Bab 02.
Seorang lelaki tua memakai baju perang berlumuran darah tergopoh-gopoh memasuki ruangan bagian terdalam di istana.
"Yang mulia... Yang mulia..?!"
Lelaki tua itu tersungkur bermandi darah tepat dihadapan Raja Wardana.
Raja Wardana yang sangat terkejut buru-buru menghampiri lelaki tua itu.
"Paman patih. Bagaimana keadaan di luar sekarang?" Tanya Raja itu dengan cemas.
"Hancur Gusti. Semuanya musnah.
Ampunkan hamba Gusti Prabu."
"Bukan Paman Patih. Ini bukan kesalahanmu. Ini adalah salahku karena tidak mengindahkan peringatan dari kalian."
"Gusti. Segera lah lari melalui lorong rahasia. Sebelum pasukan anak durhaka itu mendobrak masuk ke dalam istana."
"Tidak Paman. Aku adalah seorang Raja. Darah ksatria mengalir dalam tubuhku. Raja boleh di gulingkan, tapi tidak untuk dihina."
"Hamba mohon Gusti! Cepat lah lari sebelum semuanya terlambat."
"Tidak!. Seorang Raja yang sah tidak boleh lari meninggal kan mayat prajurit nya yang telah berjuang demi Raja mereka dan demi tanah air mereka. Jika aku lari, generasi yang akan datang pasti mentertawakan tindakan pengecut ku ini dan akan melempari kuburanku karena dianggap pengecut, lari dari tanggung jawab dan hanya mementingkan nyawa nya sendiri."
"Tuan ku. Jika anda tidak segera pergi meninggalkan istana, bagaimana dengan Permaisuri dan Putra mahkota? Mereka pasti akan membunuhnya karena dianggap sebagai duri bagi tahta yang akan di duduki oleh anak durhaka si Pradana itu."
Raja Wardana memandang ke sekeliling memandangi satu per satu ke arah para prajurit yang berjaga-jaga untuk melindungi keselamatan Raja.
"Dimana Senopati Arya prana?" Tanya sang Raja kepada para prajurit yang berjaga di sekeliling nya.
"Ampun Gusti prabu, Senopati Arya prana berada di luar istana untuk membendung pasukan musuh agar tidak memasuki istana ini."
"Sampaikan titah ku! Katakan kepadanya untuk menarik beberapa prajurit yang masih hidup dan mundur ke lembah bangkai untuk menunggu permaisuri dan Putra mahkota disana. Kemudian kalian harus segera bergerak menuju kerajaan galuh untuk meminta perlindungan kepada Ayah handa prabu, ayah dari Permaisuri." Perintah sang Raja dengan terburu-buru.
"Daulat Tuanku." Kata Prajurit itu dengan sembah ta'zim dan segera berlari menuju keluar istana.
"Yang mulia. Hamba sudah tidak kuat lagi. Hamba mohon diperkenankan untuk melihat Putra mahkota." Kata Patih itu terbata-bata.
"Baiklah Paman patih.
Istri ku, bawalah anak kita kepada paman patih." Perintah sang Raja dengan lembut.
"Hamba kanda Prabu."
Kemudian Permaisuri membawa anaknya yang baru berumur belum genap sehari itu kepada paman patih.
Paman patih dengan susah payah duduk dan bersandar pada salah satu tiang penyangga istana.
Dia menyambut tubuh mungil putra mahkota dari uluran tangan Permaisuri.
Dengan sangat hati-hati sekali, Paman patih memangku tubuh mungil itu.
Tak lama kemudian tampak paman patih menggerak-gerakkan tangannya di udara dengan mulut berkomat-kamit seperti membaca mantra. Kemudian yang terjadi adalah tubuh Paman patih seperti di lapisi sinar kuning ke emasan.
Perlahan namun pasti, sinar kuning keemasan itu kini berpindah ke tangannya membentuk gumpalan menyilaukan mata.
Gumpalan sinar keemasan yang memancar dari kedua tangan paman patih kini di turunkan dan tepat membungkus tubuh mungil putra mahkota. Ini adalah tanda bahwa paman patih telah mengeluarkan seluruh kesaktian dan tenaga dalamnya kedalam tubuh mungil itu.
Kemungkinannya adalah, jika tubuh mungil itu tidak tahan menerima kekuatan besar itu, maka dia akan segera mati. Namun jika berhasil, maka dia akan memiliki pondasi yang kuat dalam menerima ilmu olah kanuragan atau pun ilmu kedigdayaan.
