NovelToon NovelToon

Cinta Berakhir Di Lampu Merah

Amnesia

Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah yang ditumpuk segunung selama seminggu, akhirnya Restu bisa merebahkan dirinya di atas kasur.

Hah nikmatnya...

Restu begitu menikmati kasur empuknya setelah pinggangnya pegal melakukan pekerjaan rumah. Dia berbaring dengan rileks, tapi tiba-tiba dia teringat surat-surat yang telah dikirimkan dokter Alvian. Lalu dia bangkit membawa satu kotak kardus dan membukanya. Semua amplop terlihat sudah terbuka, tandanya surat itu pernah dibukanya. Setelah membacanya kembali, Restu tak berminat untuk menindak lanjuti isi surat itu. Dia memilih untuk berdamai dengan hidupnya.

Maaf dokter! Aku tak ingin membuka lembaran itu, rasanya terlalu menyakitkan. Biarkan semuanya jadi masa lalu! Aku ingin menatap masa depan. Aku mungkin terlalu lelah menghadapinya. Sekali lagi maafkan aku dokter! Semoga anda sehat selalu.

Restu menutup kembali kotak itu dan menyimpannya dibawah meja rias.

Kring

Kring

kring

Lalu Restu mengangkat handphone tanpa mengindahkan nomor yang tertera.

"Halo"

"Iya halo."

"Apa benar ini dengan bu Restu?" Suara di seberang telpon menanyakan identitas dirinya.

"Iya saya sendiri."

"Maaf, saya dari kantor polisi bu, bisakah ibu datang sekarang?"

Deg

Pasti brandal-brandal itu bikin masalah lagi. Hadeuuh...

"Baik. Saya segera ke sana pak, terima kasih atas informasinya!" Dia menutup telponnya.

"Sandiiii... Jangan mengujiku!" Teriak Restu dalam rusun. Untung saja rusun itu kedap suara, kalau tidak mungkin para tetangga sudah menggedor pintunya.

Sebenarnya dia tahu betul anak laki-laki itu ada rasa padanya.

Tapi please deh..masa aku suka brondong?

Restu menggerakkan kedua bahunya. Bagaimanapun Restu lebih menyukai pria dewasa.

Restu masih mengingat ketika Sandi ketahuan merokok di belakang sekolah. Lalu, bukannya dia takut karena ditegur, malah dia dengan beraninya mendaratkan bibirnya.

Ampun amit-amit.

Restu menggelengkan kepalanya. Ada perasaan malu kalau teringat kejadian itu.

Tuhan...sekarang aku hanya sekedar menjalankan tugas. Selepas itu aku akan terbebas dari gangguannya. Bukankah sebentar lagi dia akan lulus? Semoga saja dia kuliah jauh-jauh.

Padahal jauh dalam lubuk hatinya, dia pun ingin bertemu dengan seseorang yang telah lama di rindukannya.

Oh nasibku..Kenapa juga sampai sekarang aku masih mengharapkan keajaiban bertemu dengannya.

Bukannya mencarinya malah sekarang dia harus mengurusi anak laki-laki yang selalu saja bikin 'caper'

Padahal Restu sudah berpesan, 'jangan lakukan yang aneh-aneh menjelang ujian akhir!' Berharap Sandi menuruti perkataannya kali ini. Nyatanya masih sama seperti sebelumnya.

Dasar tengil

Restu dengan cepat menyambar jaket yang tergantung di kursi. Dompet serta kunci mobil yang biasa tergeletak di atas kulkas, tidak lupa dibawa.

"Aku harus segera ke sana. Mereka tetap jadi tanggung jawabku. Aku ingin jadi guru terbaik buat mereka. Ya setidaknya aku ingin suatu hari mereka menjadi orang baik dan sukses lewat tanganku."

Terkadang sebagai manusia biasa Restu pun sering kesal dan marah. Karena dia bukan malaikat. Dia seperti manusia lainnya yang sering tidak sabar, malah sering memarahi para murid-muridnya yang kadang bersikap di luar batas.

Awas kalian! Kalau ketemu akan ku pukul satu- satu.

Nggg..ngg.. ngg..Suara mobil tak bisa distarter setelah kunci mobil diputar.

"Please...jangan mogok dong! Lagi genting nih!"

"Wah lupa isi bensin. Kenapa akhir-akhir ini aku ceroboh?" Dia menepuk keningnya.

Restu keluar dari mobil dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Tak ada pilihan lain selain menggunakan angkutan umum untuk pergi ke kantor polisi.

Anak itu bikin resah saja. Jika dia tak cepat menyelesaikan masalahnya, takut Sandi tak bisa mengikuti ujian nasional. Apa jadinya kalau dia tak lulus, sedangkan Restu adalah wali kelasnya. Pasti dia dianggap guru gagal. Mau disimpan dimana nanti mukanya. Memalukan!

Langkahnya dipercepat untuk bisa sampai di halte bis.

Kring

kring

kring

Suara handphone berdering lagi.

"Apalagi sih?" Dia menggerutu.

Dia menggeser tanda hijau untuk menjawab panggilan.

"Iya. Halo."

"'Halo."

"Siapa ini?"

"Kakakmu, Daniel."

Deg

"Kakak?" Dia terkejut. Mulutnya menganga.

Kakak... jangan mendekat! Aku takut ibu menyiksaku...

Tak ada mendung tak ada hujan. Seperti sambaran petir di siang bolong. Kenapa bisa kakaknya mendapatkan nomor kontaknya? Dia mematung di depan lampu merah di saat orang- orang sibuk melewatinya untuk menyebrang. Restu malah berdiri di tengah-tengah jalan, tidak melanjutkan langkahnya. Bayangan masa lalu kembali terbersit. Pikirannya seolah melayang kosong setelah menerima telpon dari kakaknya.

Betapa tidak Restu merasa ketakutan.Trauma masa lalu yang sangat dia takuti kini muncul dihadapannya. Kakinya gemetar, keringat dingin seolah berhamburan. Tak ada yang lebih menakutkannya selain menjadi pasien rumah sakit jiwa yang terpenjara tanpa sebab dalam lorong gelap tanpa matahari. Hatinya sangat gelisah, mengingat perjuangan untuk keluar dari lorong itu sudah cukup berat dirasakannya. Suntikan obat-obatan yang tak harus diterimanya memaksa dirinya seperti orang gila.

Itu semua ulah sosok wanita serakah yang hadir dalam hidupnya. Dia bagaikan teror menyeramkan. Restu tak ingin berhubungan lagi dengan masa lalunya yang begitu menyisakan penderitaan.

Sudah lama sebenarnya Restu bersembunyi dari pandangannya.

