SENDIRI

Sendiri bukan suatu hal yang menakutkan buatku. Kematian juga bukan momok. Kurasa semua orang sudah tak mempedulikan sikap keras kepalaku bertahan sendirian di gubuk kami. Afifa Syarif sekarang telah dikenal sebagai gadis keras kepala yang pemberani dan mandiri. Bersyukur Tuhan memenuhi kebutuhan hidupku tanpa kurang seujung jari pun. Semua yang kubutuhkan tercukupi. Sesekali mama atau Fifi adikku datang membawakan sebaskom beras tanpa kuminta. Sebagai gantinya mereka mengambil kain panjang hasil tenunanku, ikan asap atau apa saja hasil tanganku yang kebetulan ada dalam gubuk kami.

“Kain hasil tenun kakak cantik. Banyak orang suka." Fifi memuji kain sarung hasil tenunanku sambil tersenyum mengeluskan permukaan kain di pipinya yang mulus.

“Hemmm.” Aku menoleh untuk membalas senyumnya. Sedikit rasa bangga mengalir dalam hatiku.

Dok. Dok Dok. Sebentar kemudian aku kembali menekuni pekerjaanku menenun kain. Menenun adalah pekerjaan musiman yang hanya bisa dilakukan oleh sebagian perempuan kampung kami. Salah satu perempuan yang beruntung menguasai cara menenun sederhana itu adalah aku, Afifa Syarif. Selain kelihaian tangan dan imajinasi, menenun itu butuk ketenunan dan kesabaran yang tinggi.

Kebetulan masim kemarau ini hasil panen kapas yang tumbuh di kebun kami beberapa bulan lalu cukup banyak. Mama telah dengan tekun memintalnya menjadi gulungan benang yang siap ditenun. Sebagian telah diwarnai dengan ekstrak buah pinang sehingga menghasilkan warna benang merah tembaga. Sebagian dibiarkan putih seperti warna aslinya. Sementara sebagian kecil telah diremdam air daun suji sehingga menghasilkan gulungan benang berwarna hijau. hijau. Karena kurang pandai menenun, mama menyerahkan benang kapas itu padaku.

“Suasana di kampung baru makin ramai, Kak. Kapan kakak pindah? Buat apa sendirian di sini? Mama bilang makam baba dan kak Afan akan dipindahkan.”

Aku menoleh dan tersenyum. Pertanyaan itu sudah terlampau sering dilontarkan mama dan Fifi. Tak perlu dijawab berulang kali. Aku belum mau berubah pikiran.

“Apa sih yang kakak pertahankan? Seandainya kak Salman pulang tidak mungkin kesulitan menemukan rumah kita sebab hampir seluruh warga kampung telah pindah ke kampung baru.”

Itu benar. Logikaku juga mengatakan hal yang sama, namun hati kecilku mengingkarinya. Aku ingin terus tinggal di gubuk peninggalan baba. Selama lamanya.

“Tak ada alasan kakak untuk bertahan sendirian di sini. Sudah tak ada lagi warga yang bertahan di sini. Setelah pembangunan rumah selesai, mereka akan segera pindah ke kampung baru. Buat apa kakak sendirian di sini. Kasihan mama tiap hari mengkhawatirkan kakak.”

Aku menoleh menatap wajah ayu adikku yang mulai memasuki masa remaja. Dia mulai pintar bicara. Ah sudah tentu. Fifi telah ikut kejar paket A dan baru saja lulus ujian persamaan. Ia berencana melanjutkan sekolah setara SMP di kota kecamatan. Kemarin mama telah menjual sapi ternak kami. Katanya uang hasil penjualannya akan digunakan untuk membeli sepeda motor bekas yang akan mendukung mobilisasi Fifi ke sekolah.

Aku tak lagi memiliki ternak. Sapi terakhir peninggalan baba telah dijual. Padahal aku menyayangi sapi yang telah kurawat sejak kecil. Tak apa. Mama dan Fifi butuh sepeda motor. Aku yakin Tuhan akan memberikan rejeki kami dengan jalan lain.

Aku kembali mengalihkan perhatianku pada alat tenun kayu pemberian kak Tias, salah seorang pengajar sekolah rimba yang mengajari kami teknik menenun sederhana. Mungkin alat tenun ini yang selanjutnya akan menemaniku mengusir sepi.

