Steve melepaskan tangannya dengan perasaan aneh.
Kenapa dia menatapku seperti itu? Rasanya wajah itu agak familiar. Apa aku pernah melihatnya? Dimana dan kapan?
Steve menyadarkan diri dari lamunannya.
"Ra, tolong bantu nyonya Wei! Semua perlengkapannya ada di dalam tas merah. Aku tunggu di luar bareng Doni. Yuk Don!"
"Baik Pak!"
Steve dan Doni pengawal pribadi Wei ke luar ruangan.
Steve menekan nomor Wei, lalu mendekatkan handphone nya ke telinga.
"Halo."
"Wei, aku sudah di rumah sakit. Sebentar lagi Rara selesai. Aku akan mengantarkan wanita itu. Apa aku harus mengantarkannya ke apartemenmu atau ke mansion?
"Steve bisakah kau bawa ke vila mu saja?"
"Apa? Kenapa harus ke villaku?" Steve agak keberatan dengan permintaan Wei.
"Aku gak bisa menerima dia untuk sementara. Kamu tahu sendiri, aku harus menerima tamu, dan terlalu sibuk untuk mengurusi dia."
"Jadi, apa aku harus mengurus perbuatan mu?" Steve agak kesal Wei melimpahkan tanggung jawab begitu saja padanya.
"Please! Mengertilah kondisiku!" Terdengar suara Wei memelas.
"Ya, baiklah!" Steve menutup telpon dengan sedikit rasa kecewa.
Kalau bukan karena lagi berduka, aku pasti akan menolaknya. Tapi apa boleh buat, mau tidak mau aku terpaksa membawanya.
"Don, telpon nyonya Kim untuk datang ke villaku! Oh iya bawa juga chef dan beberapa pelayan dari mansion Wei, siapkan penyambutan untuk nyonya Wei.
"Baik!" Doni segera menghubungi beberapa orang sesuai permintaan Steve.
Betul-betul menyusahkan!
Steve menekuk wajah.
Sementara itu Rara membantu Hana sesuai intruksi Steve.
"Mari nyonya, saya bantu!" Dia membawa tas merah dan mengeluarkan isinya.
Baju ganti telah disiapkan. Gaun warna putih tulang dengan panjang selutut dipadu pita dan renda lebih sederhana berwarna moka. terlihat cukup elegan.Terlepas siapa yang memilihkannya, dia sangat menyukainya.
Wanita berkuncir pendek membantunya memakai baju dan berhias.
"Aku lebih suka make up yang tipis saja!" Dia melirik pada wanita yang sudah siap memolesnya, meminta riasan sederhana.
"Baik nyonya." Dia memulai merias wajah wanita yang ada di depannya. Tak sampai dua puluh menit.
"Sudah selesai. Coba lihat! Anda cantik bukan?" Dia mengangkat cermin lebih sejajar dengan wajah yang telah dirias nya.
Hana tersenyum di depan cermin melihat wajahnya yang kini tampil lebih cantik dengan polesan make up.
"Hmm. Menurut kamu suamiku pasti suka?" Dia melirik padanya.
Belum sempat dijawab, dia menyusul dengan pertanyaan kedua. "Eh tadi siapa nama kamu?"
"Perkenalkan nama saya Rara." Dia tersenyum, lalu terdiam. Tak ada lagi yang dikatakannya.
"Tapi kamu belum menjawab pertanyaan saya yang pertama." Dia mengingatkan pertanyaan yang sudah diajukannya tadi.
"Yang mana nyonya?" Matanya membesar, alisnya terangkat. Dia sepertinya melupakan pertanyaan pertama.
"Sudahlah!" Cermin yang sedang dipakainya diturunkan lalu ditaruhnya di atas paha. Ada raut kecewa terselip di wajahnya. Rupanya dia sedang berharap Rara menjawab pertanyaannya yang pertama.
"Maafkan saya nyonya!" Dia sedikit membungkuk matanya menyipit.
Ya ampun, kenapa jadi tulalit begini?
Lalu dia berjalan ke arah pintu dan membuka pintu ruangan.
"Tuan Steve semuanya sudah siap!" Dia memanggil mereka yang sedari tadi menunggu di luar.
Orang yang mengaku Steve masuk terlebih dahulu.
Deg.
Jantung Steve seperti terhentak keras. Matanya langsung tertuju pada Hana yang telah selesai dirias.
Lalu dua pasang mata beradu saling menatap. Steve mengerutkan dahinya dan manik matanya menatap tajam. Memperhatikan penampilan Hana. Ada kemiripan antara keduanya, baju itu sudah dikenakan oleh Hana ditambah dengan riasannya, membuat Steve tak mengedipkan matanya.