"Kenapa harus hari ini dia menemukannya?"

Brakk

Ada benturan keras mengenai kakinya. Kepalanya oleng, handphone yang ada dalam genggamannya menghambur. Dan saat itu Restu terpelanting lalu jatuh di lantai aspal. Darah mengalir dari titik yang terkena benturan. Matanya memandang ke atas awan yang sedang berarak-arak. Menatap kosong seperti menyapa seseorang.

Ibu.. akankah aku menyusul mu?

Seseorang muncul dari dalam mobil mewah. Lalu turun melihat apa yang baru saja ditabraknya. Laki-laki tampan, perawakan tinggi dengan gaya rambut blonde sedang memandangi wanita yang terbaring berlumuran darah. Dia menatap lamat-lamat, kaget.

"Oh my god. Kamu kah itu Hana?" Wei berkata lirih begitu dia mengenali wanita yang terbaring lemah di jalan aspal. Ya namanya Hana, dia sudah lama menghilang. Kini dia muncul kembali dengan kondisi mengenaskan.

Wei mengusap wajahnya, lalu membuang muka. Pandangannya kembali tajam menatap orang yang sudah tergeletak tak berdaya.

Sial, kenapa aku harus menabraknya? Bagaimana kalau Daniel tahu adiknya tertabrak olehku? Aku harus menyembunyikannya dahulu. Yang penting dia selamat.

Wei lalu merogoh saku celananya memanggil ambulan.

Setelah ambulan datang Wei pergi ke rumah sakit dan langsung masuk UGD. Beberapa petugas sibuk memeriksa. Dan dokter yang sedang sibuk menanganinya tiba-tiba berteriak, "Adakah wali dari pasien ini?"

"Hh.. saya dokter." Hatinya merasa terpanggil untuk bertanggungjawab atas perbuatannya.

"Baik, anda segera hubungi bagian administrasi dan segera tanda tangani surat prosedurnya! Pasien ini harus segera di operasi."

"Operasi?" Wei terhenyak. "Apakah separah itukah?" Wei bergumam.

"Anda mau dia mati? Kenapa masih diam disitu?" Dokter jaga UGD agak sedikit kesal karena Wei dianggap lambat.

"Iya. Baik dok!" Wei segera melangkah menuju ruang administrasi untuk menyelesaikan prosedur operasi.

Wei berjalan mondar-mandir, hatinya saat itu benar-benar kalut. Betapa tidak, dalam satu waktu dirinya harus memikirkan dua masalah berat. Ayahnya yang sedang di meja operasi dan wanita yang ditabraknya juga harus operasi.

Setelah tiga jam menunggu, akhirnya sebuah brankar muncul dari balik pintu ruangan operasi. Wei bangkit dan mendekati dokter, "Bagaimana dok operasinya?"

"Alhamdulillah berhasil. Anda harus menunggu dia siuman dulu! Sementara dia akan dibawa ke ruang perawatan."

"Baik, dok."

Wei dengan sabar menunggu Hana siuman. Padahal pikirannya sedang bercabang.

Tak lama kemudian, Hana yang terbaring dalam ranjang pasien terlihat mengerjapkan matanya, lalu dia menggerakkan tubuhnya.

Wei menekan belt untuk memanggil perawat begitu melihat Hana siuman.

Pintu diketuk lalu masuklah seorang dokter dan seorang perawat untuk melakukan pengecekan kondisi pasien.

Wei menghampiri mereka.

"Tenang saja! Istri Anda baik-baik saja. Kondisinya bagus." Dokter itu bicara menatap Wei.

Hah suami? Benarkah dia suamiku?

Hana yang baru saja siuman, mengernyitkan dahi.

"Maaf nyonya, bolehkah saya mengajukan beberapa pertanyaan?" Dokter separuh baya itu tersenyum ramah mengagetkan lamunannya.

Hana mengangguk menandakan setuju.

"Tolong sebutkan nama lengkap anda?"

"Nama?" Hana mencoba mengingat-ingat namanya sambil memejamkan mata. Lalu dia membuka matanya, menggelengkan kepala sebagai jawaban 'tidak'

"Baik." Dokter itu menuliskan sesuatu di lembaran yang ditentengnya.

"Apakah anda mengingat dimana anda tinggal?"

"Hmm." Berharap ada seseorang yang membantunya. Hana menatap Wei, sorot mata laki-laki berjas biru pun terlihat dia sedang menantikan sesuatu. Ya, dia pasti sedang menunggu jawabannya juga.

Tapi apa daya, terpaksa menggelengkan kepala lagi, lupa.

"Baik, jangan khawatir nyonya! Mungkin nanti sedikit-sedikit anda akan mengingatnya." Dokter itu membesarkan hatinya.

"Oh ya, mungkinkah anda bisa membantunya?" Dokter beralih menatap Wei.

"Ya?" Alisnya terangkat.

"Ada beberapa terapi yang sudah dicoba oleh pasien yang mengalami amnesia. Dan itu sudah terbukti berhasil. Jadi anda bisa membantunya kan?"

"Eh, iy ya.." Wei menjawab tergagap mengiyakan dengan terpaksa.

"Baik, kalau begitu saya izin pamit. Mungkin anda butuh istirahat." Dokter itu tersenyum, lalu meninggalkan ruangan.

Pandangan Hana beredar mengamati isi ruangan. Bulu kuduknya berdiri merasakan sesuatu yang familiar.

Ruangan itu hening tanpa suara. Mereka berdua terdiam setelah dokter meninggalkan ruangan. Wei duduk menjauh sambil memikirkan ayahnya yang sama-sama di rumah sakit.

Sesekali mereka saling mencuri pandang.Ada perasaan yang menggelitik dalam hati Hana, dia baru saja menilai Wei,

Tampan juga sih

Tapi sayang, perasaan senangnya tak berlangsung lama setelah melihat Wei sedari tadi diam membisu.

Kenapa sih dia duduk jauh gitu? Alergi apa? Bukannya menyemangati malah cuek bebek. Sekarang sudah amnesia aku terasingkan lagi. Payah!

Wei berdiri bergerak ke arah jendela yang menghadap ke luar. Merogoh handphone dari dalam saku jasnya.Dia berniat menelpon seseorang. Terlihat jari-jarinya memainkan layar.

"Mungkinkah aku harus memulainya?" Hana bergumam dalam hatinya.

"Hey kamu siapa?" Hana terpaksa menyapa terlebih dahulu, pura-pura tidak tahu.

Wei menoleh, matanya membulat tajam mengarah pada Hana yang sedang terbaring di atas ranjang pasien. Sejurus kemudian bibirnya yang tipis bergerak mengatakan sesuatu.

