya tinggal menunggu kapan giliranku bertemu baba di surga.

PANAH BERACUN

Sampai saat ini aku masih menyimpan dendam dan rasa penasaran pada siapa yang menancapkan anak panah beracun di dada baba. Tak ada saksi mata yang melihat. Baba sedang berada di ladang sendirian pagi itu. Ditemukan tewas oleh warga kampung yang ladangnya berbatasan dengan ladang kami. Setahuku baba tak pernah bermasalah dengan suku togutil atau suku-suku rimba lain yang mendiami kawasan hutan Lolobata ini. Baba juga tak pernah punya masalah serius dengan kepala kampung dan warga kampung lainnya. Kecurigaanku cenderung mengarah pada orang asing yang tiba-tiba datang menguasai lahan ladang kami tak lama setelah meninggalnya baba. Sayangnya aku sama sekali tak punya bukti untuk menuduh siapapun.

“Tara mungkin orang asing itu yang bunuh ngana pe baba, Fa.” Arfa membantah dugaanku sambil melirik lalu kembali membelah kayu.

Aku mencibir lalu kembali membereskan kayu yang telah dibelah Arfa lalu meletakannya pada gudang penyimpanan kayu bakar.

“Iya, tara mungkin itu.” Deya mengangguk-angguk membenarkan ucapan Arfa. Muak aku melihatnya. Deya tak pernah punya prinsip sendiri, apapun yang keluar dari mulut Arfa selalu dianggap benar.

“Kenapa tidak?” tantangku dengan suara garang.

Suara tegasku berhasil menghentikan Arfa dari kegiatannya membelah kayu dan menatapku dengan intens.

Aku melengos. Tak ingin baku tatap dengan lelaki itu. Sikap pria berbadan tegap yang terdepan dalam berlari itu tak seperti paras dan gaya bicaranya yang menggebu-gebu. Arfa seorang yang berhati lembut. Dia tak henti menasehatiku buat bersabar dan menerima nasib. Lelah sudah telingaku mendengar nasehatnya. Buatku, aku sudah cukup sabar. Aku juga tak pernah mengeluh dengan nasibku. Kalaupun aku punya dendam dan rasa penasaran, kupikir itu wajar. Kenapa? Karena babaku meninggal dibunuh dan setelah beberapa tahun berlalu tak ada yang tahu siapa yang membunuh dan atas alasan apa orang itu mengambil nyawa baba.

“Mereka itu orang modern. Mereka bisa mengusir kita dengan selembar kertas yang isinya surat ijin konsesi pertambangan dari pemerintah pusat. Tara perlu bunuh ngana pe baba. Lagipula mereka baru mulai beroperasi setelah ngana pe baba wafat.” Arfa menjawab dengan tenang. Senyum mengambang begitu saja..

Deya menatapku dengan tatapan yang penuh api cemburu. Gadis hitam manis itu segera duduk menyejajari Arfa di atas akar pohon kenari tua yang menyembul besar di atas tanah.

Kali ini aku tak punya kata untuk menyanggah. Arfa benar. Orang asing itu sangat kaya. Memang mudah buat mereka mengusir orang kampung untuk pergi dari ladangnya dengan sedikit uang. Kalaupun ada yang membangkang mereka pasti memilih menodongkan senapan, bukan dengan senjata tradisional panah beracun. Buktinya tak perlu waktu lama bapak kepala kampung memilih menerima sedikit uang lalu memindahkan rumah keluarga dan warganya ke dalam hutan di luar lahan yang diklaim menjadi konsesi milik perusahaan tambang itu.

Sejauh ini orang-orang asing itu tak pernah memaksa dengan jalan kekerasan. Sebagian warga masih boleh tetap tinggal di kampung. Perusahaan juga membuka kesempatan bagi warga yang mencoba peruntungan dengan melamar menjadi pekerja kasar dan operator alat berat. Salah satunya adalah Arfa yang merasa beruntung sekali mendapatkan pekerjaan di perusahaan itu. Baginya itu adalah pencapaian besar yang membanggakan. Meski tidak mengenyam pendidikan formal Arfa bisa membaca. memiliki fisik yang kuat dan bersedia belajar hingga ia diterima sebagai pekerja di perusahaan yang membabat habis hutan untuk mencari logam yang katanya laris digunakan sebagai bahan baku peralatan masyarakat modern.

