Beberapa waktu setelah Baba dimakamkan, keadaan kampung kami tak lagi damai. Monster-monster besi datang meratakan kawasan hutan dekat ladang kami. Sebagian warga kampung yang tetap menginginkan kedamaian bersama alam memilih menghindar dengan mencari tempat tinggal baru di dalam hutan yang cukup jauh dari kampung kami. Setelah kehilangan adik bungsuku yang lahir prematur, mama dipinang menjadi istri ketiga bapak kepala kampung dan ikut pindah ke rumah barunya dekat muara sungai. Aku tahu mama tak berdaya menolak pinangan itu. Tak ada pilihan lain. Mama pikir kami para perempuan tak mungkin tinggal bertiga di gubuk kami yang letaknya di pinggir sungai dan hutan belantara. Apalagi dengan kehadiran orang-orang asing yang membawa kendaraan besar yang memiliki tangan besi panjang yang tiap saat bergerak mengeruk serta mengangkut tanah dan batu. Kendaraan besar itu seperti monster yang besar dan menakutkan. Suaranya bising, tak seindah nyanyian burung yang biasa kami dengar tiap pagi.
Orang-orang asing itu mengambil alih ladang milik kami berbekal surat ijin konsesi tambang dari pemerintah pusat. Entah siapa yang disebut pemerintah pusat itu. Orang kampung terpencil seperti kami hanya mengenal bapak kepala kampung sebagai pemimpin. Sementara orang asing selalu berusaha meyakinkan kami bahwa hirarki kepemimpinan para penguasa bumi itu berlapis-lapis. Pemerintah pusat berada pada hirarki yang jauh lebih tinggi dari kepala kampung. Status kepala kampung merupakan pemimpin di hirarki yang terendah.
Lelaki memiliki peran penting dalam sebuah keluarga. Terlalu berbahaya hidup tanpa sosok laki-laki yang melindungi dan mengayomi keluarga. Pendapat
mama tidak salah, tapi aku tidak sepakat dengan pemikiran itu. Aku justru harus membuktikan diri bahwa aku bisa.
Meski begitu aku memahami dan menghargai keputusan mama menikahi bapak kepala kampung. Menjadi janda bukanlah hal yang mudah bagi perempuan secantik
mama. Mama memang membutuhkan seorang pelindung. Sejak baba meninggal, banyak lelaki datang menggoda dan memintanya menjadi istri. Kadang sikap mereka membuat kami merasa jengah. Dengan memutuskan menikah dengan bapak kepala kampung, tak ada lagi yang berani mengganggu mama, juga anak-anak gadisnya.
Asal kalian tahu, mamaku tak pernah kehilangan kecantikannya meski telah melahirkan beberapa anak. Layaknya vampir mama seperti tak bisa menua oleh
waktu yang telah berputar sekian lama. Mama menikah dengan baba pada usia awal belasan tahun. Beliau kembang kampung. Selain baba, banyak lelaki yang
menyukainya dan bersaing keras untuk mendapatkannya. Konon kabarnya mamaku masih keturunan suku Lingon yang memiliki ciri fisik seperti orang ras kaukasoid. Berambut ikal, kulit putih, hidung mancung dan retina matanya berwana keabu-abuan. Parasnya sedikit berbeda dengan orang kampung kebanyakan. Kecantikannya
makin bertambah bersinar semenjak menikah dengan baba. Sudah pasti sebabnya
karena baba memberinya banyak cinta serta mengajarinya hidup bersih. Baba mengajari kami mandi di sungai dengan menggunakan daun dari tanaman merambat seperti sirih yang saat digosok-gosokan ke kulit menghasilkan buih halus
semacam sabun. Cling. Khasiat sabun alami itu membuat kulit kami cerah, sehat dan tampak
lebih terang daripada kulit warga kampung lainnya.
Mamaku tergolong perempuan yang gemar membersihkan diri dan rutin melulurkan tubuhnya dengan ramuan kunyit dan beras yang ditanam baba di kebun
belakang rumah kami. Sesekali mama juga melumuri wajahnya dengan madu. Selain hikayat tentang suku Lingon, itulah yang kupercaya membuat mamaku tampak lebih cantik dari perempuan lain di kampung kami.
Kini, setelah lebih dari 3 tahun baba meninggalkan kami, hanya tersisa sedikit keluarga yang masih tinggal di kampung kami. Makin lama wilayah hutan
yang dibuka orang-orang asing itu makin meluas. Tak hanya ladang yang diklaim milik mereka, namun sebagian besar lahan hutan.
