Cinta Berakhir Di Lampu Merah
Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah yang ditumpuk segunung selama seminggu, akhirnya Restu bisa merebahkan dirinya di atas kasur.
Hah nikmatnya...
Restu begitu menikmati kasur empuknya setelah pinggangnya pegal melakukan pekerjaan rumah. Dia berbaring dengan rileks, tapi tiba-tiba dia teringat surat-surat yang telah dikirimkan dokter Alvian. Lalu dia bangkit membawa satu kotak kardus dan membukanya. Semua amplop terlihat sudah terbuka, tandanya surat itu pernah dibukanya. Setelah membacanya kembali, Restu tak berminat untuk menindak lanjuti isi surat itu. Dia memilih untuk berdamai dengan hidupnya.
Maaf dokter! Aku tak ingin membuka lembaran itu, rasanya terlalu menyakitkan. Biarkan semuanya jadi masa lalu! Aku ingin menatap masa depan. Aku mungkin terlalu lelah menghadapinya. Sekali lagi maafkan aku dokter! Semoga anda sehat selalu.
Restu menutup kembali kotak itu dan menyimpannya dibawah meja rias.
Kring
Kring
kring
Lalu Restu mengangkat handphone tanpa mengindahkan nomor yang tertera.
"Halo"
"Iya halo."
"Apa benar ini dengan bu Restu?" Suara di seberang telpon menanyakan identitas dirinya.
"Iya saya sendiri."
"Maaf, saya dari kantor polisi bu, bisakah ibu datang sekarang?"
Deg
Pasti brandal-brandal itu bikin masalah lagi. Hadeuuh...
"Baik. Saya segera ke sana pak, terima kasih atas informasinya!" Dia menutup telponnya.
"Sandiiii... Jangan mengujiku!" Teriak Restu dalam rusun. Untung saja rusun itu kedap suara, kalau tidak mungkin para tetangga sudah menggedor pintunya.
Sebenarnya dia tahu betul anak laki-laki itu ada rasa padanya.
Tapi please deh..masa aku suka brondong?
Restu menggerakkan kedua bahunya. Bagaimanapun Restu lebih menyukai pria dewasa.
Restu masih mengingat ketika Sandi ketahuan merokok di belakang sekolah. Lalu, bukannya dia takut karena ditegur, malah dia dengan beraninya mendaratkan bibirnya.
Ampun amit-amit.
Restu menggelengkan kepalanya. Ada perasaan malu kalau teringat kejadian itu.
Tuhan...sekarang aku hanya sekedar menjalankan tugas. Selepas itu aku akan terbebas dari gangguannya. Bukankah sebentar lagi dia akan lulus? Semoga saja dia kuliah jauh-jauh.
Padahal jauh dalam lubuk hatinya, dia pun ingin bertemu dengan seseorang yang telah lama di rindukannya.
Oh nasibku..Kenapa juga sampai sekarang aku masih mengharapkan keajaiban bertemu dengannya.
Bukannya mencarinya malah sekarang dia harus mengurusi anak laki-laki yang selalu saja bikin 'caper'
Padahal Restu sudah berpesan, 'jangan lakukan yang aneh-aneh menjelang ujian akhir!' Berharap Sandi menuruti perkataannya kali ini. Nyatanya masih sama seperti sebelumnya.
Dasar tengil
Restu dengan cepat menyambar jaket yang tergantung di kursi. Dompet serta kunci mobil yang biasa tergeletak di atas kulkas, tidak lupa dibawa.
"Aku harus segera ke sana. Mereka tetap jadi tanggung jawabku. Aku ingin jadi guru terbaik buat mereka. Ya setidaknya aku ingin suatu hari mereka menjadi orang baik dan sukses lewat tanganku."
Terkadang sebagai manusia biasa Restu pun sering kesal dan marah. Karena dia bukan malaikat. Dia seperti manusia lainnya yang sering tidak sabar, malah sering memarahi para murid-muridnya yang kadang bersikap di luar batas.
Awas kalian! Kalau ketemu akan ku pukul satu- satu.
Nggg..ngg.. ngg..Suara mobil tak bisa distarter setelah kunci mobil diputar.
"Please...jangan mogok dong! Lagi genting nih!"
"Wah lupa isi bensin. Kenapa akhir-akhir ini aku ceroboh?" Dia menepuk keningnya.
Restu keluar dari mobil dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Tak ada pilihan lain selain menggunakan angkutan umum untuk pergi ke kantor polisi.