"Kenapa, kau menyukaiku?" Dengan wajah datar.

"Ish." Hana mengernyitkan dahi.

Heran juga, ada suami kaya gini. Kalau kamu beneran suamiku gak usah deh nanya suka? Terlalu..

"Lagian kenapa aku harus bertanya padanya 'Hey kamu siapa' Bukankah sudah jelas tadi dia mengaku suami. Pertanyaan yang konyol atau jawabannya yang konyol?"

Jadi ilfil

####

"Dimana Wei?" Seorang wanita paruh baya dengan pakaian serba fashionable itu bertanya pada salah satu kepercayaan suaminya.

"Maaf nyonya, tadi tuan muda Wei diperjalanan."

"Apa dia pergi sendiri atau bersama supirnya?" Ibunya Wei begitu cemas menantikan kondisi suaminya yang sedang dioperasi paska serangan jantung. Dia berjalan mondar-mandir.

"Sendiri nyonya."

"Aku harap dia cepat sampai." Dia sangat berharap putranya segera datang.

Pintu Kamar operasi terbuka. Tiga orang menyembul dari balik pintu. Dokter terlihat letih dan tak bersemangat.

Semua orang yang ada di depan ruang operasi sontak menatap. Ibunya Wei menghampiri dokter, "Bagaimana Dokter suami saya?" Wajahnya penuh kecemasan.

"Maaf, suami anda...tidak tertolong." Tampak raut wajah sedih.

Ibunya Wei syok, dia menatap kosong lalu menutup wajahnya. Terdengar nafasnya tersenggal-sengal, "Suamiku..."

Bulir-bulir air mata begitu cepat turun dari ujung kelopak matanya, kesedihannya begitu membuncah, seketika raungan kesedihan memenuhi ruangan.

###

Waktu sudah menunjukkan jam tiga sore.

Hanya suara Wei yang sedang berbicara ditelpon yang mengisi ruangan.

"Baik sekarang aku ke sana. Di rumah sakit mana? Iya baik. Nanti aku telpon kembali saat sampai di sana." Wei mengakhiri pembicaraan. Terlihat gurat wajahnya sedih setelah mendengar kabar ayahnya meninggal.

Wei melangkah pergi meninggalkan ruangan, tanpa menghiraukan orang yang sedari tadi menatapnya.

"Ya ampun dia mau kemana?" Matanya melebar memperhatikan Wei pergi.

Dahi Hana mengkerut, memikirkan nasibnya sekarang.

"Apa dia lupa istrinya ada disini?" Hana menjadi sensitif.

"uhukkk... uhukkk." Hana membenamkan wajah ke bantal. Air matanya terburai begitu saja.

####

Sudah dua hari Hana merasa seperti orang buangan. Sendirian di rumah sakit tanpa ada yang menjenguk. Hanya dokter dan perawat yang keluar masuk silih berganti memeriksa kondisinya.

Tok.Tok.Tok.

Suara ketukan memecah keheningan, lalu muncul tiga orang tak dikenal. Hana memandangi mereka satu persatu, menatap lamat-lamat. Seketika itu juga ada perasaan lega hadir dihatinya. Akhirnya ada juga orang yang datang, setidaknya dia tak sendirian.

"Apa kabar nyonya Wei?" Wanita yang berkuncir kuda menyapa ramah dan mendekatinya.

"Baik." Hana mencoba mengakrabkan diri dengan tersenyum manis.

Satu orang laki-laki dengan wajah serius itu berdiri di sampingnya. Dan yang satunya lagi seorang laki-laki memakai kemeja putih corak abu bunga dengan celana warna moka street, nampak santai menaruh barang bawaannya di atas meja tempat pasien.

Ya laki-laki itu tak kalah tampan dengan laki-laki yang mengaku suami. Badannya tinggi ramping. Wajahnya seperti blasteran asia dan barat. Dia bergerak mendekat, tersenyum.

"Maaf nyonya Wei... perkenalkan, nama saya Steven Hans, panggil saja Steve. Saya asisten pribadi tuan Wei. Dan hari ini anda sudah bisa kembali ke rumah. Saya akan membantu anda untuk berkemas." Dia tersenyum sembari mengulurkan tangannya.

Hana membalas senyumnya menyambut uluran tangannya bersalaman.

Deg

deg

deg

Ada perasaan lain. "Apakah aku mengenalnya?" Dahinya mengernyit, memikirkan orang di depannya.

Harapan yang terlarang

Steve melepaskan tangannya dengan perasaan aneh.

Kenapa dia menatapku seperti itu? Rasanya wajah itu agak familiar. Apa aku pernah melihatnya? Dimana dan kapan?

Steve menyadarkan diri dari lamunannya.

"Ra, tolong bantu nyonya Wei! Semua perlengkapannya ada di dalam tas merah. Aku tunggu di luar bareng Doni. Yuk Don!"

"Baik Pak!"

Steve dan Doni pengawal pribadi Wei ke luar ruangan.

Steve menekan nomor Wei, lalu mendekatkan handphone nya ke telinga.

"Halo."

"Wei, aku sudah di rumah sakit. Sebentar lagi Rara selesai. Aku akan mengantarkan wanita itu. Apa aku harus mengantarkannya ke apartemenmu atau ke mansion?

"Steve bisakah kau bawa ke vila mu saja?"

"Apa? Kenapa harus ke villaku?" Steve agak keberatan dengan permintaan Wei.

"Aku gak bisa menerima dia untuk sementara. Kamu tahu sendiri, aku harus menerima tamu, dan terlalu sibuk untuk mengurusi dia."

"Jadi, apa aku harus mengurus perbuatan mu?" Steve agak kesal Wei melimpahkan tanggung jawab begitu saja padanya.

"Please! Mengertilah kondisiku!" Terdengar suara Wei memelas.

"Ya, baiklah!" Steve menutup telpon dengan sedikit rasa kecewa.

Kalau bukan karena lagi berduka, aku pasti akan menolaknya. Tapi apa boleh buat, mau tidak mau aku terpaksa membawanya.

"Don, telpon nyonya Kim untuk datang ke villaku! Oh iya bawa juga chef dan beberapa pelayan dari mansion Wei, siapkan penyambutan untuk nyonya Wei.

"Baik!" Doni segera menghubungi beberapa orang sesuai permintaan Steve.

Betul-betul menyusahkan!

Steve menekuk wajah.

Sementara itu Rara membantu Hana sesuai intruksi Steve.

"Mari nyonya, saya bantu!" Dia membawa tas merah dan mengeluarkan isinya.

Baju ganti telah disiapkan. Gaun warna putih tulang dengan panjang selutut dipadu pita dan renda lebih sederhana berwarna moka. terlihat cukup elegan.Terlepas siapa yang memilihkannya, dia sangat menyukainya.