Aku menyudahi obrolan itu. Percuma. Arfa sekarang pekerja di perusahaan yang menurutku telah merusak hutan Lolobata. Jelas, ia pasti akan berpihak pada majikannya. Dasar pemikiran kami telah berbeda.

“Baba ngana sudah tenang di surga. Ikhlaskan saja. Yang perlu dipikirkan adalah masa depan ngana sendiri yang masih hidup.”

“Betul.” Lagi-lagi Deya membenarkan apa kata Arfa.

“Masa depanku berada di sini. Aku akan tetap di sini jaga makam baba sampai kaka Salman pulang,” tegasku.

“Tak baik perempuan sendirian. Ngana tara mau menikah?”

Aku menggeleng pasti

“Aku sudah bahagia dengan hidupku sekarang.”

“Tapi menikah itu sunah nabi. Baba pasti lebih senang di surga kalau ngana menikah."

“Kau sajalah dulu yang menikah. Deya akan dengan senang hati menerima lamaranmu. Bukan begitu Deya?”

Deya tersipu malu.

“Saya mau tunggu ngana saja, Fa.”

“Kitorang hanya cocok menjadi teman dan tetap akan berteman selamanya,” jawabku sambil tersenyum melirik Deya yang terlihat puas dengan jawabanku. Aku merangkum kedua sahabatku dengan kedua tanganku.

Sebenarnya aku tak ingin melihat raut wajah Arfa kecewa. Namun untuk kasus ini aku tak punya pilihan lain. Sudah berkali-kali ia bilang akan melamarku. Bahkan pernah nekat mengutarakannya pada mama dan bapa sambungku. Jawabanku tetap sama. Tak ada seorangpun yang bisa memaksaku. Pertemanan kami kurasa lebih indah daripada ikatan pernikahan. Aku lebih suka Arfa tetap menjadi teman selamanya. Lagipula aku tahu dari dulu Deya menyukai Arfa. Janganlah benih-benih cinta segitiga merusak persahabatan kami yang sudah terjalin sejak kami kecil.

Keduanya sahabat baik dan aku harap semua tak berubah, sebagaimana aku ingin hutan tetap lestari dan ekosistem alam tetap terjaga.

Aku tak ingin perubahan. Mungkin pikiranku terlalu sempit dan statis. Apa itu karena pengetahuanku terbatas? Kadang timbul hasratku untuk pergi bertualang mencari pengalaman dan hal-hal baru yang tidak kutemui di sekitar tempat tinggalku. Tapi setelah dipikirkan kembali, aku lebih memilih mengubur hasrat itu untuk teguh memegang

komitmen pribadi sebagai penjaga tanah peninggalan dan makam baba. Entah mengapa aku merasa Salman masih hidup. Aku yakin suatu saat nanti Salman akan pulang. Aku harus tetap menunggu di sini, di tanah rimba kelahiranku.

Baba bukan warga asli tanah rimba Lolobata. Beliau adalah pendatang asal Bugis yang awalnya ditugaskan oleh sebuah yayasan amal untuk berdakwah di pelosok, termasuk pada orang-orang yang tinggal nomaden di hutan-hutan. Dulu orang-orang kampung kami hidup berpindah-pindah di sekitar sungai. Ladangnya pun berpindah-pindah. Rumah mereka sederhana. Didirikan dari kayu dan beratap anyaman daun sagu. Rumah sederhana mereka berbentuk panggung tak berdinding. Baba adalah orang pertama yang mendirikan rumah kayu berdinding dan mushola kecil di sebelahnya. Baba membangunnya dengan dibantu beberapa orang yayasan saat beliau sudah mulai diterima dan dipercaya sekelompok orang rimba yang hidup di sekitar sungai. Lambat laun beberapa keluarga tertarik mempelajari pengetahuan baru yang dibawa baba. Mereka melihat rutinitas dan kelihaian baba

