Terlihat anak-anak seumuran kira-kira tujuh belas tahunan itu bergerak memasuki sebuah cafe. Mereka berjalan menuju tempat Steve dan Hana duduk.
Semangkuk mi dan makanan yang sudah dipesan pun jadi terabaikan. Malah memperhatikan rombongan yang kian mendekatinya.
Mereka berkerumun layaknya sedang mengerubuti fans. Salah satu dari mereka lalu maju lebih depan dari teman-temannya. Perempuan berambut pendek, memakai celana jins ketat dan jaket kulit pendek sepinggang, terlihat tomboi. Dia melipat kedua tangannya di dada dan mulai bicara.
"Oh jadi ini alasannya? Kenapa ibu tega meninggalkan kami?" Dia melirik ke arah Steve sambil mendelik. Seolah sedang menyindir.
Hana mengernyitkan dahi tak mengerti arah pembicaraannya.
Gak ada angin, gak ada hujan. Apa maksud perkataannya?
Hana melihat dengan agak sedikit mendongak.
Apa mereka mengenaliku?
"Maksud kalian apa?" Steve berdiri. Dia menatap anak perempuan yang baru saja bicara padanya. Steve merasa terintimidasi dengan sikap mereka.
"Oh..karena cogan ini ternyata ibu tega membuat kami berharap-harap?" Dia kembali menantang.
"Hei sopan dikit napa? Kamu ngomong sama orang lebih tua!" Steve kesal. Alisnya terangkat dan agak membuka matanya karena marah. Tampangnya yang manis sepertinya sekarang sedang kejatuhan kopi pahit.
"Sopan? Kita udah ga bisa sopan lagi sama orang yang tega ninggalin harapan palsu sama kita. Catat itu!" Anak perempuan itu terlihat emosi. Dia bicara seperti tak ada rasa takut-takutnya. Malah mendekatkan wajahnya ke arah Steve dengan sedikit mendongak.
"Bisa kan kalian ngomong baik-baik?" Steve terlihat menahan emosi. Karena ini di tempat umum sedikit banyak menyita perhatian para pembeli di cafe itu.
"Baik-baik? Hhmm..Tapi jangan khawatir, tanpa ibu pun kita bisa membuktikan nilai kita baik kok! Sekali lagi terimakasih bu!" Dia tersenyum sinis dengan nada mengejek, sebentar melirik pada Hana.
Mendengar perdebatan mereka, tiba-tiba kepala Hana terasa sakit. Dia meringis kesakitan.
"Ayo kita pergi!" Anak perempuan itu mengajak gerombolannya meninggalkan meja setelah perhatian Steve teralihkan pada Hana. Mereka berjalan menuju pintu keluar. Terlihat beberapa diantaranya saling berbisik sesekali melirik ke meja belakang yang sedang di tempati Steve dan Hana.
" Aw... aw... Hana terlihat menahan sakit. Dia menunduk kedua tangannya memegang kepala. Rasanya seluruh isi kepalanya ingin meledak. Urat syarafnya menegang dan berdenyut keras.
"Anda baik-baik saja?" Terdengar suara Steve cemas. Dia menggenggam kedua tangan Hana, lalu menariknya dari kursi memapahnya ke luar.
Karena kedekatan bersama Hana, hari demi hari ternyata menumbuhkan perasaan lain di hati Steve. Steve merasa ada sesuatu yang harus dia lindungi lebih dari seorang teman. Tadinya dia hanya menaruh rasa iba saja. Tapi hari demi hari perasaan itu tumbuh menjadi perasaan sayang, bukan lagi sekedar tugas dari Wei.
Steve memutuskan untuk tidak melanjutkan acara makan dan berjalan menuju area parkir. Kesehatan Hana sekarang lebih penting dia perhatikan. Steve memasangkan sabuk pengaman pada Hana, sedangkan Hana sendiri sudah tak berdaya merasakan nyeri kepala yang cukup hebat.
"Kita ke rumah sakit ya!." Steve berbicara pendek.
"Tidak! Aku hanya ingin pulang. Aku ingin segera membaringkan tubuhku mengistirahatkan pikiranku."
"Tapi.. sakit kepalamu mesti dapat pemeriksaan!" Steve agak ngotot.
"Tolong, please!" Hana memelas pelan. Karena jika terlalu banyak bicara, urat-uratnya seperti tertarik kian sakit.