Wanita berkuncir pendek membantunya memakai baju dan berhias.

"Aku lebih suka make up yang tipis saja!" Dia melirik pada wanita yang sudah siap memolesnya, meminta riasan sederhana.

"Baik nyonya." Dia memulai merias wajah wanita yang ada di depannya. Tak sampai dua puluh menit.

"Sudah selesai. Coba lihat! Anda cantik bukan?" Dia mengangkat cermin lebih sejajar dengan wajah yang telah dirias nya.

Hana tersenyum di depan cermin melihat wajahnya yang kini tampil lebih cantik dengan polesan make up.

"Hmm. Menurut kamu suamiku pasti suka?" Dia melirik padanya.

Belum sempat dijawab, dia menyusul dengan pertanyaan kedua. "Eh tadi siapa nama kamu?"

"Perkenalkan nama saya Rara." Dia tersenyum, lalu terdiam. Tak ada lagi yang dikatakannya.

"Tapi kamu belum menjawab pertanyaan saya yang pertama." Dia mengingatkan pertanyaan yang sudah diajukannya tadi.

"Yang mana nyonya?" Matanya membesar, alisnya terangkat. Dia sepertinya melupakan pertanyaan pertama.

"Sudahlah!" Cermin yang sedang dipakainya diturunkan lalu ditaruhnya di atas paha. Ada raut kecewa terselip di wajahnya. Rupanya dia sedang berharap Rara menjawab pertanyaannya yang pertama.

"Maafkan saya nyonya!" Dia sedikit membungkuk matanya menyipit.

Ya ampun, kenapa jadi tulalit begini?

Lalu dia berjalan ke arah pintu dan membuka pintu ruangan.

"Tuan Steve semuanya sudah siap!" Dia memanggil mereka yang sedari tadi menunggu di luar.

Orang yang mengaku Steve masuk terlebih dahulu.

Deg.

Jantung Steve seperti terhentak keras. Matanya langsung tertuju pada Hana yang telah selesai dirias.

Lalu dua pasang mata beradu saling menatap. Steve mengerutkan dahinya dan manik matanya menatap tajam. Memperhatikan penampilan Hana. Ada kemiripan antara keduanya, baju itu sudah dikenakan oleh Hana ditambah dengan riasannya, membuat Steve tak mengedipkan matanya.

Kenapa aku harus memilihkan baju kesukaan ibu. Ah..sial! Wajahnya itu..membuatku hatiku sedikit berdebar. Ah mungkin mataku yang salah. Aku tak boleh tertipu oleh wanita mana pun.

Dia seperti melihat sosok ibunya ada pada diri Hana. Lalu matanya mengedip dengan keras, menyadarkan ingatannya bahwa sosok itu tak mungkin hadir karena sudah lama tiada.

Kenapa juga dia menatapku seperti itu? Ada yang salah dengan penampilanku? Rasanya tak ada yang salah denganku...

Hana tertunduk setelah mendapatkan tatapan yang berbeda dari Steve. Untuk menyembunyikan kebingungannya Hana pura-pura membetulkan pakaiannya.

"Oh.. hhmm iya. Baiklah kalian bawakan tas-tas itu. Biar saya yang mendorong kursi rodanya." Steve terlihat agak gugup.

Steve mendorong kursi roda. Tapi pikirannya bercabang-cabang.

Tanpa terasa akhirnya Steve mendorong kursi roda sampai halaman rumah sakit. Rara membantu Hana menaiki mobil yang telah disiapkan.

Sementara Steve duduk di samping kursi Hana. Dia sibuk dengan jari-jarinya memainkan layar di handphone memberikan laporan pada Wei.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Di kursi depan ada Rara dan laki-laki berstelan bodyguard sekaligus sopir. Dan di kursi belakang ada Steve dan Hana.

"Boleh aku membuka jendela?" Hana meminta izin pada Steve.

"Ya?" Alisnya terangkat. Kaget. Lalu tersadar.

"Oh. Don matikan AC nya!" Steve agak tergagap. Mungkin karena dia sedang fokus mengetik sesuatu di layar laptopnya, menyelesaikan pekerjaan yang harus segera dilaporkan pada Wei.

"Seger." Hana menutup matanya merasakan hembusan angin lembut menerpa wajahnya

"Anda suka?" Steve melirik ke samping.

"Ya?" Hana menoleh ke arah samping. Lagi-lagi mata mereka beradu.

Sesaat pandanganya tertarik. Melihat jarak pandang yang begitu dekat dengan Steve. Hana memperhatikan matanya yang bulat sempurna dan wajahnya begitu tampan.

"Dan ah.. lesung pipinya." Hana teringat seseorang di masa kecilnya. "Mirip siapa ya?"

Deg

deg

deg

"Kenapa irama jantungku berdetak lebih keras?" Tanpa sadar tangannya mengelus dada, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela untuk mengurangi kecanggungan, menata hatinya kembali normal.

Tak terasa angin sepoi-sepoi membuat alam sadar Hana melambat. Hana tertidur dengan nyamannya di bahu Steve setelah rasa kantuk menyerang.

"Maaf nyonya, kita sudah sampai." Doni memberitahu Hana.

"Ssst.... pelan kan suaramu!" Steve mengangkat telunjuk dan meletakkannya di bibirnya.

###

Kring

Kring

Kring

Suara handphone mengagetkan alam mimpinya. Hana terhenyak mengedipkan mata.

Steve tak mengindahkan suara telponnya. Dia buru-buru mengusap tanda merah panggilan.

Duh malu sekali rasanya. Kenapa aku bisa ketiduran di bahunya? "

"Maaf!" Hana membungkuk.

"Hhmm." Steve menjawab singkat.

"Dimana ini?" Pandangannya beredar. Hana mengamati apa yang ada di sekitarnya. Di sana ada taman yang cukup luas dan rapih. Juga rumah dua lantai yang begitu mewah dengan gaya modern tepat di depannya.

"Kita sudah sampai di rumah." Steve menutup laptopnya, lalu turun setelah sopirnya membukakan pintu.

"Rumah?" Hana melirik pada Steve.

Rara membukakan pintu mobil yang satunya.

"Selamat siang nyonya!" Mereka kompak menyambut.

Tepat di depan rumah sudah menyambut beberapa pelayan.

"Siang." Hana menganggukkan kepala.

"Oh iya. Hmmm perkenalkan! Mereka semua yang akan membantu anda di rumah ini. Jika anda membutuhkan bantuan, anda bisa memanggil mereka." Steve memulai memperkenalkan satu persatu. Mulai kepala pelayan, sopir, chef dan asisten rumah tangga.