Kenapa aku harus memilihkan baju kesukaan ibu. Ah..sial! Wajahnya itu..membuatku hatiku sedikit berdebar. Ah mungkin mataku yang salah. Aku tak boleh tertipu oleh wanita mana pun.
Dia seperti melihat sosok ibunya ada pada diri Hana. Lalu matanya mengedip dengan keras, menyadarkan ingatannya bahwa sosok itu tak mungkin hadir karena sudah lama tiada.
Kenapa juga dia menatapku seperti itu? Ada yang salah dengan penampilanku? Rasanya tak ada yang salah denganku...
Hana tertunduk setelah mendapatkan tatapan yang berbeda dari Steve. Untuk menyembunyikan kebingungannya Hana pura-pura membetulkan pakaiannya.
"Oh.. hhmm iya. Baiklah kalian bawakan tas-tas itu. Biar saya yang mendorong kursi rodanya." Steve terlihat agak gugup.
Steve mendorong kursi roda. Tapi pikirannya bercabang-cabang.
Tanpa terasa akhirnya Steve mendorong kursi roda sampai halaman rumah sakit. Rara membantu Hana menaiki mobil yang telah disiapkan.
Sementara Steve duduk di samping kursi Hana. Dia sibuk dengan jari-jarinya memainkan layar di handphone memberikan laporan pada Wei.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Di kursi depan ada Rara dan laki-laki berstelan bodyguard sekaligus sopir. Dan di kursi belakang ada Steve dan Hana.
"Boleh aku membuka jendela?" Hana meminta izin pada Steve.
"Ya?" Alisnya terangkat. Kaget. Lalu tersadar.
"Oh. Don matikan AC nya!" Steve agak tergagap. Mungkin karena dia sedang fokus mengetik sesuatu di layar laptopnya, menyelesaikan pekerjaan yang harus segera dilaporkan pada Wei.
"Seger." Hana menutup matanya merasakan hembusan angin lembut menerpa wajahnya
"Anda suka?" Steve melirik ke samping.
"Ya?" Hana menoleh ke arah samping. Lagi-lagi mata mereka beradu.
Sesaat pandanganya tertarik. Melihat jarak pandang yang begitu dekat dengan Steve. Hana memperhatikan matanya yang bulat sempurna dan wajahnya begitu tampan.
"Dan ah.. lesung pipinya." Hana teringat seseorang di masa kecilnya. "Mirip siapa ya?"
Deg
deg
deg
"Kenapa irama jantungku berdetak lebih keras?" Tanpa sadar tangannya mengelus dada, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela untuk mengurangi kecanggungan, menata hatinya kembali normal.
Tak terasa angin sepoi-sepoi membuat alam sadar Hana melambat. Hana tertidur dengan nyamannya di bahu Steve setelah rasa kantuk menyerang.
"Maaf nyonya, kita sudah sampai." Doni memberitahu Hana.
"Ssst.... pelan kan suaramu!" Steve mengangkat telunjuk dan meletakkannya di bibirnya.
###
Kring
Kring
Kring
Suara handphone mengagetkan alam mimpinya. Hana terhenyak mengedipkan mata.
Steve tak mengindahkan suara telponnya. Dia buru-buru mengusap tanda merah panggilan.
Duh malu sekali rasanya. Kenapa aku bisa ketiduran di bahunya? "
"Maaf!" Hana membungkuk.
"Hhmm." Steve menjawab singkat.
"Dimana ini?" Pandangannya beredar. Hana mengamati apa yang ada di sekitarnya. Di sana ada taman yang cukup luas dan rapih. Juga rumah dua lantai yang begitu mewah dengan gaya modern tepat di depannya.
"Kita sudah sampai di rumah." Steve menutup laptopnya, lalu turun setelah sopirnya membukakan pintu.
"Rumah?" Hana melirik pada Steve.
Rara membukakan pintu mobil yang satunya.
"Selamat siang nyonya!" Mereka kompak menyambut.
Tepat di depan rumah sudah menyambut beberapa pelayan.
"Siang." Hana menganggukkan kepala.
"Oh iya. Hmmm perkenalkan! Mereka semua yang akan membantu anda di rumah ini. Jika anda membutuhkan bantuan, anda bisa memanggil mereka." Steve memulai memperkenalkan satu persatu. Mulai kepala pelayan, sopir, chef dan asisten rumah tangga.
Dia membalas dengan anggukan.