Dok dok dok …. Suara kayu yang beradu terdengar silih berganti. Tanganku sudah semakin terampil menata serta memindahkan benang dan kayu hingga membentuk sebuah kain bermotif sederhana. Kalau sedang malas pergi ke mana-mana, proses menenun selembar kain sarung dapat kuselesaikan dalam waktu 2 minggu. Pekerjaan menenun itu sebenarnya mengasyikan. Waktu tak terasa begitu cepat berjalan. Namun sayang pekerjaan menenun tidak bisa kulakukan setiap waktu. Selain bosan, aku tak cukup pandai membudidayakan pohon kapas. Dari banyaknya biji kapas yang telah kupisahkan dari serat kapas hasil panen sebelumnya, hanya ada beberapa pohon saja yang dapat tumbuh dan berbuah. Sebagian membusuk karena hujan. Sebagian lagi mati diserang hama. Jarang sekali kami bisa panen kapas dalam jumlah banyak.

Saat buah kapas merekah, aku memanennya sendiri di tengah hari yang cukup panas. Setelah kupisahkan dari bijinya, aku menjemur serat kapas itu sampai benar-benar kering. Langkah selanjutnya menjadi pekerjaan mama, yaitu memadatkan menjadi bentuk lembaran kapas dan menggulung lembaran kapas itu pada kayu yang akan dimasukan ke dalam alat pemintal benang sederhana. Mama akan mengembalikannya padaku apabila telah menjadi gulungan benang yang siap ditenun. Dengan proses-proses sederhana itu, butuh waktu berbulan-bulan untuk mengubah kapas menjadi selembar kain yang nantinya kami jadikan pakaian sehari-hari. Kalau ada tetangga yang tertarik, mereka akan menukarnya dengan sesuatu yang tak kami miliki.

“Ayolah, Kak. Kita bisa pindahkan makam baba ke kampung baru. Kata mama, bos perusahaan itu mau memberi uang kerahiman dua kali lipat daripada yang diterima warga lain. Terima saja tawaran itu, Kak. Kita bisa beli tanah beberapa hektar bersertifikat hak milik dengan uang itu. Kita bisa kaya."

Aku menghentikan gerak tanganku menata benang, tertegun mendengar komentar adikku yang baru beranjak remaja. Rupanya Fifi makin pintar dan melek uang. Sayangnya pikiranku tidak sepicik itu. Mereka menawarkan harga paling mahal mungkin karena sudah mentok dengan sikap keras kepalaku. Dua kali lipat dari harga yang diberikan sebagai bentuk kerahiman pada warga yang diminta meninggalkan kampung lama kami. Itu jumlah yang menggiurkan sebab kami bisa menukarnya dengan beberapa hektar tanah bersertifikat resmi di kampung sebelah yang merupakan lahan transmigrasi yang dijual pemiliknya yang tak betah dan ingin kembali ke tanah Jawa.

“Suasana kampung sudah tak lagi sama seperti beberapa tahun yang lalu. Semua sudah berubah, Kak. Kita harus selalu mengikuti perubahan jaman.”

Aku enggan berdebat. Tanganku kembali menata benang dan mendorong kayu untuk merapatkan tenunan benang.

Cukup diam. Kupikir siapapun pasti sudah kenal tabiatku keras kepala. Diam tak berarti setuju.

Kulihat Fifi memiliki benda pipih jenis yang sama dengan yang dibawa Arfa dan para pekerja tambang. Benda yang kata Arfa bisa membawa kita pada informasi yang terbuka ke seluruh dunia.

Keberadaan perusahaan itu berdampak besar pada modernisasi sebagian warga kampung. Ada jalan aspal yang dibangun mulus sampai

kantor perusahaan yang letaknya tak terlalu jauh dengan kampung kami. Jalan itu membuat akses kami dengan dunia luar semakin mudah. Sebagian orang sudah punya sepeda motor dan menjual hasil buminya keluar kampung dengan lebih cepat dan mudah. Kami mulai mengenal uang sebagai alat tukar.

Perusahaan membangun fasilitas pemacar komunikasi dan internet yang membuat kehidupan warga kampung kami berubah. Benda pipih itu selalu dibawa kemana-mana. Sepertinya benda itu lebih berharga daripada seekor kambing atau sapi ternak. Entah apa isinya. Orang bisa tersenyum, marah atau kesal sendirian setelah melihat benda pipih itu. Macam orang gila saja. Aku tak tertarik cari tahu apa isi benda pipih itu. Aku takut jadi tergila-gila pada apa yang ada dalam benda pipih itu sebab kulihat beberapa orang yang terbiasa memegang benda pipih itu jadi ketagihan dan malas bergerak. Lebih dari itu, konon katanya benda pipih itu harganya lebih mahal dari seekor kambing bahkan sapi. Kalau diberi pilihan, aku pasti memilih punya ternak kambing atau sapi daripada benda pipih itu.