Dia membalas dengan anggukan.

"Siapkan kamar untuk istirahat nyonya!"

"Baik tuan!" Salah satu dari mereka berjalan mengantarkan.

"Eh.. mana suamiku?" Hana penasaran menanyakan keberadaan Wei yang tak ada menyambutnya.

"Ya?" Alis Steve terangkat, matanya membesar. Steve kebingungannya, "bagaimana ini?"

"Hhh...Dia..sedang pergi ke luar negeri. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan di sana." Steve tersenyum tipis, menyembunyikan kebohongan.

"Kapan dia kembali?" Hana melirik Steve, butuh penjelasan.

"Mmm mungkin agak lama. Tapi jangan khawatir! Tuan Wei sudah menyampaikan pesan agar saya bisa mengurus keperluan anda selama dia tidak ada." Steve tersenyum palsu.

"Hhmm." Hana hanya bisa tertunduk menelan kekecewaan.

"Baik. Aku ingin istirahat." Dengan langkah gontai Hana pergi ke kamar dan mengunci pintu.

"Ah kenapa juga aku seperti orang asing di rumahku sendiri, merepotkan sekali!" Steve menghempaskan badannya di sofa. Mengacak- acak rambutnya, pusing harus memikirkan sandiwara ini. Sejak kapan dia mulai pandai berbohong.

"Suamiku...dimana kau?" Hana berkata lirih, sedih.

Ingin rasanya seseorang ada di sisiku. Aku tak tahu harus menjalani hari esok seperti apa. Aku membutuhkan seseorang untuk bersandar saat ini.

Hana mengalami masa labil, dimana pasien amnesia biasanya akan mengalami stress karena kehilangan ingatannya.

Tanpa terasa ada sesuatu yang ingin keluar dari ujung kelopak mata. Linangan itu dengan cepat berkumpul mewakili hatinya yang dirundung mendung.

Hana memejamkan mata, menahan butiran-butiran itu agar tidak jatuh lebih cepat. Dia memilih untuk duduk sambil menelungkup kan wajah di atas lututnya. Air mata berjatuhan meluapkan emosi yang sedang meliputi perasaan.

###

"Tok.. Tok.. Tok.." pintu terdengar diketuk.

Hana bergerak hanya menggeliat saja. Malas untuk membukanya dan memilih untuk kembali menarik selimut.

"Tok.. Tok.. Tok.."

Suara pintu kembali diketuk. Tapi keputusannya tetap pada semula, lebih memilih pura-pura tidur. Padahal matahari sudah bergerak meninggi.

"Maaf saya Steve. Bisakah anda membuka pintunya sebentar?" Suaranya lirih memintanya dengan lembut.

"Hah? Steve? Lagi apa dia disini?" Hana terbangun melihat jam weker yang ada di nakas.

"Waduh jam sebelas." Buru-buru dia turun melangkahkan kaki menuju pintu.

"Klek." Pintu terbuka.

Terlihat Steve membawa nampan dengan isi piring, mangkuk yang telah terisi beberapa makanan, berikut satu gelas jus.

"Anda melewatkan makan. Jadi saya bawakan beberapa makanan kesini." Padahal Steve sedari tadi sudah menunggunya di meja makan. Tapi yang ditunggunya tak kunjung keluar kamar. Terpaksa dia mengurungkan diri untuk pergi ke kantor.

"Simpan saja di atas meja! Kalau tak ada keperluan lagi, kamu boleh keluar!" Wajahnya begitu kacau. Mungkin efek tadi malam tak bisa tidur.

"Dia seperti majikan saja. Main perintah. Padahal dia sedang menumpang!" Steve menggerutu dalam hati dengan kesal.

"Tidak. Saya akan menunggu disini. Memastikan anda makan dengan baik!" Steve memaksakan tersenyum, mengingat kalau bukan tugas kerja, malas sekali melayaninya.

"Bawa kembali semuanya! Tak ada yang perlu dipastikan disini." Emosinya labil.

"Tapi." Steve terlihat bingung. Dia sadar tanggung jawabnya sekarang jadi bertambah berat dititipi pasien amnesia.

"Tapi apa?" Hana membelalakkan mata dan meninggikan intonasi suara.

"Makanlah! Anda perlu tenaga untuk memulihkan kesehatan."

Kalau bukan tugas, ingin sekali aku meninggalkannya.

"Apa kamu tak dengar? Bawa semua kembali ke dapur!" Emosinya meledak-ledak.

"Baik. Saya akan ke luar. Tapi.." Steve memutuskan untuk meninggalkannya.

Brang...

Isi nampan berhamburan. Hana melemparkan nampan begitu saja. Semua emosinya berkecamuk. Antara rasa marah, sedih juga kesal memenuhi dadanya. Hana mengalami depresi pasca amnesia. Sesuatu mengenai kepala Steve. Kepalanya mengeluarkan darah.

Setelah ledakan emosi Hana terkulai lemas, pingsan.

"Pelayan.... kemana kalian semua?" Steve berteriak memanggil para pelayan.

Tak lama kemudian para pelayan segera datang. Pecahan berserakan tak beraturan.

Tangan Steve memegangi bagian belakang kepalanya karena terasa sakit. Steve segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.

###

"Badanku sepertinya kehilangan tenaga. Lemas sekali. Sebenarnya apa yang kalian masukan dalam tubuhku ini? Mataku seringnya mengantuk. Bahkan untuk sekedar duduk pun tak ada tenaga." Hana bergumam sendiri sambil menatap selang infus yang menggelayut. Matanya terlalu berat lalu dia tertidur kembali.

"Please... tolong aku! Aku hanya ingin kalian mencabut selang-selang itu. Aku janji tak akan memberontak lagi. Aku janji jadi anak baik!" Hana sering mengigau.

"Nyonya Wei." Kepala pelayan, Nyonya Kim mengguncangkan tubuhnya mencoba membangunkan Hana.

"Hah?" Dengan sedikit berat Hana membuka mata.

"Anda sudah dua hari ini tak makan."

"Oh." Hana bangkit dari tidur mencoba bersandar dibantu nyonya Kim.

"Apakah tadi aku mengigau?" Hana menatap wanita yang sedang duduk di pinggir ranjangnya.

"Iya." Nyonya Kim mengangguk.

"Ah.. sakit sekali. Kenapa perban ini ada disini?" Benda itu melingkar di pergelangan tangan Hana.

"Tangan Anda terluka."

"Kenapa terluka?"

"Nyonya tidak ingat?" Alisnya sedikit terangkat.

Hana menggelengkan kepala tidak mengingat apa yang sudah terjadi.