Anak itu bikin resah saja. Jika dia tak cepat menyelesaikan masalahnya, takut Sandi tak bisa mengikuti ujian nasional. Apa jadinya kalau dia tak lulus, sedangkan Restu adalah wali kelasnya. Pasti dia dianggap guru gagal. Mau disimpan dimana nanti mukanya. Memalukan!
Langkahnya dipercepat untuk bisa sampai di halte bis.
Kring
kring
kring
Suara handphone berdering lagi.
"Apalagi sih?" Dia menggerutu.
Dia menggeser tanda hijau untuk menjawab panggilan.
"Iya. Halo."
"'Halo."
"Siapa ini?"
"Kakakmu, Daniel."
Deg
"Kakak?" Dia terkejut. Mulutnya menganga.
Kakak... jangan mendekat! Aku takut ibu menyiksaku...
Tak ada mendung tak ada hujan. Seperti sambaran petir di siang bolong. Kenapa bisa kakaknya mendapatkan nomor kontaknya? Dia mematung di depan lampu merah di saat orang- orang sibuk melewatinya untuk menyebrang. Restu malah berdiri di tengah-tengah jalan, tidak melanjutkan langkahnya. Bayangan masa lalu kembali terbersit. Pikirannya seolah melayang kosong setelah menerima telpon dari kakaknya.
Betapa tidak Restu merasa ketakutan.Trauma masa lalu yang sangat dia takuti kini muncul dihadapannya. Kakinya gemetar, keringat dingin seolah berhamburan. Tak ada yang lebih menakutkannya selain menjadi pasien rumah sakit jiwa yang terpenjara tanpa sebab dalam lorong gelap tanpa matahari. Hatinya sangat gelisah, mengingat perjuangan untuk keluar dari lorong itu sudah cukup berat dirasakannya. Suntikan obat-obatan yang tak harus diterimanya memaksa dirinya seperti orang gila.
Itu semua ulah sosok wanita serakah yang hadir dalam hidupnya. Dia bagaikan teror menyeramkan. Restu tak ingin berhubungan lagi dengan masa lalunya yang begitu menyisakan penderitaan.
Sudah lama sebenarnya Restu bersembunyi dari pandangannya.
"Kenapa harus hari ini dia menemukannya?"
Brakk
Ada benturan keras mengenai kakinya. Kepalanya oleng, handphone yang ada dalam genggamannya menghambur. Dan saat itu Restu terpelanting lalu jatuh di lantai aspal. Darah mengalir dari titik yang terkena benturan. Matanya memandang ke atas awan yang sedang berarak-arak. Menatap kosong seperti menyapa seseorang.
Ibu.. akankah aku menyusul mu?
Seseorang muncul dari dalam mobil mewah. Lalu turun melihat apa yang baru saja ditabraknya. Laki-laki tampan, perawakan tinggi dengan gaya rambut blonde sedang memandangi wanita yang terbaring berlumuran darah. Dia menatap lamat-lamat, kaget.
"Oh my god. Kamu kah itu Hana?" Wei berkata lirih begitu dia mengenali wanita yang terbaring lemah di jalan aspal. Ya namanya Hana, dia sudah lama menghilang. Kini dia muncul kembali dengan kondisi mengenaskan.
Wei mengusap wajahnya, lalu membuang muka. Pandangannya kembali tajam menatap orang yang sudah tergeletak tak berdaya.
Sial, kenapa aku harus menabraknya? Bagaimana kalau Daniel tahu adiknya tertabrak olehku? Aku harus menyembunyikannya dahulu. Yang penting dia selamat.
Wei lalu merogoh saku celananya memanggil ambulan.
Setelah ambulan datang Wei pergi ke rumah sakit dan langsung masuk UGD. Beberapa petugas sibuk memeriksa. Dan dokter yang sedang sibuk menanganinya tiba-tiba berteriak, "Adakah wali dari pasien ini?"
"Hh.. saya dokter." Hatinya merasa terpanggil untuk bertanggungjawab atas perbuatannya.
"Baik, anda segera hubungi bagian administrasi dan segera tanda tangani surat prosedurnya! Pasien ini harus segera di operasi."
"Operasi?" Wei terhenyak. "Apakah separah itukah?" Wei bergumam.
"Anda mau dia mati? Kenapa masih diam disitu?" Dokter jaga UGD agak sedikit kesal karena Wei dianggap lambat.
"Iya. Baik dok!" Wei segera melangkah menuju ruang administrasi untuk menyelesaikan prosedur operasi.