Beberapa orang berseragam pernah dayang menemui kami mengatakan bahwa tempat tinggal kami juga masuk ke dalam wilayah konsesi milik mereka. Mereka telah mengantongi ijin dari negara. Kami bisa apa. Selembar kertas itu sama sekali tak berpihak pada hak kami sebagai penghuni kampung yang mendiami wilayah ini selama bertahun-tahun.
“Lahan ini termasuk wilayah konsesi perusahaan kami, Nona.” Seorang staf perusahaan menemuiku dan membeberkan denah wilayah konsesi yang aku sendiri tak mengerti. Ia menjelaskan batas-batas wilayah yang diklaim milik perusahaan.
“Saya lahir dan besar di tempat ini, Bapa. Semua tempat di dunia ini milik.Allah. Kita hanya menumpang. Pimpinan kalian telah menguasai puluhan
bahkan ratusan hektar tanah rimba yang sebelumnya hutan belantara. Janganlah serakah mengambil pula tempat tinggal kami.”
Orang berdasi itu mengangguk-angguk. Tak lama kemudian ia mengeluarkan
amplop dan mengacungkannya di depanku. “Ambilah, ini uang kerahiman dari kami!”
Aku tak sudi menyentuhnya. Kedua tangan malah kulipat di atas dada.
“Maaf, Bapa. Ayah dan kakak saya dimakamkan di tempat ini. Berapapun bapa bayar, saya tak akan pindah dari tempat ini.” Aku berucap tegas namun tetap berusaha sopan.
“Kami bisa bantu memindahkan makam keluarga Nona. Terimalah! Nona bisa
hitung dulu jumlahnya. Kita bisa negosiasikan kembali jika dirasa kurang. Sebagai informasi, dengan uang ini Nona bisa membeli tanah yang jauh lebih luas di desa sebelah.”
“Maaf. Saya tidak mau pindah dari rumah saya, Bapa.”
Orang itu pergi. Hari berikutnya akan datang orang yang lain membujuk dengan cara berbeda untuk tujuan yang sama, mengusirku dari tempat tinggalku
ini. Aku tetap tak bergeming.
Adakalanya aku sedih dan merasa sendirian. Apalagi semenjak Arfa bekerja di perusahaan tambang itu. Deya ikut keluarganya pindah ke kampung baru. Hampir seluruh warga kampung kami telah menjual tanahnya namun masih diperkenankan tinggal sebab lahan kampung kami belum waktunya untuk digali. Arfa sendiri tinggal di mess karyawan yang letaknya tak jauh dari kampung kami. Sesekali ia mengunjungiku pada jam istirahat untuk shalat di mushola dan makan siang dengan
menu asing yang dibawanya dari kantin perusahaan. Tentu saja kunjungannya itu juga dalam rangka memamerkan hal-hal baru yang membuatnya merasa menjadi orang yang lebih modern, termasuk sepeda motor baru yang sekarang menjadi alat
mobilisasinya ke luar kampung. Pada hari libur, Arfa sering ke kota dengan sepeda motornya itu untuk menjual getah damar atau kayu gaharu yang dikumpulkan
beberapa warga desa.
Biasanya aku mengusir sepi dengan duduk di bawah pohon kenari sambil bersenandung syair shalawat nabi yang pernah diajarkan baba. Jika kebetulan
burung nuri hijau itu hinggap di dahan pohon kenari, aku mengajaknya bercerita tentang suasana hati dan apa yang mengendap dalam kepalaku. Nuri itu memang tidak bisa memberi solusi. Kerjanya hanya mengulang kalimat atau kata
terakhirku saja. Tak apa. Bagiku yang seperti itu sudah cukup melegakan. Aku hanya butuh teman bicara, biar kucari sendiri solusi untuk masalahku atau
berdoa minta petunjuk Yang Maha Kuasa.
“Orang-orang asing itu pasti kaya sekali ya, Nur. Mereka punya alat-alat dan kendaraan besar seperti monster yang bisa menggali dan meratakan tanah
dengan cepat.”
“Cepat. Cepat.”
“Kau tahu, Arfa sudah mahir mengendarai truk besar yang lalu lalang di lahan terbuka itu. Dia terlihat bangga.”
“Bangga. Bangga.” Sang Nuri hijau mengulang-ulang kata terakhirku. Aku tersenyum. Suaranya terdengar lucu. Cempreng, unik dan menggelitik otak menyuruh tubuh mengeluarkan hormon gembira. Aku selalu tersenyum oleh ulahnya.
“Akhir-akhir ini padi sungai tak tumbuh lagi. Cuaca juga terasa lebih panas. Apa menurutmu itu karena efek banyaknya pohon-pohon yang mereka tebang?”
“Tebang. Tebang.”
Hihihi …. Ternyata burung itu pintar mencari headline. Aku makin bangga padanya. Kepalanya terantuk-antuk melihatku tersenyum.