"Bukan hanya anda saja yang terluka." Wajah Nyonya Kim nampak tak bersemangat.

"Maksudmu?" Matanya menatap penasaran.

"Tuan Steve."

"Dia kenapa?" Hana berusaha mencerna apa yang baru saja didengar.

"Anda benar-benar tak ingat?" Nyonya Kim kembali bertanya, dia agak tak percaya.

"Tidak. Apa yang terjadi padanya?" Hana begitu penasaran.

"Makanlah!" Nyonya Kim menyodorkan bubur yang masih hangat.

"Tak mau!" Hana membuang muka.

"Terserah anda!" Nyonya Kim agak kesal.

"Baik. Saya akan makan. Tapi tolong ceritakan apa yang telah terjadi. Please!" Hana berubah menyesal.

"Baiklah. Makanlah dahulu!"

"Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku membuat kesalahan besar?"

"Besar atau kecil kesalahan, tetaplah salah."

"Maafkan aku! Aku benar-benar menyesal." Hana memasukan sendok berisi bubur.

"Apa aku bisa menjenguk Steve?" Hana menyeka air matanya, rasa sedih hinggap dengan cepat.

"Tuan Wei melarang Anda menjenguknya." Nyonya Kim kepala pelayan menjelaskan.

"Nyonya Kim.."

"Ya?"

"Kenapa sampai sekarang suamiku tak juga menghubungiku?"

"Dia sibuk."

"Apa sesibuk itukah?" Emosinya labil mudah sekali naik turun.

"Tuan Wei baru saja ditinggalkan tuan besar. Jadi banyak yang mesti dia kerjakan. Mohon bersabarlah!" Nyonya Kim menyemangati.

Sementara itu Wei menjenguk Steve di rumah sakit.

"Wei.. sampai kapan kamu akan sembunyi seperti ini? Aku tak mau ada sandiwara lagi."

"Sampai dia ingat sendiri siapa dirinya."

"Wei.." Steve membelalakkan mata.

"Aku harus seperti itu."

"Wei.. kamu tahu dia sekarang mengalami stress berat. Lalu siapa yang akan peduli padanya? Aku jadi kasihan." Perasaan Steve menaruh iba padanya.

Empati

Flash black

Semua dalam ruangan itu masih dalam suasana berkabung. Satu persatu para tamu meninggalkan ruangan, begitupun dengan keluarga. Kepergian tuan Lee, ayahnya Wei menyisakan duka.

Wei berjalan ke ruangan kerja diikuti Steve sang asisten pribadi, yang sedang berada di mansion utama, rumah yang sedari kecil di tempati Wei.

"Kamu gila. Disaat tuan besar membutuhkanmu, kamu malah menghilang. Semua orang menanyakan keberadaan mu. Itu membuat resah semua orang, tahu!" Steve mengusap rambutnya mengingat kejadian beberapa jam ke belakang yang membuat Steve kelimpungan dihujani pertanyaan menanyakan keberadaan Wei saat tuan besar Lee meninggal dunia.

"Maaf! aku dapet musibah." Wei menutup matanya, keningnya berdenyut merasakan sakit.

"Musibah?" Steve terperangah. Dia tak habis pikir ada musibah apa yang menyebabkan Wei telat datang ke pemakaman ayahnya sendiri.

"He'em"

Steve mendekati Wei, mengamati wajahnya dengan tajam sangat penasaran. Lalu musibah apa yang baru menimpa Wei?

"Katakan! Musibah apa sampai kamu menghilang?" Steve masih duduk tanpa mengubah posisi duduknya. Matanya tak terlepas dari menatap Wei.

"Aku sudah menabrak seseorang," jawab Wei menekankan suaranya.

"Apa?" Steve mengangkat badannya pada sandaran kursi, lalu melirik ke samping Wei. Steve menarik nafas keras dan membuangnya.

"Terus sekarang gimana?" Steve yang masih diliputi penasaran tak mau berhenti bertanya.

"Dia selamat, tapi.. aku maui meminta tolong sama kamu" Wei menoleh ke arah Steve.

"Maksudnya?"

"Bawa dia ke rumahmu! Please!"

"Ya elah.. aku ko kena getahnya? Kenapa harus dibawa ke rumah aku segala sih? Emang kamu gak bisa mengantar ke rumahnya?"

"Dia terkena amnesia. Menurut aku rumahmu paling aman buat sementara. Nanti kalau sudah aman aku janji akan membawanya ke apartemen."

"Ya, ampun. Merepotkan sekali sih!" Steve memejamkan mata. Dia tak kuasa untuk menolak saat ini. Dia bisa membayangkan suasana Wei yang baru saja ditinggalkan Tuan Lee .

"Rasanya aku sendiri gak sanggup bareng sama orang amnesia. Terlebih dia gak jelas identitas. Tapi...demi rasa kemanusiaan, aku terpaksa loh Wei." Steve kembali menoleh ke arah Wei, mengungkapkan keberatannya.

"Ma kasih banget sob!" Hati Wei sedikit tenang.

"Ngomong-ngomong dia cewek apa cowok?"

"Cewek."

"Ya ampun!" Steve menegakkan posisi duduknya, kaget. Dia merasa terjebak. Bagaimana dia harus seatap dengan perempuan asing.

"Apa gak ada solusi lain Wei?" Keberatan Steve bertambah ketika mendengar orang yang akan dibawanya adalah seorang perempuan.

"Kalau ada, mana mungkin aku meminta kamu!" Wei kembali memijit keningnya rasa sakitnya kian bertambah. Sekarang kepalanya terlalu penuh memikirkan masalah.

###

"Nyonya Kim, bagaimana kabar Steve?" Aku tak bisa tenang. Aku merasa bersalah pada Steve." Hana menekuk wajahnya seperti lipatan kertas.

"Sudah membaik." Nyonya Kim menarik nafas lalu menghembuskan nya perlahan.

"Bagaimana saya harus menebus kesalahan saya pada Steve?" Mata Hana menatap nyonya Kim, berharap nyonya Kim mempunyai solusi.

"Cepatlah sembuh!" Nyonya Kim yang lama bekerja dengan keluarga Wei, terdengar menyemangati Hana. Dia pandai menempatkan posisi,.

"Apa aku merepotkan mu?" Hana menatap kembali pada nyonya Kim.

"Tidak. Tapi..mungkin yang lain, iya." Nyonya Kim merasa kedatangan Hana akan menjadi masalah besar untuk majikannya.

Hana tertunduk malu, hatinya merasa tersindir.

"Hei.. kalian sedang apa?" Tiba-tiba suara Steve mengagetkan Hana dan nyonya Kim.