bercocok tanam dirasa lebih baik daripada hidup sebagai perambah hutan. Mereka pun ikut tinggal menetap sekitar sungai itu, mendirikan rumah kayu berdinding sederhana secara gotong royong, dan mengelola ladang yang telah dibagi-bagi dengan ukuran yang sama rata untuk masing-masing kepala keluarga. Pembentukan kampung itu dipimpin oleh seorang lelaki yang tubuhnya tinggi besar dan disegani seluruh anggota suku. Orang menganggapnya pemimpin. Belakangan, kami memanggilnya dengan sebutan bapak kepala kampung.

Sehari-harinya mushola kecil itu makin ramai dikunjungi warga. Tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk beribadah, mushola juga dijadikan sebagai tempat bercengkrama, bertukar pikiran, dan belajar hal-hal sederhana untuk bertahan hidup. Perlahan baba mengajarkan orang yang tinggal di hutan ini cara membaca, menulis, berhitung, mengaji dan ilmu pertanian sederhana. Orang kampung bertukar pengetahuan praktis tentang tanaman obat dan jenis-jenis tanaman hutan yang bisa dimakan. Karena nenek moyangnya tinggal di hutan, orang kampung kami pandai memanah dan melempar tombak. Mereka pandai melumuri anak panah dengan tanaman beracun untuk berburu dan membela diri. Ada beberapa jenis tanaman racun yang digunakan untuk melumuri anak panah. Efeknya berbeda-beda dan digunakan untuk fungsi yang berbeda pula. Sayangnya menurut tabib ahli racun, jenis

racun yang terdapat pada anak panah yang tertancap di dada baba belum dikenalnya. Itu menguatkan asumsiku bahwa kemungkinan bukan orang kampung ini yang membunuh baba.

Baba mencintai kampung ini. Sebab itulah aku tak ingin keluar kampungku yang berada di tengah belantara. Aku bertekat untuk selalu menjaga makam baba dan meneruskan perjuangannya. Namun kenyataan tak lagi sama. Orang-orang satu persatu pergi meninggalkan kampung ini. Tak ada lagi anak-anak yang belajar menulis dan membaca di sini. Mushola kami pun sudah lama sepi. Sebagian kayunya sudah lapuk. Hanya aku sendiri yang menghidupkan masa lalu kampung ini. Sesekali Arfa dan Deya mengunjungiku.

MONSTER DAN ORANG ASING

Beberapa waktu setelah Baba dimakamkan, keadaan kampung kami tak lagi damai. Monster-monster besi datang meratakan kawasan hutan dekat ladang kami. Sebagian warga kampung yang tetap menginginkan kedamaian bersama alam memilih menghindar dengan mencari tempat tinggal baru di dalam hutan yang cukup jauh dari kampung kami. Setelah kehilangan adik bungsuku yang lahir prematur, mama dipinang menjadi istri ketiga bapak kepala kampung dan ikut pindah ke rumah barunya dekat muara sungai. Aku tahu mama tak berdaya menolak pinangan itu. Tak ada pilihan lain. Mama pikir kami para perempuan tak mungkin tinggal bertiga di gubuk kami yang letaknya di pinggir sungai dan hutan belantara. Apalagi dengan kehadiran orang-orang asing yang membawa kendaraan besar yang memiliki tangan besi panjang yang tiap saat bergerak mengeruk serta mengangkut tanah dan batu. Kendaraan besar itu seperti monster yang besar dan menakutkan. Suaranya bising, tak seindah nyanyian burung yang biasa kami dengar tiap pagi.

Orang-orang asing itu mengambil alih ladang milik kami berbekal surat ijin konsesi tambang dari pemerintah pusat. Entah siapa yang disebut pemerintah pusat itu. Orang kampung terpencil seperti kami hanya mengenal bapak kepala kampung sebagai pemimpin. Sementara orang asing selalu berusaha meyakinkan kami bahwa hirarki kepemimpinan para penguasa bumi itu berlapis-lapis. Pemerintah pusat berada pada hirarki yang jauh lebih tinggi dari kepala kampung. Status kepala kampung merupakan pemimpin di hirarki yang terendah.