Sudah beberapa kali staf perusahaan berkemeja rapi datang menemuiku dan membeberkan denah wilayah konsesi yang aku sendiri tak mengerti. Ia menjelaskan batas-batas wilayah yang diklaim milik perusahaan. Katanya kebun dan gubukku termasuk dalam wilayah itu. Artinya, mereka boleh menggali lahan sampai dalam batas wilayah yang ditentukan dalam gambar itu.

“Lahan ini termasuk wilayah konsesi perusahaan kami, Nona.”

“Saya lahir dan besar di tempat ini, Bapa. Semua tempat di dunia ini milik Allah. Kita hanya menumpang. Perusahaan telah menguasai puluhan bahkan ratusan hektar tanah rimba yang sebelumnya hutan belantara. Janganlah serakah mengambil pula kami punya tempat tinggal.”

Orang berdasi itu mengangguk-angguk. Mungkin dia membenarkan pemikiranku yang sederhana ini. Tapi tak lama kemudian ia mengeluarkan amplop dan mengacungkannya di depanku. “Ambilah, ini uang kerahiman dari kami!”

Aku tak sudi menyentuhnya. Kedua tangan malah kulipat di atas dada.

“Maaf, Bapa. Ayah dan kakak saya dimakamkan di tempat ini. Berapapun bapa bayar, saya tak akan pindah dari tempat ini.” Aku berucap tegas namun tetap berusaha sopan.

“Kami bisa bantu memindahkan makam keluarga Nona. Terimalah! Nona bisa hitung dulu jumlahnya. Kita bisa negosiasikan kembali jika dirasa kurang. Sebagai informasi, dengan uang ini Nona bisa membeli tanah yang jauh lebih luas di desa sebelah. Saya bisa bantu mengurusnya jika Nona bersedia.”

“Maaf. Saya tidak mau pindah dari rumah saya, Bapa.”

Berbagai upaya dilakukan untuk membujukku. Tak satu pun yang mempan. Orang itu pergi. Hari berikutnya datang orang yang lain membujuk dengan cara berbeda untuk tujuan yang sama, mengusirku dari tempat tinggalku ini. Aku tetap tak bergeming. Untungnya karena aku perempuan dan selalu berkata sopan, tak ada satu pun yang bertindak kasar padaku. Semua dibicarakan dengan baik-baik.

Sebagai manusia biasa, adakalanya aku sedih dan merasa sendirian. Apalagi semenjak Arfa bekerja di perusahaan tambang itu. Deya ikut keluarganya pindah ke kampung baru. Seluruh warga kampung kami telah menjual tanahnya namun masih ada beberapa yang masih tinggal dekat rumahku. Warga masih diperkenankan tinggal sebab lahan kampung kami belum waktunya untuk digali.

Arfa tinggal di mess karyawan yang letaknya tak jauh dari kampung kami. Sesekali ia mengunjungiku pada jam istirahat untuk shalat di mushola dan mengajakku menikmati makan siang dengan menu asing yang dibawanya dari kantin perusahaan. Tentu saja kunjungannya selalu dibumbui cerita dalam rangka memamerkan hal-hal baru yang membuatnya merasa menjadi orang yang lebih modern, termasuk sepeda motor baru yang sekarang menjadi alat mobilisasinya ke luar kampung.

"Sepeda motor ini amat berjasa. Setiap hari minggu aku pergi ke pasar kota menjual getah damar atau kayu gaharu yang dikumpulkan oleh beberapa warga desa. Harganya lebih bagus daripada dijual lewat pak Fred. Selisihnya lumayan. Aku bisa untung ratusan ribu." ujarnya dengan senyum bangga.

Setiap bertemu Arfa menunjukan saldo rekening bank yang makin hari makin banyak. Gaji dan keuntungan berdagang damar serta kayu gaharu jumlahnya cukup besar.

"Sudah cukup belum untuk melamarmu?" goda Arfa sambil menunjukan saldo yang tertera di buku tabungannya yang berisi puluhan deret angka.

Wuih. Banyak juga.

Kepalaku menggeleng. Melawan hasrat agar tak terpukau. Arfa pun tertawa lalu menutup buku tabungannya.

"Pokoknya aku bakal nabung terus buat masa depan kita."

Aku angkat bahu. Tak perlu aku menanggapi serius kata-kata Arfa. Suatu saat dia pasti sadar tak ada gunanya menungguku menerima lamarannya. Aku hanya ingin berteman saja selamanya.