"Steve...kapan kamu datang?" Hana mendongak menatapnya. Dia tak ingin menunjukkan wajah sedih.

"Barusan. Kata pelayan katanya kalian ada di belakang. Jadi saya langsung kesini." Steve tersenyum manis. Sejak kemarin Steve berjanji pada dirinya, dia akan berbelas kasihan pada wanita yang kini sedang ada di depannya ini. Di wajahnya tak terlihat sedikitpun raut wajah marah. Senyumnya begitu menggemaskan, terlihat tulus.

"Oh iya, nih...tadi di perjalanan saya beli ini. Barangkali suka?" Steve menyodorkan sebuah kotak yang terbuat dari kertas dengan motif yang manis.

"Apa ini?" Hana menerima pemberian Steve lalu penasaran membukanya.

"Wah... " Matanya melebar dan sudut bibirnya terangkat begitu melihat isi kotak, sepotong kue tart coklat yang dipenuhi coklat parut terlihat begitu menggiurkan.

"Tuan Steve, saya kembali ke dalam." Nyonya Kim ijin pamit.

"Oh iya silahkan!"

"Bagaimana anda suka?" Mata Steve menatap Hana dengan senyumnya yang mengembang terlihat begitu manis mengalahkan kue coklat yang dibawanya.

"Mmm." Hana tak sabar ingin segera mencobanya. Lalu memotong kue itu dan memasukkannya ke dalam mulut. Lidahnya segera bekerja, alat pengecapnya sedang merasakan sensasi coklat berkwalitas premium mengecap-ngecap, lalu menelannya.

"Gak enak ya?" tanya Steve sambil mengerutkan dahi, penasaran apakah Hana menyukai pemberiannya atau tidak. Karena Steve percaya kue coklat mampu mencairkan suasana sedih menjadi rasa senang, seperti endorphin.

"Enakkk... he he." Hana tersenyum, lidahnya seperti sedang dimanjakan. Dia begitu bahagia.

"Sebenarnya saya ingin meminta maaf sama kamu...Bukannya aku yang memberi kejutan, malah kebalik ya?" Hana menundukkan pandangan dengan raut muka bersalah.

"Sudahlah, jangan merusak suasana! Ayo habiskan kue nya! Baru di maafkan." Sudah lama perasaan Steve tak seceria sekarang. Entah apa yanga membuat hatinya begitu merasa dekat.

"Baik. Agar dimaafkan aku akan menghabiskan kue ini." Hana tersenyum begitu manis membalas senyuman Steve. "Hhmm aku suka kue ini. Seperti mengingatkan aku pada seseorang." Celetuknya tanpa disadari.

"Oh, ya? Siapa dia?" Steve mengamati wajah Hana dengan serius.

"Ya beda dikit dengan namaku." Hana masih asik menikmati kuenya.

Jlebb...

"Memangnya nama anda siapa?" Steve sedang mengujinya.

"Hana."

prok.. prok.. prok

"Hebat! Hebat!" Steve mengacungkan dua jempolnya.

"Anda baru saja mengingat sesuatu.

Hhhm...Apakah berkat kue yang enak ini memori anda terbuka lebar?" Steve tersenyum kegirangan.

"Hhmmm?" Hana terdiam, menghentikan suapan kue coklatnya. Berusaha mengingat-ingat sesuatu.

"Baiklah besok-besok saya akan membawakan kue ini lagi. Siapa tahu ingatan anda bisa pulih." Steve menyemangati.

"Berarti aku sudah bisa bertemu suamiku dong?" Anehnya yang terlintas dalam pikiran Hana malah bayangan Wei.

"Ya?" Steve terdiam, kepalanya digaruk iseng.

"Masih belum bisa ya?" Hana menatap kecewa.

"Bukan begitu.. tapi.. " Steve menunduk tak berani memberikan jawaban.

"Iya baik. Aku tahu, suamiku orang penting di perusahaannya." Hana tak ingin Steve merasa terbebani, Padahal dalam hatinya dia begitu ingin bertemu dengannya.

Apakah aku salah jika sekedar rindu? "

###

Hari mulai gelap. Kehadiran Hana di rumah Steve membuat suasana lebih hangat.

Pikiran Hana sedang berjalan-jalan, kemana saja. Dia memikirkan kondisi rumah tangganya. Apakah keadaannya selama ini baik-baik saja? Atau jangan-jangan tak akur.

Setelah kejadian siang itu Hana bersyukur. Ada yang masih bisa diingatnya, ya walau baru namanya. Itu awal yang baik.

"Hei melamun!" Steve mengagetkan Hana. Dia mencoba mengakrabkan diri agar Hana tak merasa canggung.

"Eh Steve.. " Hana menoleh ke arahnya.

"Kenapa belum ngantuk? Malam-malam masih di luar." Steve duduk bersebelahan dengan Hana.

"Masih ingin mencari udara segar." Hana menatap ke depan menikmati pemandangan di sekitar. Duduk di depan kolam renang dengan lampu-lampu hias di taman terasa melegakan hatinya.

"Steve.. "

"Ya.. "

"Kamu sudah lama bekerja dengan Wei?" Hana sedang mengumpulkan informasi.

"Ya. Lumayan." Steve bicara santai.

"Sejak kapan?"

"Semenjak lulus kuliah. Wei mengajakku bekerja di perusahaannya."

"Oh."

"Sebenarnya aku sama Wei temen bermain sewaktu kecil. Kebetulan rumah kami berdekatan. Karena sudah selesai kuliah ayah sama ibuku kembali ke Perancis, jadi aku sering tinggal sendirian disini." Steve bicara tanpa beban.

"Ko bisa aku tinggal disini, tidak di rumahku?" Hana merasa penting untuk menanyakan hal ini.

"Wei menitipkan anda disini."

"Kenapa?"Hana melihat ke samping, alisnya sedikit terangkat.

"Dia sebenarnya khawatir, jika anda tinggal di rumahnya, nanti kesehatan anda malah bisa terganggu. Emosi anda kurang stabil, jadi lebih baik anda memenangkan diri dulu disini."

"Hhmmm." Hana tertunduk.

"Sebaiknya anda cepat tidur. Besok anda harus cek up ke dokter. Nanti saya akan mengantar anda ke rumah sakit, sekalian jalan- jalan agar tak bosan tinggal di rumah."

"Kamu gak kerja?"

"Kerjaan ku mengantar anda sekarang?" Steve tertawa.

"Baik. Aku pergi duluan tidur. Selamat malam."

"Malam."

"Eh.. panggil saja Hana."

"Iya. Hana. Semoga besok ada peningkatan. Ingatanmu bisa cepat kembali pulih."

###

"Bagaimana dok?"