Saat ini sang Raja dan Permaisuri saling pandang dan sama-sama merasa khawatir dalam hati mereka. Namun untuk bertindak mencegah, sudah tentu sangat terlambat. Oleh karena itu, mereka hanya bisa berdoa dalam hati semoga tidak terjadi apa-apa kepada anak mereka.
Paman patih dengan tubuh bermandi keringat bercampur darah masih terus mengeluarkan seluruh kesaktiannya sampai pada akhirnya dia tersenyum puas.
"Anak bagus. Anak bagus. Katanya dengan bibir bergetar.
"Gusti prabu. Aku ingin memberi anak ini dengan Nama Indra Mahesa. Andai dia tidak menjadi Raja, kelak dia pasti akan menjadi seorang pendekar pilih tanding. Dan aku sangat puas sekarang." Katanya dengan bibir tersenyum.
Tidak ada yang menyangka bahwa itu adalah kata-kata terakhir yang bisa dia ucapkan sebelum dia menghembuskan nafas terakhir dengan senyum mengembang di bibirnya yang telah keriput.
Raja Wardana hanya bisa meneteskan air mata melihat pengorbanan paman nya itu.
Namun dia segera sadar bahwa tidak banyak waktu lagi.
Raja Wardana segera memasuki kamarnya. Tak berapa lama kemudian dia keluar dengan memakai pakaian perang lengkap dengan sebilah keris di pinggang dan sebilah lagi di genggaman tangannya.
Seluruh orang yang berada di ruangan itu hanya bisa menatap sayu kearah Raja mereka yang bersiap untuk melakukan perlawanan terakhir.
Meraka tau jika keris di genggaman sang Raja sudah keluar dari kamar pribadi baginda, maka itu adalah pertanda bahwa dia akan bertempur sampai mati. Jika menang, dia akan selamat. Tapi kalau kalah, dia akan binasa.
"Eyang Resi. Aku mohon diri." Kata Raja Wardana sambil membungkuk hormat kepada sesepuh istana itu. Lalu dia berbalik dan mencium kening putranya.
"Istri ku. Jaga anak kita dengan baik. Ini adalah keris Tumbal kemuning.
Keris ini adalah lambang kerajaan. Sah atau tidaknya seorang raja adalah ketika keris ini berada pada nya ketika dia dinobatkan sebagai Raja.
Bawalah keris ini dan jangan pisahkan keris ini dari Indra mahesa. Aku yakin kelak dia akan mampu menuntut haknya sebagai pewaris tahta kerajaan Sri kemuning yang sah." Kata Raja Wardana sembari membungkus keris itu dengan kain sutra kuning dan memasukkan kedalam kain pembedung tubuh mungil Indra mahesa.
"Kanda Prabu, Apakah kita akan bertemu lagi?" Tanya Permaisuri Galuh Cendana sambil menangis.
"Percayakan pada takdir. Jika yang maha kuasa berkehendak, maka kita akan bertemu kembali.
Jangan bersedih istriku. Semua ini sudah garis takdir yang telah di tetapkan oleh yang Maha pencipta." Kata Raja Wardana berusaha menenangkan hari Permaisurinya.
"Panglima Rangga dan Panglima Paksi!
Jaga permaisuri dan junjungan kalian dengan nyawa kalian. Bawa mereka ke kerajaan galuh dan mintalah perlindungan kepada Ayahanda mertuaku disana."
"Daulat Tuanku. Titah Paduka hamba junjung tinggi dan akan hamba laksanakan."
"Segeralah berangkat sebelum pasukan Pradana menyerbu masuk ke dalam istana ini.
Gunakan jalan rahasia di belakang singgasana ku. Ketika kalian menemukan persimpangan, ambil lorong sebelah kanan dan kalian akan sampai di lembah bangkai. Di sana sisa pasukan Senopati Arya prana telah menunggu."
"Sendiko Gusti prabu." Kata mereka lalu dengan sangat hormat mempersilahkan Permaisuri dan para istri pembesar istana memasuki ruang rahasia dibalik kursi tahta kerajaan.
Lebih dari seratus prajurit pengawal mengikuti rombongan pelarian itu dengan tujuan mengawal keselamatan Permaisuri dan juga Putra mahkota junjungan mereka.
Sambil mengusap air mata, Raja Wardana menguatkan diri dan berjalan dengan gagah menuju keluar istana untuk melawan kekuatan pasukan Pangeran Pradana yang telah hampir menguasai seluruh istana setelah pasukan prajurit yang di pimpin oleh Senopati Arya prana mundur ke lembah bangkai.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
On fire
Mantaaappp
2025-02-17
0
On fire
Tegang
2025-02-17
0
On fire
🩷🩶🩶🧡🤎
2025-02-17
0