Sesekali aku mengusir sepi dengan duduk di bawah pohon kenari sambil bersenandung syair shalawat nabi yang pernah diajarkan baba. Jika kebetulan burung nuri itu hinggap di dahan pohon kenari, aku mengajaknya bercerita tentang suasana hatiku dan apa yang mengendap dalam kepalaku. Nuri itu memang tidak bisa memberi solusi. Kerjanya hanya mengulang kalimat atau kata terakhirku saja. Tak apa. Bagiku yang seperti itu sudah cukup melegakan. Aku hanya butuh teman bicara, biar kucari sendiri solusi untuk masalahku atau berdoa minta petunjuk Yang Maha Kuasa.

“Orang-orang asing itu pasti kaya dan pintar sekali ya, Nur. Mereka punya alat-alat dan kendaraan besar seperti monster yang bisa menggali dan meratakan tanah dengan cepat.” Jujur, meskipun tak menyukai kehadiran mereka sebenarnya terbersit juga rasa kagum melihat kehebatan alat-alat canggih itu. Bagaimana cara membuatnya ya? Mereka hebat. Pikiran itu kadang hinggap di kepalaku.

“Cepat. Cepat.” sahut sang Nuri.

“Kau tahu, Arfa sudah mahir mengendarai truk besar yang lalu lalang di lahan terbuka itu. Dia terlihat bangga.”

“Bangga. Bangga.” Sang Nuri mengulang-ulang kata terakhirku. Aku tersenyum. Suaranya terdengar lucu. Cempreng, unik dan menggelitik otak menyuruh tubuh mengeluarkan hormon gembira. Aku selalu tersenyum oleh ulahnya.

“Akhir-akhir ini padi sungai tak tumbuh lagi. Cuaca juga terasa lebih panas. Apa menurutmu itu karena efek banyaknya pohon-pohon yang mereka tebang?”

“Tebang. Tebang.”

Hihihi …. burung itu terkesan pintar mencari headline berita. Aku makin bangga padanya. Kepalanya terantuk-antuk melihatku tersenyum. Kami sama-sama tertawa.

“Kamu makin jarang hinggap di sini. Apa itu juga karena jengah dengan keberadaan mereka?”

“Mereka. Mereka.” Nuri kembali terantuk-antuk.

Begitulah cara kami bersahabat. Aku dan burung nuri yang pandai bicara menirukan bahasa manusia bisa berkomunikasi dengan hati dan persepsi yang sama. Sebuah persahabatan yang unik.

Episodes
1 AWAL KISAHKU
2 PANAH BERACUN
3 MONSTER DAN ORANG ASING
4 PINDAH
5 SENDIRI
6 TARIAN BIDADARI
7 TERSESAT
8 BIDADARA
9 TEMAN BARU
10 RINDU SUNGAI
11 ARFA
12 TAUTAN HATI
13 DUKA DAN LUKA
14 HIDUP UNTUK MAMA
15 HIPOTESA
16 PERDEBATAN
17 AWAL BARU
18 AVIARY
19 DEYA LAGI
20 CERAI
21 BUKAN SALAHKU
22 BAHASA KALBU
23 MERDEKA
24 SEBUAH TAWARAN
25 KEMBALI
26 SATU JAM BERSAMA ANDI
27 TELEPON DINI HARI
28 HARIKU
29 KERABAT
30 CURIGAKU
31 JAM 9
32 OBROLAN PAGI
33 JIM
34 DILEMA
35 MAUDY
36 PRIVILAGE
37 Bidadari Halmahera
38 ANALOGI
39 RINDU
40 SEBUAH RENCANA
41 OLEH OLEH BUAT NENEK
42 PLONG
43 AWAL PERJALANAN
44 PERJALANAN LAUT
45 NENEKKU
46 NENEKKU (2)
47 DI KANTOR NOTARIS
48 KEDAI
49 BERDUA
50 SAMBARAN PETIR
51 SEKELUMIT TENTANG BABA
52 PENGAKUAN
53 HATIKU
54 ANDI DAN KATAK
55 NENEK PAHLAWANKU
56 KURSI
57 DINI HARI
58 FIFI
59 PINDAH
60 PAMAN
61 TANGGUNG JAWAB
62 SIBLING
63 TIDUR
64 SALAH TINGKAH
65 ISTIMEWA
66 PANAH LAGI
67 ARSENIK
68 PULANG
69 OBAT INSOMNIA
70 KABAR SALMAN
71 KABAR SALMAN 2
72 AVIARY KAMI
73 HARI KELAM
74 MENCARI SUAKA
75 WAJAH KUNTILANAK
76 KECEWA
77 BIMBANG
78 SORE
79 BELAJAR DARI ELANG
80 PERTEMUAN
81 MENU KOREA GAYA EROPA
82 TERJEPIT
83 PANIK
84 COKELAT
85 TERBUKA
86 AKU DAN NENEK
87 PERTIMBANGAN
88 LIPUTAN FIFI
89 MUDAH
90 BERHARGA
91 DIALOG EMPAT MATA
92 KABAR ARFA
93 MAMA MAMA
94 KOPRA
95 SUATU PAGI
96 DENDAM
97 KEJUTAN
98 PENGANTIN YANG DITUKAR
99 PERNIKAHAN
100 MALAM PERDANA
101 TERHIPNOTIS
102 SEKILAS INFO
103 KECEPLOSAN
104 MAU MAU
105 SERBA SALAH
106 MOOD SWING
107 HELIOPHoBiA
108 JURAGAN KELAPA
109 BAKU DUKUNG
110 PRIA TUA KESEPIAN
111 SILUMAN MONYET
112 LELAHKU
113 LAPTOP BARU
114 BIJAK
Episodes