"Siapkan kamar untuk istirahat nyonya!"
"Baik tuan!" Salah satu dari mereka berjalan mengantarkan.
"Eh.. mana suamiku?" Hana penasaran menanyakan keberadaan Wei yang tak ada menyambutnya.
"Ya?" Alis Steve terangkat, matanya membesar. Steve kebingungannya, "bagaimana ini?"
"Hhh...Dia..sedang pergi ke luar negeri. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan di sana." Steve tersenyum tipis, menyembunyikan kebohongan.
"Kapan dia kembali?" Hana melirik Steve, butuh penjelasan.
"Mmm mungkin agak lama. Tapi jangan khawatir! Tuan Wei sudah menyampaikan pesan agar saya bisa mengurus keperluan anda selama dia tidak ada." Steve tersenyum palsu.
"Hhmm." Hana hanya bisa tertunduk menelan kekecewaan.
"Baik. Aku ingin istirahat." Dengan langkah gontai Hana pergi ke kamar dan mengunci pintu.
"Ah kenapa juga aku seperti orang asing di rumahku sendiri, merepotkan sekali!" Steve menghempaskan badannya di sofa. Mengacak- acak rambutnya, pusing harus memikirkan sandiwara ini. Sejak kapan dia mulai pandai berbohong.
"Suamiku...dimana kau?" Hana berkata lirih, sedih.
Ingin rasanya seseorang ada di sisiku. Aku tak tahu harus menjalani hari esok seperti apa. Aku membutuhkan seseorang untuk bersandar saat ini.
Hana mengalami masa labil, dimana pasien amnesia biasanya akan mengalami stress karena kehilangan ingatannya.
Tanpa terasa ada sesuatu yang ingin keluar dari ujung kelopak mata. Linangan itu dengan cepat berkumpul mewakili hatinya yang dirundung mendung.
Hana memejamkan mata, menahan butiran-butiran itu agar tidak jatuh lebih cepat. Dia memilih untuk duduk sambil menelungkup kan wajah di atas lututnya. Air mata berjatuhan meluapkan emosi yang sedang meliputi perasaan.
###
"Tok.. Tok.. Tok.." pintu terdengar diketuk.
Hana bergerak hanya menggeliat saja. Malas untuk membukanya dan memilih untuk kembali menarik selimut.
"Tok.. Tok.. Tok.."
Suara pintu kembali diketuk. Tapi keputusannya tetap pada semula, lebih memilih pura-pura tidur. Padahal matahari sudah bergerak meninggi.
"Maaf saya Steve. Bisakah anda membuka pintunya sebentar?" Suaranya lirih memintanya dengan lembut.
"Hah? Steve? Lagi apa dia disini?" Hana terbangun melihat jam weker yang ada di nakas.
"Waduh jam sebelas." Buru-buru dia turun melangkahkan kaki menuju pintu.
"Klek." Pintu terbuka.
Terlihat Steve membawa nampan dengan isi piring, mangkuk yang telah terisi beberapa makanan, berikut satu gelas jus.
"Anda melewatkan makan. Jadi saya bawakan beberapa makanan kesini." Padahal Steve sedari tadi sudah menunggunya di meja makan. Tapi yang ditunggunya tak kunjung keluar kamar. Terpaksa dia mengurungkan diri untuk pergi ke kantor.
"Simpan saja di atas meja! Kalau tak ada keperluan lagi, kamu boleh keluar!" Wajahnya begitu kacau. Mungkin efek tadi malam tak bisa tidur.
"Dia seperti majikan saja. Main perintah. Padahal dia sedang menumpang!" Steve menggerutu dalam hati dengan kesal.
"Tidak. Saya akan menunggu disini. Memastikan anda makan dengan baik!" Steve memaksakan tersenyum, mengingat kalau bukan tugas kerja, malas sekali melayaninya.
"Bawa kembali semuanya! Tak ada yang perlu dipastikan disini." Emosinya labil.
"Tapi." Steve terlihat bingung. Dia sadar tanggung jawabnya sekarang jadi bertambah berat dititipi pasien amnesia.
"Tapi apa?" Hana membelalakkan mata dan meninggikan intonasi suara.
"Makanlah! Anda perlu tenaga untuk memulihkan kesehatan."
Kalau bukan tugas, ingin sekali aku meninggalkannya.
"Apa kamu tak dengar? Bawa semua kembali ke dapur!" Emosinya meledak-ledak.
"Baik. Saya akan ke luar. Tapi.." Steve memutuskan untuk meninggalkannya.
Brang...