Wei berjalan mondar-mandir, hatinya saat itu benar-benar kalut. Betapa tidak, dalam satu waktu dirinya harus memikirkan dua masalah berat. Ayahnya yang sedang di meja operasi dan wanita yang ditabraknya juga harus operasi.
Setelah tiga jam menunggu, akhirnya sebuah brankar muncul dari balik pintu ruangan operasi. Wei bangkit dan mendekati dokter, "Bagaimana dok operasinya?"
"Alhamdulillah berhasil. Anda harus menunggu dia siuman dulu! Sementara dia akan dibawa ke ruang perawatan."
"Baik, dok."
Wei dengan sabar menunggu Hana siuman. Padahal pikirannya sedang bercabang.
Tak lama kemudian, Hana yang terbaring dalam ranjang pasien terlihat mengerjapkan matanya, lalu dia menggerakkan tubuhnya.
Wei menekan belt untuk memanggil perawat begitu melihat Hana siuman.
Pintu diketuk lalu masuklah seorang dokter dan seorang perawat untuk melakukan pengecekan kondisi pasien.
Wei menghampiri mereka.
"Tenang saja! Istri Anda baik-baik saja. Kondisinya bagus." Dokter itu bicara menatap Wei.
Hah suami? Benarkah dia suamiku?
Hana yang baru saja siuman, mengernyitkan dahi.
"Maaf nyonya, bolehkah saya mengajukan beberapa pertanyaan?" Dokter separuh baya itu tersenyum ramah mengagetkan lamunannya.
Hana mengangguk menandakan setuju.
"Tolong sebutkan nama lengkap anda?"
"Nama?" Hana mencoba mengingat-ingat namanya sambil memejamkan mata. Lalu dia membuka matanya, menggelengkan kepala sebagai jawaban 'tidak'
"Baik." Dokter itu menuliskan sesuatu di lembaran yang ditentengnya.
"Apakah anda mengingat dimana anda tinggal?"
"Hmm." Berharap ada seseorang yang membantunya. Hana menatap Wei, sorot mata laki-laki berjas biru pun terlihat dia sedang menantikan sesuatu. Ya, dia pasti sedang menunggu jawabannya juga.
Tapi apa daya, terpaksa menggelengkan kepala lagi, lupa.
"Baik, jangan khawatir nyonya! Mungkin nanti sedikit-sedikit anda akan mengingatnya." Dokter itu membesarkan hatinya.
"Oh ya, mungkinkah anda bisa membantunya?" Dokter beralih menatap Wei.
"Ya?" Alisnya terangkat.
"Ada beberapa terapi yang sudah dicoba oleh pasien yang mengalami amnesia. Dan itu sudah terbukti berhasil. Jadi anda bisa membantunya kan?"
"Eh, iy ya.." Wei menjawab tergagap mengiyakan dengan terpaksa.
"Baik, kalau begitu saya izin pamit. Mungkin anda butuh istirahat." Dokter itu tersenyum, lalu meninggalkan ruangan.
Pandangan Hana beredar mengamati isi ruangan. Bulu kuduknya berdiri merasakan sesuatu yang familiar.
Ruangan itu hening tanpa suara. Mereka berdua terdiam setelah dokter meninggalkan ruangan. Wei duduk menjauh sambil memikirkan ayahnya yang sama-sama di rumah sakit.
Sesekali mereka saling mencuri pandang.Ada perasaan yang menggelitik dalam hati Hana, dia baru saja menilai Wei,
Tampan juga sih
Tapi sayang, perasaan senangnya tak berlangsung lama setelah melihat Wei sedari tadi diam membisu.
Kenapa sih dia duduk jauh gitu? Alergi apa? Bukannya menyemangati malah cuek bebek. Sekarang sudah amnesia aku terasingkan lagi. Payah!
Wei berdiri bergerak ke arah jendela yang menghadap ke luar. Merogoh handphone dari dalam saku jasnya.Dia berniat menelpon seseorang. Terlihat jari-jarinya memainkan layar.
"Mungkinkah aku harus memulainya?" Hana bergumam dalam hatinya.
"Hey kamu siapa?" Hana terpaksa menyapa terlebih dahulu, pura-pura tidak tahu.
Wei menoleh, matanya membulat tajam mengarah pada Hana yang sedang terbaring di atas ranjang pasien. Sejurus kemudian bibirnya yang tipis bergerak mengatakan sesuatu.
"Kenapa, kau menyukaiku?" Dengan wajah datar.
"Ish." Hana mengernyitkan dahi.
Heran juga, ada suami kaya gini. Kalau kamu beneran suamiku gak usah deh nanya suka? Terlalu..