Lelaki memiliki peran penting dalam sebuah keluarga. Terlalu berbahaya hidup tanpa sosok laki-laki yang melindungi dan mengayomi keluarga. Pendapat

mama tidak salah, tapi aku tidak sepakat dengan pemikiran itu. Aku justru harus membuktikan diri bahwa aku bisa.

Meski begitu aku memahami dan menghargai keputusan mama menikahi bapak kepala kampung. Menjadi janda bukanlah hal yang mudah bagi perempuan secantik

mama. Mama memang membutuhkan seorang pelindung. Sejak baba meninggal, banyak lelaki datang menggoda dan memintanya menjadi istri. Kadang sikap mereka membuat kami merasa jengah. Dengan memutuskan menikah dengan bapak kepala kampung, tak ada lagi yang berani mengganggu mama, juga anak-anak gadisnya.

Asal kalian tahu, mamaku tak pernah kehilangan kecantikannya meski telah melahirkan beberapa anak. Layaknya vampir mama seperti tak bisa menua oleh

waktu yang telah berputar sekian lama. Mama menikah dengan baba pada usia awal belasan tahun. Beliau kembang kampung. Selain baba, banyak lelaki yang

menyukainya dan bersaing keras untuk mendapatkannya. Konon kabarnya mamaku masih keturunan suku Lingon yang memiliki ciri fisik seperti orang ras kaukasoid. Berambut ikal, kulit putih, hidung mancung dan retina matanya berwana keabu-abuan. Parasnya sedikit berbeda dengan orang kampung kebanyakan. Kecantikannya

makin bertambah bersinar semenjak menikah dengan baba. Sudah pasti sebabnya

karena baba memberinya banyak cinta serta mengajarinya hidup bersih. Baba mengajari kami mandi di sungai dengan menggunakan daun dari tanaman merambat seperti sirih yang saat digosok-gosokan ke kulit menghasilkan buih halus

semacam sabun. Cling. Khasiat sabun alami itu membuat kulit kami cerah, sehat dan tampak

lebih terang daripada kulit warga kampung lainnya.

Mamaku tergolong perempuan yang gemar membersihkan diri dan rutin melulurkan tubuhnya dengan ramuan kunyit dan beras yang ditanam baba di kebun

belakang rumah kami. Sesekali mama juga melumuri wajahnya dengan madu. Selain hikayat tentang suku Lingon, itulah yang kupercaya membuat mamaku tampak lebih cantik dari perempuan lain di kampung kami.

Kini, setelah lebih dari 3 tahun baba meninggalkan kami, hanya tersisa sedikit keluarga yang masih tinggal di kampung kami. Makin lama wilayah hutan

yang dibuka orang-orang asing itu makin meluas. Tak hanya ladang yang diklaim milik mereka, namun sebagian besar lahan hutan.

Beberapa orang berseragam pernah dayang menemui kami mengatakan bahwa tempat tinggal kami juga masuk ke dalam wilayah konsesi milik mereka. Mereka telah mengantongi ijin dari negara. Kami bisa apa. Selembar kertas itu sama sekali tak berpihak pada hak kami sebagai penghuni kampung yang mendiami wilayah ini selama bertahun-tahun.

“Lahan ini termasuk wilayah konsesi perusahaan kami, Nona.” Seorang staf perusahaan menemuiku dan membeberkan denah wilayah konsesi yang aku sendiri tak mengerti. Ia menjelaskan batas-batas wilayah yang diklaim milik perusahaan.

“Saya lahir dan besar di tempat ini, Bapa. Semua tempat di dunia ini milik.Allah. Kita hanya menumpang. Pimpinan kalian telah menguasai puluhan

bahkan ratusan hektar tanah rimba yang sebelumnya hutan belantara. Janganlah serakah mengambil pula tempat tinggal kami.”