"Untuk bekas luka-lukanya sudah pulih. Mungkin ada yang harus dikontrol rutin"

"Maksudnya?"

"Tuan Wei mana? Anda bukan walinya kan?"

"Iya. Tapi dia sibuk. Jadi untuk urusan yang lainnya dia mempercayakan pada saya." Steve berusaha meyakinkan.

"Ya. Biar nanti saya hubungi Tuan Wei saja."

"Oh begitu ya?" Steve terlihat lesu.

"Untuk gejala amnesianya saya sudah konsultasi kan dengan psikiater. Tapi mendengar kemajuan yang didapat nyonya Wei, itu sudah ada perkembangan yang lumayan bagus."

"Baik dok, saya ucapkan terimakasih!" Steve menyalami tangan dokter setengah baya itu untuk pamitan.

Sementara di tempat lain Hana sudah menunggu.

"Bagaimana menurut dokter?" Hana menghampiri Steve, penuh penasaran begitu keluar dari ruangan.

"Wah baik...tak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk merayakan berita bagus ini, anda boleh meminta apapun."

"Beneran boleh?" Mata Hana berbinar.

"Hhmm..."

"Wei.. " Hana dengan santainya meminta Wei.

"Apa? Gak bisa!" Steve cemberut.

"He.. becanda!"Hana spontan memegang tangan Steve, merajuk.

Steve merasa tak nyaman melihat Hana menyentuhnya "Ya udah, minta yang bisa aja! Jangan yang aneh-aneh!" Steve melepaskan tangan Hana.

Hana mengernyitkan mata. "Memangnya kalau minta suamiku sendiri ga boleh?" Hana menatap Steve manja.

Steve membuang muka agak risih melihat tatapan Hana.

"Mau jalan kemana kita sekarang?" Steve terpaksa mengalihkan pembicaraan.

"Aku mau mi, tapi aku juga pengen es krim coklat yang enak." Senyum Hana mengembang.

"Sesuatu yang berasa coklat ya? Anda pasti hobi sekali makan coklat!"

"He he." Hana tertawa kecil.

"Baik, saya akan antar anda. Let's go." Rupanya ada perasaan yang sedang tumbuh di hati Steve. Perasaan senang yang tak bisa digambarkan dan belum pernah hadir sebelumnya.

Di dalam mobil Steve menyetir dengan gesit diiringi siulan. Kepalanya mengangguk-angguk.

"Perasaan disini ada yang lagi senang ya?" Hana menutup mulut karena tak ingin Steve melihat Hana menertawakan nya.

"Ya. Ada dong!" Steve menjawab santai sambil tersenyum.

Hana melirik Steve dari samping, penasaran.

"Siapa tuh?"

Sebenernya yang lagi senang tuh siapa ya?

"Ya kita lah!" Steve menjawab santai. Kepalanya masih bergoyang-goyang seolah sedang menikmati irama musik.

"Kitaaa?Hhmmm... senang kenapa?" Hana mengernyitkan kedua alisnya.

"Ternyata ada juga yang hobi makan mi sama es krim coklat, sama denganku." Steve melirik Hana sekilas.

"Oh ya? Masa iya sih?" Hana tak percaya. Kali aja Steve ikut-ikutan demi menyenangkannya.

"Suer deh!" Steve mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Pandangannya tetap fokus

"Sejak kapan?" Hana penasaran.

"Sejakkk lamaaa.. Ha ha ha." Steve tertawa lepas.

"Ckkk.. ckkk.. " Hana menggelengkan kepalanya.

Tak berselang lama mobil terparkir di depan toko makanan juga cafe-cafe. Suasananya cukup nyaman. Parkiran dan trotoar pejalan kaki cukup luas. Kursi-kursi dan tenda terpasang di luar memungkinkan para pembeli ingin menikmati suasana angin berhembus tanpa AC.

"Anda mau makan di luar atau di dalam?" Steve menawarkan memilih tempat.

"Aku senang di dalam, dekat jendela." Hana menjawab dengan antusias.

"Dikira Anda mau pilih di luar? Baik kita masuk ke dalam!" Steve berjalan mendahului.

Setelah memesan beberapa makanan yang diinginkan, mereka memilih kursi tepat di pinggir kaca.

"Aku suka makan dekat kaca." Hana menatap ke luar.

"Kenapa?"

"Aku suka menikmati makanan sambil melihat lalu-lalang orang lewat. Kadang-kadang melihat suasana luar dari dalam terlihat sangat menyenangkan."

"Begitu ya... "

"Lah kamu sendiri?"

"Kebalikannya."

"Oh..gimana kalau kita keluar aja?" Hana berdiri, tak enak hati jika Steve kurang suka di dalam.

"Eh, tidak-tidak... Anda cukup duduk manis disini seperti coklat ya! he he." Steve menarik tangan Hana untuk kembali duduk.

"Bukan karena saya tak suka sih. Dulu seringkali aku makan bersama teman-teman. Kadang di dalam ga bisa merokok."

"Kamu merokok?"

"Ya dulu. Sekarang..kadang-kadang."

"Bedanya?" Hana mengernyitkan dahi.

"Dulu waktu sekolah datang kesini rame-rame sama teman, hampir tiap hari. Kalau sekarang saya kerja. Paling kalau week and ngumpul sama teman-teman baru merokok lagi."

"Oh. Jadi anda merokok sejak sekolah ya?" Hana memperhatikan Steve.

"Ya begitulah. Maklum anak muda." Steve menghela nafas.

"Tidak bisa berhenti?"

"Anda ga suka ya?" Steve menatap curiga Hana.

"Ya, kurang lebih begitu. Malah aku sering merajia murid-murid merokok."

"Apa?" Steve mengerutkan kedua alisnya, mendengarkan ucapan Hana. Sepertinya ingatan Hana bertambah.

"Ada yang diingat?"

"Eh makanannya dateng. Wak kayanya enak nih. Aku senang sekali mi." Hana mengabaikan pertanyaan Steve. Sejenak melupakan pertanyaan itu, Hana malah asik dengan pesanan yang sudah terhidang.

"Gimana, enak?" Steve terus saja memperhatikan gerak-gerik Hana, semuanya menjadi daya tarik.

Hana mengangguk.

"Tok.. tok.. tok."

Ada yang mengetuk kaca dari luar. Spontan mata keduanya tertuju ke arah kaca. Di sana sudah ada beberapa anak seumuran, sedang melihat ke dalam. Menajamkan wajahnya di kaca, tepat depan Steve dan Hana makan.

Semua netra menatap.

"Siapa mereka?" Steve bertanya pada Hana.

Hana menggelengkan kepala.

Seseorang memberi isyarat bergerak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!