Isi nampan berhamburan. Hana melemparkan nampan begitu saja. Semua emosinya berkecamuk. Antara rasa marah, sedih juga kesal memenuhi dadanya. Hana mengalami depresi pasca amnesia. Sesuatu mengenai kepala Steve. Kepalanya mengeluarkan darah.
Setelah ledakan emosi Hana terkulai lemas, pingsan.
"Pelayan.... kemana kalian semua?" Steve berteriak memanggil para pelayan.
Tak lama kemudian para pelayan segera datang. Pecahan berserakan tak beraturan.
Tangan Steve memegangi bagian belakang kepalanya karena terasa sakit. Steve segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.
###
"Badanku sepertinya kehilangan tenaga. Lemas sekali. Sebenarnya apa yang kalian masukan dalam tubuhku ini? Mataku seringnya mengantuk. Bahkan untuk sekedar duduk pun tak ada tenaga." Hana bergumam sendiri sambil menatap selang infus yang menggelayut. Matanya terlalu berat lalu dia tertidur kembali.
"Please... tolong aku! Aku hanya ingin kalian mencabut selang-selang itu. Aku janji tak akan memberontak lagi. Aku janji jadi anak baik!" Hana sering mengigau.
"Nyonya Wei." Kepala pelayan, Nyonya Kim mengguncangkan tubuhnya mencoba membangunkan Hana.
"Hah?" Dengan sedikit berat Hana membuka mata.
"Anda sudah dua hari ini tak makan."
"Oh." Hana bangkit dari tidur mencoba bersandar dibantu nyonya Kim.
"Apakah tadi aku mengigau?" Hana menatap wanita yang sedang duduk di pinggir ranjangnya.
"Iya." Nyonya Kim mengangguk.
"Ah.. sakit sekali. Kenapa perban ini ada disini?" Benda itu melingkar di pergelangan tangan Hana.
"Tangan Anda terluka."
"Kenapa terluka?"
"Nyonya tidak ingat?" Alisnya sedikit terangkat.
Hana menggelengkan kepala tidak mengingat apa yang sudah terjadi.
"Bukan hanya anda saja yang terluka." Wajah Nyonya Kim nampak tak bersemangat.
"Maksudmu?" Matanya menatap penasaran.
"Tuan Steve."
"Dia kenapa?" Hana berusaha mencerna apa yang baru saja didengar.
"Anda benar-benar tak ingat?" Nyonya Kim kembali bertanya, dia agak tak percaya.
"Tidak. Apa yang terjadi padanya?" Hana begitu penasaran.
"Makanlah!" Nyonya Kim menyodorkan bubur yang masih hangat.
"Tak mau!" Hana membuang muka.
"Terserah anda!" Nyonya Kim agak kesal.
"Baik. Saya akan makan. Tapi tolong ceritakan apa yang telah terjadi. Please!" Hana berubah menyesal.
"Baiklah. Makanlah dahulu!"
"Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku membuat kesalahan besar?"
"Besar atau kecil kesalahan, tetaplah salah."
"Maafkan aku! Aku benar-benar menyesal." Hana memasukan sendok berisi bubur.
"Apa aku bisa menjenguk Steve?" Hana menyeka air matanya, rasa sedih hinggap dengan cepat.
"Tuan Wei melarang Anda menjenguknya." Nyonya Kim kepala pelayan menjelaskan.
"Nyonya Kim.."
"Ya?"
"Kenapa sampai sekarang suamiku tak juga menghubungiku?"
"Dia sibuk."
"Apa sesibuk itukah?" Emosinya labil mudah sekali naik turun.
"Tuan Wei baru saja ditinggalkan tuan besar. Jadi banyak yang mesti dia kerjakan. Mohon bersabarlah!" Nyonya Kim menyemangati.
Sementara itu Wei menjenguk Steve di rumah sakit.
"Wei.. sampai kapan kamu akan sembunyi seperti ini? Aku tak mau ada sandiwara lagi."
"Sampai dia ingat sendiri siapa dirinya."
"Wei.." Steve membelalakkan mata.
"Aku harus seperti itu."
"Wei.. kamu tahu dia sekarang mengalami stress berat. Lalu siapa yang akan peduli padanya? Aku jadi kasihan." Perasaan Steve menaruh iba padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Riee 🕊️
tinggalin jejak dulu, nanti balik lgi klo ada waktu🙏😅
2024-07-22
1
Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)
Penasaran steve itu siapa
2022-12-24
1
Bayangan Ilusi
sebenernya steve itu siapanya sii
2022-10-15
2