Orang berdasi itu mengangguk-angguk. Tak lama kemudian ia mengeluarkan

amplop dan mengacungkannya di depanku. “Ambilah, ini uang kerahiman dari kami!”

Aku tak sudi menyentuhnya. Kedua tangan malah kulipat di atas dada.

“Maaf, Bapa. Ayah dan kakak saya dimakamkan di tempat ini. Berapapun bapa bayar, saya tak akan pindah dari tempat ini.” Aku berucap tegas namun tetap berusaha sopan.

“Kami bisa bantu memindahkan makam keluarga Nona. Terimalah! Nona bisa

hitung dulu jumlahnya. Kita bisa negosiasikan kembali jika dirasa kurang. Sebagai informasi, dengan uang ini Nona bisa membeli tanah yang jauh lebih luas di desa sebelah.”

“Maaf. Saya tidak mau pindah dari rumah saya, Bapa.”

Orang itu pergi. Hari berikutnya akan datang orang yang lain membujuk dengan cara berbeda untuk tujuan yang sama, mengusirku dari tempat tinggalku

ini. Aku tetap tak bergeming.

Adakalanya aku sedih dan merasa sendirian. Apalagi semenjak Arfa bekerja di perusahaan tambang itu. Deya ikut keluarganya pindah ke kampung baru. Hampir seluruh warga kampung kami telah menjual tanahnya namun masih diperkenankan tinggal sebab lahan kampung kami belum waktunya untuk digali. Arfa sendiri tinggal di mess karyawan yang letaknya tak jauh dari kampung kami. Sesekali ia mengunjungiku pada jam istirahat untuk shalat di mushola dan makan siang dengan

menu asing yang dibawanya dari kantin perusahaan. Tentu saja kunjungannya itu juga dalam rangka memamerkan hal-hal baru yang membuatnya merasa menjadi orang yang lebih modern, termasuk sepeda motor baru yang sekarang menjadi alat

mobilisasinya ke luar kampung. Pada hari libur, Arfa sering ke kota dengan sepeda motornya itu untuk menjual getah damar atau kayu gaharu yang dikumpulkan

beberapa warga desa.

Biasanya aku mengusir sepi dengan duduk di bawah pohon kenari sambil bersenandung syair shalawat nabi yang pernah diajarkan baba. Jika kebetulan

burung nuri hijau itu hinggap di dahan pohon kenari, aku mengajaknya bercerita tentang suasana hati dan apa yang mengendap dalam kepalaku. Nuri itu memang tidak bisa memberi solusi. Kerjanya hanya mengulang kalimat atau kata

terakhirku saja. Tak apa. Bagiku yang seperti itu sudah cukup melegakan. Aku hanya butuh teman bicara, biar kucari sendiri solusi untuk masalahku atau

berdoa minta petunjuk Yang Maha Kuasa.

“Orang-orang asing itu pasti kaya sekali ya, Nur. Mereka punya alat-alat dan kendaraan besar seperti monster yang bisa menggali dan meratakan tanah

dengan cepat.”

“Cepat. Cepat.”

“Kau tahu, Arfa sudah mahir mengendarai truk besar yang lalu lalang di lahan terbuka itu. Dia terlihat bangga.”

“Bangga. Bangga.” Sang Nuri hijau mengulang-ulang kata terakhirku. Aku tersenyum. Suaranya terdengar lucu. Cempreng, unik dan menggelitik otak menyuruh tubuh mengeluarkan hormon gembira. Aku selalu tersenyum oleh ulahnya.

“Akhir-akhir ini padi sungai tak tumbuh lagi. Cuaca juga terasa lebih panas. Apa menurutmu itu karena efek banyaknya pohon-pohon yang mereka tebang?”

“Tebang. Tebang.”

Hihihi …. Ternyata burung itu pintar mencari headline. Aku makin bangga padanya. Kepalanya terantuk-antuk melihatku tersenyum.

“Kamu makin jarang hinggap di sini. Apa itu juga karena jengah dengan keberadaan mereka?”

