Seorang wanita muda yang masih terlihat cantik itu tampak sedang terduduk menjelepok dengan lesu di hamparan permadani berukuran kecil. Beberapa emban tampak dengan setia menghibur nya.
Menjadi pelarian, kematian suami, bahkan putra satu-satunya calon pewaris kerajaan yang sah terjatuh ke dalam jurang, entah sudah mati atau masih hidup, menambah lagi beban penderitaan wanita muda ini.
Entah bagaimana nasib pangeran Indra Mahesa saat ini.
Menurut kaji akal, jangankan seorang bayi. Lelaki dewasa pun akan berakhir dengan kematian jika terjatuh ke dalam jurang lembah bangkai itu. Hal ini lah yang menyebabkan wanita bekas permaisuri kerajaan Sri Kemuning ini merasakan penderitaannya semakin lengkap.
"Indra putra ku. Malang sekali nasib mu nak. Kelahiran mu yang kami dambakan. Bahkan seluruh rakyat mendambakan bisa melihat mu menjadi dewasa dan menjadi pemimpin yang adil ternyata tidak kesampaian. Aku bahkan belum cukup dapat memeluk mu. Melihat mu bermain-main, mendengar celoteh serta tawa dan tangis mu. Apakah ini adil buat ibu mu ini?" Ratap sang Permaisuri.
"Ampun Gusti Permaisuri. Bersabarlah. Saat ini Senopati Raka Pati, Panglima Rangga dan Tumenggung Seno paksi sedang berusaha untuk menuruni jurang di lembah bangkai. Sebaiknya kita bantu dengan doa semoga junjungan segera dapat ditemukan dalam keadaan selamat." Kata salah satu dari emban itu sambil memberikan sembah layaknya seorang abdi kepada majikannya.
(Ingat ya. Sembah seorang abdi kepada tuannya berbeda dengan sembah seorang hamba kepada Tuhannya)
"Gusti Permaisuri. Mari berbaring di sini. Supaya nanti kita memiliki tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Kerajaan Galuh masih sangat Jauh. Kita bahkan harus melewati kerajaan Setra kencana untuk sampai ke perbatasan kerajaan Galuh."
"Kau istirahat saja Sumbi! Bagaimana aku bisa istirahat jika Putra ku masih belum ditemukan?!"
"Gusti, saat ini Kanda Arya Prana sedang berusaha. Semoga saja mereka bisa menemukan Pangeran dengan selamat."
"Tipis harapan untuk melihat Putra ku itu ditemukan dalam keadaan hidup. Jika sudah begini, untuk siapa tahta kerajaan itu di rebut?" Keluh sang Permaisuri seperti putus asa.
Mereka semua tertunduk lesu mendengar keluhan penuh kesedihan dari Permaisuri mereka ini. Sebagai seorang wanita, mereka tentu arif benar perasaan seorang ibu yang kehilangan putranya. Terlebih lagi, di pundak sang putra lah kelak beban harapan untuk merebut kembali tahta kerajaan terletak.
***
Saat itu di lembah bangkai, tampak Arya Prana, Rangga dan Sena Paksi sedang berjibaku menuruni jurang yang terjal itu sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh milik mereka masing-masing.
Keadaan memang sangat tidak menyenangkan bagi mereka. Karena, selain terjal dan berbatu, jurang ini juga ditumbuhi oleh lumut membuat keadaan semakin sukar.
Belum lagi setengah dari kedalaman Jurang itu mereka turuni, mereka sudah merasakan sesak di dada mereka karena kekurangan udara.
"Dinda Paksi. Aku merasa bahwa kita tidak akan mampu mencapai dasar dari jurang ini." Kata Arya Prana sambil melompat ke arah ceruk batu membentuk seperti mulut goa.
"Benar kanda Prana. Terus terang saja. Kami juga sudah tidak kuat. Kita belum sampai setengahnya saja, sudah sedemikian dalam." Jawab Sena Paksi.
"Lalu bagaimana ini kanda?" Tanya Panglima Rangga.
"Entahlah Dinda. Sepertinya tidak ada tanda-tanda bahwa Pangeran Indra selamat. Jika dia masih hidup, setidaknya ada terdengar suara tangisannya."
"Oh Tuhan. Malang sungguh nasib rakyat Sri Kemuning." Kata Rangga sambil terduduk di bongkahan batu besar.
"Aku bingung. Jika di teruskan, kita akan mati di dasar jurang ini. Namun, jika kita kembali dengan berhampa tangan, malu pula rasanya. Aku lebih baik mati saja di medan tempur daripada gagal begini." Kata Senopati Arya Prana.
