Mereka menjalani perjalanan lebih kurang empat jam untuk tiba di kelok sembilan. Cici terus memeluk Mira, agar anaknya tenang selama perjalanan tanpa merasakan sesuatu yang aneh.
Mira hanya diam, dan dia hanya menunjuk pada sesuatu yang dia inginkan. Keceriaan wajah mungilnya, terlihat lebih tenang, namun enggan berbicara dengan Cici dan Oneng secara intens.
"Ade mau makan coklat?" Cici memberikan coklat pada Mira.
Mira membuka mulut kecilnya, menerima coklat dari tangan Cici tanpa bersuara.
Oneng masih tampak lelah, hanya bisa tertidur, meletakkan kepalanya dijok belakang, namun sangat menikmati perjalanan mereka menuju kelok sembilan.
Luqman dan Dean hanya berbincang sekedarnya, karena tidak ingin menceritakan apapun tentang Akmal dihadapan adik bungsu mereka berdua. Karena akan membuat Cici kembali meratapi nasibnya atas kehilangan suami tercinta.
Tepat pukul 15.00 waktu setempat, mereka tiba di perkampungan kelok sembilan yang terletak di belakang bukit, dengan jalan bergelombang dan berkelok.
Tempat yang ditunjukkan oleh salah satu warga setempat, membuat mereka mengurungkan niatnya untuk melanjutkan perjalanan, karena jalan terjal yang tidak mudah ditempuh.
Bahkan tidak jarang Cici dan Luqman kembali bersitegang karena ingin menghentikan pencarian mereka hari itu.
"Lihat tuh jalannya, Ci! Sangat terjal, banyak batu! Mobil kita rendah. Ini akan menyulitkan kita mendaki."
"Abang kalau nggak mau melanjutkan, turunkan saja Cici disini! Biar Ci yang masuk ke perkampungan mereka menggunakan motor dengan anak muda itu."
Cici menggeram kesal.
Mendengar penuturan adik bungsunya, Luqman memarkirkan mobil, memilih turun, untuk menemui Cardo dan pemuda setempat yang berada dibelakang mereka.
Luqman mematik sebatang rokok, untuk menghilangkan rasa khawatirnya selama perjalanan yang penuh tanda tanya.
"Ini mau dibawa kekampung apa sebenarnya? Jauh banget!"
Perlahan Luqman menghembuskan asap rokok ke udara, menanti pemuda itu menghampirinya.
"Uda, masih jauh!?"
Luqman berkacak pinggang, merasa dikerjain oleh kedua pria yang hanya tertawa melihat tingkah Abang pertama Cici tersebut.
"Ndak, Bang! Sangenek lai... saba... perkampungan Datuak Mangkuto Malin, memang agak jauah!" (Tidak, Bang! Sedikit lagi, sabar... perkampungan Datuak Mangkuto Malin memang agak jauh)
Luqman mengangguk, menoleh kearah Dean yang sejak tadi sibuk melihat kompas yang tidak berfungsi.
"Bara kilo lai, Uda?" (Berapa kilo lagi, Uda)
Dean menatap kearah dua pemuda itu, kembali menatap GPS dan kompas yang tertera di handphone miliknya.
"Hmm, labiah kurang dua kilo lai, capeklah! Beko malam wak sampai, payah baliak ka kota, Bang!" (Lebih kurang dua kilo lagi, cepatlah. Nanti malam kita sampai, payah kembali ke kota)
Tidak menunggu lama, Luqman mematikan rokoknya, membuang puntung ke sembarang arah, sehingga diteriaki oleh dua pemuda tersebut.
"Bang, ambiak puntuang rokok tu! Ko hutan banyak panghuninyo! Jan sambarang, beko Abang yang hilang!" (Bang, ambil puntung rokok itu! Ini hutan banyak penghuninya! Jangan sembarangan, nanti Abang yang hilang!)
Mendengar kalimat itu, bergegas Luqman mengambil puntung rokok yang dia lemparkan, namun saat akan menoleh kearah Dean bulu kuduknya tiba-tiba merinding luar biasa. Aroma wangi bahkan seperti seorang wanita dari taman bunga melintas dihadapannya.
"Ya Tuhan...!"
Sontak saja hal itu membuat Luqman semakin ketakutan, dan bergegas memasuki mobil dengan perasaan takut.
Cici yang melihat wanita cantik itu melintas dihadapan Luqman, seketika menepuk pundak Abang pertamanya agar tidak terlarut dalam bayangan yang sangat menipu penglihatan kaum Adam.
"Jalan cepat! Jangan berhenti, karena kita berada didaerah rawan yang dilintasi makhluk tak kasat mata!"
Suara Cici membuat Luqman dan Dean semakin merinding. Mereka berdua hanya mengikuti perintah sang adik bungsu, tanpa mau berdebat lagi.