“Mereka. Mereka.” Nuri kembali terantuk-antuk.

Begitulah cara kami bersahabat. Aku dan burung nuri hijau yang pandai bicara menirukan bahasa manusia. Sebuah persahabatan yang unik.

Ketika perluasan lahan tambang semakin dekat ke gubuk kami, sang nuri makin jarang hinggap di pohon kenari itu. Aku tak pernah kehilangan akal

mencari cara menghibur diri. Aku pergi ke tepi sungai untuk duduk merenung  memandangi vegetasi daerah aliran sungai, batu, ikan dan bermain air. Kadang aku masuk ke dalam hutan mencari pohon tinggi yang bisa kupanjat untuk memasang ayunan kain pada batang pohon yang kokoh.

Ayunan itu adalah tempat bersantai paling nyaman. Aku bisa menikmati bisikan

angin yang berhembus menerpa daun dan ranting pohon. Kalau beruntung di atas pohon aku bisa melihat kawanan kera yang bergelayut dari satu pohon ke pohon yang lain. Tak jarang ada burung melintas terbang sambil mencicit lagu cinta. Namun yang paling istimewa dari semua itu adalah kehadiran sang Bidadari

Halmahera, burung indah yang berasal dari surga.

Kami menyebut burung bidadari Halmahera dengan sebutan wake-wake. Ia merupakan jenis burung cendrawasih berukuran sedang. Wake betina berwarna cokelat-zaitun, berukuran lebih kecil dan memiliki ekor lebih panjang. Burung jantannya

bermahkota warna ungu dan ungu-pucat mengkilat. Warna khas pelindung dadanya

hijau zamrud. Ciri khas yang paling mencolok adalah dua pasang bulu putih yang panjang yang keluar menekuk dari sayapnya dan bulu itu dapat ditegakkan atau diturunkan sesuai keinginan burung ini.

Wake-wake jantan pandai menari, mengepak-ngepakan

sayap dan melakukan atraksi terbang sambil memamerkan keindahan bulunya pada

burung betina incarannya. Matanya menatap penuh cinta. Duh, romantis sekali. Aku

suka sekali memperhatikan cara menarinya yang unik. Jangan ditanya bagaimana indah tariannya. Sepanjang hidup, itulah tarian paling indah yang pernah

kulihat. Peristiwa itu sangat langka sebab konon jumlah burung endemik pulau Halmahera ini tidaklah banyak. Dan tarian indah itu tercipta demi cinta, bukan merupakan kebiasaan sehari-hari. Aku yang sudah sering naik ke atas pohon

tinggi saja baru 2 kali berkesempatan melihat langsung indahnya tarian Bidadari Halmahera. Dengan segala daya, aku mengabadikannya dalam ingatanku. Sayangnya, meski

romantisnya kebangetan burung jenis ini bukan termasuk jenis hewan monogami.

Alhamdulillah aku menikmati kehidupan sederhanaku dengan bahagia dan penuh rasa syukur. Aku belum pernah merasakan kelaparan meski harus hidup sendiri di pinggir kampung yang berbatasan dengan sungai dan hutan lebat di seberangnya.

Padi yang tumbuh liar di sungai, ubi dan pohon sagu sudah disediakan alam dalam

jumlah yang lebih dari cukup. Aku pun tak pernah kehabisan sayur-mayur yang ditanam kebun sekitar rumah peninggalan baba yang selalu kurawat setiap hari.

Ada ayam yang kadang kuambil telurnya untuk lauk. Sekarang, aku juga sudah pandai menangkap ikan di sungai dan membuat ikan asap sebagai persediaan makanan. Ikan asap buatanku sering kubagikan pada tetangga yang kemudian

menukarnya dengan garam yang dibeli di desa terdekat yang jaraknya puluhan.kilometer dari kampung kami. Sungguh. Aku menjalani hari-hariku dengan bahagia meski tinggal jauh dari keramaian. Kejam sekali orang-orang asing itu hendak

mengusirku dari tanah kelahiran yang amat kucintai ini.

#maaf banyak typo#

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!