"Baiklah!" Steve mengalah tak lagi bicara.
Sepanjang perjalanan Hana hanya bisa menyandarkan kepala di kursi. Dia sudah tak mampu memikirkan yang berat-berat. Steve sesekali melirik dengan perasaan khawatir.
Tak lama kemudian mobil sudah terparkir di depan rumahnya. Lalu setelah membuka sabuk pengamannya, Steve memapah sampai kamar lalu membaringkan Hana di atas kasur. Steve keluar kamar dengan maksud mencarikan obat untuk Hana.
Tak selang beberapa lama dia datang bersama nyonya Kim yang menenteng nampan juga obat yang diberikan dokter waktu itu.
"Makanlah! Semoga sakit kepalanya mereda!" Steve menyodorkan satu butir tablet dan segelas air putih. Hana bangkit dari tidurnya, duduk lalu menelan tablet itu sambil meneguk air pemberiannya Steve.
"Tidurlah!" Steve membantunya berbaring dan menarik selimut menutupi badan Hana sampai ke dada.
"Nyonya Kim tolong jaga dia! Saya akan keluar sebentar."
"Baik!"
Kamar itu hening. Hana memejamkan matanya. Dan tanpa terasa Hana tertidur.
Steve keluar mengendarai mobil kembali ke tempat dimana tadi dia bertemu anak-anak gerombolan itu. Steve berniat mengorek informasi tentang Hana. Dia meyakini anak-anak itu pasti mengenali Hana sebelumnya. Ada yang ingin ditanyakan kepada mereka mengenai identitas Hana.
"Sial. Kemana mereka pergi?" Steve menyusuri setiap jalanan dan keluar masuk dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Dia berharap menemukan gerombolan anak-anak tadi. Tapi nihil.
Dengan raut wajah kecewa dia memutar balik mobilnya berniat menemui Wei di kantor.
####
Dilain tempat mereka bergerombol dan masuk di area permainan. Tempat mereka biasa menongkrong jika waktu luang. Masing-masing telah memilih tempat untuk memulai main game. Tempat ini ramai dipenuhi anak seumurannya.
Satu persatu mulai memilih menu game. Permainan dimulai. Masing-masing sudah sibuk dengan tombol dan layar di depannya.
Seorang wanita tomboi yang dikenal dengan nama Vania memainkan game dengan penuh antusias. Tapi tidak seperti biasanya. Hari ini emosinya tak stabil. Pikirannya masih tertinggal di cafe, sedangkan fisiknya ada di tempat game. Permainannya mendadak tak fokus. Dan ini menjadi kesempatan bagi teman yang lainnya untuk bisa mengalahkan skors yang biasa didapatkan Vania. Dia tersenyum puas.
"Sebel! skorku kalah terus!" Vania menendang mesin game yang tak bersalah apa-apa. Bibirnya manyun ke depan. Beberapa temannya melirik, tapi tak ada satu pun yang berani menegur. Karena mereka tahu siapa Vania. Selain gengnya Sandi, Vania punya kekuatan lain yaitu orangtuanya.
"Baru kalah satu kali ko udah kesel gitu! he he." Teman di sampingnya terkekeh menertawakan Vania. Karena baru kali ini dia mendapatkan kesempatan mengalahkan Vania.
Dan mereka tahu yang kalah permainan biasanya mesti traktiran. Tapi selama ini walau Vania pemenangnya malah Vania sendiri dengan loyalnya mentraktir semua teman-temannya. Jadi bedanya apa coba? Menang atau kalah tetap saja Vania keluar uang.
"Diem lu!" Vania menghentikan tombol permainan dan menghempaskan badannya di kursi. Dia memandang kosong layar game. Sementara teman disebelahnya masih asik memainkan game.
Ruangan itu riuh dengan suara-suara dari mesin game dan sesekali diiringi teriakan gembira ataupun kecewa. Tapi wanita yang bernama Vania masih memandang kosong seolah tak mendengar suara-suara yang ada di sekitarnya.
Hati Vania sedang dilanda cemburu. Ya dia merasa cemburu pada laki-laki yang ada di samping bu Restu. Perhatian bu Restu seolah telah direbut darinya. Betapa tidak, selama ini dia begitu bergantung pada bu Restu. Setelah kejadian sakau yang hampir merenggut nyawanya, baginya bu Restu seperti bagian dari dirinya. Bu Restulah yang sibuk membawanya ke rumah sakit waktu itu sampai rela menunggunya bermalam demi menyelamatkan nyawanya dari sakau.