Updated 114 Episodes

1
AWAL KISAHKU
2
PANAH BERACUN
3
MONSTER DAN ORANG ASING
4
PINDAH
5
SENDIRI
6
TARIAN BIDADARI
7
TERSESAT
8
BIDADARA
9
TEMAN BARU
10
RINDU SUNGAI
11
ARFA
12
TAUTAN HATI
13
DUKA DAN LUKA
14
HIDUP UNTUK MAMA
15
HIPOTESA
16
PERDEBATAN
17
AWAL BARU
18
AVIARY
19
DEYA LAGI
20
CERAI
21
BUKAN SALAHKU
22
BAHASA KALBU
23
MERDEKA
24
SEBUAH TAWARAN
25
KEMBALI
26
SATU JAM BERSAMA ANDI
27
TELEPON DINI HARI
28
HARIKU
29
KERABAT
30
CURIGAKU
31
JAM 9
32
OBROLAN PAGI
33
JIM
34
DILEMA
35
MAUDY
36
PRIVILAGE
37
Bidadari Halmahera
38
ANALOGI
39
RINDU
40
SEBUAH RENCANA
41
OLEH OLEH BUAT NENEK
42
PLONG
43
AWAL PERJALANAN
44
PERJALANAN LAUT
45
NENEKKU
46
NENEKKU (2)
47
DI KANTOR NOTARIS
48
KEDAI
49
BERDUA
50
SAMBARAN PETIR
51
SEKELUMIT TENTANG BABA
52
PENGAKUAN
53
HATIKU
54
ANDI DAN KATAK
55
NENEK PAHLAWANKU
56
KURSI
57
DINI HARI
58
FIFI
59
PINDAH
60
PAMAN
61
TANGGUNG JAWAB
62
SIBLING
63
TIDUR
64
SALAH TINGKAH
65
ISTIMEWA
66
PANAH LAGI
67
ARSENIK
68
PULANG
69
OBAT INSOMNIA
70
KABAR SALMAN
71
KABAR SALMAN 2
72
AVIARY KAMI
73
HARI KELAM
74
MENCARI SUAKA
75
WAJAH KUNTILANAK
76
KECEWA
77
BIMBANG
78
SORE
79
BELAJAR DARI ELANG
80
PERTEMUAN
81
MENU KOREA GAYA EROPA
82
TERJEPIT
83
PANIK
84
COKELAT
85
TERBUKA
86
AKU DAN NENEK
87
PERTIMBANGAN
88
LIPUTAN FIFI
89
MUDAH
90
BERHARGA
91
DIALOG EMPAT MATA
92
KABAR ARFA
93
MAMA MAMA
94
KOPRA
95
SUATU PAGI
96
DENDAM
97
KEJUTAN
98
PENGANTIN YANG DITUKAR
99
PERNIKAHAN
100
MALAM PERDANA
101
TERHIPNOTIS
102
SEKILAS INFO
103
KECEPLOSAN
104
MAU MAU
105
SERBA SALAH
106
MOOD SWING
107
HELIOPHoBiA
108
JURAGAN KELAPA
109
BAKU DUKUNG
110
PRIA TUA KESEPIAN
111
SILUMAN MONYET
112
LELAHKU
113
LAPTOP BARU
114
BIJAK

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!