Mereka tiba disebuah perkampungan yang tampak tenang, bahkan sangat sejuk. Perkampungan yang ramah dan hangat yang jauh dari pantauan pemerintah kota, yang memiliki hasil pangan yang berlimpah.
Perkampungan Mangkuto Malin, di pimpin seorang Datuk yang sangat disegani oleh penduduk disana. Terletak beberapa kilometer dari kelok sembilan.
"Ini kampung sejuk, tapi sayang... sinyal handphone nggak ada! Bagaimana kalau istri ku menghubungi?" Celoteh Dean saat akan turun dari mobil mereka.
Cici yang mendengar suara gerutu Abang keduanya, hanya bisa mengingatkan, "Jaga ucapan, Bang! Kita dikampung orang! Ci, nggak mau Bang Akmal kita temukan, tapi kehilangan Abang Dean!"
Mendengar penuturan adiknya, Dean mengangguk mengerti. Tanpa dia sadari, bahwa kebiasaan buruk saat berada ditempat orang lain, merupakan satu penghinaan bagi penghuni yang tak kasat mata, tanpa disadari.
Mereka turun dari mobil, Cici masih menggendong Mira yang tampak tenang dalam pelukannya.
Oneng, berdiri disamping Cici mendekati sebuah rumah kayu, yang sangat bersih dihiasi bunga mawar merah disekelilingnya.
Cici melihat kearah anak-anak kecil, yang sibuk menyapa Mira putrinya, namun Mira hanya diam tak bergeming.
"Neng, tolong gendong Mira, jangan dilepas yah?"
Cici menatap Oneng dengan tatapan memohon bantuan.
Oneng mengangguk mengerti, mengusap lembut kepala Mira, agar tidak melihat anak-anak yang tak kasat mata mengganggu putri kecil itu untuk bermain bersama.
Dua pemuda yang menemani mereka, masuk kedalam rumah lebih dahulu, melalui pintu belakang, meninggalkan mereka didepan yang tengah menikmati keindahan dan kesejukan perkampungan tersebut.
Bukit-bukit yang sangat tinggi, mengapit perkampungan kecil tersebut, di hiasi pemandangan persawahan yang sangat luas dan indah.
"Sepertinya warga kampung sini pada rajin ke sawah yah? Sangat nyaman berada disini." Dony berbisik ketelinga Cardo, yang diangguki oleh keponakan Cici untuk membenarkan ucapan sahabat Akmal tersebut.
Tak lama mereka saling berbincang, mata Cici sangat awas melihat anak-anak kecil yang sangat senang saat melihat Mira yang berada dalam pelukan Oneng, namun tidak disadari oleh mereka yang tidak memiliki penglihatan yang sama seperti Cici, setelah mata batinnya terbuka.
"Apo dek rami bana ko!?" (Mengapa ribut sekali ni!?)
Luqman menunduk hormat pada petua yang berdiri didepan pintu, diikuti oleh Dean dan Cardo.
Dony mengucapkan salam, yang disambut hangat oleh petua yang biasa disapa 'Datuak'.
"Assalamualaikum," Luqman mendekati Datuak Mangkuto Malin, mencium punggung tangan pria paruh baya itu dengan penuh rasa hormat.
"Waalaikumsalam, manga kalian tibo diwaktu potang? Manga ndak pagi, atau siang! Lah jam bara hari ko!?" (Kenapa kalian datang diwaktu senja? Kenapa tidak pagi atau siang! Sudah jam berapa hari ini)
Cici menarik nafas panjang, saat mendengar kalimat dari petua yang sepertinya keberatan dengan kehadiran mereka disana.
"Maaf Pak...! Kami dari Pekanbaru, kami ingin mencari keberadaan suami saya yang hilang dikelok sembilan."
Cici menelan salivanya, menahan air mata yang kembali berlinang di pelupuk mata jika mengingat tentang hilangnya Akmal.
Datuak Mangkuto Malin menaikkan kedua alisnya, menatap lekat kedua bola mata Cici, "Jadi... laki awak yang hilang tu?" (Jadi suami kamu yang hilang itu)
Cici mengangguk pelan.
Perlahan Datuak meminta anak-anak yang masih berinteraksi dengan Mira putri Cici untuk menjauhinya, "Pai... jan digaduah juo anak ko!" (Pergi... jangan diganggu juga anak ini)
Luqman dan Dean saling bertatapan, begitu juga dengan Cardo dan Dony yang diam mematung, karena mereka tidak melihat satupun anak-anak disana kecuali Mira yang ada dalam pelukan Oneng.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Simply Yunita
asyeeekk... aku bisa belajar bahasa daerah lain melaui cerita ini 😍😍
2022-07-07
3