Lelaki berusia sekitar 40 tahun itu tampak tertunduk lesu sambil sesekali melempar sebutir kerikil ke dasar jurang.
"Jika Pangeran Indra Mahesa tidak berhasil kita temui, lalu untuk siapa perjuangan ini? Kita bahkan tidak memiliki raja." Keluh Sena Paksi seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri.
"Perjuangan tetap perjuangan. Walaupun tanpa seorang pemimpin, setidaknya kita harus berjuang demi rakyat. Rakyat harus segera dibebaskan dari cengkeraman belenggu Raja zalim itu."
"Ayo Dinda. Kita naik dulu ke atas. Andai Permaisuri menghukum kita karena kegagalan ini, kita terima saja."
"Mari kanda!"
Ketiga mantan punggawa kerajaan Sri Kemuning yang digulingkan itu pun kemudian merayap naik ke atas melalui dinding-dinding batu licin dan terjal di jurang lembah bangkai ini.
Dengan banyak upaya, akhirnya mereka sampai juga di bibir jurang lalu segera menyelinap di semak-semak belukar di hutan lembah bangkai ini menuju tempat persembunyian mereka dari kejaran para prajurit Paku Bumi.
Sesampainya di sana, mereka bertiga langsung tertunduk menghadap ke arah sang permaisuri sambil menceritakan kegagalan mereka mencapai dasar jurang tadi.
"Ampuni hamba bertiga, Gusti Permaisuri. Kami telah gagal mencapai dasar jurang lembah bangkai. Ini karena, kemampuan kami masih rendah untuk melakukan hal itu." Kata Raka Pati sambil mengatupkan dua tangan di depan kening.
Begitu mendengar penjelasan dari ketiga punggawa itu, tangis Permaisuri Galuh Cendana pun pecah seketika itu juga.
Cerita kegagalan dari ketiga punggawa kerajaan yang masih tersisa ini bagaikan suara ledakan petir menghantam tepat di samping telinga nya.
Setelah puas menangis, dia pun langsung mengangkat kepala kemudian bertitah. "Kumpulkan semua prajurit! Kita berangkat sekarang ke kerajaan Galuh!" Kata sang Permaisuri.
"Daulat Gusti. Namun, sebelum kita melakukan perjalanan, ada baiknya kita semua berganti pakaian. Hal ini agar para prajurit Paku Bumi tidak mudah mengenali kita." Kata Raka Pati memberanikan diri memberi saran.
"Baiklah. Mari kita berganti pakaian." Kata sang Permaisuri menyetujui perkataan dari Raka Pati tadi.
Beberapa emban tampak sibuk melindungi sang permaisuri dengan kain tebal untuk beliau mengganti pakaian.
Setelah semuanya selesai, rombongan itu pun kini tampak seperti rakyat jelata biasa.
"Raka Pati. Silahkan pimpin perjalanan ini!" Kata Permaisuri.
"Sendiko dawuh Gusti!" Kata Raka Pati lalu membagi pasukan untuk segera melakukan perjalanan menuju kerajaan Galuh.
"Dinda Rangga, aku akan memimpin lima puluh orang di depan. Kau pimpin lima puluh orang di tengah dan Dinda Paksi bersama sisa yang lainnya berjalan di belakang!" Kata Raka Pati berbagi tugas.
"Baiklah kanda. Mari segera pilih orang-orang mu!" Kata Panglima Rangga setuju.
Mereka bertiga lalu membagi tiga pasukan lalu segera berangkat.
Sebagai perintis jalan, Raka Pati pun mulai bergerak terlebih dahulu ke depan untuk mengamati keadaan kalau-kalau ada pasukan prajurit dari kota raja yang melakukan pengejaran.
Berjarak sepeminuman teh dari keberangkatan Raka Pati, panglima Rangga pun langsung membawa rombongan ke dua dan berjalan menyusuri semak belukar itu bersama dengan sang Permaisuri dan ketiga istri punggawa itu.
"Hati-hati! Kalian harus pelan-pelan memikul tandu. Jangan sampai Gusti Permaisuri terjatuh." Kata Panglima Rangga.
Mereka terus berjalan menyusuri semak belukar menyusul rombongan pertama dan meninggalkan rombongan Sena Paksi yang akan memulai perjalanan tidak berapa lama kemudian.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
On fire
W🩶🩷🤍💞
2025-02-17
0
On fire
👍🧡🤎🤎🩶
2025-02-17
0
Tengen_uzui
arya pradana
2023-03-06
1