"Lagian kenapa aku harus bertanya padanya 'Hey kamu siapa' Bukankah sudah jelas tadi dia mengaku suami. Pertanyaan yang konyol atau jawabannya yang konyol?"
Jadi ilfil
####
"Dimana Wei?" Seorang wanita paruh baya dengan pakaian serba fashionable itu bertanya pada salah satu kepercayaan suaminya.
"Maaf nyonya, tadi tuan muda Wei diperjalanan."
"Apa dia pergi sendiri atau bersama supirnya?" Ibunya Wei begitu cemas menantikan kondisi suaminya yang sedang dioperasi paska serangan jantung. Dia berjalan mondar-mandir.
"Sendiri nyonya."
"Aku harap dia cepat sampai." Dia sangat berharap putranya segera datang.
Pintu Kamar operasi terbuka. Tiga orang menyembul dari balik pintu. Dokter terlihat letih dan tak bersemangat.
Semua orang yang ada di depan ruang operasi sontak menatap. Ibunya Wei menghampiri dokter, "Bagaimana Dokter suami saya?" Wajahnya penuh kecemasan.
"Maaf, suami anda...tidak tertolong." Tampak raut wajah sedih.
Ibunya Wei syok, dia menatap kosong lalu menutup wajahnya. Terdengar nafasnya tersenggal-sengal, "Suamiku..."
Bulir-bulir air mata begitu cepat turun dari ujung kelopak matanya, kesedihannya begitu membuncah, seketika raungan kesedihan memenuhi ruangan.
###
Waktu sudah menunjukkan jam tiga sore.
Hanya suara Wei yang sedang berbicara ditelpon yang mengisi ruangan.
"Baik sekarang aku ke sana. Di rumah sakit mana? Iya baik. Nanti aku telpon kembali saat sampai di sana." Wei mengakhiri pembicaraan. Terlihat gurat wajahnya sedih setelah mendengar kabar ayahnya meninggal.
Wei melangkah pergi meninggalkan ruangan, tanpa menghiraukan orang yang sedari tadi menatapnya.
"Ya ampun dia mau kemana?" Matanya melebar memperhatikan Wei pergi.
Dahi Hana mengkerut, memikirkan nasibnya sekarang.
"Apa dia lupa istrinya ada disini?" Hana menjadi sensitif.
"uhukkk... uhukkk." Hana membenamkan wajah ke bantal. Air matanya terburai begitu saja.
####
Sudah dua hari Hana merasa seperti orang buangan. Sendirian di rumah sakit tanpa ada yang menjenguk. Hanya dokter dan perawat yang keluar masuk silih berganti memeriksa kondisinya.
Tok.Tok.Tok.
Suara ketukan memecah keheningan, lalu muncul tiga orang tak dikenal. Hana memandangi mereka satu persatu, menatap lamat-lamat. Seketika itu juga ada perasaan lega hadir dihatinya. Akhirnya ada juga orang yang datang, setidaknya dia tak sendirian.
"Apa kabar nyonya Wei?" Wanita yang berkuncir kuda menyapa ramah dan mendekatinya.
"Baik." Hana mencoba mengakrabkan diri dengan tersenyum manis.
Satu orang laki-laki dengan wajah serius itu berdiri di sampingnya. Dan yang satunya lagi seorang laki-laki memakai kemeja putih corak abu bunga dengan celana warna moka street, nampak santai menaruh barang bawaannya di atas meja tempat pasien.
Ya laki-laki itu tak kalah tampan dengan laki-laki yang mengaku suami. Badannya tinggi ramping. Wajahnya seperti blasteran asia dan barat. Dia bergerak mendekat, tersenyum.
"Maaf nyonya Wei... perkenalkan, nama saya Steven Hans, panggil saja Steve. Saya asisten pribadi tuan Wei. Dan hari ini anda sudah bisa kembali ke rumah. Saya akan membantu anda untuk berkemas." Dia tersenyum sembari mengulurkan tangannya.
Hana membalas senyumnya menyambut uluran tangannya bersalaman.
Deg
deg
deg
Ada perasaan lain. "Apakah aku mengenalnya?" Dahinya mengernyit, memikirkan orang di depannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Maulana ya_Rohman
mampir thor
2023-11-29
1
UQies (IG: bulqies_uqies)
Aku favoritkan yah kak 🥰
2023-01-22
1
UQies (IG: bulqies_uqies)
Ya Allah.. nyesek banget di perlakukan seperti ini 😭
2023-01-22
1