Bu Restu seperti sosok yang telah mengisi kekosongan di hatinya. Kurang perhatian dari keluarga membuat Vania begitu merindukan sosok keibuan. Sebenarnya sekarang dia teramat rindu pada bu Restu.
"Bu, I miss u. "
###
"Wei... Bisa kan malam ini kau mampir?" Steve memandang Wei. Dia masih sibuk berkutat dengan lembaran-lembaran di meja kerja.
"Maksud mu?"
"Aku kasian sama Hana." Dia menyandarkan badannya lebih relaks di kursi sofa yang ada di ruangan kerja Wei.
"Siapa Hana?" Wei membuka kacamatanya dan memandang ke arah Steve, pura-pura tidak tahu.
"Dia namanya Hana." Steve bicara lebih santai.
"Darimana kamu tahu?" Raut wajah Wei terlihat datar sambil menutup map.
Steve berbicara panjang lebar tentang Hana sampai kejadian di cafe tempat dia makan mi bersamanya.
Wei terlihat fokus mendengarkan informasi yang baru saja didapatnya.
"Aku rasa kita harus mencari informasi mulai dari anak-anak itu." Wei mengungkapkan idenya.
"Aku setuju." Steve menegakkan badan lalu berbalik badan menoleh ke arah Wei. "Wei.. apakah Hana tidak meninggalkan identitas ketika kecelakaan?" Matanya yang sedikit mengerut bertanya penuh selidik.
"Mana mungkin aku membawanya ke tempatmu kalau dia ada identitas.."
"Kalau dia ingat lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Ya balikinlah ke keluarganya!"Jawaban Wei bertolak belakang dengan kata hatinya.
"Se simple itu?" Steve terlihat kecewa. "Terus bagaimana dengan perasaan dia kalau tahu kamu bukan suaminya?"
"Steve... cobalah berpikir lebih logika. Waktu aku membawanya ke rumah sakit dia membutuhkan operasi segera. Kalau aku tak mengakui walinya, bisa jadi operasi itu ditunda dan nyawanya gak bisa tertolong. Kalau dia mati, maka aku sendiri yang kena dampaknya." Lain di hati lain di mulut. Sudah kebiasaan Wei selalu menutupi perasaan yang sebenarnya sejak dulu.
Steve terdiam. Penjelasan Wei masuk akal juga. Tapi tetap saja dia tidak tega dengan Hana yang nantinya akan kecewa.
"Brak... " pintu terbuka.
"Hai, Kalian sudah selesai bekerja?" Seorang wanita dengan pakaian branded bernama Riana menerobos masuk tanpa permisi. Dia duduk di sofa berhadapan dengan Steve. Dia sudah terbiasa keluar masuk kantor Wei tanpa izin terlebih dahulu.
Wei terlihat lesu. Kedatangannya sering tak diharapkannya.
"Aku tak melihatmu beberapa hari ini Steve. Kemana saja?" Riana menatap Steve yang sedang pusing memikirkan sandiwaranya.
"Ya?" Mata Steve melirik Wei.
Wei mengerti isyarat Steve.
"Dia sedang bekerja di luar kantor. Aku menyuruhnya." Wei dengan cepat menjawab.
"Oh... " Riana mengangguk.
"Wei.. sudah lama kita tak jalan. Bagaimana kalau kita ke luar malam ini?" Riana merajuk manja mendekati Wei.
"Aku masih banyak kerjaan, ajaklah Steve!" Wei mengalihkan pandangan ke depan layar komputer. Sikapnya selalu dingin jika berhadapan dengan Riana.
"Maaf aku juga tak bisa!" Steve merasa kesal pada Wei yang selalu melimpahkan masalah padanya. Yang satu saja belum selesai ditambah lagi yang baru.
Hadeuuh. Komplit
"Baik, kalian kompak sekali. Terpaksa aku akan meeting dengan Daniel mengenai kontrak fashion semester depan." Riana tahu betul kalau Wei tidak menyukai kalau dibandingkan dengan Daniel. Dia pasti tak ingin Daniel jadi pesaingnya dalam bisnis yang sama.
"Steve bukannya kamu ada pertemuan member week and ini?" Wei yang sama-sama member klub mengingatkan. Tujuannya tak lain agar Riana tak membawanya ke tempat lain, selain ke tempat yang baru saja disebutkan.