“Kamu makin jarang hinggap di sini. Apa itu juga karena jengah dengan keberadaan mereka?”
“Mereka. Mereka.” Nuri kembali terantuk-antuk.
Begitulah cara kami bersahabat. Aku dan burung nuri hijau yang pandai bicara menirukan bahasa manusia. Sebuah persahabatan yang unik.
Ketika perluasan lahan tambang semakin dekat ke gubuk kami, sang nuri makin jarang hinggap di pohon kenari itu. Aku tak pernah kehilangan akal
mencari cara menghibur diri. Aku pergi ke tepi sungai untuk duduk merenung memandangi vegetasi daerah aliran sungai, batu, ikan dan bermain air. Kadang aku masuk ke dalam hutan mencari pohon tinggi yang bisa kupanjat untuk memasang ayunan kain pada batang pohon yang kokoh.
Ayunan itu adalah tempat bersantai paling nyaman. Aku bisa menikmati bisikan
angin yang berhembus menerpa daun dan ranting pohon. Kalau beruntung di atas pohon aku bisa melihat kawanan kera yang bergelayut dari satu pohon ke pohon yang lain. Tak jarang ada burung melintas terbang sambil mencicit lagu cinta. Namun yang paling istimewa dari semua itu adalah kehadiran sang Bidadari
Halmahera, burung indah yang berasal dari surga.
Kami menyebut burung bidadari Halmahera dengan sebutan wake-wake. Ia merupakan jenis burung cendrawasih berukuran sedang. Wake betina berwarna cokelat-zaitun, berukuran lebih kecil dan memiliki ekor lebih panjang. Burung jantannya
bermahkota warna ungu dan ungu-pucat mengkilat. Warna khas pelindung dadanya
hijau zamrud. Ciri khas yang paling mencolok adalah dua pasang bulu putih yang panjang yang keluar menekuk dari sayapnya dan bulu itu dapat ditegakkan atau diturunkan sesuai keinginan burung ini.
Wake-wake jantan pandai menari, mengepak-ngepakan
sayap dan melakukan atraksi terbang sambil memamerkan keindahan bulunya pada
burung betina incarannya. Matanya menatap penuh cinta. Duh, romantis sekali. Aku
suka sekali memperhatikan cara menarinya yang unik. Jangan ditanya bagaimana indah tariannya. Sepanjang hidup, itulah tarian paling indah yang pernah
kulihat. Peristiwa itu sangat langka sebab konon jumlah burung endemik pulau Halmahera ini tidaklah banyak. Dan tarian indah itu tercipta demi cinta, bukan merupakan kebiasaan sehari-hari. Aku yang sudah sering naik ke atas pohon
tinggi saja baru 2 kali berkesempatan melihat langsung indahnya tarian Bidadari Halmahera. Dengan segala daya, aku mengabadikannya dalam ingatanku. Sayangnya, meski
romantisnya kebangetan burung jenis ini bukan termasuk jenis hewan monogami.
Alhamdulillah aku menikmati kehidupan sederhanaku dengan bahagia dan penuh rasa syukur. Aku belum pernah merasakan kelaparan meski harus hidup sendiri di pinggir kampung yang berbatasan dengan sungai dan hutan lebat di seberangnya.
Padi yang tumbuh liar di sungai, ubi dan pohon sagu sudah disediakan alam dalam
jumlah yang lebih dari cukup. Aku pun tak pernah kehabisan sayur-mayur yang ditanam kebun sekitar rumah peninggalan baba yang selalu kurawat setiap hari.
Ada ayam yang kadang kuambil telurnya untuk lauk. Sekarang, aku juga sudah pandai menangkap ikan di sungai dan membuat ikan asap sebagai persediaan makanan. Ikan asap buatanku sering kubagikan pada tetangga yang kemudian
menukarnya dengan garam yang dibeli di desa terdekat yang jaraknya puluhan.kilometer dari kampung kami. Sungguh. Aku menjalani hari-hariku dengan bahagia meski tinggal jauh dari keramaian. Kejam sekali orang-orang asing itu hendak
mengusirku dari tanah kelahiran yang amat kucintai ini.
#maaf banyak typo#
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Dora Husien
Baca karya2mu bsa nambah wawasan tebtang suku2 indobesia dan indahnya alamnya sehat slaku thor..mudah2an bsa up tiap hri...
2022-07-07
2
Ummi Fatihah
realita zaman sekarang.... ekploitasi alam...pembukaan perkebunan & pertambangan...masyarakat adat kalah karena mereka tidak punya sertifikat tanah ..sedangkan perusahaan gampang mendapatkan izin pembukaan lahan dg uang...
2022-07-07
2