"Ya. Baiklah..kita akan ke sana. Aku akan siap-siap." Steve berdiri meninggalkan Wei dan Riana.
Klub ini adalah sekumpulan para pengusaha muda, dimana secara rutin mengadakan pertemuan. Acaranya cukup santai. Kadang bermain golf, sekadar kumpul minum, atau ya hanya mengadakan pesta tak penting. Bagi mereka klub ini cukup penting untuk menjalin kedekatan bisnis.
Begitu pun bagi Wei, dia perlu menjalin mitra bisnis dengan beberapa pengusaha lainnya di acara ini. Kalau bertanya pada hati nuraninya, dia tak begitu senang dengan perkumpulan ini.
###
Hana melihat Steve dari kejauhan. Dia sudah berpakaian rapih dengan stelan santai. Tadi siang dia pergi lalu datang kembali hanya untuk mandi dan mengganti baju.
Wajahnya begitu menarik malam ini. Mungkin dia sudah ada janji ketemuan. Bukannya ini malam minggu? Apa dia akan pergi bersama pacarnya? Hah pikiran Hana terlalu detail ingin tahu. Menurutnya wajar saja, karena Steve masih bujang.
"Hei.. melamun!" Tiba-tiba Steve sudah berada disebelah Hana.
"Mau keluar?" Hana basa-basi, padahal penasaran.
"He'um." Steve mengangguk.
Malam ini aroma parfumnya tercium sedikit lebih.
"Mau ikut?" Steve melirik.
"Tidak."
"Aku berangkat dulu ya! Jangan tidur terlalu malam!" Steve berpamitan.
"Ya." Hana menatap punggungnya. Steve berjalan semakin menjauh.
"Ah..sepi." Hana menghela nafas dan m memulai memainkan Chanel tv mencari acara yang menarik.
"Hah dapat." Hana menghentikan salah satu chanel tv yang isinya komedi. Sesekali Hana tertawa melihat kelakuan para komedian itu. Cukup menghibur kesepiannya.
Malam semakin larut, matanya sudah agak berat. Sofa mewah yang hangat dan lembut membuat Hana tergoda untuk berbaring, lalu dalam sekejap tertidur.
###
Beberapa orang sudah berdatangan. Beberapa orang memilih di meja bar, ada pula yang duduk santai di ruangan klub. Mereka berbincang santai sesekali terdengar gelak tawa sambil menenggak minuman yang harganya selangit.
Wei duduk bersebelahan dengan Daniel yang sudah lebih dulu duduk di meja bar, setelah menyapa beberapa member. Sebenarnya mereka berdua sudah bersahabat sejak sekolah. Karena urusan bisnis hubungan mereka jadi merenggang. Kalau bukan karena ibunya Daniel, mungkin urusan bisnis mereka tidak akan serunyam sekarang. Ya wanita super kejam itu benar-benar menjadikan anaknya berkompetisi dengan sahabatnya sendiri.
"Sendiri?" Daniel menyapa lebih dulu.
"Berdua dengan Riana."
"Oh. Daniel melebarkan pandangannya mencari Riana."
Tatapan Daniel dari tadi tak terlepas dari layar handphonenya. Menekan nomor dan mendekatkan ke telinganya.
"Ada yang ditunggu?" Wei menatap Daniel.
"Ya."
"Wei... "
"Hhmm.. "
"Aku.. " Daniel tak melanjutkan bicaranya.
"Ada apa? Bicaralah!"
Daniel mendekatkan wajahnya ke telinga Wei. "Aku menemukan adikku."
"Apa? Dimana?" Wei kembali mendekatkan wajahnya pada Daniel. Dia tahu ini pembicaraan cukup rahasia. Ada rasa ketakutan dalam diri Wei.
"Seminggu yang lalu aku mendapat nomor kontaknya. Awalnya aku telpon, dia masih menjawab,
"Terus?"
"Menghilang lagi."
"Apa?" Wei menatap tajam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Nike Ardila Sari
Mampir lagi, Bun. Marathon😊
2022-10-29
0
Bayangan Ilusi
direbut orang tau r ada weii
2022-10-20
0
Bayangan Ilusi
owh.. pantas sajaa...
hana sudah seperti ibu bagi vania..
tapi ortunya vania sendiri kemna? kok mlh hana yg urus🤔
2022-10-20
1